Chapter 19
Mobil Tiga Rob menuju lahan kosong dekat Pabrik Cokelat terbesar di Pulau Rintis. Lima mobil polisi ikut berhenti begitu suara gesekan antara tanah dengan ban mobil Tiga Rob terdengar.
Sirine polisi tidak ada henti-hentinya berbunyi nyaring. Sekumpulan polisi keluar seraya mengarahkan senjata ke arah mobil perampok yang masih tertutup rapat itu. Jeon Jungkook, ketua polisi yang masih muda itu, naik ke atas atap mobil dengan toa di tangannya.
"Keluar dan menyerahlah kalian! Kalian sudah kami kepung! Tidak ada jalan keluar sekarang!" teriak Jungkook dengan lantang.
Robert, salah satu dari tiga rob yang bertubuh jangkung, keluar dari mobil dengan mengangkat kedua tangannya. Salah satu tangannya memegang pistol. Ia tersenyum miring.
"Bos, rupanya kita tertangkap~" ucap Robert dengan nada remeh.
BoBoiBoy, Fang, Yaya, Ying, dan Gopal tiba di tempat. Tentunya dengan posisi bersiap siaga.
"Dey! Kembalikan peralatan olahraga sekolah kami!" teriak Gopal.
"Oh, tenang saja. Barang-barang kalian aman. Hehehehe," ucap Robert.
Roberto, salah satu dari Tiga Rob yang bertubuh pendek serta bos mereka, keluar dari pintu mobil.
"Hoi, apa yang kau nak, hah?!" tanya BoBoiBoy dengan sedikit emosi.
Roberto tertawa licik.
"Tentu sajalah kalian semua mengerti apa yang kita mau. Kita ini mau kaya dan hidup bebas!" ucap Roberto.
"Heleh, ada-ada saja kau ni!" celetuk Ying.
"Ada-ada saja kau bilang?" Lalu Roberto mendengkus kasar.
"Rob, Robert, keluarkan dia!"
Robert mengangguk lalu membuka pintu mobil. Tangannya menarik sesuatu. Seseorang keluar dari mobil secara paksa.
"Sebut lagi kalau kami hanya mengada-ada!" teriak Robert lantang.
Semua orang yang menyaksikan seseorang itu hanya menarik napas.
"Coach Namjoon?!" teriakan kaget milik BoBoiBoy dan Gopal paling keras di antara semua orang yang berteriak.
Coach Namjoon berlutut di tanah secara paksa oleh Rob, salah seorang Tiga Rob yang bertubuh gemuk. Coach Namjoon merintih kesakitan.
Wajar Coach Namjoon merintih kesakitan. Mungkin seluruh tubuh yang ditutupi celana panjang dan kaos berkerah itu mengalami memar parah. Wajahnya saja sudah memar. Salah satu matanya tertutup, dikelilingi memar ungu. Darah segar masih menghiasi sudut bibir pria berkebangsaan Korea itu.
"Namjoonie?" gumam Jungkook kebingungan.
"BOBOIBOY HALILINTAR!"
BoBoiBoy dengan cepat bertransformasi menjadi Halilintar. Ia mengacungkan pedang halilintar yang sangat berbahaya itu kepada Tiga Rob.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN KEPADA COACH NAMJOON? LEPASKAN DIA!" teriak BoBoiBoy Halilintar emosi.
"Dia menganggu operasi kami. Jadi, kami hajar dia," jawab Rob dengan entengnya.
Coach Namjoon melihat BoBoiBoy seraya meringis.
"Halo, BoBoiBoy," sapa Coach Namjoon dengan senyum, lalu seketika terganti dengan rintihan.
Air muka emosi BoBoiBoy Halilintar sedikit sedih melihat pelatihnya.
"Kau ternyata sudah keluar dari rumah sakit, yaa? Maaf Coach belum sempat menjengukmu," sesal Coach Namjoon.
"Eh? Itu tidak apa-apa, Coach," balas BoBoiBoy Halilintar.
