39
Chapter 39:
STRANGE THING
Taylor Swift menatap layar ponselnya. Tak ada tanda-tanda akan pesan masuk atau panggilan di sana. Dari seseorang yang selalu dia harapkan. Dari seseorang yang mampu membuat hidupnya jauh lebih ceria hanya karena sebuah pesan. Dari seseorang yang sangat sulit untuk diraihnya.
Sudah hampir seminggu berlalu sejak terakhir kali Taylor berhubungan dengan seorang aktor papan atas, Harry Styles.
"Taylor."
Suara itu membuat Taylor mendongak dan mendapati tatapan cemas Selena kepadanya. Taylor mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan tatapan cemas itu. "Ada apa, Sel?"
Memberi isyarat dengan pergerakan dagu, Selena menunjuk ke sepiring spaghetti yang bahkan belum disentuh Taylor sejak awal, di saat Selena sudah menyelesaikan makan siangnya. Selena mengajak Taylor makan di luar, di sebuah restoran Prancis yang berada tak jauh dari rumah sakit.
Taylor akhirnya mengerti dan terkekeh geli, sebelum mulai meraih garpu dan berkata, "Maaf, maaf. Aku lupa. Aku terlalu banyak berpikir tadi." Gadis pirang itu mulai memakan menu makan siangnya.
Selena menghela nafas dan melipat tangan di atas meja. "Kau banyak melamun akhir-akhir ini. Kau pasti memikirkan sesuatu. Kau merahasiakan sesuatu dariku."
Selesai memakan suapan pertamanya, Taylor menatap Selena. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan. Mungkin aku harus mengambil cuti dan beristirahat yang cukup."
Lagi, Selena menghela nafas. "Kau tahu kau tak pandai berbohong?"
Mendengar pernyataan itu, Taylor memejamkan mata dan menundukkan kepala. Gadis itu menatap malas-malasan menu kesukaannya, yang saat ini sangat tak menjadi kesukaannya sebelum kembali menatap Selena dengan senyum simpul di bibirnya. Tapi tak ada kata yang ke luar dari bibirnya.
Gadis Latin yang duduk berhadapan dengan Taylor terus menatapnya penuh intimidasi. "Kau tahu kau bisa menceritakan segala sesuatu padaku. Kau bisa mempercayaiku. Aku akan tetap menjaga rahasiamu."
Taylor mengangguk. "Aku percaya padamu, Sel. Hanya untuk kali ini...aku bingung. Aku hanya perlu waktu sendiri untuk mengatasi kebingunganku."
"Tentang Zayn dan Harry?" Selena mengernyitkan dahi dan benar dugaan Selena, Taylor tampak terkejut mendengar Selena menyebut dua nama pria itu.
Taylor menarik nafas dan menghelanya perlahan. "Zayn memintaku untuk datang ke rumahnya, memeriksa keadaan Olivia hari ini. Aku akan berangkat setelah makan. Aku sudah memberitahu Ketua."
Tak ada respon berarti yang ke luar dari mulut Selena. Gadis Latin itu bungkam seraya meraih kopi pesananya dan meneguk hingga tersisa setengah cangkir sebelum kembali menatap Taylor.
Selena menganggukkan kepala. "Baiklah, aku sangat mengerti."
"Aku akan menceritakan semuanya padamu, setelah aku berhasil menjelaskan semua kebingunganku. Aku berjanji."
*****
Liam Payne mengernyitkan dahi mendapati kedatangan seseorang yang sangat tak disangkanya akan datang, lagi. Dokter berusia 29 tahun itu melipat tangan di depan dada, memperhatikan seseorang yang tampak tengah melakukan panggilan dengan orang lain di hadapannya.
"Aku akan menghubungimu lagi nanti, aku janji. Aku sibuk sekarang. Sampai jumpa!"
Liam mengernyit saat orang itu mengakhiri panggilan tersebut dengan kesal dan meletakkan ponselnya di atas meja dengan bunyi yang cukup keras sebelum menatap Liam seraya berkata, "Apa orang ini tak akan pernah membiarkanku bersantai sedikit saja? Rasanya aku ingin menendang bokongnya ke neraka, kau tahu?"
