24
Chapter 24:
ONE YEAR LATER
Hey, what's up there? It's been a year since the last time I saw you, exactly one year. I keep your promise and I still owe you a date, don't I?
Taylor mengirimkan pesan itu sambil menatap hampa layar ponselnya. Gadis itu menarik nafas dan menghelanya perlahan. Angin menghembuskan rambut pirang yang telah dipotongnya menjadi sebahu sejak beberapa bulan lalu, setelah dia memutuskan untuk membuka lembaran baru, meski belum menyudahi lembaran lama yang bahkan tak memiliki lembaran pembuka.
Sudah satu tahun berlalu sejak perpisahan Taylor dan Harry di bandara Nashville. Satu bulan setelah itu, Taylor masih berkirim pesan dengan Harry. Harry selalu menghibur dikala Taylor letih dan jenuh. Harry selalu dapat membuatnya tertawa. Harry selalu dapat membuat Taylor tersenyum dan lebih bersemangat dalam melakukan sesuatu.
Semuanya hanya bertahan selama kurang lebih satu bulan, sebelum semuanya terasa sia-sia. Taylor tak pernah merasa memiliki kesalahan, sekalipun Taylor memiliki kesalahan, Taylor pasti akan tahu di mana letak kesalahannya. Taylor juga tak akan malu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya.
Tapi kenapa Harry menghilang begitu saja, tanpa menjelaskan apa kesalahan yang telah Taylor perbuat sehingga pemuda itu menjauh darinya? Kenapa harus menghilang tiba-tiba, tanpa berpamitan dan menyelesaikan apa yang telah dimulainya dengan cara yang baik?
Sampai detik ini, Taylor terus mengirimi pesan kepada Harry, memberi kabar pada pemuda itu meski sudah sejak lebih dari sepuluh bulan lamanya pesan-pesan Taylor hanya terkirim, tanpa dibaca oleh aktor yang belum lama ini baru saja merilis film yang mengambil lokasi syuting di Nashville. Proses pembuatan film itu yang mempertemukan Taylor dan Harry.
Taylor tersenyum tipis seraya menyingkap rambut pendeknya ke belakang telinga. Inilah yang Taylor lakukan tiap sore, sebelum pulang dari tugasnya. Duduk di bangku taman belakang rumah sakit, bangku yang berada tepat di bawah pohon besar yang sangat rindang. Hampir semua karyawan di rumah sakit tahu kebiasaan dokter mereka yang satu ini.
"Dokter Swift!"
Taylor segera mencari sumber suara yang meneriakkan namanya. Taylor bangkit dari bangkunya saat mendapati seorang suster menatapnya dengan cemas sambil berkata, "Seorang gadis kecil pingsan setelah mengeluarkan busa dari mulutnya dan kejang-kejang."
Mendengar laporan suster itu, Taylor berjalan cepat menjauhi bangku taman kesukaannya masuk ke dalam rumah sakit dengan suster yang berlari kecil mencoba mengimbangi langkah kakinya dengan Taylor.
"Di mana dia? Bagaimana keadaannya?" Taylor bertanya sambil mempercepat langkah kaki.
"Ruang UGD, dokter. Denyut nadinya melemah. Kami takut akan melakukan kesalahan jika melakukan tindakan tanpa didampingi seorang dokter. Dokter Payne sedang berada di ruang VIP, melakukan pemeriksaan rutin."
Selesai menjelaskan, langkah kaki suster itu berhenti saat Taylor menghentikan langkah tepat di depan ruang UGD.
"Suster, tolong ambil buku catatan di ruanganku dan bawa ke sini. Segera."
Perintah Taylor langsung dilaksanakan oleh suster itu sementara Taylor langsung membuka pintu ruangan dan mendapati beberapa perawat yang tengah mengerumuni suatu ranjang. Ada juga seorang wanita berpakaian baby sitter yang berjongkok, tampak menangis terisak.
"Apa yang kalian lakukan?! Kenapa kalian tidak langsung menolongnya?!" Perkataan Taylor yang tengah mengenakan stetoskop dengan cepat membuat para perawat menyingkir, menjauh dari ranjang. Mereka membiarkan Taylor melaksanakan tugas, meski masih menatap gadis kecil yang tak sadarkan diri di ranjang itu.
*****
"Untuk kesuksesan Double M!"
Semuanya kru dan pemain bersorak sambil bersulang merayakan kesuksesan film yang telah mereka garap sejak satu tahun lalu. Baru satu minggu sejak penayangan perdana, film Double M sudah menjual lebih dari lima juta tiket di seluruh dunia. Itu adalah pencapaian yang luar biasa.
Bahkan hashtag Double M, Harry Styles, Cara Delevingne serta Hara membanjiri akun sosial media sejenis twitter, instagram dan facebook. Semua merayakan kesuksesan film Double M, yang tentunya berkat chemistry antara sang pemeran utama, Harry Styles dan Cara Delevingne.
Tapi kesuksesan film itu tak membuat Harry cukup senang. Bukan berarti Harry menginginkan filmnya itu tak laku di pasaran. Tapi film ini benar-benar...entahlah. Harry sulit menjelaskan apa yang ingin diungkapkannya.
Berawal dari proses syuting selama lebih dari dua bulan di Nashville. Proses syuting yang sebenarnya sama saja seperti proses syuting lainnya, tapi hal-hal yang dilalui oleh Harry selama proses syuting ataupun di luar proses syutinglah yang paling berkesan.
Jatuh dari pohon yang menguntungkan. Untuk pertama kalinya, Harry merasa senang setelah mendapat musibah yang membuatnya harus beristirahat selama seminggu. Tapi yang membuat Harry paling senang adalah musibah itu yang mempertemukannya dengan gadis yang masih berada di pikirannya saat ini. Gadis cantik berambut pirang dengan iris biru tak terlupakan.
