44
Chapter 44:
PERFECT
Aku tak akan meninggalkanmu, meskipun kau bersikap jutek dan jauh lebih perhatian dengan pasien-pasienmu daripada aku.
Senyuman tipis muncul di bibir Taylor saat suara itu muncul dalam benaknya. Suara seorang pemuda yang dulu dekat dengannya dan sekarang entah. Setelah menghilang tanpa kabar selama satu tahun, dia kembali dan mengabaikan Taylor. Seakan memang tak pernah terjadi apapun di antara mereka.
Seharusnya Taylor tak mudah percaya dengan pria itu. Jaman sekarang, sangat sulit untuk mencari orang yang dapat dipercaya. Semuanya hanya umbar kata-kata dan janji manis, tanpa mengucapkan fakta dan kebenaran.
"Dokter!"
Taylor yang tengah melamun dengan tangan mencengkram kuat pegangan troli menoleh terkejut saat mendengar suara tersebut. Taylor menoleh dan mendapati seseorang yang tak asing berada di dekatnya, tampak membawa troli belanjaan juga.
Berkutat dengan pikiran, berusaha mengingat siapa wanita ini, Taylor akhirnya ingat saat melihat dengan jelas mata wanita paruh baya tersebut. Matanya benar-benar mirip dengan...
"Mrs. Styles?"
Senyuman muncul di bibir wanita tersebut. "Anne. Cukup panggil aku Anne. Senang bertemu denganmu lagi di New York. Kupikir, kau tinggal di Nashville."
Taylor menggeleng cepat. "Tidak. Aku hanya mendapat tugas di Nashville. Aku tinggal di New York."
Anne mengangguk. "Pantas saja putraku menghabiskan lebih banyak waktu di New York, daripada di tempat lainnya. Padahal dia sempat membeli apartemen di Los Angeles."
Putra? Harry, maksudnya? Harry menghabiskan banyak waktu di New York, tapi tidak pernah menghubungi ataupun menemuiku. Omong kosong macam apa ini?
"Belanja bulanan, dokter Swift?" Anne melirik isi troli Taylor. Sabun mandi cair, pasta gigi, sikat gigi, handuk, roti, bumbu dapur, sayuran, makanan instan dan banyak barang lainnya yang ada dalam troli Taylor.
Taylor tersenyum tipis. "Seperti yang kau lihat. Aku juga perlu mengisi ulang lemari esku yang sekarang kosong. Akhir-akhir ini aku tidur malam dan selalu lapar. Ah, dan kau bisa memanggilku Taylor. Terdengar lebih akrab, mengingat aku bukan seorang dokter saat ini."
Anne terkekeh geli. "Tapi kau masih terlihat sama, cantik. Tubuhmu tak gemuk setelah banyak makan, Taylor."
"Berat badanku naik dua kilo sejak dua bulan belakangan." Taylor mengaku dan lagi, Anne terkekeh geli.
"Nah, hanya dua kilo. Tak begitu terlihat jelas."
Taylor dan Anne tertawa kecil.
"Kau masih mau berkeliling atau apa?" Tanya Anne tiba-tiba.
Taylor berpikir sejenak sebelum menggeleng. "Tidak. Ini cukup. Aku akan segera mengantri, membayarnya dan pulang ke rumah."
"Bagaimana jika kita makan siang bersama? Aku yang akan mentraktirmu dan aku tak menerima penolakan." Anne berkata tegas dan memang sepertinya Taylor tak bisa menolak ajakan Ibu dari seseorang yang sedang Taylor coba untuk lupakan ini.
*****
Taylor berhenti makan saat menyadari tatapan aneh Anne kepadanya. Sedari tadi, wanita berusia nyaris 50 tahun itu menatapnya lekat dengan senyuman aneh di bibirnya.
"Kau tidak menghabiskan makananmu, Anne?" Taylor bertanya dan Anne terkekeh sebelum menganggukkan kepala.
Anne mulai mengambil sumpit dan memakan udon pesanannya. Anne mengajak Taylor untuk makan di rumah makan Jepang yang berada tak jauh dari supermarket tempat mereka bertemu.
Taylor baru hendak melanjutkan makannya saat Anne yang telah menghabiskan suapan pertamanya berkata, "Harry selalu berbicara nonstop tentangmu, sejak pertemuan kalian di Nashville."
Diam. Taylor hanya dapat diam mendengar pengakuan Anne tersebut.
"Masih ingat pertemuan pertamaku dan kau di klinik Nashville? Harry tak bisa berhenti bertanya bagaimana pendapatku tentangmu. Dia bilang, kau gadis paling seksi yang pernah dia temui." Anne terkekeh saat mengucapkan kalimat tersebut dan Taylor masih terdiam.
"Aku baru bertemu kembali dengan hari tadi malam, setelah hampir enam bulan tak bertemu. Dia terlihat murung dan tak banyak bicara. Aku hanya penasaran...apa kalian bertengkar?" Anne mengangkat satu alisnya dan Taylor menahan nafas.
Taylor menggeleng dan tersenyum tipis.
Anne menghela nafas. "Syukurlah kalau begitu. Aku sangat mencemaskan Harry. Dia pria yang selalu tampak ceria. Melihatnya murung itu sesuatu yang sangat aneh. Aku benci melihatnya bersedih seperti itu dan aku senang, kau bukan alasan atas kemurungannya."
Taylor tak tahu harus berkata apa. Harry murung? Taylor bahkan tak tahu kenapa pria itu murung setelah apa yang dilakukannya.
