23

Chapter 23:
FAREWELL

Taylor menghela nafas dan lagi, dadanya mulai sesak. Jam tangan karet berwarna merah yang melekat erat di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 6.48. Ini waktu yang sudah sangat mepet untuk menunggu seseorang datang. Taylor tak mengerti kenapa dia masih menunggu. Taylor hanya...ingin menunggunya datang. Mungkin ini akan menjadi kali terakhir mereka bertatap muka secara langsung, sebagai seseorang yang saling mengenal. Entah apa yang terjadi setelahnya.

Lima menit berlalu dengan cepat dan orang yang Taylor tunggu tak kunjung datang. Tak ada yang mengantar Taylor ke bandara, karena Taylor meminta mereka untuk tak mengantar. Selena dan suster Maggie bersikekeuh ingin mengantar, tapi Taylor tak mengizinkan. Keduanya mendapat shift malam dan baru pulang pukul 7 pagi nanti. Beberapa menit lagi, tapi tentu saja itu tak cukup.

Lagi, Taylor melirik jam yang berada di pergelangan tangannya sebelum menghela nafas dan berjalan meraih tas ranselnya. Taylor mengenakan tas ransel itu dan melangkah ke luar dari apartemen yang akan berakhir masa sewanya minggu depan. Sayangnya, Taylor tak berkesempatan menghabiskan masa sewa itu.

Sebelum ke luar dari apartemennya, Taylor sempat melirik sekali lagi tempat tinggalnya selama tiga bulan belakangan. Gadis itu tersenyum tipis sambil berkata, "Terima kasih. Aku akan merindukanmu. Selamat tinggal."

Gadis berambut pirang itu benar-benar ke luar dari apartemen, menutup pintu dan berjalan pergi.

*****

Harry Styles berlari cepat menaiki tangga, sebelum sampai tepat di depan pintu dengan nomor 435 yang terpahat pada permukaannya. Harry mengetuk pintu berulang kali seraya mengatur pernafasan.

"Taylor! Kau masih di dalam? Aku datang! Maafkan aku, sedikit terlambat!"

Harry berteriak. Tak perlu cemas jika berteriak di area apartemen ini yang setiap kamarnya memiliki dinding kedap suara.

Tapi apa yang Harry lakukan jelas cukup mencolok para petugas yang kebetulan tengah bertugas untuk melakukan pengecekan tiap ruangan di apartemen.

Beberapa petugas mendekati Harry dan Harry menghentikan kegiatan mengetuk pintu serta berteriaknya.

"Sir, kau tidak bisa mengetuk pintu sembarangan. Lagipula, apa kau memiliki surat izin masuk?" Salah satu petugas bertanya, membuat Harry menatapnya tajam.

"Kau tahu ke mana perginya gadis di kamar ini? Dia seorang dokter. Dokter Swift! Apa dia sudah berangkat atau...," Harry melirik cepat jam yang melingkar di tangan kanannya. "Holyfuck! Dia pasti sudah di bandara!"

Tanpa berkata-kata lagi, Harry berbalik dan berlari kembali menuruni tangga menuju ke parkiran, mengabaikan banyak orang yang memperhatikannya.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lima belas. Harry tak punya waktu banyak. Perjalanan ke bandara memang tak jauh, tapi jalanan yang padat rayap akan menjadi penghalang utama. Sialan! Cepatlah! Tak tahu, sudah berapa kali Harry mengumpat.

Harry melajukan mobilnya seperti orang kesetanan. Seharusnya dia tak terlambat. Seharusnya dia bisa menemui Taylor di apartemennya, beberapa jam sebelum dia berangkat. Atau bahkan, seharusnya Harry menghabiskan malam bersama Taylor.

Harry menggertakkan gigi-giginya seraya menekan keras klakson saat dia harus menekan pedal rem tiba-tiba akibat sebuah mobil yang memperlambat laju mobil untuk dapat memutar balik.

Setelah itu, Harry menekan pedal gas dan melajukan mobil secepat mungkin hingga sampai tepat di halaman parkir bandara. Harry ke luar dari mobil dan langsung berlari memasuki bandara, menatap ke kanan-kiri berharap menemukan seseorang yang dia cari.

Beberapa orang menatapnya, Harry tak peduli. Fokus Harry saat ini hanya satu: mencari keberadaan Taylor. Harry menatap jam yang tergantung di dinding salazar bandara. Sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

Harry menghentikan langkahnya, berdiri di tengah ratusan orang yang lalu-lalang. Pemuda itu menghela nafas dan merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel dan melebarkan mata saat mendapati sebuah pesan masuk di sana. Pesan masuk dari seseorang yang sedari tadi dicarinya.

