40
Chapter 40:
HI, HOW ARE YOU?
Dokter Swift berjalan cepat seraya mengenakan jas putihnya memasuki rumah sakit. Beberapa perawat yang berjalan hilir mudik saat Taylor hanya tersenyum tipis dan terus melangkah. Gadis itu menatap kiri dan kanannya, sebelum mengenali seseorang dan berjalan cepat menghampiri rekan kerjanya tersebut.
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
Taylor bertanya dengan nafas menggebu-gebu kepada dokter Martha yang berdiri tepat di depan ruang UGD dan tampak bergetar. Taylor menyentuh pundak Martha dan gadis itu menoleh sebelum memeluk Taylor erat.
"Maafkan aku, aku tak tahu apa yang kulakukan. Maafkan aku, maafkan aku."
Martha cukup histeris berada di dalam pelukan Taylor sebelum akhirnya melepaskan diri dan dengan terisak berkata, "Aku dokter THT dan dengan bodohnya menyamakan cara menangani pasien dengan sakit berbeda. Dia bergetar dan kejang-kejang setelah aku memberinya penenang. Sepertinya aku memberi obat yang salah."
Mendengar penjelasan Martha, Taylor melotot dan bergegas masuk ke dalam UGD. Jantungnya berpacu cepat melihat beberapa rekan dokter tampak berkerumun dan mencoba memberi pertolongan.
"Bagaimana kondisinya?" Taylor bertanya kepada dokter Payne yang berperan cukup besar saat ini.
"Dia baik-baik saja. Denyut nadinya mulai normal, begitupun dengan detak jantungnya. Aku dan dokter Gomez akan memastikan dia baik-baik saja. Bisa tolong sampaikan kepada dokter Hunt? Dia sangat ketakutan tadi. Ini bukan salahnya." Liam menjawab tanpa mengalihkan pandangan ke Taylor. Pemuda itu tampak sibuk memeriksa pasien dengan stetoskopnya.
Taylor menghela nafas, lega. "Dia gemetar. Dia menghubungiku sambil menangis."
"Aku tahu. Oleh karena itu, tolong jaga dia. Bawa saja ke ruangannya, tenangkan dia. Aku dan dokter Gomez menyusul setelah dapat memastikan kondisinya stabil." Liam berkata tegas.
"Baiklah. Panggil aku, jika kau membutuhkan bantuanku."
Kemudian, Taylor melangkah ke luar dari UGD menghampiri Martha yang tampak berjongkok dan menundukkan kepala, menangis dengan tubuh bergetar. Tepat di dinding di samping pintu ruang UGD.
Taylor membungkuk di hadapan Martha dan mengelus punggung Martha. "Hei, dia baik-baik saja. Liam memintamu untuk tenang dan tidak panik. Bagaimana jika kita pergi ke ruanganmu sekarang?"
Martha mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. "Aku hampir membunuhnya dengan sikap sok-ku. Aku hampir membunuhnya. Aku tak akan memaafkan apa yang kulakukan jika terjadi sesuatu yang buruk padanya."
Taylor diam. Memorinya kembali pada saat dia gagal menyelamatkan seorang pasien kecelakaan di Nashville satu tahun yang lalu. Itu bahkan lebih buruk dari ini. Taylor benar-benar gagal menyelamatkannya. Dia mati.
"Niatmu baik, Mar. Kau hanya ingin menolongnya, karena dia benar-benar membutuhkan bantuan."
Martha menggeleng. "Tapi aku hampir membunuhnya. Aku hampir membunuhnya!"
Taylor menggeleng. "Kau sama sekali tak ada niat untuk membunuhnya, Martha. Kau hanya ingin menolongnya. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri."
Tapi perkataan Taylor sama sekali tak membuat Martha tenang. Gadis itu kembali menyembunyikan wajahnya di sela-sela tangannya.
Taylor tahu, Martha memang dokter yang sangat sensitif. Hatinya terlalu lembut dan wajar saja jika dia menangis seperti ini.
Pintu ruang UGD terbuka, membuat Taylor dan Martha mengalihkan pandangannya ke pintu. Liam berjalan ke luar dan matanya langsung bertumpu pada Martha yang berjongkok di sana. Taylor buru-buru bangkit berdiri dan membantu Martha berdiri.
"Kau baik-baik saja, Mar?" Tanya Liam, terlihat sangat cemas.
Martha hanya menundukkan kepala tanpa menjawab. Taylor menghela nafas, "Aku tak bisa menenangkannya, dokter Payne. Bagaimana jika kau saja? Biar aku yang membantu Selena di dalam."
Liam mengangguk dan tersenyum tipis. "Terima kasih, dokter Swift. Jika sudah selesai, bisa tolong buat laporan dan letakkan di mejaku?"
Taylor langsung menganggukkan kepala dan tersenyum. "Kalau begitu, aku masuk dulu dan Mar, everything's gonna be alright." Taylor sempat mengedipkan satu mata kepada Liam sebelum melangkah memasuki ruang UGD, membantu Selena melakukan pertolongan terakhir.
"Hei, ada yang bisa kubantu?"
