19

Chapter 19:
REPLACED DOCTOR

Senyuman tipis muncul di bibir Harry saat merasakan pundaknya yang terbebani sesuatu. Saat Harry menoleh, hidungnya sudah menangkap bau segar stroberi yang menguat dari rambut pirang panjang sang dokter yang menantangnya untuk menonton DVD horor, tapi dia sendiri yang ketakutan dan dia pula yang menantang untuk terjaga semalaman suntuk, tapi dia malah tertidur pulas di bahu Harry sekarang.

Harry melirik jam yang tergantung di dinding kamar Taylor, sudah menunjukkan pukul 11 malam. Woah. Harry tak percaya jika dia sudah menghabiskan lebih dari dua belas jam bersama gadis ini, melakukan hal-hal sederhana, tapi tak ingin segera Harry akhiri.

Makan siang mereka tadi berlangsung cukup lama. Bukan makan yang lama, tapi mereka terus berargumentasi tentang banyak hal. Banyak hal yang seringkali membuat Harry meringis. Pasalnya, Taylor adalah seorang dokter. Pendidikannya tinggi dan dia pastinya cerdas. Dari caranya bicara saja, sudah sangat kentara seberapa cerdas gadis itu dan benar-benar membuat Harry memutar otak harus mencari bahan percakapan ringan yang membuat Harry tak terlihat bodoh. Harry tidak bodoh. Dia juga seorang sarjana. Sarjana ekonomi bisnis. Tapi gelar sarjana itu bukan berarti apa-apa untuknya. Menjadi aktor tak membutuhkan gelar itu.

Setelah makan, mereka pergi ke apartemen Taylor untuk menonton film dan Harry mengerti kenapa gadis ini tak mengenalinya di awal mereka bertemu. Semua DVD yang ada di sini adalah DVD film tahun 90an. Satu-satunya film tahun 2000an adalah film The Giver yang menurut Harry tak menarik. Selera film gadis ini sangat aneh.

Harry bergerak, mencoba bangkit berdiri setelah menahan tubuh Taylor agar tak terkulai kasar. Setelah berhasil berdiri, Harry menyandarkan kepala Taylor di atas sofa yang sudah terlebih dahulu Harry berikan bantal untuk membuat kepala Taylor nyaman.

"Lehermu bisa sakit jika tertidur dalam posisi tadi, meskipun aku menyukainya."

Harry berkata pelan, membungkuk memperhatikan wajah tertidur Taylor dengan senyuman di bibir. Harry menggerakkan tangannya, menyingkirkan helai rambut yang jatuh di wajah cantik dokter itu. Tak sampai di sana, Harry bahkan mengelus pipi kiri Taylor dengan lembut.

"Hari ini adalah salah satu hari terbaik dalam hidupku. Aku akan mengingatnya baik-baik."

Ponsel Harry tiba-tiba bergetar. Harry merogoh saku celananya dan meraih ponsel itu, mendapati panggilan masuk dari manajernya, Jill. Harry lupa. Dia tak bilang apapun kepada manajer Jill. Harry segera mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

"Harry! Astaga! Di mana kau sekarang?! Apa kau lupa kau harus mulai syuting pukul enam pagi?! Ke mana saja kau sedari tadi?! Kenapa tidak mengangkat panggilan dariku dan tidak membalas pesanku?!"

Setelah dapat memastikan manajer Jill selesai dengan semua pertanyaannya, Harry baru menjawab, "Aku sibuk, manajer Jill."

"Sibuk apa?! Kau bahkan hanya mendapat dua adegan hari ini dan setelah menyelesaikannya, kau pergi begitu saja tanpa mengatakan pada siapapun ke mana kau pergi! Harry, urusanmu di Nashville hanya untuk syuting film terbarumu!"

Harry terkekeh geli. "Kau sungguh-sungguh punya kekuatan untuk mengomel di malam hari seperti ini? Aku terkesan."

"Di mana kau sekarang?!"

"Aku akan kembali ke hotel sekarang." Tanpa menunggu balasan lagi dari manajer Jill, Harry mengakhiri panggilannya dan menatap lagi sosok gadis yang tertidur pulas di sofa panjang merah itu.

Harry mendekatkan wajahnya ke wajah Taylor. Senyuman muncul lagi di bibir Harry. Pemuda itu mengecup singkat pipi Taylor, mengelus pipinya sekali lagi sambil berkata pelan, "have a nice dream, Taytay. Thank you for today."

Setelah itu, Harry memutuskan untuk kembali ke hotelnya sebelum manajer Jill meledakkan hotel dengan amarahnya.

*****

"Targetku dulu, kita hanya akan melakukan syuting di Nashville selama sebulan, setelah itu kita akan melanjutkannya di Los Angeles atau London, tapi mengingat terjadi kejadian yang tak terduga, aku akan menambah waktu syuting kita di Nashville. Khususnya untuk Harry, karena dia harus melakukan adegan-adegan yang seharusnya dia lakoni minggu lalu. Mengerti?"

