Bagian 10 | Grave

Tidak bisakah kau melakukan yang terbaik?” Henderson menatap temannya penuh permohonan, berharap bahwa Gina mampu disembuhkan. “Tidakkah kau lihat wajah sedihnya? Aku sudah berjanji, Jer.” Menarik napas dalam-dalam, Henderson kembali bergumam, “Aku sudah berjanji kepada orang tuanya untuk tidak membiarkannya sedih!”

Jerry menunduk merasa bersalah. Jelas saja ia tahu bagaimana hubungan kedua orang tua Alea dan juga Henderson. Ia pun benar-benar tidak bisa melakukan apapun. Sesaat ia hendak berkata, seorang suster berujar cepat,

“Dok, detak jantungnya berhenti!”

Setiap mata langsung menatap suster itu dengan terkejut. Jerry dan Henderson segera berlari masuk ke dalam emergency room. Meninggalkan Eliza bersama David yang masih terpaku di tempat. Keduanya melakukan usaha untuk mengembalikan detak jantung gadis kecil itu.

            “One, two, three…,” Jerry meletakkan kedua buah paddle di atas dada Gina untuk mengejutkan jantungnya. “Again! One, two, three…” Mereka kembali berusaha namun tetap tidak ada hasil. Hingga Dokter Jerry memutuskan untuk mengakhiri penderitaan gadis yang berusia 6 tahun tersebut.

•••

“Dimana Alea?” Venny yang baru saja tiba bersama William dan juga Keylo sama sekali tidak melihat sahabatnya itu disaat semua orang sudah berkumpul. Bahkan, kedua orang tua dosennya pun juga disini. Lalu, dimana Alea?

David menyugar rambut pendeknya ke belakang. Sejujurnya ia pun tidak tahu dimana Alea sekarang. Sudah berulang kali ia menelepon gadis itu untuk memberitahukan kabar bahwasanya Gina telah tiada, namun tidak satu panggilan pun yang diangkat olehnya. David memejamkan matanya erat. Takut mengabarkan berita ini kepada Alea, namun mengingat reaksi Alea tadi tampaknya David sudah bisa menduga bahwa Alea pasti ke pemakaman ibunya dan mengadu disana.

Dengan segera David meraih kunci mobil di saku celananya hendak berangkat, namun suara Venny lagi-lagi menghentikan langkahnya. “Dav, kau belum menjawab pertanyaanku dan ingin pergi? Dimana Alea sekarang?”

“Jika aku menemukannya, aku akan segera meneleponmu!” ujarnya dengan tegas sambil menatap manik coklat milik Venny yang membuatnya merasa aneh seketika sebelum mencoba mengalihkan pandangannya.

“Aku ikut denganmu.” Willy tiba-tiba saja bersuara, membuat David dan Venny menatapnya aneh. “Aku ikut denganmu!” jelasnya sekali lagi tanpa ingin dibantah dan dipertanyakan alasannya.

“Aku juga!” Venny turut bersuara.

David menghela napasnya pelan sebelum mengangguk. “Ayo.”

Ketiganya berjalan bersisian dengan Venny yang berada di tengah-tengah. Tidak ada yang membuka suaranya karena mereka benar-benar memikirkan keadaan Alea yang entah ada dimana sekarang dan berharap saja bahwa dugaan David benar adanya.

•••

Alea menatap sendu pada tanah yang sudah ditumbuhi rumput dan dipotong rapi. Disana terbaring sosok Ibunya yang bernama Asley Withney Lanshy beberapa tahun silam. Air matanya mengalir tanpa berniat dihentikan. Angin yang bertiup dingin seakan turut memahami perasaan Alea yang sukar saat ini. Bahkan, awan mendung diatas sana turut prihatin akan keadaannya yang menyedihkan sebelum hujan itu turun secara perlahan. Membiarkan dirinya basah tanpa niat berteduh.

Dingin yang Alea rasakan tidak ada artinya dengan perasaannya yang hancur dan akan selalu seperti ini. Ditinggal oleh ibunya, ayahnya, lalu menyusul Gina. Tidak bolehkah ia berharap setidaknya sedikit saja agar diberi seseorang yang tidak pernah meninggalkannya? Padahal baru saja ia dan Gina kembali bertemu, namun mereka sudah dipisahkan seperti ini. Tidak bisakah Gina menunggu dirinya sedikit lagi yang akan menjadi dokter dan menyembuhkannya? Bolehkah Tuhan mengabulkan doanya?