"Ukh ... maafkan aku karena sudah memarahimu, BoBoiBoy. Seharusnya aku tidak memarahimu saat pertandingan itu," sesal Coach Namjoon diiringi rintihan sakit.
Kening BoBoiBoy sedikit mengerut.
"Marah? Coach pernah memarahiku?"
Fang menyadari sesuatu hal yang berbahaya. BoBoiBoy berusaha mengingat masa lalunya lagi. Masa pertandingan itu. Ini tidak bisa dibiarkan.
Yaya melempar pandang ke arah Fang. Ia memperingati teman sekelasnya itu.
"Pertandingan? Sekolah kita ikut pertandingan?"
Rasa ingin tahu BoBoiBoy Halilintar semakin besar. Yang mengakibatkan otaknya juga memutar-mutar memorinya.
"Kapan Coach?" Kening BoBoiBoy Halilintar mengerut. Ia sama sekali tidak pernah ikut pertandingan apa pun.
Coach Namjoon hanya menatap BoBoiBoy dengan tatapan bingung. Mengapa BoBoiBoy bertanya seperti itu padahal ia ikut pertandingan waktu itu?
"SUDAH CUKUP BASA-BASINYA!" Kemudian Roberto menarik rambut Coach Namjoon dengan sedikit kasar.
"AKH!"
"Jangan sakiti Coach Namjoon!" teriak Ying histeris.
DOR!
Peluru ditembakkan ke arah kaki Roberto. Beruntung Roberto dapat menghindarinya. Tangannya langsung melepas rambut Coach Namjon.
Suara peluru yang keluar dari pistol itu sempat membuat jantung Fang dan teman-temannya berhenti.
CRACK!
Tiga Rob langsung menyiapkan senjatanya lalu menodong ke para polisi yang berada di depannya.
"BERANI-BERANINYA KALIAN! SIAPA YANG TADI MENEMBAKKU?!" ucap Roberto dengan emosi.
DUK!
Polisi Jungkook mendarat di tanah dengan posisi berjaga-jaga. Tangannya mengarahkan pistol ke Tiga Rob. Pistol terus digenggamnya dengan penuh emosi. Mata elangnya mengawasi Tiga Rob.
"Akulah yang menembakmu." Nada suara Jungkook menjadi sangat dingin.
"Jangan. Sakiti. Kim Namjoon." Suara Jungkook penuh penekanan.
Yaya dan Ying hanya bisa menahan napas mendengarkan nada menakutkan dari Jungkook. Karena mereka terbiasa melihat senyum tampan dari Jungkook.
'Beginikah tampang menyeramkan orang tampan?' Pikir Ying dan Yaya.
"Jangan. Sakiti. Sahabatku."
Senyum licik terpampang di wajah Roberto.
"Oke, kalau itu maumu. Tapi aku minta kau sebagai Kepala Polisi menandatangani surat pernyataan bahwa Tiga Rob telah bebas dari penjara," ucap Rob seraya menyodorkan surat yang sudah ditempeli materai. Hanya tinggal ditandatangani.
"Jangan! Jangan tanda tangani itu!" seru Gopal. Tidak mungkin para perampok itu dibiarkan merajalela. Bahkan kalaupun keluar negeri. Tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Jungkook menghela napas pasrah. Tentu saja sebagai Polisi ia menolak mentah-mentah menandatangani surat itu. Tapi, jika ia tidak menandatangani surat itu, sahabatnya mungkin mati di tangan kotor para perampok tersebut. Ia sedikit berpikir lagi sampai akhirnya ...
"Baiklah, aku akan tanda tangani itu. Tapi, setelah kalian menyerahkan Namjoon kepadaku." Keputusan tegas akhirnya keluar dari mulut Jungkook.
Salah seorang wakil polisi menyeletuk tajam. "Kau gila, Jungkook? Kita tidak bisa membebaskan mereka. Tiga Rob dipenjara dengan jangka waktu—"
"AKU TAHU! AKU TAHU ITU!" teriak Jungkook memutus perkataan itu, "tapi, aku tak bisa membiarkan Namjoon terluka," kata Jungkook dengan lirih di kalimat akhir.
