Chapter 3
Guest star:
1. Tadashi Hamada from Big Hero 6.
2. Elsa from Frozen.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Jadi, hari ini, aku akan menjalani pemeriksaan apalagi, Dok?"
"..."
BoBoiBoy memandang heran dr. Tadashi yang sedang melamun. Entah apa yang sedang dipikirkannya, BoBoiBoy tidak mengetahuinya.
"Dokter Tadashi!"
Dokter Tadashi langsung tersentak begitu BoBoiBoy memanggil namanya. Ia kembali menatap BoBoiBoy yang sedang kebingungan.
"Eh, maaf. Kamu tidak akan menjalani pemeriksaan lagi. Kalau saya boleh tanya, apakah kamu mengalami sesuatu kejadian lagi hari ini?" tanya dr. Tadashi.
"Iya, Dok. Tadi pagi, kepalaku sangat pusing. Tapi, cuma sebentar aja," balas BoBoiBoy santai.
Dokter Tadashi menampakkan ekspresinya yang sedikit terkejut. Ia mengingat bahwa gejala itu ada di salah satu daftar dari gejala yang dialami oleh seorang penderita penyakit yang ia takutkan.
Dokter Tadashi bingung bagaimana caranya menjelaskan tentang penyakit yang sudah diidap BoBoiBoy, yang tercantum di kertas analisis lab. dan foto hasil CT-Scan kemarin. Ia tidak mau membebani bocah yang masih kelas 5 ini.
Melihat wajah dr. Tadashi yang sepertinya begitu banyak pemikiran, BoBoiBoy langsung angkat bicara.
"Sebenarnya aku sakit apa ya, Dok?"
Pandangan dr. Tadashi dan BoBoiBoy saling bertemu.
"Ehm, sebenarnya... ada... sesuatu... di... bagian dalam... kepala... kamu," ujar dr. Tadashi seraya menunjukkan kepalanya sendiri.
BoBoiBoy mengangkat sebelah alisnya bingung.
"Kepala aku? Memangnya kenapa?"
Dokter Tadashi hanya menggigit bibir bawahnya bingung. Ia tidak tahan untuk terus menjelaskan semuanya kepada BoBoiBoy.
Kemudian suasana di ruangan serba putih itu mendadak hening. Hanya terdengar suara hembusan angin pelan yang keluar dari Air Conditioner.
Dokter yang berasal dari Tokyo itu menarik nafas panjang. Dan akhirnya mengembuskannya secara pelan.
"Begini, kejadian yang kamu alami itu tidak sembarangan, BoBoiBoy. Mulai dari sakit kepala hingga kamu lupa jalan dan sebagainya. Karena hasil dari analisis lab. dan foto ronsen kemarin itu menyatakan pada bagian dalam kepalamu, tepat di otak, sel-sel yang ada di sana diprogram secara urut yang mengarah pada penghapus..."
"Dokter, aku nggak ngerti,"
Penjelasan dr. Tadashi dengan nada terpatah-patah langsung berhenti ketika BoBoiBoy mengatakan bahwa ia tidak mengerti dengan arah perbincangan dokter tersebut. Dokter Tadashi menatap wajah polos yang ada di depannya. Yang membuat dia semakin tidak tega untuk berbicara.
Namun, bagaimanapun juga, pasien berhak tahu.
"Singkatnya, kamu terkena Sindrom Alzheimer," ujar dr. Tadashi seakan-akan menelan buah yang paling pahit di dunia.
"Apa?"
Sekali lagi, BoBoiBoy mengangkat sebelah alisnya.
"Dokter juga tidak mengerti kenapa anak semuda kamu menderita ini. Seharusnya sindrom ini dialami oleh para lansia. Seharusnya..." ucap dr. Tadashi dengan suara yang agak bergetar.
"Dokter."
BoBoiBoy menatap dr. Tadashi dengan senyum. Matanya menyorotkan bahwa ia tenang menghadapi suatu kenyataan yang berat.
Padahal, BoBoiBoy tahu. Itu senyum yang paling getir.
"Kalau boleh, jelaskan padaku apa itu Sindrom Alzheimer," ucap BoBoiBoy.
Dokter Tadashi memandang anak itu dengan tatapan pasrah.
"Okey. Sindrom Alzheimer ialah keadaan dimana memori seseorang yang sudah disimpan di otak akan menghilang. Biasanya menyerang para lansia di atas umur 65. Kamu akan lupa segalanya, termasuk dirimu sendiri. Maafkan aku."