Berita yang baru saja diterima dari Eliza membuat hatinya semakin hancur. Bahkan ponselnya sendiri masih tergenggam erat ditangannya.

Nak, Gina sudah tiada…

Satu kalimat itu mampu melenyapkan perasaan Alea tanpa ampun. Hancur tak bersisa menyisakan luka yang cukup berbekas. Kehampaan lagi-lagi memayunginya dalam satu derita yang dinamakan kesakitan lalu dibalut oleh kesedihan dan kenangan yang begitu menyesakkan. Kini, kenangan itu sedang ditatapnya tanpa suara. Kenangan indah yang menjadi pahit kala diingat seorang diri tanpa ada yang menemani.

“Ibu…,” derasnya air hujan yang turun tidak menyurutkan niatnya untuk tetap berkata-kata walau bibirnya sudah mulai membiru karena kedinginan. Apalagi sebentar lagi memang akan masuk musim dingin. Yang membuat cuaca kian terasa ekstrem dengan pakaian seadanya tanpa mantel tebal. Mengepalkan kedua tangan yang berada disisi kiri dan kanannya, Alea berusaha tegar. Tetapi, tampaknya itu tidak bertahan lama karena ia langsung terduduk begitu saja pada tanah basah dan becek, membiarkan bajunya kotor.

Alea menggigit bibirnya kuat sambil menahan isakan derita yang menyesakkan dadanya. Matanya memejam erat membiarkan air mata menyatu dengan air hujan yang terus turun tanpa diperintah. “Ibu,”

Dan tak lama, Alea tidak lagi merasakan air hujan itu mengenai dirinya. Matanya yang memerah karena tangisan terbuka perlahan, menatap sosok yang kini memayunginya tanpa terduga.

Sir…,” gumamnya serak dan menghapus cepat air matanya. Dengan segera Alea berdiri lalu berdeham karena keadaannya yang sangat kacau. Merasa tidak enak karena perjumpaan yang tiba-tiba ini. “K-Kenapa anda disini?”

Willy mengabaikan pertanyaan itu. Kaki panjangnya melangkah maju dan berdiri hanya berjarak beberapa sentimeter dari Alea. Tangannya bergerak mengusap pipi Alea yang memerah. “Kau kedinginan,” gumaman lembut itu membuat mata Alea melebar seketika. Kini jemari Willy turun mengusap pelan bibir Alea. “Bibirmu membiru.”

Alea mengalihkan pandangannya ke arah lain karena kembali merasa asing dengan perasaan yang berdebar tiba-tiba. Lagipula, ia memang kedinginan, tapi dingin ini tidak seberapa dengan dingin dihatinya yang sudah mati ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat dicintainya.

“Saya baik-baik saja.”

“Kau tidak, Alea,” tukasnya cepat sebelum menatap pemakaman yang bertuliskan nama pemilik dan tanggal kelahiran serta kematiannya. “Ibumu?”

Entah kenapa Alea merasa bahwa ia saat ini sedang diperhatikan. Kepalanya bergerak mengangguk tipis tanpa berniat bersuara. Dan tidak disangka Alea, Willy justru memberikan payungnya kepada Alea lalu bergumam,

“Payungi aku!” titahnya yang tak ingin dibantah sambil memaksa Alea untuk menggenggam payung tersebut.

Nyaris Alea menolak sebelum melihat lelaki itu berjongkok dihadapan makam ibunya dan bergumam dengan sangat sopan. “Bibi, perkenalkan saya William, dosen dari puteri Anda di Universitas HDRS.” Willy mengelus batu nisan basah itu perlahan. “Sejujurnya, saya ingin mengadu kelakuan puteri Anda yang sering datang terlambat setiap mata kuliah saya. Membuat saya terkadang darah tinggi.” Willy melirik Alea yang kini mendelikkan matanya tidak percaya bahwa dosennya ini mengatakan hal seperti itu di depan mendiang ibunya. “Tapi, Bibi tenang saja. Dia selalu mendapatkan nilai terbaik dan saya yakin nilai yang didapatnya adalah untuk membahagiakan Bibi.”