Sementara drama di depan mata Fang bermain, ia terus memerhatikan adiknya. BoBoiBoy Halilintar sudah kembali menjadi mode normal.
Adiknya itu terus-terusan berusaha mengingat kejadian perkataan Coach Namjoon. Tubuhnya sedikit bergetar dan napasnya tidak teratur.
'Pertandingan? Kapan?' batin BoBoiBoy seraya berusaha mengingat-ingat perkataan Coach Namjoon.
Fang berdiri di belakang BoBoiBoy. Bersiap-siap jika sang adik bisa jatuh pingsan kapanpun.
"Mau kalian apa, sih? Kalian sudah mencuri lalu melukai seseorang. Membusuk sajalah kalian di penjara!" ucap Fang dengan lantang.
"Akh! Diamlah kalian para bocah!" ucap Robert emosi. Tidak mau BoBoiBoy dan teman-temannya mengacaukan lagi rencana mereka.
"Cepat tanda tangani surat ini!" desak Roberto. Pistol yang berada di tangannya mengarahkan ke Coach Namjoon.
"Baiklah. Tapi lepaskan Namjoon juga," balas Jungkook tidak mau kalah.
Satu tangan Jungkook hendak menandatangani surat pernyataan, satu tangan lainnya tetap memegang pistol. Begitu juga Roberto yang perlahan membebaskan Namjoon untuk bergerak, tetapi masih menahannya dengan pistol.
Waktu berjalan begitu lambat, sampai akhirnya ...
"TUKARAN MAKANAN!"
Surat pernyataan dan pulpen itu berubah menjadi roti dan sosis.
"SEKARANG, KAK JUNGKOOK!" teriak Ying memberi aba-aba.
DOR!
Tangan Jungkook berhasil menyeret Namjoon, mereka berdua berbaring di tanah. Peluru yang keluar dari pistol Rob melesat begitu saja.
"DASAR ANAK-ANAK TAK TAHU DIRI!" teriak Roberto emosi.
Gagal sudah rencana mereka untuk melarikan diri.
Sadar posisi sudah berubah, BoBoiBoy bersiap diri untuk menyerang. Sejenak ia melupakan pertandingan tersebut.
"Memang kita tak tahu diri, KERIS PETIR!" ejek BoBoiBoy lalu melayangkan keris petir kepada sang Bos.
ZAP! BZZZZT!
"Akkhh! Sialan kau, BoBoiBoy!"
Seketika beberapa senapan saling berderu di udara. Polisi maupun dua Rob—salah satu telah tumbang—saling meluncurkan peluru.
"JARI BAYANG!"
Uluran tangan bayang hendak menangkap Rob dan Robert. Tetapi entah sejak kapan mereka berlari cepat sekali.
"Akh, sialan!" rutuk Fang.
"Kak, biarkan aku berpecah tiga," ucap BoBoiBoy.
"Tidak, BoBoiBoy. Tidak boleh!" Fang berlari ke tempat lain untuk menghalang dua penjahat itu.
Fang tidak mau penyakit lupa BoBoiBoy muncul lagi ketika berpecah tiga.
DOR!
Peluru melesat dari pistol Rob. Mata BoBoiBoy yang begitu tajam melihat peluru itu mengarah ke Fang.
"KAK FANG! AWAS!"
Fang terlambat untuk menyadari hal itu. Kecepatan peluru mengalahkan kecepatan ia berpikir.
"LARIAN LAJU!"
Beruntung Ying mendengar teriakan BoBoiBoy. Dengan cepat ia mendorong Fang menjauhi peluru.
"TUKARAN PERMEN!"
Peluru itu berubah menjadi permen warna-warni. Permen itu jatuh ke tanah, berkumpul bersama permen-permen lainnya. Memang sedari tadi Gopal mengubah seluruh peluru Tiga Rob yang berterbangan menjadi permen.
