45

Chapter 45:
DOCTOR STYLES

Harry Styles menghentikan langkah cepatnya dengan nafas terengah-engah tepat di depan sebuah pintu bertuliskan nomor 513. Harry membungkuk, mencoba mengatur pernafasan selama beberapa menit sebelum menegakkan tubuh, menatap pintu itu dengan kalut.

Dia tampak pucat. Sepertinya dia sakit dan jika dia sudah bertunangan, di mana tunangannya itu saat dia sedang sakit?

Suara Anne terngiang dalam benak Harry.

Oh, iya. Dokter Swift tidak masuk hari ini. Dia sakit. Dari kemarin dia bilang, tubuhnya sedang tak mendukung untuk beraktivitas, tapi dia tetap masuk. Dia tinggal sendirian. Aku mencemaskannya. Dia selalu memperhatikan kesehatan orang lain, tapi tidak dengan kesehatannya sendiri.

Lagi, kini giliran suara Liam Payne yang terngiang dalam benak Harry. Sebelum mempercayai ucapan sang Ibu, Harry terlebih dahulu menghubungi Liam yang jelas-jelas berada di rumah sakit yang sama dengan dia.

Harry menghela nafas. Bodoh! Bukankah kau berjanji untuk menjaga kesehatanmu dengan baik? Kalau sudah begini, kau menyusahkanku walaupun kau tidak meminta bantuanku!

Tangan Harry menekan bel di dekat pintu ruangan Taylor. Harry menekan beberapa kali, tapi tak ada balasan. Harry terus menekan hingga suara decitan pintu terdengar.

"Hei, kau sa—,"

"Hatchuu!"

Ucapan Harry terpotong saat tiba-tiba saja gadis di hadapannya bersin cukup keras sambil membungkukkan tubuh. Harry menatapnya sambil menghela nafas.

"Maafkan aku. Tapi aku sedang tak bertugas hari ini. Jika kau ingin periksa atau berobat, langsung saja ke rumah sakit. Kau bisa ikut tertular flu dariku." Taylor berkata panjang lebar dengan suara serak sambil menahan nafas dan secara perlahan menegakkan tubuhnya.

Gadis itu hanya dapat tercengang begitu melihat siapa yang berada di hadapannya saat ini.

"Harry?"

Harry merengkuh pundak Taylor dan memutar tubuh gadis itu menjadi memunggunginya. Kemudian, Harry mendorong Taylor untuk masuk ke dalam dan dia ikut dari belakang sambil berkata, "Di luar dingin. Lebih baik kau istirahat di dalam."

Sesampainya di ruang tamu, Taylor menghentikan langkah dan kembali memutar tubuh menatap Harry dengan mata memicing.

"Apa yang kau—hatchuu!"

Lagi, Taylor bersin dan membuat Harry tertawa geli melihatnya. Taylor menggosok hidungnya yang sudah memerah dan menatap Harry yang tengah tertawa. Senyuman tipis muncul di bibir gadis itu namun, saat Harry berhenti tertawa, Taylor mencoba menampilkan ekspresi datar.

"Berbaringlah di ranjang. Kenakan selimut sehingga kau tidak kedinginan lagi. Jika perlu, kenakan berlapis-lapis pakaian. Kau menggigil." Harry memerintah, menyadari jika gadis itu memang menggigil saat Harry menyentuh bahunya tadi.

Taylor memicingkan mata. "Apa?"

Harry memutar bola matanya sebelum kembali merengkuh bahu Taylor dan menyeret paksa gadis itu menuju ke kamarnya. Harry menghempaskan Taylor dengan kasar ke ranjang, membuat gadis itu mengumpat, tapi Harry hanya tersenyum aneh.

Kemudian, Harry menarik selimut hingga menutupi dari ujung kaki ke setengah leher Taylor dan Taylor hanya dapat diam seperti kelinci percobaan.

"Bagaimana? Merasa lebih hangat?" Tanya Harry dengan nada cerianya.

Taylor masih mengernyit aneh akan sikap pria ini.

Harry menatap sekeliling sebelum mendapati jas putih Taylor yang tergantung tepat di belakang pintu. Harry berjalan mendekat dan meraih jas itu. Harry mengenakan jas putih yang padahal sangat longgar di tubuh Taylor, tapi melekat ketat tubuhnya.

"Well, seharusnya kau memesan ukuran jas yang lebih besaran lagi supaya terlihat cocok untukku." Harry memperlihatkan jas yang dikenakannya itu kepada Taylor yang berusaha setengah mati menahan tawa. Tapi Taylor menahan diri untuk tetap tenang.

Harry menghela nafas. "Karena kau sakit, maka aku yang mengambilalih tugasmu sebagai dokter untuk merawatmu sampai membaik. Panggil aku dokter Styles."

Taylor mengangkat satu alisnya. "Kau bercanda?"

Harry menggeleng cepat. "Tentu saja tidak. Sekarang berbaring dan beristirahatlah. Apa kau sudah minum obat? Tunggu, biasanya kau harus makan dulu sebelum minum obat. Kau sudah makan?"

Taylor menggeleng. "Aku baru mau memasak mie instan saat kau tiba-tiba datang dan mengurungkan niatku."

Harry melipat tangan di depan dada. "Mie instan? Yang benar saja! Kau sedang sakit. Setidaknya kau harus makan yang bergizi. Bukankah kau dokter?"