Dan kalimat itu membuat air mata Alea kembali mengalir. Merasa tersentuh sekaligus terharu dan juga menyesakkan dadanya.

“Saya janji akan menjaga puteri Bibi hingga dia sukses. Sampai dia mampu membuat Bibi tersenyum melihatnya dari atas sana.” Willy berdeham pelan, berharap bahwa ceritanya ini didengar oleh sang pemilik makam. “Dia tidak akan sendirian, Bi. Walau sifatnya kekanakan, tapi Alea adalah gadis yang hebat.”

•••

“Kenapa Anda melakukan itu semua?”

“Kenapa bahasamu menjadi formal seperti ini? Biasanya kau akan selalu bersikap tidak sopan kepadaku. Apa karena kau terharu dengan apa yang baru saja kukatakan?” tanya Willy telak membuat Alea yang duduk disebelahnya bungkam. Karena apa yang Willy katakan memang ada benarnya.

Willy memfokuskan matanya pada jalanan basah karena hujan belum juga berhenti. Sebelumnya, ia, Venny, dan David hendak menghampiri Alea bersama. Namun, tiba-tiba saja Venny mendapatkan telepon dari orang tuanya dan membiarkan David yang mengantarnya pulang. Willy tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Venny saat ia bernekad untuk menemui Alea sendiri di pemakaman ini. Tapi yang terpenting ialah Alea sudah ditemukan dan keadaannya memang cukup kacau.

“Terima kasih,” gumam Alea memecahkan keheningan yang terjadi di dalam mobil. Bajunya yang kotor juga menjelaskan betapa joroknya dia sekarang. Untung saja, Alea menggunakan mobilnya sendiri tanpa perlu merepotkan Willy lebih banyak lagi.

Walau begitu, sedikit banyaknya Alea merasa malu karena keadaannya yang sangat kotor. Tidak pernah pula ia menyangka bahwa Willy akan menemuinya dalam keadaan seperti ini. Tak lama, mobil sedan milik Alea diparkir rapi di basement apartemen. Willy menghela napas pelan setelah membuka seatbelt-nya. Menatap Alea datar dan bergumam,

“Tidak perlu berterima kasih padaku. Cukup dengarkan aku dan ikuti perintahku mulai sekarang, paham?”

Dahinya mengernyit seketika. Tidak mengerti apa yang dimaksud oleh pria dengan sejuta pemikiran absurd-nya. “Tidak paham.” Alea menggeleng polos. “Dan aku tidak ingin jadi pembantumu.”

Willy berusaha menyabarkan dirinya sebelum bergumam sedatar mungkin. “Kau menjadi tanggung jawabku mulai sekarang, Alea! Setelah apa yang kujanjikan pada ibumu, kau adalah tanggung jawabku. Apapun yang terjadi kedepannya adalah urusanku. Mengerti?”

“Aku tidak meminta itu!” dan Alea kembali menjadi keras kepala yang membuat Willy ingin menelan gadis itu segera.

“Apa kau ingin ibumu sedih disana melihat keadaanmu yang seperti ini?”

“Tapi, tetap saja—”

“Alea!” tegur Willy dengan nada yang naik satu oktaf. “Don’t be stubborn!”

Alea kembali terdiam. Masih bingung dengan situasi yang ditawarkan oleh Willy. Apakah ini tidak ada hubungannya dengan Venny? Bagaimana jika Venny mengetahuinya? Apa yang harus Alea lakukan? “Aku tidak ingin menyakiti Venny. Hubungan kita hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Maaf Pak, saya—”

Mata Alea melebar saat Willy mendesaknya ke sudut pintu. Mata lelaki itu tidak bisa dikatakan ramah karena yang terlihat justru amarah. Deru napas yang memburu terasa begitu hangat di pipi Alea. “Venny akan menjadi urusanku. Karena yang perlu kau lakukan sekarang hanyalah bertahan disisiku,” desisnya pelan sebelum bibirnya bergerak menyentuh bibir Alea dengan penuh perasaan hingga nafsu mulai menguasai dirinya. Membuat ciuman itu kian panas hingga bunyi cecapan terdengar memenuhi keheningan di dalam mobil.

••

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top