28

Chapter 28:
OLIVIA

"Jadi, operasinya baru bisa dilaksanakan tiga hari lagi?"

Zayn bertanya memastikan setelah mendengar laporan panjang dari Taylor yang duduk berhadapan dengannya. Taylor mengangguk cepat dan menatap ke luar kaca tempatnya duduk.

"Aku membutuhkan banyak persiapan, begitupun dengan timku. Kami akan mengusahakan yang terbaik dan yang harus kau ketahui, ini adalah operasi anak kecil pertamaku."

Zayn menghela nafas dan mengangguk. "Aku sudah tahu. Ini akan menjadi operasi anak kecil pertamamu."

Satu alis Taylor terangkat saat mendapati ketenangan dalam cara Zayn berbicara. "Apa kau tak takut? Ini operasi anak kecil pertamaku. Bisa dikatakan, sebuah percobaan. Bisa gagal dan bisa berhasil. Masih belum terlambat jika kau ingin mencari dokter yang lebih profesional."

Zayn tersenyum tipis dan menggeleng sebelum meneguk kopi hitam hangatnya. Taylor hanya dapat menatap pria itu dengan heran. Sungguh, pria ini benar-benar menyerahkan nyawa anaknya di tangan Taylor, yang jelas-jelas masih tergolong baru untuk kasus yang satu ini. Apa dia gila? Apa dia sudah tak menginginkan keberadaan anaknya lagi?

"Ibu kandung Olivia adalah seorang dokter."

Tiba-tiba Zayn berkata, seraya meletakkan cangkir kopinya di atas meja dan iris karamel itu menatap Taylor lekat. Senyuman tipis muncul di bibirnya. "Kau benar-benar mirip dengannya."

Taylor mengernyit. "Kau ingin menyamakanku dengan istrimu itu?"

Zayn terkekeh dan menggeleng. "Dia bukan istriku. Dia teman baikku."

Taylor diam. Jadi, apa Zayn mencoba memberitahu jika Olivia adalah hasil dari kecerobohan yang pernah dia lakukan? Zayn menghamili teman baiknya sendiri?

"Nama Olivia kuambil dari namanya. Aku berharap, Olivia bisa tumbuh jauh seperti Ibunya, daripada harus sepertiku. Hidupku bukanlah hidup yang menyenangkan." Zayn mengaduk-aduk kopi hitamnya dengan sendok kecil.

Taylor menatap pria tampan itu sebelum kembali buka suara, "Di mana dia sekarang? Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan kau dan dia, tapi dia berhak tahu apa yang terjadi dengan putrinya."

Lagi, senyuman tipis muncul di bibir merah dengan sedikit kumis tepat di atasnya. Zayn mengernyitkan dahi menatap Taylor dan menjawab dengan sangat tenang, "Dia tahu semuanya dan mungkin, mulutnya tak bisa berhenti merutukiku karena tak bisa menjaga Olivia kecilku."

Taylor melipat tangan di atas meja. "Jika dia tahu, dia akan berada di sisi putrinya sampai dia sembuh. Bukankah dia juga seorang dokter? Kenapa tidak dia saja yang merawat Olivia? Itu akan jauh lebih mudah."

"Jika dia bisa, dia pasti akan melakukannya. Sayangnya, dia tak bisa." Zayn berkata sambil memejamkan mata sesaat, dan kembali membukanya seraya lanjut berkata, "Dia meninggal, tepat ketika Olivia lahir."

Zayn menatap lurus ke depan, Taylor menahan nafas mendengar kalimat terakhir yang Zayn ucapkan.

"Astaga. Maafkan aku. Aku sama sekali tak tahu. Maafkan aku. Aku tak bermaksud untuk—,"

Zayn menggeleng. "It's fine, dokter Swift. Tak masalah. Lagipula, itu sudah sangat lama dan aku sudah benar-benar move on."

Setelah itu, Taylor tak tahu harus bicara apalagi. Jika saja Zayn tidak memberitahu tentang Ibu Olivia, mungkin Taylor akan bertanya panjang lebar, tanpa merasa bersalah karena mau tak mau Zayn pasti akan membuka kembali lembaran lama yang sudah berusaha sebisa mungkin untuk dia lupakan. Sekarang Taylor merasa sangat bersalah.

Menit demi menit berlalu dan Zayn masih diam. Suasana seperti ini adalah suasana yang paling menyiksa. Taylor memejamkan mata. Jika dipikir-pikir, ini adalah kali pertama Taylor kembali pergi minum kopi bersama seorang pria, tepatnya sejak satu tahun lalu. Tapi pria yang menemani Taylor satu tahun lalu adalah pria spontan, yang selalu mempunyai bahan untuk dibicarakan. Apapun itu dan dia tak pernah membuat Taylor bosan.

Apa kau benar-benar melupakan janjimu, Harry?

Ingatan tentang Harry membuat Taylor bangkit berdiri dan menarik perhatian Zayn yang semula fokus dengan apa yang ada di pikirannya. Taylor tersenyum tipis.

