32

Chapter 32:
THE DAY

Taylor memejamkan mata sebelum menatap satu per satu tim yang menatap fokus kepadanya dan menganggukkan kepala. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan inilah waktunya.

Dengan cepat, Taylor mengenakan masker, sarung tangan dan pengaman lainnya sebelum mendekat ke ranjang di mana Olivia berbaring, memejamkan mata. Rekan tim-nya saat ini tampak mengikuti, mereka berdiri mengelilingi ranjang Olivia.

Taylor menatap wajah lugu Olivia yang sangat pucat. Seharian kemarin Taylor tak bertemu dengannya dan meminta dokter Evelyn untuk menggantikannya.  Taylor benar-benar merindukan gadis kecil ini dan sekarang, hidup Olivia berada tepat di tangannya.

Dokter itu memejamkan mata dan perkataan Zayn semalam muncul dalam benaknya.

"Kau harus menyelamatkan Olivia. Dia putriku, aku benar-benar tak tahu apa yang akan kulakukan jika aku kehilangannya. Cukup aku kehilangan Ibu kandung Olivia, aku tak ingin kehilangan Olivia."

Nafas Taylor menggebu-gebu saat gadis itu membuka mata. Semua mata tertuju padanya, tampak siap mendapat perintah dan Taylor mulai mengatur pernafasan sebelum berkata dengan senyuman tipis di balik masker yang dikenakannya.

"Ini operasi pertamaku, aku sudah meneliti tiap buku tentang aneurisma otak yang ada di perpustakaan. Aku juga sudah berkonsultasi dengan dokter-dokter senior lainnya. Untuk hari ini, aku mohon kerjasama kalian untuk mensukseskan operasi ini."

Para anggota tim Taylor mengangguk cepat dan lagi, suara Zayn muncul kembali dalam benak Taylor.

"Aku percaya padamu. Kau pasti akan menyelamatkan Olivia. Aku sangat mempercayaimu."

Taylor menggelengkan kepala mendengar suara Zayn dalam benaknya sebelum fokus dengan pisau dan gunting medis di tangannya. Gadis itu mengatur pernafasan lagi dan berkata penuh keyakinan.

"Operasi dimulai."

*****

Zayn Malik duduk di kursi tunggu tepat di depan ruang operasi dengan kaki gemetar, matanya terpejam dan dia menyatukan jari-jari tangan sambil tak berhenti berkata, "Tuhan selamatkan Olivia. Izinkan dia bertahan di sisiku."

Manajer Bratt yang baru tiba beberapa menit yang lalu tak berbuat banyak selain duduk di samping Zayn. Hatinya juga berdebar-debar. Memikirkan segala macam kemungkinan yang akan terjadi.

Manajer Bratt melirik sekilas Zayn dan memori lama mulai muncul dalam benaknya. Tepat beberapa bulan setelah Ibu dari Olivia dinyatakan meninggal dunia. Saat itu, statusnya masih menjadi seorang sahabat baik Zayn Malik yang belum terkenal.

"Aku tak tahu apakah aku bisa hidup tanpa Olivia atau tidak. Aku sangat kacau, Bratt. Apa kau tak menyadarinya? Aku tak kuat bertahan lebih lama."

Zayn memejamkan matanya yang sembab dan berkantung. Wajahnya sangat pucat dan Bratt tak tahu berapa banyak berat yang berkurang dari tubuhnya.

"Zayn, apa kau lupa jika kau mempunyai seorang putri bersama Olivia? Oh, tentu saja. Kau bahkan belum menengok putrimu sendiri. Hari ini tepat usianya yang ke satu bulan."

Zayn menggelengkan kepala. "Kau salah. Aku sudah melihatnya dan aku benar-benar ingin mati, Bratt. Bayi itu...matanya benar-benar membuat memori-memori indahku bersama Olivia berputar kembali. Aku tidak bisa seperti ini. Aku tidak kuat mengingat semuanya."

"Bratt."

Memori di pikiran manajer Bratt buyar ketika mendengar suara itu. Pria berusia pertengahan 30 tahun itu menoleh dan mendapati Zayn yang menatapnya dengan mata berair, kantung mata terlihat di sana.

"Apa aku salah mempercayai dokter itu untuk menyelamatkan Olivia?"

Zayn tiba-tiba bertanya dan manajer Bratt diam. Bratt menundukkan kepala dan memejamkan mata.

"Olivia benar-benar percaya padanya dan aku tak mengerti apa yang membuatnya sepercaya itu kepada seseorang yang bahkan—," Zayn menarik nafas dan menghelanya sebelum menyelesaikan, "—belum tentu percaya padanya seperti Olivia percaya padanya."

Bratt mengangkat wajahnya dan mendapati sahabatnya itu yang tersenyum tipis.

"Aku masih penasaran dengan alasan Olivia untuk mempercayai dokter itu. Jika dia gagal, aku bersumpah. Aku benar-benar tak akan memaafkannya. Atas segalanya."

Bratt menahan nafas saat melihat Zayn yang mengepalkan tangannya kuat.

Ini pertanda buruk.

****

"Bagaimana? Apa keadaan aman?"

Harry Styles bertanya kepada seseorang yang dihubunginya sambil menatap sekeliling sebelum menarik tudung yang dikenakannya agar lebih menutupi wajah tampannya.