BoBoiBoy hanya mengangguk lemah.
"Jadi aku akan lupa segalanya ya, Dok?" tanya BoBoiBoy dengan suara agak parau.
"Iya. Saran dari saya, sebaiknya kamu berhenti sekolah. Karena kamu akan lupa cara menulis atau membaca. Kamu lupa dengan teman-temanmu nanti."
"Apa? Berhenti sekolah?"
BoBoiBoy membenarkan posisi duduknya. Tubuhnya tegap dan matanya menyorot dr. Tadashi dengan penuh keyakinan.
"Aku gak akan berhenti sekolah. Kapanpun itu. Walaupun aku tahu, aku akan lupa segalanya, tapi aku bisa menikmati hari-hariku di sekolah," ucap BoBoiBoy seraya tersenyum.
Dokter Tadashi terus menyimak celotehan bocah bertopi jingga ini.
"Aku yakin, aku bisa sembuh. Ada obatnya, 'kan?"
"Ada obat untuk mencegahnya secara perlahan. Tapi tidak bisa untuk menyembuhkan," ujar dr. Tadashi.
"Itu tidak apa-apa. Aku akan mencobanya."
"Tapi, ada efek sampingnya, BoBoiBoy."
"Tidak apa-apa, Dok. Aku akan terus mencoba sampai... sembuh total mungkin. Aku tidak mau diam begitu saja,"
Pandangan dr. Tadashi mendadak melunak.
"Dokter mau 'kan, bantu aku?"
Dokter Tadashi bangkit dari kursi. Ia menghampiri BoBoiBoy, kemudian berlutut di lantai agar posisinya sejajar dengan tubuh BoBoiBoy yang sedang duduk di kursi.
"Dokter akan bantu kamu. Apapun itu. Dokter akan mencoba memprioritaskan BoBoiBoy," ujar dr. Tadashi mencoba tersenyum.
"Terima kasih, Dokter," ujar BoBoiBoy seraya tersenyum lebar.
Dalam hati, BoBoiBoy beruntung dipertemukan dengan dokter yang siap menanganinya. Perlahan, semangat BoBoiBoy di dalam dirinya semakin tumbuh.
"Tapi, Dokter ingatkan. Kamu harus hati-hati. Sindrom ini ganas. Bahkan gejala yang kamu alami juga mendekat ke arah gejala kanker," ucap dr. Tadashi dengan nada tegas.
Mendadak bahu BoBoiBoy melorot. Jantungnya berdegup lebih keras. Kata 'kanker' dengan mulusnya memasuki indra pendengaran BoBoiBoy.
"Kanker?"
Kedua tangan dr. Tadashi langsung mencengkeram pelan kedua pundak BoBoiBoy.
"Tenanglah."
Dalam hati, dr. Tadashi merutuki dirinya yang kehabisan kata-kata untuk menenangkan BoBoiBoy.
"Aku akan mati?" tanya BoBoiBoy dengan pandangan lurus.
"Tidak. Banyak penderita kanker yang sembuh. Kamu akan menjadi salah satu di daftar Kanker Survivor," ujar dr. Tadashi.
"Hmm, begitu ya,"
"Kalau begitu, makasih ya, Dok. Oh ya, berapa biaya pemeriksaannya dan obatnya?" tanya BoBoiBoy.
"Kalau masalah itu, sebaiknya kamu tanyakan kepada Ms. Elsa," ucap dr. Tadashi lalu berjalan menuju mejanya.
Dokter Tadashi mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu di sana. Selesai menulis, ia menyerahkan kertas itu kepada BoBoiBoy.
"Bawa ini untuk Ms. Elsa. Ia akan membantumu menyerahkan ini kepada apoteker," ucap dr. Tadashi.
"Oke, saya pamit pulang dulu ya," ucap BoBoiBoy sambil tersenyum lebar.
Dokter Tadashi mengangguk pelan. Lalu BoBoiBoy keluar dari ruangan tersebut.
BoBoiBoy duduk di kursi tunggu. Kepalanya merunduk. Kedua tangannya menjambak rambutnya pelan. Ia tidak menyangka bahwa ia akan sakit kronis. Ia tidak mengerti kenapa bisa sampai begini. BoBoiBoy selalu melihat tokoh penderita kanker di televisi akan mati. Meninggalkan semua tokoh lain dengan tangisan yang menderita.