Jangan bergerak. Arah jam 8 posisimu sekarang.

Harry buru-buru mengikuti pesan tersebut dan tersenyum tipis saat mendapati seseorang yang sedari tadi dicarinya tengah melambai kepadanya. Harry memejamkan mata dan berjalan lebih mendekat, hingga jarak mereka menipis.

Meski tetap tak bisa menyentuh. Harry berdiri beberapa centimeter berhadapan dengan Taylor yang sudah melewati pemeriksaan. Harry tak akan bisa lebih dekat lagi. Jangankan dekat, mendengar suara gadis itu pun tak bisa. Harry tak bisa melewati pemeriksaan itu.

Kenapa rasanya sesak?

Harry memejamkan mata dan menundukkan kepala dan bersamaan dengan itu, ponsel Harry bergetar. Harry menatap layar ponselnya sebelum mendongakkan kepala, menatap Taylor yang tersenyum dengan ponsel yang di dekatkan di telinganya.

Tangan Harry menerima panggilan itu dan mendekatkan ponsel ke telinga, dengan mata yang hanya terfokus pada satu titik: mata biru gadis pirang di hadapannya.

"Terima kasih sudah datang."

Harry tersenyum tipis dan menggeleng. "Kenapa kau berterima kasih? Aku sudah sangat terlambat."

"Memang sangat terlambat, tapi setidaknya kau masih mendapat kepercayaan dariku. Saat kemarin kau membatalkan kencan kita begitu saja...aku berpikir jika aku bodoh karena langsung percaya padamu. Tapi kau menghubungiku dan menjelaskan segalanya. Lalu, kau membuat janji lagi, untuk menemuiku sebelum aku pergi ke New York. Saat kau membuat janji itu, kau harus tahu jika itu adalah kesempatan terakhirmu untuk mendapatkan kepercayaanku."

Harry menahan nafas mendengar ucapan panjang Taylor, matanya masih tak beralih sedikitpun. Harry masih dapat melihat jelas saat Taylor tersenyum tipis kepadanya sebelum berkata, "Terima kasih sudah benar-benar menepati janjimu. Terima kasih sudah menemuiku, meski aku tak tahu apakah ini akan menjadi kali terakh—,"

"Kau percaya padaku, kan? Kalau begitu, pegang janjiku yang satu ini: Aku akan menemuimu lagi. Ini tidak akan menjadi pertemuan terakhir kita." Harry memotong ucapan Taylor dengan cepat, membuat senyuman Taylor kembali merekah.

"Kau masih berhutang kencan denganku, dokter Swift. Kau tidak bisa mati dengan tenang sebelum melunasi hutangmu." Harry menambahkan dan dia dapat melihat Taylor yang terkekeh geli dari ruangan itu, sebelum kembali menatapnya.

Harry tersenyum. "Kau juga tidak akan bisa pergi tanpa memeluk dan menciumku, dokter. Setidaknya, itu yang dilakukan pasangan dalam film."

"Pasangan. Kau harus menggaris bawahi kata itu. Seingatku, kau dan aku bukan pasangan." Taylor mengangkat satu alis, tersenyum menantang. "Jika pun kau ingin pelukan atau ciuman, bagaimana caranya? Aku tak bisa ke luar dan kau tak bisa masuk."

"Apa kau akan benar-benar memeluk dan menciumku jika aku bisa masuk?" Harry menantang dan saat itu pula, pengumuman yang menandakan jika penerbangan ke New York akan segera berangkat dalam beberapa menit. Perhatian Taylor beralih kepada speaker pengumuman itu dan orang-orang yang mulai berhamburan melewatinya.

Taylor terkekeh sebelum menghela nafas dan menundukkan kepala. "Kau hanya punya waktu beberapa menit." Taylor berkata dan mengangkat wajah, mengernyit saat tak mendapati Harry di posisinya semula.

"Berikan aku pelukan dan ciuman sekarang. Durasinya tak banyak."

Taylor terlonjak mendengar suara itu yang sangat dekat. Saat gadis itu berbalik, dia sudah mendapati Harry di hadapannya, dengan senyuman lebar si bibirnya.