BoBoiBoy segera menghampiri Fang yang masih dilanda syok.
"Tuhkan. Coba aku berpecah tiga. Aku bisa menyelamatkan Kakak!" gerutu BoBoiBoy.
"Tidak perlu. Ying sudah menyelamatkanku," balas Fang dingin.
"Dasar keras kepala. Masalah ini akan cepat selesai jika aku berpecah tiga!"
"Tidak!"
Ying hanya menggeleng melihat perdebatan kedua saudara ini. Ia hanya bisa bungkam walaupun ia tahu bahwa jika temannya itu berpecah tiga, maka alzheimer akan lebih cepat merambat.
Suara tembakan masih terus menggema di udara. Tim Polisi dan geng superhero masih gencar melawan Tiga Rob yang berpencar.
Lilitan bayang perlahan menuju Rob dan Robert. Dengan gerakan tangan Fang, Tiga Rob berhasil ditarik dan berkumpul di satu tempat.
"KUASA GRAVITI!"
Seketika Tiga Rob lumpuh.
"TUKARAN MAKANAN!"
Pistol milik Tiga Rob berubah menjadi brownies cokelat.
"ARRGH TIDAK!"
"Urusan kalian selesai sampai di sini!" seru Jungkook.
222
"Aku pulang."
Ibu segera melihat kedua putranya yang memasuki rumah. Hatinya lega melihat mereka berdua sampai di rumah dengan selamat.
"Bagaimana Tiga Rob?" tanya Ochobot.
Fang dan BoBoiBoy melihat Ochobot dengan pandangan datar.
"Aku mau mandi dulu."
"Aku mau ke kamar dulu."
BoBoiBoy menuju kamarnya yang berada di lantai atas, sedangkan Fang melangkah lurus menuju kamar mandi.
Ochobot sweatdrop melihat suasana yang tidak akrab di antara mereka berdua.
"Mungkin mereka kelelahan," ucap Ibu seraya mengelus kepala Ochobot.
"Humm." Ochobot menggumam kecewa. Merasa diabaikan oleh kedua sahabat baiknya.
"Ochobot mau mereka senang? Yuk bantuin Ibu buat krim sup kesukaan mereka."
"Ayuk!"
222
BoBoiBoy melempar bantal tidurnya ke dinding dengan sekuat tenaga.
"Kak Fang kenapa, sih? Apa-apa gak boleh. Apa-apa gak boleh," gerutu BoBoiBoy.
BoBoiBoy menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia memandang langit kamar yang dihiasi bintang-bintang, bulan, dan beberapa galaksi lainnya. Perlahan kamarnya menjadi gelap karena BoBoiBoy malas mematikan lampu. Matanya lebih menikmati cahaya matahari sore yang masuk ke dalam kamarnya.
"Enak kali yaa kalau ga punya kakak. Bisa bebas ngapain aja tanpa ada yang larang-larang," ucap BoBoiBoy pelan.
Spontan ia menutup mulutnya. Entah mengapa ada sedikit perasaan bersalah karena telah mengucapkan kata-kata itu.
"Ih, memang bener Kak Fang nyebelin!" seru BoBoiBoy lalu duduk di kasurnya.
Sepanjang perlajanan menuju rumah, ia dan Fang sempat adu mulut. Ia heran mengapa Fang tidak memperbolehkannya berpecah tiga. Bahkan kakaknya itu seperti menghalang ia untuk ikut menyerang Tiga Rob.
Oh. Pecah tiga. Dulu ia sempat mengalami kelupaan karena berpecah tiga terlalu lama.
BoBoiBoy merasakan sesuatu hangat menetes ke punggung tangannya.
Matanya melotot begitu melihat cairan merah pekat menutupi punggung tangannya.
"PUSARAN ANGIN!"
Pusaran angin keluar dari telapak tangan BoBoiBoy. Pusaran angin itu mengambil sekotak tisu lalu menyerahkannya kepada BoBoiBoy.
SRET! SRET! SRET! SRET!