Kalau ia mati nanti, bagaimana rencana Adu Du dan Probe selanjutnya? Akankah lebih parah? Bagaimana dengan Kak Yaya, Ying, Gopal, dan Fang yang akan menghadapi alien itu tanpanya? Bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Bagaimana dengan Ochobot?
Perlahan, air mata turun membasahi kedua pipi BoBoiBoy. Pikirannya melayang ke arah Fang. Ia tidak mau merepotkan kakaknya. Sudah cukup dirinya yang sehat saja yang merepotkan. Ia tidak mau kakaknya sedih dan down, takut kedua perasaan itu mengganggu konsentrasi ujian Fang.
Ia tidak akan tinggal diam menghadapi penyakit ini. BoBoiBoy harus terus bergerak.
BoBoiBoy bangkit dari kursi tunggu. Ia lalu berjalan menuju meja resepsionis. Air mata yang membasahi pipinya ia seka dengan punggung tangannya secara kasar.
"Ms. Elsa."
Perempuan muda itu menoleh ke arah BoBoiBoy yang sedang tersenyum.
"Iya? Ada yang saya bisa bantu?" balas Ms. Elsa ramah.
"Aku mau minjam telepon. Bolehkah?" ucap BoBoiBoy seraya menunjukkan telepon putih di seberang meja.
"Silahkan."
BoBoiBoy menempelkan gagang telepon di telinganya. Ia menekan tombol angka nomor telepon ayahnya. Seraya mendengarkan nada tunggu, salah satu tangannya menerogoh kantongnya dan mengeluarkan suatu kartu kecil yang lumayan tipis.
"Halo? Assalamualaikum," ujar suara berat di seberang sana.
"Waalaikumsalam. Ayah, ini aku, BoBoiBoy,"
"Oh, BoBoiBoy. Ada apa, Nak?"
"Aku minta uang, boleh, Yah?" ucap BoBoiBoy pelan seraya memandang kartu ATM yang ada di tangannya.
Tentu saja ia dan Fang masing-masing punya kartu ATM yang diberikan oleh Ibu dan Ayahnya. BoBoiBoy rajin menabung. Tadinya ia ingin menggunakan uang tabungannya untuk biaya pemeriksaan dan obat. Tetapi ia merasa bahwa uangnya akan kurang. Mengingat bahwa biaya rumah sakit sangatlah mahal. Khususnya penderita kanker.
"Boleh. Ayah akan transfer sekarang dengan jumlah yang cukup banyak. Ehm, sudah dulu ya, Nak. Ayah akan meeting setelah ini. Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam," ucap BoBoiBoy lemah.
Terdengar nada putus di telefon.
"Aku sayang Ayah," ucap BoBoiBoy dengan suara serak lalu menutup telefonnya.
Sebenarnya BoBoiBoy bisa saja memberi tahu tentang kondisinya sekarang. Namun, kelihatannya Ayah super sibuk. Ia urungkan niatnya tadi. Padahal, ia berharap ayahnya menanyakan 'untuk apa uangnya?' atau 'bagaimana keadaanmu, Nak?'. Rasanya itu hanya mimpi semata.
BoBoiBoy lalu menatap Ms. Elsa yang sibuk mendata di buku putihnya.
"Ms. Elsa, aku mau membayar uang pemeriksaan dari kemarin dan obat dari resep dr. Tadashi," ujar BoBoiBoy seraya menyerahkan kartu ATM dan kertas resep kepada Ms. Elsa.
"Oke, tunggu sebentar ya," balas Ms. Elsa ramah.
BoBoiBoy bertekad ia tidak akan berperan sebagai tokoh penderita kanker di televisi.
222
Jam digital di meja Fang menampilkan angka 16:00.
Sedari tadi, lelaki itu hanya membolak-balikkan badan di kasur empuknya. Buku-buku pelajaran berserakan tak beraturan di lantai yang ditutupi karpet ungu.
Fang menatap ke arah jendela dimana sinar matahari menampakkan warna oranye tenang.
"Kemana BoBoiBoy?" gumam Fang.
Salah satu lengannya Fang jadikan bantal di atas kepalanya. Ia menatap langit-langit kamar sembari mengingat kejadian tadi siang selepas pulang sekolah. BoBoiBoy kabur lagi. Begitu kata Gopal. Entah apa yang dilakukan anak itu, Fang merasakan ada sesuatu yang ganjil di perasaannya. Yang mengarah kepada BoBoiBoy.
"Sampai jumpa besok, BoBoiBoy!"