Harry Styles. Pria itulah yang sekarang duduk di bangku tamu berhadapan dengan bangku kerja Liam. Tak mengerti, apa yang Harry inginkan dan kenapa tiba-tiba aktor 28 tahun ini datang ke ruangannya sambil melakukan panggilan dengan entah siapa.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Liam bertanya datar, matanya masih tak beralih dari Harry yang baru saja berhenti mengumpati seseorang yang tadi melakukan panggilan dengannya.
Harry mengernyitkan dahi. "Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau tak suka jika aku mengunjungimu? Kau tak merindukanku?"
Liam memutar bola matanya. "Sepertinya belum sebulan sejak terakhir kali kau ke sini."
Harry mengangkat dua jari dan dengan santai berkata, "Dua minggu. Sudah dua minggu aku tak menemuimu dan aku mulai merindukanmu. Makanya, aku langsung pergi ke sini setelah kembali dari Perth."
"Aku terkesan dan jijik di saat yang bersamaan." Liam mendesis dan Harry terkekeh geli melihat reaksi teman SMA-nya tersebut.
Liam melipat tangan di atas meja. "Dokter Selena memberitahuku tentang kau dan dokter Swift. Aku masih tak percaya jika kau dan dia saling mengenal."
Mendengar perkataan Liam, Harry diam sebelum menghela nafas dan menggelengkan kepala. "Kenapa membahas itu? Jangan sebut namanya, please. Hatiku masih sakit karenanya."
Liam mengernyit. "Bukankah kau ke sini karena ingin bertemu dengannya?"
Harry memejamkan mata perlahan dan kembali menggeleng. "Bukankah sudah kukatakan tadi? Aku ke sini karena ingin bertemu denganmu, karena aku merindukanmu."
Mata Liam melotot. "Jangan katakan karena ditolak olehnya, kau malah berpindah haluan! Kau membuatku takut sekarang." Liam memeluk dirinya sendiri dan Harry memutar bola matanya. "Aku masih suci, jangan nodai aku."
"Sekarang, kau yang terlihat sangat menjijikkan." Harry berkomentar seraya memasang ekspresi ingin muntah.
Liam tertawa dan meletakkan tangannya kembali ke atas meja. "Jadi, apa yang kau inginkan sekarang?"
"Aku hanya ingin menemuimu, Payne. Sudah itu saja."
Jawaban Harry membuat Liam menatap pemuda itu sinis. Liam menghela nafas. "Kau akan tambah patah hati jika berlama-lama di sini. Nanti sore, dokter Swift akan dijemput Zayn Malik dan mereka akan pulang bersama. Seperti sepasang suami istri."
Perkataan Liam benar-benar memberi pengaruh besar pada Harry. Ekspresi wajahnya langsung berubah datar dan dia menundukkan kepala, memejamkan mata.
Liam merasa bersalah. Dengan cepat Liam berkata, "Aku hanya bercanda. Aku tak pernah melihat mereka pulang bersama."
"Tak usah menghiburku." Komentar Harry terdengar sangat putus asa, tanpa semangat.
"Aku serius. Zayn beberapa kali datang, tapi tak lama. Dokter Swift juga tak pernah menjelaskan kepada siapapun tentang hubungan mereka. Semua mengira jika mereka berpacaran, tapi aku tak yakin. Dokter Swift pribadi yang sangat tertutup sejak dulu. Mungkin aku tak akan pernah tahu tentang hubungannya denganmu, jika kau tak datang dan menjelaskan semuanya." Liam berkata panjang lebar.
Harry tersenyum tipis. "Untuk apa dia menceritakan tentang hubungannya dah aku kepadamu, saat kami memang tak memiliki hubungan apapun?"
*****
"Terima kasih."
Taylor berkata kepada petugas keamanan rumah Zayn yang benar-benar megah. Butuh waktu dua jam sebelum akhirnya Taylor sampai di rumah Zayn. Taylor harus bertanya banyak orang, mengingat rumah megah ini berada di tempat yang sangat tidak terkenal.
Kaki Taylor melangkah melewati halaman yang cukup luas sebelum berhenti tepat di teras, depan pintu berwarna merah gelap dengan knop berbentuk unik. Huruf Z. Warna dinding rumahnya juga unik. Biru gelap, putih dan kuning keemasan.
Taylor menekan bel berulang kali sampai akhirnya pintu terbuka. Senyuman Taylor melebar saat mendapati Olivia-lah yang membukakan pintu, sedikit berjinjit mengingat letak knop yang cukup tinggi.
"Dokter Swift!"
