09
Chapter 09:
DRUNK & CONFESSION
"Setidaknya aku sudah memperingatkanmu untuk tidak ikut bersama kami."
Harry Styles memutar bola mata sebelum mengeratkan jaket kulit hitam yang melekat di tubuhnya dan menunduk masuk ke dalam mobil rekan kerjanya, Ansel Elgort yang mengajaknya pergi ke sebuah kelab malam. Lagipula, sudah sangat lama sejak Harry pergi bersenang-senang di kelab. Seharian di hotel itu sangat menyiksa.
Ansel duduk di bangku kemudi dan mengenakan sabuk pengaman dengan cepat. "Aku ingin mengajak Rupert, tapi kau tahu? Pacarnya datang tadi pagi dan Rupert tak bisa berbuat banyak. Kau dan aku beruntung masih sendiri dan bebas."
Tak lama kemudian, Ansel menyalakan mesin dan melajukan mobil Range Rover-nya ke tempat yang mereka berdua tuju. Tempat bernama Nash's Night Club.
Perjalanan tak cukup lama. Kurang dari satu jam, mereka sudah sampai di tempat yang dituju. Ansel berkeliling tempat parkir, mencari tempat kosong untuk mobilnya dan sementara itu, Harry hanya dapat memicingkan mata berharap jika penglihatannya benar.
Sebuah mobil SUV putih terparkir tak jauh dari tempat Ansel memarkirkan mobilnya. Mobil yang sangat mirip dengan...mobil milik dokter Swift.
Harry menggelengkan kepala seraya membuka pintu mobil Ansel dan berjalan ke luar, bersama dengan Ansel meski sesekali dia melirik mobil SUV putih tersebut.
"Kau tertarik dengan mobil SUV itu?" Ansel menyadari ke mana tatapan Harry mengarah.
Harry menoleh kepada rekan syutingnya sebelum menggeleng dan tersenyum ragu. "Tidak, aku hanya...mobil itu mirip dengan mobil temanku."
Ansel yang lebih tinggi dari Harry merangkul pemuda itu sambil berkata, "Temanmu ada di Nashville? Jika tidak, kau tahu sendiri SUV ada di mana-mana." Lagi-lagi Harry hanya dapat mengangguk.
Keduanya menunjukkan kartu identitas kepada petugas yang berada di pintu masuk kelab sebelum pintu di buka dan riuh musik serta sorakan orang terdengar.
Ansel tersenyum lebar. "Woah. Akhirnya aku kembali berada di surga." Ansel melepaskan rangkulannya dari Harry sebelum berjalan menuju ke bar, Harry mengikuti di belakang pemuda tersebut.
"Dua botol wiski."
Ansel langsung berkata kepadan petugas bar saat dia dan Harry duduk di bangku yang berada di sana. Musik yang di mainkan seorang disc jokey itu benar-benar keras. Ansel terus menggerakkan kepala dan kaki, mengikuti irama musik sementara Harry hanya duduk tenang menunggu pesanannya datang.
"Aku tak ingin terlalu mabuk, tapi aku butuh penyegaran." Ansel menatap sekeliling sebelum menyeringai saat mendapati kumpulan gadis tampak berada di salah satu sofa, mengobrol tanpa ada satu pun pria.
"Dua botol wiski."
Pelayan itu membawakan nampan berisikan dua botol wiski dan dua gelas kecil kepada Ansel dan Harry. Ansel meraih botol dan gelas miliknya sambil tersenyum lebar sebelum berkata pada Harry.
"Mau bergabung denganku untuk mengobrol bersama mereka?" Ansel menunjuk kerumunan gadis itu dengan dagunya, membuat Harry ikut menoleh seraya terkekeh geli.
"Tidak, aku tidak berkencan dengan anak SMA." Harry meraih botol dan menuangkan isinya ke gelas kecil miliknya.