"Ba—bagaimana ka—kau—,"

Belum sempat Taylor menyelesaikan pertanyaannya, Harry sudah memeluk Taylor erat, memejamkan mata saat hidungnya dapat mencium wangi buah-buahan yang menguar dari rambut pirang Taylor. Wangi yang tak akan pernah bisa Harry lupakan.

Harry menyandarkan dagunya di bahu gadis itu, sungguh Harry tak peduli dengan tatapan banyak orang yang mengenalinya. Yang ada di pikiran Harry saat ini adalah gadis yang berada di pelukannya.

"Jangan pernah pergi ke kelab malam lagi. Jika mabuk adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalahmu, jangan pernah mabuk di luar. Minumlah alkohol di dalam rumah. Jangan juga mengajak orang lain apalagi pria untuk mabuk bersamamu." Harry berkata panjang lebar, mengeratkan pelukannya. Taylor terkekeh geli dalam pelukan Harry.

Harry diam sejenak dan melanjutkan, "Jangan bekerja terlalu keras. Aku tahu kau dokter dan kau memiliki tanggung jawab yang besar. Tapi bukan berarti kau juga tak bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Makan dan beristirahatlah dengan teratur."

Taylor menahan tawa. "Kau benar-benar terdengar seperti Ibuku."

Harry memejamkan mata. "Dalam sehari, minimal kau harus memberi kabar tiga kali kepadaku dan jangan pernah mengabaikan panggilan dan pesan dariku." Harry lanjut berpesan dan Taylor menahan nafas.

"Ini pesanku yang terakhir dan paling penting. Kau harus ingat jika kau adalah gadis paling beruntung sedunia karena pria paling tampan sejagat raya sudah berjanji akan menemuimu dan membuat jelas segalanya. Jadi, kau juga harus berjanji untuk setia menunggu karena memang tak ada yang jauh lebih tampan dan menarik dari pria itu."

Kali ini, Taylor benar-benar tertawa dalam pelukan Harry. Harry tersenyum mendengar tawa Taylor sebelum melonggarkan pelukannya sambil berkata, "Kau bisa pergi sekarang. Hubungi aku saat kau sampai."

Belum sempat Harry benar-benar melepas pelukannya, secara mengejutkan giliran Taylor yang memeluk Harry, melingkarkan lengannya di tubuh kekar pemuda itu. Erat.

"Jangan pernah temui aku dalam keadaan sakit, lagi. Sakit apapun itu. Temui aku dalam keadaan sehat." Harry tersenyum tipis mendengar perkataan Taylor.

Taylor memejamkan mata. "Makan dan istirahatlah dengan teratur juga. Berhenti mengkonsumsi junkfood dan berhentilah berpesta minuman keras dengan teman-teman priamu. Kesehatanmu tetap yang utama." Harry terkekeh geli.

Taylor membuka mata dan menggembungkan pipinya. "Aku tahu, kau jelas menyadari jika kau tampan dan akan selalu menjadi pusat perhatian wanita. Oleh karena itu, jangan pernah bersikap berlebihan. Jangan genit dan terlalu ramah pada wanita-wanita itu. Kau tak akan mendapat pacar jika sikap terlalu ramahmu itu tak juga lenyap."

Taylor menghela nafas dan melepas pelukannya. Mata biru itu menatap tajam mata hijau Harry sebelum lanjut berkata, "Kau juga harus tahu, kau berjanji untuk menemuiku. Janji adalah hutang. Kau berhutang padaku dan kau tak akan bisa mati dengan tenang sebelum hutangmu lunas."

Harry tertawa geli sebelum menggerakkan tangan dan mengacak-acak rambut Taylor, membuat gadis itu mendengus kesal.

Pengumuman kembali berbunyi, membuat Taylor dan Harry diam. Merutuk pengumuman itu.

"Pergilah sebelum aku menahanmu untuk pergi." Harry berkata, mengerucutkan bibir.

"Kau mengancamku atau mengusirku?" Taylor memutar bola mata.

Harry menghela nafas. "Sudah sana pergi sebelum pikiran jahatku terealisasi. Kau tahu? Aku berpikir untuk menculikmu dan mengurungmu selamanya di kamarku."

"Nah, itu tidak akan terjadi. Aku pergi. Selamat ting—,"

"Sampai jumpa lagi, dokter Swift." Harry memotong cepat ucapan Taylor, membuat Taylor tersenyum sebelum berbalik dan berjalan menjauh.

Meninggalkan Harry yang menatap punggung gadis itu dengan dada sesak.

I wish we had more time for both of us.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top