25
Chapter 25:
ZAYN
Taylor menghela nafas saat melihat pemandangan di hadapannya. Hatinya menghangat, pemandangan di hadapannya saat ini mengingatkannya pada kenangan masa lalunya. Ketika dulu Taylor masih kecil dan jatuh sakit, kedua orangtuanya pasti akan tertidur pulas di dekatnya, menemani sampai keadaannya membaik.
Dulu, biasanya Ibu Taylor akan duduk di ranjang kosong di samping Taylor, menyalurkan kehangatan kepada putrinya sedangkan Ayah Taylor akan meraih kursi dan tertidur dalam posisi duduk, kepala terkulai di tepi ranjang.
Persis seperti yang dilihat Taylor saat ini. Gadis kecil yang sejak tadi Taylor tangani, masih tertidur pulas dan sang ayah yang baru datang dua jam lalu juga tampak tertidur dalam posisi duduk, menyandarkan kepala di tepi ranjang dengan satu tangan sebagai bantalan dan satu tangan lagi menggenggam tangan sang putri.
"Ternyata aslinya terlihat jauh lebih tampan, bukan? Aku tak pernah menyangka aku benar-benar dapat melihatnya sekarang."
Tersadar dari lamunannya, Taylor menoleh dan mendapati rekan kerjanya, dokter Evelyn tengah berdiri dengan posisi sama sepertinya. Taylor bersandar pada tiang pintu kanan dan dokter Evelyn bersandar pada tiang pintu kiri.
"Kau mengenalnya?" Taylor bertanya, mengangkat satu alis dan langsung membuat dokter Evelyn membulatkan matanya.
"Astaga, dokter Swift! Bagaimana mungkin aku tak mengenalnya? Lagipula, apa kau lupa? Aku selalu memainkan lagu-lagunya di mobil! Geez, sekarang aku mengerti kenapa dokter Hunt selalu melarangku untuk bergosip tentang selebritis."
Dokter Evelyn melipat tangan di depan dada dan Taylor terkekeh geli. "Tapi aku baru tahu jika gosip yang beredar itu benar." Evelyn kembali berkata, membuat Taylor menoleh kepadanya.
"Gosip apa?"
"Bahwa dia sudah memiliki anak. Aku tak menyangka, dia benar-benar sudah memiliki seorang anak. Padahal, dia jarang terlihat dengan gadis. Dia benar-benar selebrita dengan kepribadian yang terlalu tertutup."
Pandangan Taylor teralihkan kembali ke pemuda tampan tersebut, yang tampak tertidur pulas karena pastinya kelelahan.
Perbincangan Taylor dengannya tadi membuat kekesalan Taylor lenyap seketika. Awalnya Taylor kesal, kenapa pria itu sangat lama untuk datang ke rumah sakit, saat Taylor ingin membicarakan sesuatu yang penting. Apalagi ini menyangkut kesehatan putrinya.
Taylor memejamkan mata sekilas. "Aku akan kembali ke ruanganku, dokter Evelyn. Kau mendapat shift malam?" Taylor bertanya, melirik jam yang tergantung di ruang VIP anak tersebut. Sudah menunjukkan pukul 10 malam dan Taylor masih berada di rumah sakit.
Dokter Evelyn menegakkan tubuh dan mengangguk. "Ketua memintaku untuk menginventarisir semua obat-obatan yang datang jam satu nanti. Kuharap, aku tak akan salah hitung karena aku benar-benar mengantuk." Dokter Evelyn menguap dan berjalan mendahului Taylor, menjauhi ruang VIP anak yang terdiri dari beberapa ranjang. Tapi hanya ada satu ranjang yang di sini, hari ini. Tidak, justru Taylor selalu berharap jika ruangan ini kosong. Taylor paling tak tega jika harus mendapati seorang anak kecil yang sakit, apalagi sakit yang cukup parah.
Taylor melangkah ke luar ruangan dan merogoh saku jas putih, mengeluarkan ponsel dan langsung mengirimkan pesan untuk kontak yang dinamainya: Harry.