"Nah, kau tahu? Jangan menilai seseorang dari penampilannya. Ya, mereka memang terlihat sangat muda, tapi siapa tahu dia jauh lebih berpengalaman daripada kau." Ansel bangkit dari kursinya membawa botol dan gelas minumnya. "Kau benar-benar tak mau ikut?"
Harry menggeleng. "Aku tak tega pada mereka. Kau saja yang ke sana. Aku menunggu di sini sampai kau selesai."
Ansel mengangguk sebelum berbalik dan tersenyum lebar. Pemuda itu melangkah menuju ke kerumunan gadis itu dan mata Harry terus mengikuti ke mana kaki Ansel melangkah sampai sebuah suara membuat Harry mengalihkan perhatiannya.
"Miss, kau sudah sangat mabuk. Kau sudah menghabiskan tiga botol soju. Kami tak bisa menambahkan minumanmu jika kau datang hanya sendiri. Siapa yang akan mengantarmu pulang?"
Mata Harry menangkap seorang pelayan wanita yang tampak tengah bicara pada seorang gadis pirang yang tampak menyadarkan kepalanya di atas meja bar. Jarak mereka hanya beberapa bangku kosong.
"Aku punya uang. Berikan aku satu botol soju, lagi."
Harry diam mendengar suara gadis itu yang cukup keras, mengingat musik benar-benar menyulitkan untuk sebuah perbincangan.
"Apa kau tak dengar? Aku ingin soju lagi!"
Harry tercengang saat gadis itu mengangkat kepala dan menepuk meja bar dengan cukup keras, membuat beberapa orang menoleh kepadanya. Si pelayan juga tak kalah terkejut, masih menatap si gadis dengan kalut dan takut.
"Ta—tapi...,"
Tiba-tiba saja gadis itu berdiri dan benar-benar memuku meja dengan lebih keras lagi. "Apa kau tuli?! Aku ingin soju!" Dia berteriak keras dan Harry baru menyadari siapa gadis yang tampak sangat mabuk tersebut.
"Jika kau tak memberiku soju aku akan berkata pada man—," ucapan gadis itu berhenti saat sebuah tangan menyentuh pundaknya dan berkata dengan santai kepada di pelayan.
"Berikan dia satu botol soju lagi. Aku yang akan mengantarnya pulang."
Pelayan itu terkesiap mendapati seorang Harry Styles mencoba menenangkan gadis asing itu sebelum keduanya duduk, berdampingan.
"Hei, aku memesan satu botol soju untuk gadis ini." Harry mengingatkan ketika si pelayan hanya dapat diam, melihat pemandangan di hadapannya dengan mata takjub. Pelayan itu akhirnya mengangguk dan segera melakukan pekerjaannya.
Harry melipat tangan di atas meja sebelum menoleh kepada gadis di sampingnya. Gadis itu juga menatapnya, dengan lekat dan penuh tanda tanya.
"Jadi, ini yang kau lakukan di saat kau mendapat jadwal off, dokter Swift?" Harry bertanya dan entah kenapa senyum bodoh muncul lagi di bibirnya tatkala melihat dokter ini. Ya, gadis yang tengah mabuk ini sudah dapat dipastikan seratus persen sebagai dokter Swift.
Dia memutar bola matanya. "Taylor. Namaku Taylor ketika tak sedang bertugas." Lagi, Taylor menatap Harry seraya ikut melipat tangan di atas meja.
Harry berusaha menahan tawa saat mendengar suara Taylor meski hatinya harus mencelos saat menyadari mata gadis itu tampak sembab. Terlihat sayu dan sedikit memerah. Warna biru irisnya tak terlihat cerah lagi, seperti biasanya.
Pemuda itu menarik kursi mendekati Taylor sebelum bertopang dagu sambil bertanya, "Kau baik-baik saja, Taylor?" Ini untuk pertama kali Harry memanggil dokter Swift dengan nama panggilannya.