Mata Fang lansgung menajam begitu mendengar nama adiknya. Ia bangkit dari kasur lalu mengintip ke arah luar rumah dari jendela.
Terlihat Gopal melambaikan tangan kepada BoBoiBoy yang hendak masuk ke dalam rumah.
Secepat kilat, Fang keluar dari kamar, menuruni tangga, dan berdiri di ruang tamu. Terlihat BoBoiBoy yang sedang menutup pintu, memunggungi Fang.
BoBoiBoy berbalik badan. Ia melihat Fang yang sedang menatap tajam ke arahnya.
"Kamu darimana? Ini sudah jam empat petang!" ujar Fang nyaris teriak.
BoBoiBoy membeku di tempat. Kemudian ia menatap Fang secara intens. Mulai dari atas sampai bawah.
Mungkin suatu saat nanti, ia akan rindu dengan bentakan Fang.
BoBoiBoy masih mengenakan seragam sekolah. Ia tahu, kakaknya pasti risau. Walaupun disambut dengan bentakan.
BoBoiBoy melepaskan tas punggung sekolahnya lalu melemparkannya ke sembarang tempat.
BoBoiBoy segera berlari dan memeluk Fang. Ia menempelkan pipinya di pundak Fang. Melingkarkan kedua tangannya di punggung Fang.
"Maafkan BoBoiBoy ya, Kak. Tadi BoBoiBoy keasyikan main bola dengan Gopal di lapangan tadi," ucap BoBoiBoy seraya memeluk erat Fang. Seakan-akan tidak mau pergi jauh dari Fang.
BoBoiBoy tahu, ia akan lupa dengan kakaknya nanti. Ia tidak akan mengenal Fang lagi. Suatu hari ia akan ragu untuk memeluk Fang.
Fang hanya tersentak dengan kelakuan adiknya. Tumben sekali BoBoiBoy memeluknya. Ditambah ia memanggilnya kakak.
Fang sudah lupa kapan terakhir kali BoBoiBoy memanggil dirinya dengan kakak. Dan itu membuat dirinya speechless.
"Ergh. Ada apa nih? Pasti mau minta sesuatu," cibir Fang sambil memberontak pelan.
"Ah, Kak Fang curigaan,"
BoBoiBoy melepaskan pelukannya. Lalu ia memandang Fang dengan wajah cemberut.
"Sudah sana mandi. Habis itu makan," ucap Fang dingin.
"Siap, Kapten!" ucap BoBoiBoy lalu memberi gerakan hormat.
Fang menggeleng pelan melihat tingkah laku adiknya. BoBoiBoy lalu bergegas naik tangga untuk menuju kamarnya.
Ochobot keluar dari dapur. Robot itu lalu mengambil tas BoBoiBoy yang masih tergeletak di lantai ruang tamu. Bola kuasa itu menatap Fang.
"BoBoiBoy kenapa?" tanya Ochobot.
Fang hanya mengangkat bahunya acuh. Yang penting, sekarang perasaannya kembali tenang begitu BoBoiBoy berada di rumah.
222
Fang meluruskan kedua kakinya di sofa. Posisi tubuhnya landscape menghadap ke arah televisi. Tangan kanannya digunakan untuk menumpu kepalanya, sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk mengambil potato chips di mangkok yang terletak di depan dadanya. Suasana malam ini begitu sunyi, hanya terdengar suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan. BoBoiBoy sudah tidur pulas di kamarnya. Ochobot juga sudah beristirahat. Seluruh lampu di ruangan sudah dimatikan, kecuali dapur. Jadi, tak ada yang akan menganggu acara santainya di malam jam satu ini.
Semangkok potato chips dan film The Raid semakin menyempurnakan acara santainya.
TOK TOK TOK!
Fang mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengubah posisinya menjadi duduk.
'Siapa yang datang di malam buta begini?' batinnya.
TOK TOK TOK!
Fang berjalan menuju pintu. Ia memutar kenop pintu.
Ketika pintu terbuka, telihat Ayah dan Ibu dengan baju yang setengah kusut menerobos masuk ke ruang tamu.
"Assalamualaikum, Fang," ucap ayahnya lalu memasuki kamar beserta Ibu.
"Waalaikumsalam," balas Fang sambil sweatdrop melihat kelakuan ayah dan ibunya.
Fang segera menyalakan lampu ruang tamu.