Aku masih ingat saat kau membatalkan kencan kita untuk menyelesaikan pekerjaanmu. Sekarang, aku mengerti. Aku mendapat pasien seorang putri dari penyanyi terkenal dan yeah, tak mudah hidup sebagai seorang yang terkenal. Kalian memiliki banyak aturan yang harus dilaksanakan, jika kalian ingin aman. Tapi aku mengerti.
PS: Mungkin kau mengenalnya.
PSS: Namanya Zane, kalau tidak salah.
Taylor mengirimkan pesan tersebut dan menghela nafas sebelum berjalan kembali menuju ke ruangannya. Ruangan yang juga Taylor jadikan sebagai tempat beristirahatnya ataupun rumah keduanya.
*****
"Aku benar-benar kesulitan, Mr. Styles. Tak ada satupun di klinik yang dapat berbicara banyak tentang dokter Swift. Sekalipun dengan temannya, dokter Selena dan suster Maggie. Keduanya bungkam dan malah memanggil petugas keamanan untuk mengusirku."
Harry memejamkan mata mendengar keterangan yang baru saja diberikan oleh seseorang yang telah dibayarnya sejak beberapa bulan belakangan, hanya untuk mencari tahu tentang gadis yang selama ini Harry cari. Dokter Swift.
"Sudahlah. Kalau seperti ini, aku akan turun tangan langsung. Minggu depan aku free dan pesankan hotel untukku di sana. Aku yang akan membujuk orang-orang di sana untuk bicara." Harry berkata pasrah.
"Mr. Styles, bukankah percuma jika kau ke sini? Maksudku, kau juga tahu jelas jika Miss. Swift berada di New York. Kenapa tak langsung mencarinya di New York? Aku punya teman yang bekerja untuk pemerintah, jika kau ingin tahu di mana dia bekerja. Bukankah semuanya terdata dengan jelas di pemerintah?"
Wajah lesu Harry tiba-tiba berubah drastis menjadi penuh semangat. "Holyshit. Sudah hampir 3 bulan kita melakukan pencarian dan kau baru memberitahuku sekarang? Astaga, Robert. Sungguh, apa kau tak tahu kau mempersulit segalanya?"
"Maafkan aku. Aku baru ingat saat dia menghubungiku tadi. Lagipula, kau memintaku untuk secara penuh mencari informasi di Nashville dan aku tak mendapat banyak informasi di sini, mengingat Miss. Swift pribadi yang cukup ramah, tapi tertutup juga."
Harry mengangguk, meskipun percuma. "Aku akan segera terbang ke New York. Kau hubungi temanmu dan pinta dia mencaritahu sesegera mungkin."
"Baik-baik, Mr. Styles."
"Terima kasih, Robert."
Harry langsung mengakhiri panggilan dan memasukkan ponselnya ke saku celana. Senyuman tak kunjung lenyap di bibirnya.
*****
"Kau sudah terlihat lebih baik dari kemarin, tapi jika kau ingin lebih baik lagi kau masih harus tinggal di sini beberapa hari ke depan." Taylor berkata kepada pasien ciliknya sambil melepaskan stetoskop yang semula digunakannya.
Gadis itu kecil tersenyum lebar dan mengangguk kepada Taylor sebelum menoleh kepada pria yang berdiri di sebelah kirinya, membelai lembut puncak kepala gadis itu.
"Asalkan Daddy menemaniku, tak apa."
Taylor ikut melirik pria yang tengah tersenyum dan menganggukkan kepala tersebut. Tatapan pria itu terlihat sangat tulus kepada sang putri, sementara tatapannya kepada orang lain terlihat sangat dingin dan datar.
"Aku akan menemanimu. Sampai kau sembuh. Setelah itu, kita akan berlibur di Jepang. Bertemu dengan Doraemon dan teman-temannya." Pria itu berkata dan Taylor menahan nafas saat tiba-tiba pria itu meliriknya, tajam dan penuh intimidasi.