Taylor menghela nafas dan di saat bersamaan pesanannya datang. Tanpa menjawab pertanyaan Harry terlebih dahulu, Taylor langsung meneguk sebotol soju tanpa menuangkan terlebih dahulu di gelas. Harry menatap gadis itu, sedikit iba. Harry tahu, Taylor bukan gadis yang terbiasa untuk mabuk. Lagipula, dia juga seorang dokter.
"Dia menikah. Seminggu lagi." Taylor berkata lemas, meletakkan botol dengan soju yang masih tersisa di atas meja bar. Matanya menatap lurus ke satu titik, entah apa yang ditatapnya.
Harry meraih botol wiski miliknya dan menuangkan ke dalam gelas. Harry meneguknya cepat sebelum kembali fokus pada gadis dengan rambut pirang yang diikat sangat berantakan tersebut.
"Pria yang kau suka, eh?"
Taylor meletakkan dagunya pada permukaan meja. "Aku menyatakan perasaanku padanya tadi dan dia hanya memberiku tatapan kosong."
Mata Harry melotot mendengar ucapan gadis itu. "A—apa?! Maksudnya, kau benar-benar menyarakan perasaanmu padanya? Oh my God!"
Taylor memejamkan mata sambil berkata, "Dia hanya diam saja. Saat aku memeluknya, dia sama sekali tak membalas. Huh, kenapa dia sombong sekali?! Jika tidak mau menjalin hubungan khusus denganku, setidaknya dia memberiku pelukan perpisahan terakhir!"
Harry terkekeh. "Tak seharusnya kau seperti ini. Mungkin dia masih terkejut karena kau bertindak agresif padanya."
"Aku gadis manis dan baik-baik. Aku sama sekali tidak agresif. Dia saja yang memiliki respon otak yang lama. Bagaimana seorang dokter bisa merespon sangat lama? Astaga, seharusnya dia tak jadi professor juga!" Harry menikmati tiap kata yang ke luar dari mulut gadis itu. Dia tampak berapi-api saat membicarakan tentang pria yang disukainya yang faktanya juga adalah seorang dokter—bahkan seorang professor.
Kekesalan Taylor reda seketika, tergantikan oleh kemurungan di wajahnya. Mood yang berubah sangat cepat.
"Tapi dia tetap tampan dan aku suka." Taylor melipat tangan di atas meja dan menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangan tersebut.
Tangan Harry bergerak, hendak menyalurkan ketenangan dengan mengelus lembut punggung Taylor, namun tiba-tiba dia mengangkat kepala dan tersenyum konyol kepada Harry.
"Kau tahu? Aku baru sadar jika dia tak main-main dengan kalimat yang diucapkannya ketika dia masih menjadi asisten dosen saat aku masih kuliah." Mata gadis itu menyipit dan tubuhnya terhuyung begitu saja, mungkin akan jatuh jika Harry tak tanggap dan langsung menopang pundak Taylor.
"Kau sudah sangat ma—,"
Ucapan Harry dipotong oleh Taylor yang sudah sangat mabuk dan bahkan tak mampu membawa diri tersebut.
"Dia bilang, 'Kau boleh berbangga setelah berhasil mengobati dan menyelamatkan nyawa orang banyak. Tapi skala kebanggaan itu belum seberapa dengan skala kebanggaan ketika kau berhasil mengobati dan menyelamatkan hati seseorang. Itulah alasan kenapa aku belum bisa membanggakan diriku sendiri sebagai dokter' dan dia seharusnya malu, bukan mengobati atau menyelamatkan, dia malah mematahkan hatiku." Taylor terkekeh dengan mata berair sebelum menyandarkan kepalanya di pundak Harry dan hilang kesadaran.
Harry menghela nafas dan melirik gadis itu. "Kau bisa bermain dengan logika, tapi tidak dengan hati. Bukankah kebanyakan dokter seperti itu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top