Dengan cepat, BoBoiBoy mengambil tisu sebanyak mungkin. Ia lalu mengelap punggung tangannya.
Tapi darah masih mengalir dari hidung BoBoiBoy.
"Duh, apa yang 'kau' nak, hah?!" jengkel, BoBoiBoy berbicara sendiri kepada alzheimernya.
Tisu menyeka bawah hidung BoBoiBoy. Kini kasurnya kacau. Seprai yang sudah hampir copot, tisu berwarna merah berserakan, bantal tidur yang berada di pinggir kasur, dan guling yang sudah jatuh ke lantai.
"Ayolah, berhenti! Nanti yang lain lihat." BoBoiBoy menyumbat hidungnya dengan tisu secara paksa.
BoBoiBoy hanya bisa berpikir kapan ini berakhir secepatnya.
BoBoiBoy memilin tisu lalu memasukkannya ke dalam lubang hidung yang mengalirkan darah, berharap mimisan segera berakhir. Ia bangkit dari kasurnya untuk membereskan tisu dan seprainya. Keluhan sakit dari mulutnya sempat terucap. Kepalanya terasa nyut-nyutan.
DUK!
"Aduh!"
Secara tak sengaja, telapak kakinya sedikit masuk ke kolong kasur. Kakinya terpentok oleh sesuatu yang keras.
BoBoiBoy merunduk untuk mengecek kolong kasur.
Pandangannya perlahan blur karena kepala yang terlalu di tundukkan ke bawah. Namun, BoBoiBoy tidak peduli dan terus berusaha mengambil sesuatu yang membuat kakinya sakit. Kepalanya semakin pening dan sakit.
Akhirnya tangannya menggapai benda yang ada di kolong kasur.
"Eh? Buku apa ini?"
Pening di kepalanya hilang begitu ia berdiri tegak. BoBoiBoy bergegas menutup jendela dan menyalakan lampu kamar.
"Pengetahuan dunia kesehatan, oleh Universitas Pulau Rintis. Wuah, tunggu. Sejak kapan aku punya buku ini?" BoBoiBoy terheran kepada dirinya sendiri.
Penasaran, ia kemudian duduk dan membuka lembar demi lembar buku tebal itu. Berusaha membaca seraya menahan sakit.
BoBoiBoy terus berusaha membaca. Darah di tisu sudah merembes dan akhirnya menetes ke kertas putih buku itu.
"Huih, macem mana cara baca kata ni?" BoBoiBoy sedikit lupa cara membaca pada suatu kata yang ia lihat.
Sepertinya hal ini akan memakan waktu lama.
222
Udara malam yang dingin dan suasana malam yang sepi membuat Fang betah tinggal sendirian. Kini ia duduk di atas atap rumahnya. Tentu saja itu ia lakukan ketika Ayah, Ibu, Ochobot, dan BoBoiBoy sudah tidur di dalam kamar masing-masing.
BoBoiBoy? Oh.
Fang sedikit merasa bersalah telah membentaknya tadi.
"Sial!" Fang menonjok udara malam yang tidak bersalah.
Padahal ia sudah berjanji dalam dirinya ia akan menjadi kakak yang baik. Ia tidak mau mengulangi pertengkaran masa lalu. Fang kini membenci dirinya sendiri.
BoBoiBoy kini marah kepadanya. Ia bisa melihat tampang marahnya ketika mereka makan malam bersama. BoBoiBoy hanya fokus makan. Diam dan tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Wajahnya terlihat lelah sekali.
"Kakak ngapain di sini? Dingin loooh."
Fang menarik napas kaget begitu BoBoiBoy duduk di sampingnya. BoBoiBoy cuek dengan respon kakaknya. Matanya melihat langit gelap yang hanya ada bulan yang terang.
"K-kamu ... gak tidur?" tanya Fang canggung.
"Belum mengantuk. Aku mendengar suara berisik di atap rumah. Aku cek, eh ada Kakak. Yaudah aku ikut Kakak duduk," jawab BoBoiBoy polos.
Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya BoBoiBoy tidak marah kepada Fang. Fang mengembuskan napas lega. Adiknya tidak marah karena hal tadi.
.
HYUUUUUU!
Angin malam berembus pelan menghampiri mereka.
.
Telapak tangan BoBoiBoy mengeluarkan bola api kecil, untuk menghangatkan mereka berdua.
.
Sunyi menghampiri Fang dan BoBoiBoy.
.
Mereka larut dalam pikiran masing-masing.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Kak, nanti aku mati ya?"
Embusan angin malam menerpa rambut raven milik Fang dan mematikan bola api di tangan BoBoiBoy. Seakan-akan mewakili bisikkan ucapan sang adik. Mata di balik kacamata bingkai ungu itu menatap BoBoiBoy heran.
"Aku baca buku, kemungkinan alzheimer sembuh hanya lima persen(24). Hahahha." BoBoiBoy tertawa renyah.
Wajah pucat itu lalu menampilkan senyum murung. Kepalanya ia tundukkan perlahan.
"Aku ... sering lihat di drama kalau orang-orang kanker itu ... pasti meninggal," ucap BoBoiBoy dengan serak.
'Urrgh, mengapa hanya drama bodoh itu saja yang ia ingat?' gerutu Fang dalam batinnya.
Banyak pikiran negatif lainnya yang hinggap di otak BoBoiBoy. Ia tidak sanggup menyampaikannya lagi.
Tangan Fang merangkul pundak BoBoiBoy. Sangat erat seakan-akan BoBoiBoy akan pergi jauh.
"Hei ... hei dengar..." Kini wajah Fang dan BoBoiBoy saling berhadapan.
Mata sayu itu memandang sang kakak. Wajahnya pucat layaknya mayat hidup.
"Tidak peduli apapun yang terjadi, aku akan selalu di sampingmu, BoBoiBoy. Mau kamu sakit, mau kamu sehat, aku selalu menjagamu. Kita akan tumbuh bersama-sama. Kita akan melewati waktu ini bersama-sama. Jangan khawatir, ok?"
Bola mata BoBoiBoy meredup, seakan-akan itu adalah harapan kosong.
Ia tidak akan bisa melewati waktu bersama dengan Kakakknya.
Ia tidak akan bisa melihat Fang bahagia.
"Tapi—"
"Ssstt. Orang-orang mati itu hanya settingan di balik layar. Sudah lah, BoBoiBoy." Fang mendekap BoBoiBoy erat.
BoBoiBoy memeluk balik sang Kakak. Angin malam yang dingin nyaris tidak bisa dirasakan oleh kakak beradik itu. Mereka tenggelam dalam waktu yang seakan-akan berhenti.
"Janji kakak akan selalu di samping BoBoiBoy?"
"Tanpa kau minta, aku selalu di sampingmu, BoBoiBoy."
Senyum merekah di bibir BoBoiBoy. Air mata lolos dari manik karamel bocah bertopi itu.
BoBoiBoy tahu ia akan meninggalkan Fang sebentar lagi.
Sementara sang kakak tersenyum bahagia. Tangannya terus mengelus punggung hangat adiknya.
"Aku sayang Kak Fang," ucap BoBoiBoy sungguh-sungguh.
Pikiran Fang melayang ke suatu kejadian. BoBoiBoy sering kali bilang begitu setiap di sekolah maupun kumpul bersama keluarga besar. Alasannya karena BoBoiBoy ingin mempermalukan kakaknya yang kelewat populer itu.
Tentu Fang menghajar BoBoiBoy habis-habisan setelah adiknya bermanja, coret, mengejek dirinya dengan berteriak 'Aku sayang Kakak Fang~' di depan umum. Fang benar-benar malu.
Ah, BoBoiBoy ternyata masih anak kecil.
"Aku sayang kau juga, BoBoiBoy."
222
"Jadi, Kak Jungkook kenal dengan Coach Namjoon?" tanya Gopal seraya menyuap potato chips ke mulutnya.