"Kondisi cukup ramai di pintu masuk utara, timur dan barat. Satu-satunya yang cukup sepi adalah pintu selatan. Kau harus memutar posisi mobilmu saat ini 180 derajat dan mengikuti jalan."

Jawaban dari seseorang itu membuat Harry menghela nafas dan menganggukan kepala. "Pintu selatan aman? Aku akan berputar. Kau tunggu di sana."

"Baik, Mr. Styles. Aku akan menunggumu di sana."

Setelah itu, Harry mematikan panggilan dan menghela nafas. Pemuda itu melirik ke pintu masuk utara tempatnya berada sekarang. Harry tak mengerti kenapa cukup ramai di sana.

"Setahuku ini rumah sakit, bukan mall. Kenapa sangat ramai seperti ini?"

Harry bertanya sendiri sebelum mulai menyalakan mesin mobil taksi yang disewanya dan melajukannya sesuai intruksi salah satu orang kepercayaannya itu. Sahabatnya yang bekerja di rumah sakit, Liam Payne.

Tak butuh waktu lama, Harry tiba di pintu masuk yang Liam maksud. Harry memarkirkan mobil secara asal dan bergegas ke luar. Senyuman muncul di bibir pemuda itu saat mendapati sahabatnya berdiri di sana, mengenakan jas putih kedokterannya dan menatap Harry dengan bosan.

"Kau ini tak pernah berhenti menjadi menyebalkan, ya? Kau benar-benar membuatku harus meninggalkan beberapa pasienku hanya untuk menemuimu! Jika kau merindukanku, seharusnya kau mengatur pertemuan denganku, tidak datang tiba-tiha seperti ini!" Liam berkomentar panjang lebar ketika Harry sampai di hadapannya.

Harry terkekeh dan menepuk punggung Liam. "Rasa rinduku muncul tiba-tiba dan aku tak bisa menahannya. Itulah alasan kenapa aku langsung menuju ke sini."

Liam memutar bola matanya dan menatap Harry jijik. Tangan Liam menyingkirkan tangan Harry di pundaknya sambil berkata, "Kau membuatku takut sekarang, Styles."

Harry tertawa geli ketika melihat Liam yang melangkah memasuki rumah sakit. Harry mengikuti langkah kaki sahabatnya itu sambil menatap sekeliling.

"Ini sudah malam dan aku tak mengerti kenapa rumah sakit ini masih ramai." Harry berkomentar.

Liam menghela nafas. "Mungkin kau mengenal Zayn Malik? Dia berada di sini, tapi jangan beritahu siapa-siapa, okay? Dia sudah memiliki putri dan putrinya tengah dioperasi saat ini. Aneurisma otak."

Harry mengernyitkan dahi. "Ane—otak apa?"

Liam memicingkan mata kepada Harry. "Kau tak akan mengerti istilah-istilah kedokteran. Nilai biologimu sangat buruk saat SMA dulu."

Langkah Harry ikut terhenti saat Liam menghentikan langkahnya tepat di depan pintu dengan papan bertuliskan 'dokter Liam James Payne' yang tergantung dengan rapih.

"Kau tahu? Sebenarnya aku tak ke sini untuk menemuimu. Aku ingin bertemu seseorang, mungkin kau mengenalnya."

Perkataan Harry membuat Liam menghentikan niatan untuk membukakan pintu ruangannya. Pemuda itu menoleh dan Harry dengan santainya berjalan menatap satu per satu pintu ruangan di dekat ruangan Liam.

Senyuman Harry muncul dan langkahnya berhenti tepat di depan pintu ruangan, dua pintu sebelah kanan dari ruangan Liam. Liam diam dan Harry menoleh kepadanya dengan tangan yang menunjuk papan nama pintu di hadapannya tersebut.

"Aku di sini untuk menemuinya."

Liam membulatkan mata sebelum berjalan mendekati Harry dan menatap papan nama di pintu. "Dokter Swift? Kau mengenalnya?"

Harry terkekeh dan menyandarkan punggung pada dinding di samping pintu ruangan tersebut. "Apa dia ada di ruangannya sekarang? Atau dia sudah pulang?"

Liam memicingkan mata. "Apa kau mengenalnya?"

Harry menghela nafas. "Sangat baik. Aku sudah membuat janji dengannya."

Liam melipat tangan di depan dada. "Jika kau mengenalnya dan telah membuat janji dengannya, dia pasti mengabarimu jika malam ini dia harus melakukan salah satu operasi penting, kan? Kau ingat apa yang kukatakan tentang putri Zayn Malik? Dokter Swift yang bertanggung jawab penuh atas operasinya."

Harry diam sebelum menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sudah menunjukkan pukul 9 malam.

"Apa kau tahu kapan dia selesai?" Tanya Harry.

"Kenapa?" Liam bertanya balik.

Harry menghela nafas. "Aku harus pergi ke Australia jam 11 nanti. Aku ingin bertemu dengannya sebelum pergi."

Harry menundukkan kepala dan terus menatap jam tangannya dengan gelisah.

-----
Sapa yg kangen Haylor? Haylor momen-nya nanti dulu yaks wkwk
Ini tetep FF Haylor, kok. Tenang;)

Thanks yang udah baca :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top