👣7👣
Elliya bergegas masuk ke ruangannya karena ia yakin Genta pasti akan siang sampai ke kantor mengingat masalah semalam yang menguras pikirannya dan kondisi Genta pastinya lebih parah lagi. Semalam Elliya menghubungi sekretaris Genta menanyakan agenda Genta hari ini yang lumayan padat, Elliya datang lebih pagi untuk menghandle pekerjaan Genta jika sekiranya laki-laki itu datang siang atau bahkan tidak masuk.
Saat Elliya datang tadi memang masih terlalu awal, satpam di depan pintu masuk perusahaan saja kaget karena Elliya datang sangat awal dari jam kantor.
Elliya segera menghidupkan komputernya dan mulai melihat hal apa saja yang perlu ia kerjakan hari ini. Dan ia kaget saat pintu ruangannya terbuka, muncul wajah kusut Genta. Terlihat jika kurang istirahat. Laki-laki itu melangkah gontai ke arah sofa dan merebahkan badannya di sana. Masih dengan baju semalam.
"Mandilah, lalu pakai baju kerjamu, jas dan kemejamu di mana? Aku akan menyuruh sekretarismu menyiapkannya, tak pantas kau terlihat kusut di depan karyawanmu, ini kantor, tak ada waktu untuk berkeluh-kesah masalah pribadi."
Genta menatap wajah Elliya yang masih saja dingin, tak ada rasa iba sama sekali padanya, terselip rasa bersalah dalam dada Genta, ia merasa dirinyalah salah satu penyebab Elliya menjadi pribadi yang dingin.
"Kau tak iba sama sekali padaku El?"
Elliya melepaskan tatapannya dari komputer dan menatap Genta.
"Apa kau juga punya rasa iba padaku saat kau menghina aku dulu?"
"Kau selalu mengingat itu El, kita masih anak-anak, tak bisakah kau memaafkan aku?"
Elliya semakin marah, dadanya terasa sesak.
"Kau tahu?! Aku membawa cacat ini sepanjang hidupku! Aku tak akan pernah memaafkan mu!"
Elliya meninggalkan Genta di ruangannya. Ia melangkah menuju kafetaria kantor. Memesan segelas cokelat hangat dan roti bakar. Elliya memejamkan matanya. Sejujurnya ia mulai iba melihat wajah memelas Genta, tapi ia tak ingin hatinya lemah, ia ingin agar Genta tahu bahwa melupakan luka bekas penghinaan itu tidak mudah.
Elliya menyesap minuman yang ia pesan, membiarkan kerongkongannya hangat dan berusaha menghilangkan kekesalannya dengan segera menikmati cokelat hangat dan roti bakar. Dan kaget saat bahunya ada yang menepuk.
Ia melihat Genta yang telah memakai pakaian lengkapnya. Elliya menegakkan badannya dan merasa tak enak karena ada beberapa karyawan yang melihat mereka berdua dan menganggukkan kepala sambil tersenyum dengan sopan.
"Mau pesan apa? Biar aku pesankan." Mau tak mau Elliya melakukan hal yang sepantasnya pada atasannya.
"Seperti kamu ajalah."
Elliya bangkit dan tak lama kembali duduk setelah memesan.
"Dengan cara apa kamu memaafkan semua salahku El?"
Elliya diam ia menyesap lagi cokelat hangatnya dan dengan pelan memasukkan ke mulutnya potongan roti bakar yang telah ia potong. Mengunyah pelan dan menatap mata Genta dengan tatapan tajam.
"Baiklah, kau kan diundang nanti ke reuni SMA kita, meski kau tidak sampai lulus di sana, aku ingin kau meminta maaf padaku di acara itu, katakan itu di atas panggung, katakan penyesalanmu telah membuat aku menderita selama bersekolah di sana, aku yakin pasti acaranya akan spektakuler, akan ada panggung megahnya."
"Yah, kamu belum tahu kan jika tempatnya di hotel milikku, dan hanya itu saja syaratnya?"
"Belum tahu dan tidak ingin tahu, untuk sementara itu dulu syaratnya."
Genta mengernyitkan keningnya, lalu mengembuskan napas.
"Betul-betul sulit kalo wanita sudah marah."
"Ini bukan masalah marah, tapi harga diri, dilecehkan, direndahkan, bertahun-tahun selalu ada di kepala."
"Dan bertahun-tahun pula kau menyusun rencana ingin membalas dendam dan ingin bertemu denganku?"
"Yah, meski sebenarnya tak ingin bertemu tapi perlu bertemu karena aku ingin kau melihat jika aku bisa sejajar denganmu."
Genta mengembuskan napas lagi, mengucapkan terima kasih saat pesanannya datang. Lalu menikmatinya tanpa berbicara lagi dengan Elliya. Sampai habis semua pesanan Genta, dan Genta bangkit hendak menuju kasir.
"Sudah aku bayar."