Harry menundukkan kepala, menatap layar ponsel dengan datar saat yang lain sibuk mengobrol, mengulang memori mereka selama masa syuting di Nashville. Harry menghela nafas dan saat itu pula, Cara menyadari kegelisahan rekannya tersebut. Cara juga duduk tepat di samping Harry.
"Masih belum ketemu?"
Pertanyaan Cara hanya ditanggapi Harry dengan gelengan kepala. "Sudah hampir satu tahun dan tak ada jejak sampai sekarang. Padahal, tiap hari aku menghubungi nomorku dan nomorku masih aktif. Tapi kenapa sulit untuk melacaknya?" Harry menghela nafas pasrah.
Cara mengelus lembut pundak Harry, menyalurkan ketenangan pada pemuda berusia 28 tahun itu.
"Jika ponsel itu ditakdirkan untuk menjadi milikmu, itu akan kembali, entah kapan. Memangnya seberapa penting ponselmu itu? Lagipula, jika dibandingkan dengan ponsel yang kau pegang sekarang, itu tak berarti apapun."
Harry mengangkat wajah, menatap gadis di sampingnya dengan tajam. "Bukan ponselnya yang aku cemaskan, tapi satu kontak yang ada di sana. Aku tak peduli jika dia mengambil ponselku ataupun nomorku. Aku hanya ingin dia memberiku salah satu kontak yang ada di sana. Itu sangat penting."
Cara mengangkat satu alis. "Satu kontak? Jika itu penting, kau bisa langsung meminta kepada si pemilik, tanpa harus mati-matian mencari cara menemukan ponselmu itu."
Harry menggeleng. "Sudah kukatakan, kau tak akan mengerti, Cara. Aku membutuhkan nomor itu untuk dapat bertemu dengan pemiliknya. Hanya itu satu-satunya yang kumiliki untuk bertemu dengan pemiliknya, lagi."
Melihat kegelisahan di wajah Harry, Cara mulai memahami apa yang Harry maksud. Cara benar-benar menyadari perubahan sikap Harry sejak beberapa bulan lalu. Cara tak lagi melihat Harry yang ceria, atau gemar menggodanya. Yang dilihatnya adalah Harry yang selalu terlihat cemas, menyendiri. Seakan tak bisa mengeluarkan sebuah beban dalam pikirannya.
"Sudah meminta bantuan teman-temannya? Maksudku, kau hanya tinggal meminta teman-temannya untuk memberi informasi tentangnya. Mudah, kan?"
Harry memejamkan mata. "Teman-temannya bungkam, aku sudah menemui yang kukenal dan semuanya bungkam. Tak ada yang ingin memberitahuku, meskipun aku berlutut di hadapan mereka. Aku berusaha melacak, dengan bantuan banyak orang, tapi tak ada yang memberiku informasi konkrit. Semuanya bualan."
Cara tak tahu harus berbuat apa untuk menghibur kegundahan Harry.
*****
"Aku perlu berbicara dengan orangtua ataupun walinya langsung."
Taylor menghela nafas seraya memasukkan tangannya ke saku jas putih, menatap ke arah baby sitter gadis berusia 4 tahun yang belum lama memejamkan mata, tertidur pulas. Berkat obat bius juga, sebenarnya.
Baby sitter itu mengangkat satu alisnya. "Apa dia baik-baik saja?"
Taylor menggeleng dan beralih menatap gadis cilik itu. Gadis yang cantik dan masih polos. Taylor masih tak mengerti, ke mana orangtua gadis ini? Kenapa mereka lama sekali datang? Sudah hampir 3 jam berlalu sejak gadis ini dilarikan ke rumah sakit.
"Maafkan aku, aku tak bisa memberitahu keadaan pasien kepada orang lain, selain orangtua ataupun walinya."
Si baby sitter menghela nafas dan menatap kembali layar ponsel yang berada di genggaman tangannya. "Aku sudah menghubungi Ayah-nya, tapi sepertinya dia belum selesai dengan pekerjaannya."
"Orangtua macam apa yang lebih mementingkan pekerjaan daripada putrinya sendiri?! Berikan nomornya kepadaku, aku akan menghubunginya sekarang." Taylor langsung meraih ponsel si baby sitter dengan tangan kanan sementara tangan kirimya digunakan untuk meraih ponselnya sendiri di saku jas.
Taylor menghubungi Ayah si gadis cilik dengan ponselnya. Gadis berusia 27 tahun itu menunggu, sampai akhirnya terdengar suara jawaban dari pemilik nomor ponsel.
"Halo?"
"Selamat sore. Aku dokter Swift dari Rumah Sakit Internasional New York dan ak—,"
Perkataan Taylor terpotong dan perhatiannya teralih ketika pintu ruangan tiba-tiba terbuka, menampilkan seorang pria tampan dengan ponsel yang ditempelkan ke telinganya.
"Aku sudah di sini, dokter."
Taylor menahan nafas dan menjauhkan ponsel dari telinganya. Gadis itu mengakhiri panggilan dan memasukkan ponsel ke jas kedokterannya sebelum berjalan mendekati pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan, bersama pria lainnya.
"Kau ayah gadis kecil itu?" Tanya Taylor.
Pria itu mengangguk dan mengalihkan perhatiannya ke gadis kecil yang berbaring lemas di atas dan ranjang rumah sakit.
"Apa yang terja—,"
"Ikut aku ke ruanganku. Aku akan menjelaskan semuanya."
Taylor berjalan ke luar dari ruang UGD dengan cepat. Pria tampan itu menghela nafas sebelum berbalik dan mengikuti langkah kaki dokter tersebut.
----
Maap makin gaje. Thanks udah baca :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top