"Aku harus kembali ke apartemenku. Sudah beberapa hari aku tidak pulang. Aku akan memeriksa Olivia lagi, besok pagi."

Zayn diam sejenak sebelum menganggukkan kepala. "Terima kasih, dokter. Sampai bertemu besok."

Taylor mengangguk dan melangkah menuju ke pintu ke luar kafe. Sesampainya di luar, dinginnya angin malam langsung menusuk kulit Taylor. Taylor hanya mengenakan kemeja tipis yang tentunya tak cukup dapat menjaga tubuhnya dari terpaan angin di pukul dua belas malam ini.

Dengan langkah tergesa-gesa, Taylor menuju ke tempat di mana mobil SUV-nya terparkir.

Dari dalam kafe, Zayn hanya dapat mengikuti tiap pergerakan dokter itu dengan wajah datarnya. Setelah memastikan Taylor sudah melajukan mobilnya menjauh, pria itu menundukkan kepala dan menghela nafas.

*****

Hei, apa kau masih terjaga? Sudah pukul 2 dini hari dan aku masih tidak bisa tidur. Aku harus bekerja besok. Aku bertanggungjawab penuh atas operasi gadis kecil itu. Apa kau tidak ingin memberikan semangat padaku? Jujur, aku takut. Bagaimana jika aku gagal? Pria itu menaruh terlalu besar harapan padaku.

Taylor mengirimkan pesan itu sebelum memutar posisi berbaringnya, menjadi menghadap ke kiri. Mata birunya menatap ke layar ponsel sejak beberapa saat lalu.

Taylor masih tak mengerti, apa yang dia lakukan saat ini. Jika dihitung-hitung, sudah ratusan pesan yang dia kirimkan untuk seseorang yang jangankan membalas, bahkan membaca pesannya saja tidak. Tapi Taylor yakin, pesannya sudah terkirim.

"Jika tahu begini, aku tak akan membiarkanmu masuk terlalu dalam. Seharusnya aku tak mengiyakan ajakan kencanmu. Seharusnya aku tak mengobatimu. Seharusnya...seharusnya aku tak mengenalmu." Taylor memejamkan mata, dadanya kembali terasa sesak jika mengingat tentang Harry.

"Seharusnya kau juga tak membuat janji kepadaku. Kau tahu sendiri, aku sangat mempercayaimu, orang yang bahkan tak begitu kukenal. Jika akhirnya akan seperti ini, aku tak akan memegang janjimu dan berharap terlalu banyak."

Yang selanjutnya terjadi, gadis berambut pirang itu tak bisa menahan air matanya untuk jatuh, kesekian kalinya.

*****

"What the fuck is this?!"

Harry Styles memukul meja keras, dengan nafas terengah-engah. Tangannya meremas kertas yang baru saja ditunjukkan sutradara Charles kepadanya. Beberapa orang yang duduk di sekitar mereka hanya dapat diam, menundukkan kepala.

Charles tersenyum tipis. "Harry, kau sudah menandatangani kontrak, di atas materai yang berarti sudah memiliki kekuatan hukum yang memikat. Kau harus melakukan apa yang ada di kontrak, termasuk yang berada di pasal sembilan."

Pasal sembilan kontrak itu menjelaskan tentang paska produksi film, mengenai promosi dan sangat tertera jelas jika segala macam bentuk promosi akan diikuti dengan baik.

"Tapi aku tak setuju dengan promosi murahan seperti ini! Apa-apaan?! Film kita juga sudah sangat mencapai kesuksesan! Apa itu tak cukup?!" Harry berkata keras, lagi-lagi semuanya diam.

Charles-lah satu-satunya yang berani menghadapi kemarahan Harry. "Kesuksesan film pertama tidak menjamin kesuksesan film kedua. Kau tahu sendiri, kita akan mulai syuting sekuel dari Double M. Salah satu cara untuk tetap menjaga kesuksesan film adalah dengan tetap membuatnya sebagai berita terhangat."

"Itu sama sekali tak ada hubungannya denganku!"

"Jika kau tidak melakukannya, kau tahu sendiri apa yang akan terjadi. Kau sudah menandatangani kontrak. Aku sudah membuat keputusan. Promosi yang akan kita gunakan adalah publicity stunt. Itu berarti, kau dan Cara-lah yang paling berperan."

Harry ingin menonjok Charles rasanya jika manajer Jill tidak menahan lengan pemuda itu sambil berbisik sangat pelan, "Jangan ada perlawanan, Harry. Untuk kali ini saja, turuti. Setelah itu, aku bersumpah, aku tak akan memberimu tawaran kerja sama dengannya. Ini yang terakhir. Maafkan aku."

Bukan Harry namanya jika tidak mudah luluh, apalagi pada seseorang yang berarti dalam hidupnya. Manajer Jill sudah sangat seperti kakak untuk Harry. Harry tak punya pilihan lain, selain menurut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top