Semua kru dan pemain menganggukkan kepala mendengar penjelasan Charles sebelum mereka memulai syuting. Sejenis briefing. Meski terlalu singkat untuk disebut briefing.

"Syuting di mulai. Adegan 124. Rupert dan Cara bersiap."

Kemudian, kru dan pemain bubar ke posisi masing-masing. Harry berjalan memasuki gedung bersama manajer Jill dan juga Ansel. Ansel baru saja kembali ke lokasi syuting, setelah menghabiskan tiga hari entah di mana.

"Harry."

"Ya?"

"Bisakah aku meminta izin sebentar ke Charles untuk memulihkan kondisiku karena tubuhku bermasalah? Kepalaku pening sedari tadi. Aku tak yakin bisa melakukan adeganku dengan baik hari ini." Ansel berkata pelan seraya duduk di sofa.

Harry memicingkan mata melihat temannya tersebut. Ansel memang tampak pucat hari ini dan tak banyak bicara. Pasti terjadi sesuatu dengannya.

Tangan Harry dengan refleks menyentuh kepala pemuda itu dan benar. Suhu tubuhnya tak normal. Sangat panas.

"Aku akan mengatakan pada Charles jika kau butuh istirahat dan tidak syuting hari ini." Harry berkata namun, Ansel menggelengkan kepala.

"Aku juga ingin syuting selesai bersamaan dengan kalian. Jika aku istirahat terlalu lama sepertimu, syuting juga akan terhambat. Adeganku sedang banyak-banyaknya." Ansel berkata dengan suara pelan.

Tanpa basa-basi lagi, Harry mengeluarkan ponsel dan mencari kontak yang dapat membantunya saat ini. Soon to be GF. Harry menghubungi Taylor dengan cepat.

"Manajer Jill, bisa kau ambil selimut untuk pemuda yang sedang sakit ini?" Harry berkata kepada manajer yang langsung menganggukkan kepala sambil menunggu jawaban dari panggilannya.

Setelah menunggu beberapa detik, Harry dapat mendengar suara tenang Taylor. "Halo? Kau sudah merindukanku lagi? Duh, kau bahkan pergi tanpa berpamitan."

Jika Harry sedang tak panik sekarang, mungkin dia akan balas menggoda Taylor. Tapi melihat kondisi Ansel, sangat tidak memungkinkan Harry untuk menggoda gadis itu.

"Temanku demam. Suhu tubuhnya panas. Kepalanya pening. Apa yang terjadi dengannya?" Tanya Harry, tanpa basa-basi.

"Benarkah? Dari gejalanya, ada banyak kemungkinan dan aku tak dapat memastikan sebelum memeriksanya."

Harry memejamkan mata dan berkata, "Bisa kau datang untuk memeriksanya?"

"Tidak bisa. Aku harus berjaga di klinik hari ini. Tapi aku akan mengirim dokter lain ke sana, bagaimana?"

"Kenapa tak kau saja, kumohon? Aku lebih percaya padamu daripada yang lain." Harry memohon.

"Aku punya daftar pasien yang haru kutangani hari ini, Harry. Maafkan aku. Aku akan tetap berada di klinik." Taylor bersikekeuh.

Harry menarik nafas sebelum dengan nada kesal menjawab, "Terserah." Kemudian, Harry mengakhiri panggilan dengan wajah kesal dan menoleh kepada Ansel.

"Dokter akan datang memeriksakan kondisimu."

*****

"Kau butuh istirahat beberapa hari dan jangan lupa minum obatmu."

Harry melipat tangan di dada, memperhatikan seorang dokter wanita yang baru saja selesai memeriksa kondisi Ansel. Seorang dokter wanita berusia awal 40 tahunan sepertinya. Namun, dia masih terlihat cantik.

Dokter itu selesai mengobati Ansel sebelum berpamitan untuk pergi. Harry mengikuti langkah dokter itu sampai ke luar dan baru memanggilnya.

"Dokter!"

"Ya?" Dokter itu menoleh dan tersenyum ramah.

"Di mana dokter Swift?" Tanya Harry, cepat.

"Di klinik. Dia harus berkemas, lusa adalah penerbangannya. Hari ini hari terakhir dia bertugas di klinik." Dokter yang tak Harry ketahui namanya itu memberitahu, cukup jelas.

Harry mengangguk mengerti. "Apa kau ingin kembali ke klinik?"

Dokter itu mengangguk. "Ya. Masih banyak yang harus kukerjakan."

"Boleh aku ikut denganmu? Aku juga ingin pergi ke sana."

Dokter itu tampak bingung mendengar permintaan Harry. Tapi akhirnya dia mengangguk dan mengizinkan Harry masuk ke dalam mobilnya, menuju ke klinik.

Mungkin Harry melupakan satu hal jika hari ini banyak sekali adegan yang harus dia mainkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top