Tatapan pria itu melekat pada Taylor sambil menegakkan tubuhnya dan berjalan seraya berkata, "Aku akan berbicara dengan dokter sebentar. Kau diam di sini, mengerti?"
Gadis kecil itu mengangguk. Si pria memberi isyarat agar Taylor mau mengikutinya ke luar. Taylor menurut dan mengikuti langkah kaki pria itu, ke luar ruangan.
Sesampainya di depan ruangan yang cukup sepi, mereka berhenti dan pria itu berbalik menatap Taylor.
"Bisakah kau temani dia sampai aku selesai? Ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan dan baby sitter-nya baru akan datang pukul satu siang." Pria itu melirik jam yang melingkar di tangannya, menunjukkan pukul sembilan pagi. "Masih empat jam lagi."
Taylor menghela nafas. "Pasienku bukan hanya putrimu saja."
"Aku akan bicara dengan atasanmu untuk membiarkanmu merawat secara penuh putriku sampai keadaannya membaik." Pria itu berkata cepat dan tegas.
Lagi, Taylor menghela nafas dan melipat tangan di depan dada. "Kau baru saja berjanji untuk menemaninya sampai sembuh. Apa kau tahu jika janji itu harus kau tepati?"
Pria itu memejamkan mata dan mengangguk. "Justru karena aku ingin menepati janjiku itu. Aku ingin mengawasi sampai dia sembuh, tapi aku tak bisa mengawasi secara penuh. Aku sudah menandatangani banyak kontrak pekerjaan. Di atas materai. Kau mengerti ke arah mana aku bicara, bukan?"
Perkataan pria itu membuat pikiran Taylor langsung beralih pada seseorang. Selebritis dan kontrak sialan yang mengikat mereka. Kontrak sialan yang memperkecil kebebasan mereka. Ah, ya. Pekerjaan sialan juga yang tak memberi mereka ruang untuk kehidupan pribadi, tanpa ada sangkut pautnya dengan media.
"Kau tahu nomorku, kan, dokter Swift? Hubungi aku jika terjadi sesuatu dan kuharap kau akan segera menjawab pesan-pesan yang kukirimkan. Aku sudah menyimpan nomormu sejak kemarin." Pria itu berkata sambil mengeluarkan ponselnya.
Taylor ikut mengeluarkan ponsel dan melihat riwayat panggilannya. Taylor menekan nomor yang didapatnya dari baby sitter si gadis kecil dan menyimpannya dalam kontak.
"Aku akan menyimpan nomormu, Mr. Zane—,"
"Namaku Zayn. Z-A-Y-N. Eja dengan benar, dokter Swift. Tapi aku mengerti. Bukan kau orang pertama yang salah mengeja namaku." Pria itu memperbaiki ucapan Taylor dengan cepat.
Taylor mengangguk. "Baik-baik. Aku sudah menyimpan nomormu, Mr. Zayn Malik, benar?"
Pria itu mengangguk dan tersenyum tipis. "Aku akan menemui atasanmu. Di mana dia sekarang?"
"Tak jauh dari resepsionis, kau akan melihat pintu dengan papan nama bertuliskan Ketua. Meskipun, mungkin saja Ketua akan menyarankan dokter yang lebih profesional dariku. Aku baru beberapa tahun menjadi dokter."
Zayn menggeleng. "Tidak, aku akan meminta agar tetap kau yang merawat putriku sampai dia sembuh. Aku akan menemuinya sekarang. Bisa kau temani Olive—by the way, nama putriku Olivia, Olivia Malik—sekarang? Katakan padanya jika aku segera kembali. Terima kasih sebelumnya."
"Aku akan menemaninya sekarang dan tak perlu berterima kasih."
Taylor berbalik dan melangkah memasuki ruangan lagi, sementara Zayn menghela nafas dan berjalan menuju ruang Ketua rumah sakit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top