"Aku tak sanggup berdiri lama-lama di dapur. Jadi, memasak yang paling cepat adalah memasak mie instan." Taylor menjawab sambil menggosok hidungnya lagi yang gatal.

"Kalau begitu, aku akan memasak untukmu. Tunggu sebentar, okay?" Harry melangkah ke luar kamar dan meninggalkan Taylor sendiri yang kali ini tak dapat menahan senyuman di bibirnya.

Taylor menunggu dengan sabar. Tiga puluh menit berlalu dan tak ada tanda-tanda apakah Harry sudah selesai memasak atau belum. Tiga puluh menit itu bukan waktu yang sedikit untuk memasak.

Akhirnya, Taylor bangkit dari ranjang dan melangkah menuju ke dapur. Sesampainya di pintu dapur, Taylor tersenyum mendapati Harry yang jelas-jelas kesulitan untuk memasak. Menambah pekerjaan saja. Harry membuat dapur Taylor terlihat sangat berantakan.

Harry mengenakan celemek merah muda Taylor dan dia melepaskan jas dokter Taylor, diletakkan begitu saja di sandaran kursi makan. Sesekali Taylor mendapati Harry yang menyeka keringatnya sendiri. Sangat lucu.

Setelah berdiri lebih dari sepuluh menit di depan pintu dapur, akhirnya Taylor melangkah mendekat sampai berhenti tepat di samping Harry. Harry cukup terkejut dengan kehadiran Taylor.

"Kau seharusnya menunggu di kamar. Aku baru akan menyelesaikannya." Harry berujar santai seraya mengaduk apapun itu yang dia masak.

Taylor terkekeh mendapati ponsel Harry yang menampilkan resep membuat bubur, yang layarnya tampak berminyak dan bertaburan bahan makanan.

"Kau sangat lama. Aku keburu mati kelaparan. Ditambah lagi belum minum obat. Semakin cepat saja aku mati."

Harry mengerucutkan bibir. "Kalau begitu duduklah. Sepertinya sudah matang."

Taylor menurut dan beralih duduk di kursi meja makan, tak bisa beralih memperhatikan Harry yang sedang menyiapkan bubur buatannya di mangkuk. Setelah selesai, dengan wajah bangga Harry membawa mangkuk itu dan meletakkannya tepat di atas meja yang berhadapan dengan Taylor.

"Tara! Bubur ala Chef Harry. Dibuat dengan penuh perasaan dan penuh semangat."

Taylor terkekeh mendengar ucapan Harry tersebut. "Kau bisa menjamin jika makanan ini enak dan bisa dimakan?" Tanya Taylor.

"Err, amen."

Taylor tertawa melihat ketidakyakinan di wajah Harry. Taylor berhenti tertawa dan mulai meraih sendok. Taylor menyendok bubur tanpa bentuk itu dan melahapnya dengan perlahan.

Rasa apa ini? Manis dan asin. Aneh. Taylor berkomentar dalam hati, namun melihat usaha Harry, Taylor tak enak hati untuk berkomentar secara langsung. Setidaknya dia sudah berusaha keras.

"Bagaimana rasanya?" Tanya Harry, penasaran. Taylor diam dan mulai mengambil suapan kedua.

Harry tak sabaran dan meraih satu sendok lainnya di meja makan dan menyendok bubur itu sebelum memasukkan ke dalam mulut dan mencobanya. Taylor memperhatikan ekspresi pemuda itu. Dari penasaran, berubah menjadi mual dalam waktu singkat.

"What the fuck? Ini makanan paling buruk yang pernah aku makan. Kenapa kau masih memakannya? Bagaimana jika kita memesan saja di luar?" Harry berniat untuk menyingkirkan bubur aneh ciptaannya namun, Taylor menahan mangkuk bubur itu.

Dengan tegas Taylor menggeleng. "Kau sudah memasak susah payah dan kau ingin membuangnya? Tidak, biar aku yang habiskan."

Harry menatap Taylor dengan heran. "Rasanya aneh, Tay. Aku saja ingin muntah."

Taylor terkekeh. "Nah, itu kau tahu. Tapi tenang saja. Mulutku pahit. Jadi, aku tak merasakan apapun. Tapi jika nanti terjadi sesuatu pada alat pencernaanku, kau yang harus disalahkan."

Harry tersenyum mendengar ucapan Taylor. "Baiklah. Aku dapat memastikan rasanya saja yang tidak enak, tapi kandungan gizi-nya masih tersedia. Setelah itu, kau harus minum obat. Di mana kau letakkan obatmu, pasien Swift?"

"Di atas meja kecil di samping ranjangku, dokter Styles." Harry terkekeh mendengar jawaban Taylor sebelum melangkah menuju ke kamar gadis itu.

Baru mendapatkan obat yang Taylor maksud dan hendak memberi obat itu kepada Taylor, suara bel terdengar. Akhirnya, Harry memutuskan untuk membuka pintu terlebih dahulu sebelum memberikan obat kepada gadis itu.

Harry berjalan cepat dan membuka pintu. Pemuda itu menahan nafas saat mendapati siapa yang berada di balik pintu.

"Siapa kau?"

Bukan dari Harry pertanyaan itu ke luar, tapi dari seorang pria tampan dengan rambut hitam pekat yang Harry ketahui bernama Zayn Malik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top