Terlihat ayah dan ibunya bolak-balik keluar-masuk kamar. Ayah yang pergi ke kamar mandi, lalu balik lagi ke kamarnya. Ibunya yang mengambil beberapa sepatu dan sendal di rak yang terletak di ruang tamu, lalu balik lagi ke kamarnya.
"Yah, Bu, mau kemana?"
Ucapan Fang membuat pasangan suami-istri ini menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Lebih baik, kau kasih tau dia, Yah."
"Tidak, kamu sajalah, Bu,"
"Kasih tau anak-anak! Ibu akan bereskan pakaian Ayah dan yang lainnya. Jangan protes!"
"Hhhh, yasudah!"
Ibu lalu kembali memasuki kamar. Ayah lalu duduk di sofa.
"Fang, duduklah di sebelah Ayah,"
Fang hanya memandang lurus Ayahnya. Ia tahu, pasti ada sesuatu di antara mereka.
Fang lalu duduk di sebelah Ayahnya. Pandangan Fang lurus menuju televisi yang masih menayangkan film The Raid kesukaannya. Jarak di antara mereka berdua bisa dibilang agak jauh.
"Maaf baru memberitahu mendadak. Ayah dan Ibu akan pergi ke Amerika malam ini juga. Ayah juga tidak tahu bagaimana ceritanya kita berdua bisa bersamaan begini jadwalnya. Ayah ditugaskan untuk membicarakan proyek baru Malaysia-Amerika. Ibu dipanggil ke cabang butik di Amerika untuk membuat gaun desain musim dingin,"
Fang hanya mendengkus kasar. Ia benci arah pembicaraan ini. Ayah dan Ibunya seenaknya saja meninggalkan Fang dan BoBoiBoy di rumah.
Dan sepertinya ayah dan ibunya akan bersenang-senang di Amerika sana.
Jujur saja, Fang lebih menyukai Ibu dan Ayah berada di rumah ketimbang mengurusi pekerjaan mewah yang tidak berguna itu.
Ibu lalu keluar dari kamar seraya menarik dua koper besar. Melihat anak pertamanya yang sepertinya cuek, beliau memutuskan untuk ikut berbicara juga.
Ibu berlutut di depan Fang. Kedua tangannya yang agak dingin memegang kedua tangan Fang yang terbalut sarung tangan ninja ungu. Matanya yang agak kusut memandang Fang.
Namun, Fang memalingkan wajahnya dari pandangan ibunya.
"Maafkan Mom dan Dad, Fang. Mom janji, Mom akan selesaikan secepat mungkin supaya bisa pulang dengan cepat juga."
Fang hanya diam sambil mendengarkan perkataan Ibunya.
Ibu tahu, anaknya yang satu ini agak keras kepala. Ibu bisa merasakan sedikit kemarahan Fang. Akhirnya, ibunya hanya menunduk dan mencium tangan Fang dengan lembut.
"Dengar, Fang. Selama kita pergi, Ayah mau kamu bisa menjaga rumah. Terutama jaga adikmu, BoBoiBoy. Kalau ada apa-apa, tinggal telepon kami berdua. Ayah akan menempelkan nomor kantor Ayah dan Ibu di pintu kulkas," ucap Ayah tegas.
"Satu lagi, Ibu mau kamu konsentrasi dengan ujianmu, Fang. Ibu tidak mau kamu begadang terus seperti ini. Jaga kesehatanmu, Fang," ujar Ibu.
"Hmm," respons Fang.
Ayah dan Ibu hanya berpandangan satu sama lain. Mereka tahu, Fang tidak menyukai suasana seperti ini. Mereka berdua hanya mengembuskan napas pasrah.
"Ayah, Ibu, mau kemana?"
Sontak Fang, Ayah, dan Ibu segera menengok ke sumber suara. Terlihat BoBoiBoy berdiri di tengah tangga, masih mengenakan piyama tidurnya, lengkap dengan topi dinosaurus terbalik di kepalanya.
Anak itu hanya memandang polos ke arah mereka bertiga.
"Oh, BoBoiBoy, kamu sudah bangun?" ucap Ibu dengan nada agak panik.
Tentu saja keributan kecil ini membangunkan anak terakhir mereka.
BoBoiBoy turun dari tangga, lalu menghampiri Fang, Ibu, dan Ayah.
"Ah, Ibu dan Ayah ditugaskan ke Amerika, BoBoiBoy," ucap Ayah.
Ibu segera menghampiri BoBoiBoy, lalu memeluknya erat.