Taylor menunduk, membiarkan Olivia melingkarkan lengannya pada leher gadis itu dan mengangkat tubuh ringan Olivia.
"Hei, apa kabar?" Tanya Taylor setelah berhasil mengangat Olivia dalam gendongannya.
Olivia tersenyum lebar. "Aku sangat sehat!"
Tak lama kemudian, tampak beberapa pelayan yang berjalan mendekat sebelum akhirnya berdiri tegak dan seakan memberi penghormatan kepada Taylor. Salah seorang pelayan berjalan mendekat sambil berkata, "Selamat datang di kediaman Malik, dokter Swift. Tuan Malik sudah menceritakan semuanya jadi, Anda bisa memeriksa kondisi nona muda Olivia di kamarnya. Ada dua pelayan yang kami tugaskan untuk membantumu, jikalau kau membutuhkan bantuan."
Taylor menatap satu per satu pelayan yang berdiri berbaris di hadapannya dengan...awkward. Taylor mengangguk dan tersenyum kepada pelayan yang berbicara dengannya tadi sambil menjawab, "Terima kasih. Aku akan langsung ke kamar Olivia kalau begitu."
Pelayan itu hendak mengambil alih untuk menggendong Olivia namun, Taylor buru-buru menggeleng dan berkata, "Biar aku yang menggendongnya."
Kamar Olivia berada di lantai dua, tak jauh dari tangga. Taylor tak mengerti kenapa kamar Olivia di lokasi yang cukup berbahaya ini. Dekat tangga dan Olivia masih berusia 4 tahun. Seharusnya dia masih satu kamar dengan orangtuanya ataupun memiliki kamar di lantai satu.
"Itu kamar Daddy." Olivia berkata sesampainya Taylor tepat di depan kamarnya, seraya menunjuk pintu di samping pintu kamar Olivia. Ada satu kamar lagi di samping kamar Zayn. Taylor menghela nafas dan tersenyum.
"Aku penasaran. Mungkin setelah memeriksa kondisimu, kau bisa menemaniku berkeliling?" Taylor bertanya dan Olivia menganggukan kepala.
Kemudian, Taylor membuka pintu kamar Olivia dan masuk ke dalamnya. Kamar Olivia benar-benar sangat berwarna-warni dengan dinding yang penuh gambar kartun.
"Daddy yang menggambar di dinding kamarku. Dinding kamar Daddy juga digambar olehnya." Olivia seakan dapat membaca pikiran Taylor saat dia melompat dari gendongan Taylor ke ranjang tidurnya yang berbentuk seperti keranjang bunga ukuran besar.
"Tunggu sebentar, aku ingin pergi ke toilet. Kau tahu di mana toilet-nya?" Taylor bertanya kepada Olivia. Kamar Olivia tidak memiliki toilet, sayangnya.
Olivia mengangguk cepat. "Dari kamar Daddy, lurus saja. Toilet yang berada paling ujung."
Taylor bergegas menuju ke pintu dan saat membuka pintu, Taylor mendapati dua pelayan berdiri di sana. Taylor tersenyum canggung dan hendak melangkah menuju ke arah yang Olivia maksud, tapi dua pelayan itu tiba-tiba menghalangi langkah Taylor.
"Eh, maaf. Aku hanya ingin ke toilet." Taylor berkata dan pelayan itu mengangguk.
"Maaf, dokter Swift. Toilet di sana sedang dalam proses perbaikan. Ada toilet di lantai satu, samping dapur jika kau mau."
Taylor mengernyit mendengar penjelasan pelayan itu. Aneh. Rumah sebesar ini dan toiletnya yang jarang.
Tak mau banyak berdebat, Taylor mengangguk dan segera menuruni tangga. Baru menuruni tiga anak tangga, Taylor menghentikan langkah saat mendengar suara benda jatuh yang cukup keras. Seperti gelas pecah.
"Lagi."
Taylor mendengar ucapan salah satu pelayan sebelum pelayan itu menghela nafas dan menatap Taylor yang masih diam dalam posisinya. Pelayan itu tersenyum sambil berkata, "Pasti kucing peliharaan Tuan Malik berulah. Dia selalu begitu."
Taylor memaksakan diri untuk tersenyum dan mengangguk sebelum menuruni tangga dengan cepat. Gadis itu memejamkan mata.
Aku bukan gadis bodoh yang tak menyadari adanya keanehan di sini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top