Beberapa hari yang lalu adalah pertemuan pertamanya dengan Harry, setelah tak bertemu lebih dari satu tahun. Harry mengikutinya dan melarangnya masuk ke dalam kelab malam. Lalu, dia mendesak Taylor untuk kembali pulang. Taylor mengendarai mobilnya menuju ke apartemen dan Harry mengikuti dari belakang dengan mobilnya, memastikan jika Taylor selamat sampai tempat tinggalnya tanpa mengucapkan apapun.
"Anne, aku dan Harry tak menjalin hubungan apapun." Taylor akhirnya mengaku, dengan satu tarikan nafas.
Anne terdiam, menatap Taylor lekat sebelum bertanya, "Apa? Kenapa? Kupikir, kalian berpacaran. Tunggu. Kalian putus?"
Taylor menggeleng. "Kami tak pernah berpacaran jadi, tentu saja tak pernah ada kata putus. Mungkin, kau bisa mengatakan jika kami hanya bersenang-senang."
Kini, Anne yang menggeleng. "Harry tak akan bercerita nonstop tentangmu jika dia tidak menganggapmu sebagai orang yang spesial."
"Aku memberitahumu fakta. Jika kau tak percaya, kau bisa bertanya langsung dengannya. Tapi kupikir tak usah. Sepertinya dia tak mau lagi mendengar tentangku."
Taylor tersenyum simpul dengan mata yang redup, tak lagi bersinar seperti biasanya.
*****
Harry Styles langsung menoleh saat mendengar suara Anne meletakkan kasar kantung belanjaan di atas meja, di depan sofa yang Harry tiduri sambil menonton televisi. Karena hal itu, Harry buru-buru bangkit dan memicingkan mata kepada Anne yang masih berdiri, dengan tangan di depan dada dan menatapnya sinis.
"Kupikir, wanita akan terlihat bahagia setelah dia berbelanja. Tapi wajahmu sangat menyeramkan saat ini." Harry berkata dengan wajah polos tanpa dosa dan Anne menghela nafas.
Anne menghempaskan bokong tepat di sisi sofa kosong di samping Harry. Harry terus memperhatikan sang Ibu, bingung dengan apa yang terjadi. Tapi Harry tak mau bertanya. Mood Ibunya dan dia jelas sama. Sekarang, bukan waktunya untuk banyak bertanya.
"Kenapa kau murung akhir-akhir ini, Harry?"
Pertanyaan yang ke luar dari mulut Anne membuat Harry mengernyit tak mengerti. Kenapa Anne bertanya seperti itu?
"Benarkah?" Harry balas bertanya bingung.
Anne mengangguk. "Kau memiliki masalah pada pekerjaanmu atau apa?" Anne kembali bertanya.
Harry hanya diam, benar-benar tak memahami maksud pertanyaan Ibunya itu.
"Aku bertemu dengannya tadi dan dia bilang, kalian tak memiliki hubungan apapun. Aku bingung. Jika kalian tak memiliki hubungan apapun, kenapa kau bercerita panjang lebar tentangnya kepadaku? Tapi dia memang seseorang yang jujur dan mudah dipercaya." Anne mengerutkan dahi menatap Harry.
Harry mengangkat satu alis. "Siapa yang kau bicarakan, Mom?"
"Taylor Swift."
Mendengar nama itu, entah kenapa jantung Harry berdebar tak karuan, lagi. Harry memejamkan mata dan mengalihkan pandangannya kembali ke televisi.
"Memang tak ada hubungan apapun antara dia dan aku." Harry berkata dengan nada pelan.
Anne menghela nafas lagi. "Dia bilang, kau menjauhinya dan itu masih pertanyaan kenapa kau menjauh darinya."
"Karena dia sudah bertunangan dan akan menikah dengan pria lain." Harry menjawab tenang, tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi yang menayangkan re-run serial Friends.
Anne tersenyum tipis. "Benarkah?"
Harry mengangguk.
"Baru bertunangan, Harry. Belum menikah. Kau masih memiliki kesempatan jika kau mau berusaha." Anne menepuk punggung Harry yang menoleh memicingkan mata kepadanya.
"Kau memintaku merebutnya dari tunangannya?"
Anne mengedikkan bahu. "Tidak, hanya memberitahu. Yang namanya tunangan itu belum pasti berakhir sebagai suami istri. Banyak kemungkinan mereka berpisah. Lagipula, kau yakin mereka bertunangan? Aku mengobrol lama dengannya dan dia tak membahas tunangannya sama sekali. Dia juga tak mengenakan cincin apapun. Jari-jari tangannya bersih."
"Mom berhenti menghasutku." Harry memutar bola matanya dan kembali mencoba fokus pada televisi, meskipun ucapan Anne terus terngiang dalam benaknya.
Anne menyeringai. "Dia terlihat murung saat aku berbicara tentangmu. Kau pasti melakukan sesuatu yang buruk, yang menyakiti perasaannya. Jika kau mau diberi kesempatan, setidaknya kau harus meminta maaf padanya dan berjanji tak akan mengulanginya lagi."
Harry memejamkan mata dan tersenyum pilu.
"Berjanji, ya? Aku sudah berjanji terlalu banyak dan tak bisa kutepati dengan baik. Aku tak mau memberinya harapan ataupun kepercayaan berlebih." Harry menghela nafas dan menatap Anne lekat, "Dia terlalu sempurna untukku, Mom."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top