BoBoiBoy membalas pelukan ibunya dengan erat.
"Ke Amerika? Berapa lama?" tanya BoBoiBoy.
"Mom dan Dad tidak tahu berapa lama. Tapi, kita akan berusaha secepat mungkin," balas Ibu.
BoBoiBoy sedikit melonggarkan pelukannya, lalu menatap Ayah dan Ibunya.
'Ibu, Ayah, aku divonis menderita kanker alzheimer. Aku butuh Ibu dan Ayah,' batin BoBoiBoy.
Entah kenapa, sulit rasanya memberitahu hal sebenarnya kepada Ayah dan Ibu. BoBoiBoy hanya bisa berteriak di dalam hati. Ia berusaha untuk berbicara. Tapi entah kenapa, mulutnya bungkam dan tidak bisa terbuka. BoBoiBoy sulit berbicara mengenai penyakit yang ada di dalam dirinya.
Fang menatap BoBoiBoy. Wajahnya sangat sulit diartikan. Adiknya itu sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.
"Tidak bisa dibatalkan, Bu? Yah?" tanya BoBoiBoy sambil bergantian menatap Ibu dan Ayahnya.
Sekali lagi, Ibu memeluk BoBoiBoy dengan erat.
"Tidak bisa. Maafkan Mom dan Dad," ucap Ibu dengan nada penuh penyesalan.
BoBoiBoy membalas pelukan Ibu lebih erat.
Ada sesuatu yang BoBoiBoy takutkan. Ia takut ketika ibu dan ayahnya sudah kembali, ia tidak lagi mengenal sosok kedua orangtuanya. Ia takut ia sudah tidak ada untuk memeluk ibunya. Ia takut menjadi asing di keluarga kecil ini.
Jantung BoBoiBoy berdegup dua kali lebih cepat. Ia bisa merasakan matanya sudah mulai memanas. Ia takut kehilangan ini semua. Ia takut kehilangan kakaknya, ibunya, dan ayahnya. Ia takut kehilangan memori kejadian hari ini.
BoBoiBoy menahan air matanya agar tidak keluar. Ia harus menguatkan tekadnya untuk sembuh. Ia akan berjuang lebih keras.
BoBoiBoy harus sembuh ketika Ayah dan Ibu sudah kembali ke Pulau Rintis, Malaysia.
"Oke, Bu. BoBoiBoy akan mendukung kalian. Semangat ya! Cheers!" ucap BoBoiBoy dengan nada ceria.
"Pasti, BoBoiBoy! Oh, terima kasih, Honey!" ucap sang Ibu lalu melepaskan pelukannya.
"Ah, dengan begini, Ayah bisa tenang di pesawat nanti. Terima kasih, BoBoiBoy," ucap Ayah lalu memeluk BoBoiBoy.
Senyum langsung terukir di wajah BoBoiBoy. Setidaknya, ucapan semangatnya bisa membuat Ayah dan Ibunya tenang menghadapi pekerjaan. Perasaan bahagia langsung menancap di hati BoBoiBoy.
Fang memicingkan matanya ke arah BoBoiBoy. Ia curiga kenapa adiknya semudah itu bisa tersenyum ketika ayah dan ibunya ingin pergi. Biasanya BoBoiBoy akan merengek manja dan minta buah tangan.
'Ada yang super aneh di dalam diri BoBoiBoy,' batin Fang.
"Fang, Mom titip BoBoiBoy. Jaga dia oke? Jangan lupa fokus ujian. Buat Mom dan Dad bangga di hari kelulusanmu nanti," ucap Ibu lalu memeluk Fang.
"Akh, memangnya BoBoiBoy barang? Main titip-titipan? Tentu saja akan kujaga karena dia adikku," ucap Fang sedikit kasar sambil memeluk Ibunya pelan.
Ibu hanya tertawa kecil. Ia lega karena akhirnya anaknya yang keras ini berbicara.
Ibu melepaskan pelukannya terhadap Fang, bergantian dengan Ayah yang memeluk Fang.
"Ayah percayakan tanggung jawabmu sebagai kakak. Jaga dirimu dan BoBoiBoy. Fokus belajar," ucap Ayah sambil menepuk-nepuk pelan punggung Fang.
"Baik, Yah," ujar Fang pelan sambil membalas pelukan sang Ayah.
Karena suasana malam ini sedikit ribut, Ochobot terbangun dan melayang menuju ruang tamu.