Taylor menyapa Selena yang tengah memasang infus di tangan pasien pria itu. Selena menarik nafas dan menghelanya perlahan sebelum menatap Taylor.
Selena menyeka keringat yang ada di dahinya. "Tidak, terima kasih. Sudah selesai." Selena menghela nafas dan menyandarkan punggung pada dinding yang berada dekat dengannya.
Taylor tersenyum dan berjalan mendekat. "Kau melakukan kerja yang bagus hari ini. Selamat."
Selena menggelengkan kepala. "Bukan aku, tapi dokter Payne. Aku hanya membantunya dan mencoba untuk tidak panik."
"Beristirahatlah. Aku akan memeriksa ulang dan membuat laporan." Taylor meraih clipboard yang pastinya milik Liam dan juga pulpen yang berada di atasnya.
"Bukankah seharusnya kau langsung pulang? Ini sudah bukan jam kerjamu."
Taylor berjalan mendekati pasien seraya mulai memasang stetoskopnya. "Ini juga sudah bukan jam kerjamu dan dokter Payne dan juga Martha. Kurasa, menjadi dokter itu tak memiliki jam kerja karena kita tak tahu kapan orang membutuhkan kita."
Senyuman muncul di bibir Selena. Dokter Latin itu melipat tangan di depan dada sambil berkata, "Kurasa aku mengerti, kenapa Ketua sering sekali memberimu kepercayaan lebih. Mungkin, beberapa saat lagi, kau akan menjadi professor lagi, Taylor."
Taylor terkekeh. "Aku tak mengincar gelar itu." Taylor berganti memeriksa denyut nadi pasien itu dengan tangannya sebelum mencatat hasil pemeriksaan dan berjalan kembali mendekati Selena.
"Dia sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Di mana keluarganya dan siapa namanya?" Tanya Taylor kepada Selena.
"Namanya Ahmed, berdasarkan kartu identitasnya. Aku tak tahu di mana keluarganya. Dia datang ke sini seorang diri dengan tubuh penuh luka, seperti bekas perkelahian. Sepertinya dia salah satu korban bullying para kaum mayoritas." Selena menjelaskan.
Taylor mencatat penjelasan Selena sebelum berkata lagi, "Aku akan minta tolong temanku yang bekerja di pemerintah bagian kependudukan untuk melacak keluarganya, jika sampai besok dia tak sadarkan diri. Untuk sementara, kita biarkan saja dia beristirahat."
Selena mengangguk. "Aku akan segera memanggil perawat untuk memindahkannya. Kau bisa pulang, Taylor. Beristirahatlah. Kau langsung datang ke rumah sakit setelah dari rumah Zayn, kan?"
Mendengar nama Zayn disebut, Taylor teringat pada keanehan di rumah pria tampan itu.
"Aku akan pulang setelah meletakkan laporan di meja dokter Payne. Kau ingin pulang bersamaku?" Tanya Taylor.
Selena tersenyum dan menggeleng. "Well, Niall mengajakku makan malam."
Taylor terkekeh dan mengangguk. "Baiklah, aku mengerti. Good luck dengan kencanmu dan Niall."
"Bukan kencan, hanya makan malam!" Selena memprotes.
Taylor memutar bola matanya. "Terserah, Sel. Sampaikan salamku padanya. Aku pergi. Sampai jumpa besok," Taylor berpamitan dan melangkah ke luar dari ruang UGD.
Taylor berjalan menjauhi ruang UGD menuju ke ruangannya terlebih dahulu. Taylor merapihkan meja dan mengambil beberapa berkas sebelum memasukkannya ke dalam tas.
Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, Taylor melangkah ke luar ruangan dan dengan cepat mengunci ruangannya. Di saat bersamaan, Taylor dapat mendengar jelas decitan pintu bersamaan dengan suara yang cukup dia kenali.
"Damn it, Jill! Aku baru sampai pagi tadi dan belum istirahat sama sekali! Apa kau ingin membun—," ucapan pria itu kepada seseorang yang tengah melakukan panggilan terputus saat matanya bertemu dengan mata biru cerah Taylor.
Sama seperti pria itu, Taylor juga membeku, tak tahu hendak melakukan apa. Jantungnya berdegup tak karuan. Kontak mata itu berlangsung cukup lama sampai Taylor memejamkan mata dan menggelengkan kepala.
"Aku akan menghubungimu lagi nanti," kalimat itu diucapkan begitu saja sebelum mematikan secara sepihak panggilan dan memasukkan ponselnya ke dalam saku jeansnya.
Harry Styles memejamkan mata, menarik nafas dan menghelanya perlahan sebelum secara mantap menatap kembali gadis berambut pirang yang berdiri membeku tak jauh darinya.
Senyuman canggung muncul di bibir Harry. Tangannya melambai kecil.
"Hei, apa kabar?"
Harry sendiri tak mengerti kenapa pertanyaan itu yang ke luar dari mulutnya.
-----
Butuh lebih dari 15 chapter buat nemuin Haylor lagi wkwkwk lol
Lagi nyari ending, gak mau panjang-panjang bikin cerita. Ini udah termasuk panjang, mungkin 50an abis wkwk xD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top