Elliya meninggalkan Genta yang akhirnya berbalik mengikuti langkah Elliya, berusaha menyejajarkan langkahnya.
"Aku punya hutang padamu, kapan-kapan aku bayar."
"Nggak usah, aku sudah punya uang banyak sekarang."
Genta hanya menggelengkan kepalanya, ingin rasanya ia mengibarkan bendera putih tanda berdamai dan menyerah kalah.
.
.
.
Setelah seharian mendampingi Genta akhirnya selesai sudah tugas Elliya, jika tak ingat pesan Pak Halim untuk mendampingi Genta karena masalah kandasnya rencana pernikahannya ingin rasanya ia tinggalkan laki-laki cengeng itu. Segera ia lajukan mobilnya menuju apartemen yang nyaman, jauh dari rutinitas yang menjemukan juga wajah kusut Genta.
Elliya melepas sepatunya dan meletakkan tas di kamar di samping kamar tidurnya, ia segera membuka blazernya. Dan kaget saat mendengar bel berbunyi. Ia raih lagi blazernya lagi dan bergegas menuju pintu, saat ia buka wajahnya membeku, Genta ada di sana, dengan goody bag di tangannya, tanpa ba-bi-bu ia menerobos masuk.
"Aku numpang makan, males makan sendiri."
Tanpa disuru Genta duduk dan mengeluarkan bermacam-macam fast food dari goodybag yang ia bawa. Elliya menutup pintu dan melewati Genta yang tampak asik makan makanan yang ia bawa.
"El, temani aku makan."
"Aku mau mandi, nanti setelah aku selesai mandi, kau akan aku usir."
"Eeel aku ini butuh teman, aku sedang sedih."
"Bodo amat."
Setengah jam kemudian Elliya telah selesai mandi, sholat dan hendak mengusir Genta dari unitnya. Namun yang ia temui laki-laki itu telah tidur nyenyak di sofa dengan kemeja yang lengannya di gulung sesiku serta jas yang telah diletakkan di sandaran sofa.
"Laki-laki aneh, aku pikir kau laki-laki angkuh, kuat dan sombong heh ternyata hanya laki-laki cengeng kesepian karena terlalu sering ditinggalkan. Kita sama-sama sakit, hanya sakitku karena ulahmu, kau harus membayar dan menyembuhkan sakitku."
Elliya merapikan meja, membersihkan bungkus bekas makanan yang telah beberapa dihabiskan oleh Genta. Setelah semua tapi ia susun kotak makanan yang tersisa. Lalu sekali lagi menatap wajah Genta yang tertidur lelap.
Elliya akhirnya duduk di sofa yang tak jauh dari Genta, meringkuk disana sambil merapatkan selimut agar terasa nyaman, sebenarnya Elliya ingin tidur di kasurnya yang nyaman tapi tak sopan rasanya jika membiarkan Genta tidur sendiri di ruang tamu sementara dirinya terlelap nyaman di kasur.
.
.
.
Genta menggerakkan badannya pelan dan kaget saat melihat jam tangan dipergelangan tangannya telah menunjukkan hampir jam dua belas malam, artinya ia cukup lama tidur di sofa karena ia masuk ke unit Elliya sekitar jam setengah delapan malam.
Perlahan Genta bangkit dan tertegun saat melihat Elliya yang meringkuk di sofa dengan selimut yang menutupi badannya dan lehernya menekuk tak nyaman. Namun sesaat kemudian Genta kaget saat ponselnya berbunyi, ada nama Pak Halim di sana.
Ya Om
Kamu nggak papa 'kan?
Nggak papa Om
Ini di mana?
Di apartemen Elliya
Oh iya iya sudah, maaf kalo Om ganggu
Eh nggak kok Om cuman numpang makan dan tidur di sini
Hah Elliya? Dia tidak keberatan kamu tidur di sana? Kamu nggak diusir?
Aku agak maksa Om
Tapi dia mau?
Iya akhirnya mau meski terpaksa, aku butuh teman Om
Elliya yang sudah bangun menatap Genta dengan penuh kemarahan. Saat Genta selesai menelepon ia berdiri di depan Genta.
"Kamu jangan bikin aku seperti wanita jalang, aku nggak mau Pak Halim punya pikiran aneh tentang aku, aku ini wanita baik-baik yang nggak mau disentuh kaummu."
"Oh ya?! Betul nggak mau disentuh?"
Genta berjalan mendekati Elliya yang memundurkan langkahnya dengan wajah bingung.
"Jangan macam-macam laki-laki cengeng, lemah ...!"
"Oh yaaa?! Lemah?!" Genta semakin dekat bahkan Elliya bisa merasakan embusan napas Genta. Dan ...
"Aaakkkhhh El."
Genta memegang selangkangannya, dan mengaduh kesakitan saat lutut Elliya menghantam pangkal pahanya.
👣👣👣
7 Desember 2020 (22.02)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top