Ochobot melihat sedikit adegan terharu di antara keluarga kecil itu. Pandangan Ochobot lalu beralih menuju dua buah koper besar di depan kamar Ayah dan Ibu. Tanpa ditanya lagi, Ochobot tahu Ayah dan Ibu akan pergi dari rumah.
"Eh? Ochobot?" ujar BoBoiBoy menyadari keberadaan Ochobot.
Ochobot hanya melambaikan tangan ke arah BoBoiBoy. Kemudian kedua tangan robot itu menarik dua koper milik Ayah dan Ibu.
"Ah, Ochobot, terima kasih. Tolong bawakan ini ke bagasi mobil di luar," ucap Ayah seraya menatap Ochobot.
"Baik, Yah,"
Ochobot menarik dua koper dan melayang ke luar rumah, diikuti keluarga kecil itu.
Selesai meletakkan dua koper di bagasi mobil, Ayah dan Ibu segera menaiki mobil. Kedua orangtua itu melambaikan tangan ke arah kedua anak mereka.
Setelah mobil itu hilang dari pandangan mereka, Fang langsung bergegas masuk ke rumah, diikuti BoBoiBoy. Setelah mereka bertiga masuk ke rumah, Ochobot lalu mengunci pintu rumah.
Fang duduk di sofa lalu melanjutkan tontonannya yang sempat terhenti. Aktivitasnya itu diikuti oleh BoBoiBoy.
"Kakak, nonton apaaaa?" ucap BoBoiBoy seraya mengambil potato chips.
"The Raid," jawab Fang datar.
"Ikutan nontoooon."
"Ish, ini bukan tontonan anak-anak. Sana kembali tiduuur!" perintah Fang.
"Kita masih SD berarti masih anak-anak kaaan? Kakak juga jangan nonton itu dong."
"Tch, sebentar lagi aku bukan anak SD, BoBoiBoy. Sana tidur. Jangan habiskan cemilankuuuu!" ucap Fang lalu berusaha merebut mangkok berisi potato chips dari tangan BoBoiBoy.
"Aaah, bagi sedikiiiit," balas BoBoiBoy seraya berusaha menghindar dari Fang.
Akhirnya terjadi pertengkaran kecil di antara mereka berdua. Dan akhirnya juga, Ochobot terpaksa mencabut kabel yang tersambung ke televisi. Alhasil, ketika televisi mati, Fang dan BoBoiBoy berhenti bertengkar. Mereka diam seribu kata menatap Ochobot.
"Sana tidur! Besok kan sekolah. Sudah jam setengah dua ini!" ucap Ochobot.
"Hehehe. Terbaiklah Ochobot!" ucap BoBoiBoy sambil mengacungkan jempol tangannya.
Fang hanya mendengkus kasar. Ia lalu beranjak dari sofa dan menaiki tangga menuju kamarnya.
Sebelum BoBoiBoy memasuki kamarnya, ia memeletkan lidah ke arah kamar Fang.
Ochobot hanya menggeleng pelan seraya tertawa kecil melihat tingkah laku kakak beradik itu.
222
Pelajaran kosong hari ini membuat anak-anak kelas 6 Jujur menjadi hari yang menyenangkan. Apalagi ini jam terakhir. Tinggal menunggu bel pulang.
Ada sebagian anak yang belajar untuk persiapan ujian, ada lagi beberapa yang main kartu, dan ada juga yang berlarian di dalam kelas.
Fang dan Yaya duduk saling berhadapan. Sesekali mereka memandang ke arah luar jendela kelas.
"Aku yakin seratus persen BoBoiBoy aneh," celetuk Fang.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Fang. Kau sudah menyelidikinya?" tanya Yaya.
"Sedikit. Ah, Ochobot men-scanning tubuh BoBoiBoy,"
"Lalu? Hasilnya?"
"Sedikit buruk," ujar Fang murung.
"Katanya, delapan puluh persen tubuh BoBoiBoy mengalami masalah. Sisanya di bagian kuasanya,"
"Maksudnya?" tanya Yaya sedikit tidak mengerti.
"Ochobot bilang dia tidak bisa menganalisa masalah yang ada di tubuh BoBoiBoy. Hanya dokter yang bisa menganalisanya," jelas Fang.
"Hah?! Dokter?!" ujar Yaya histeris.
KRING KRING!
Bel pulang berbunyi.
"Fang, aku tidak mengerti. Kenapa harus dokter?" ucap Yaya seraya meminimalisir rasa histerisnya.
"Aku tidak tahu, Yaya," ucap Fang sambil memasukkan beberapa bukunya ke dalam tas secepat kilat.
"Bilang kepada Gopal dan Ying. Maaf kali ini aku tidak pulang bareng kalian. Aku harus mengikuti BoBoiBoy. Aku mau melanjutkan selidik," ucap Fang lalu berlari keluar kelas.
"Eh, tapi... Fang!"
222
"Untuk apa ia pergi ke Rumah Sakit Pulau Rintis?"
Fang bergumam sendiri di seberang jalan. Ia bersembunyi di belakang semak-semak agar BoBoiBoy tidak mengetahui dirinya sedang mengikutinya.
Terlihat di balik pintu berkaca, BoBoiBoy menerima sekantong plastik -yang Fang tidak ketahui apa isinya- dari seorang resepsionis. Selesai menerima itu, BoBoiBoy memasukkan kantong plastik itu ke dalam tasnya lalu keluar dari Rumah Sakit Pulau Rintis.
Setelah BoBoiBoy menjauh dari bangunan putih itu, Fang segera berlari menuju rumah sakit kemudian memasukinya.
Terlihat orang berlalu lalang dan beberapa dokter yang sedang mengobrol. Fang melangkahkan kakinya sampai di depan meja resepsionis.
"Maaf, aku mau tanya, tadi ada anak bertopi jingga ke sini. Ada urusan apa dengan anak itu?" tanya Fang kepada seorang perempuan yang dia lihat telah menyerahkan sekantong plastik misterius kepada BoBoiBoy.
Perempuan itu lalu menatap Fang.
"Maaf, Anda siapa yaa?" ucap perempuan tersebut sambil mengernyit.
Fang mengembuskan napasnya kesal. Ia sudah tidak sabaran mengetahui apa yang terjadi dengan BoBoiBoy.
"Saya kakaknya. Nama anak itu BoBoiBoy. Apa yang BoBoiBoy lakukan di sini?" ucap Fang to the point.
Sebelum perempuan itu menjawab, terlihat seorang dokter menghampiri meja resepsionis.
"Ms. Elsa, apakah obat-obatan dari resep saya kemarin, sudah disampaikan kepada BoBoiBoy?"
Fang sontak membulatkan mata. Obat? Untuk apa?
Fang melirik ke arah Ms. Elsa -nama perempuan yang disebutkan oleh dokter ini- yang sedang tersentak. Ms. Elsa memandangi Fang dan dokter secara bergantian.
"Uhm, sudah. Dokter, ada yang mau bertemu denganmu," ucap Ms. Elsa sambil menggaruk tengkuknya pelan.
"Siapa?"
"Erhm, ini, kakaknya BoBoiBoy," ucap Ms. Elsa ragu seraya menunjuk Fang.
Fang menatap Ms. Elsa dengan penuh kebingungan. Sejak kapan dirinya mau bertemu dengan seorang dokter yang ia tidak kenal?
Fang lalu menatap dokter di hadapannya. Dokter itu menatap Fang dengan tingkah setengah gelagapan.
222
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
A/N:
Uwargh! Kok ancur amet ya ;_;? Author baru sadar ternyata Alzheimer itu sindrom, bukan kanker-_-. Atau sama aja yaa? Sindrom Alzheimer dengan Kanker Alzheimer? Uwargh, galau pisan...
Tapi kalau emang bener sindrom, Author sengaja tambahkan ke arah kanker di cerita ini. Hahaha. Namanya juga fanfiction. Unleash your imagination :3 *ala Spongebob mengeluarkan pelangi lewat kedua tangannya.
Author gak tau kenapa yaaa, tangan Author gatal untuk mengetik segala istilah yang berbau barat di sini. Mungkin karena dulu Auhtor terbiasa menulis ff genre remaja yang pastinya selalu ada baratnya. Ini pertama kalinya Author nulis ff genre yang mungkin untuk anak-anak (?) dan settingnya di Malaysia, satu rumpun dengan Indonesia, bergaya Asia banget. Hehehe...
Kritik dan Saran Author terima dengan tangan terbuka. ;)
Jangan kebiasaan jadi Silent Reader-_-! Review please!
——————————
K O L O M N U T R I S I
——————————
1. AkankahDokter Tadashi memberi tahu Fang tentang penyakitnya BoBoiBoy?
2. Pernahkah kamu di tinggal jauh oleh orang tuamu?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 3 di Do I Remember You ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Do I Remember You?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top