Polisi Jungkook dan Coach Namjoon saling melempar pandang, lalu tersenyum.
"Iya, Namjoon adalah sunbae(25) di kampus ku," jawab Jungkook.
"Eh? Sunbae?" Ying tidak mengerti arti sunbae yang diucapkan Jungkook.
"Maksudnya, senior, Ying. Tapi, kita cukup dekat dan bersahabat. Hahaha," tawa Namjoon.
"Oooh, satu kampus toh." Yaya mangut-mangut.
Fang datang bersama Ochobot yang tengah membawakan nampan berisi lima gelas berisi sirup dan satu kaleng fanta dari arah dapur.
"Silakan nikmati minumannya," ucap Ochobot meletakkan nampan di atas meja tamu.
"Yeaaayyyy! Terima kasih, Ochobot!" seru Gopal lalu mengambil kaleng fanta.
"Hei! Itu punyaku lah!" seru Fang tidak terima Gopal mengambil minuman favoritnya.
"Eh? Iya kah? Hehehe." Gopal hanya bisa cengengesan.
Fang memutar bola matanya, lalu merebut minumannya dari tangan Gopal.
"Kalian silakan santai dulu. Sebentar lagi BoBoiBoy akan sampai di rumah," ucap Ochobot kepada para tamu.
Ya memang, di minggu pagi ini, teman-teman BoBoiBoy, Coach Namjoon, dan Polisi Jungkook berada di rumah BoBoiBoy. Padahal mereka tidak janjian untuk saling bertemu. Mereka punya niat yang berbeda-beda. BoBoiBoy bersama Ayah dan Ibu pergi ke rumah sakit untuk menjalani kemoterapi.
"Jadi, bagaimana keadaan BoBoiBoy sebenarnya? Maaf Coach belum bisa menjenguk saat dia sudah sadar," tanya Coach Namjoon.
Fang beserta teman-temannya diam. Lalu mereka tatap-menatap. Bertelepati. Sepakat Fang menjelaskan semuanya.
"Yah..." ujar Fang lesu, "BoBoiBoy mengalami masalah di memorinya. Ia hilang ingat—"
"Eh? Hilang ingatan? Tapi kenapa waktu itu dia manggil Coach Namjoon dengan mulus?" tanya Jungkook.
"—annya tentang aku. Ia hanya ingat kepada semua orang kecuali aku. Kata dr. Tadashi, itu karena ... akulah orang yang paling kuat menyebabkan kenangan dalam memorinya. Bagus ataupun buruk. Sekarang, aku hanya bisa berusaha untuk mengembalikan memori itu. Maka dari itu, aku minta Coach Namjoon untuk tidak menceritakan apa-apa tentang lomba pertandingan—"
"Jinja? Kau melatih anak muridmu sampai ke lomba pertandingan, Moonie Hyung? Lomba pertandingan di Stadion Kuala Lumpur itu kah?" histeris Jungkook.
Fang dan teman-temannya sweatdrop menatap sang polisi yang histeris sendiri.
Krik Krik...
Krik Krik...
"Dey, bisakah kau tidak memotong cerita Fang?" ucap Gopal dengan straight face.
"Oh, hehehe. Okey, maafkan aku," balas Jungkook cengengesan.
Coach Namjoon menertawakan sahabat baiknya itu.
"Jadi, kau meminta aku untuk tidak mengungkit tentang pertandingan hari itu?" simpul Coach Namjoon.
"Iya, aku takut itu akan menyakiti adikku."
"Haisshh. Bagaimana ini semua bisa terjadi? Mengapa kau menyuruh Namjoon untuk tidak mengungkit pertandingan itu lagi? Apa ada yang salah hah dengan pertandingan itu?" tanya Jungkook bertubi-tubi.
Fang menggigit bibir bawahnya. Tatapan matanya hancur saat itu juga.
"Sst. Jungkook, pelan-pelan. Aku yakin ada penjelasan dibalik semua ini. Ya 'kan, Fang?" ucap Coach Namjoon.
"Yalo. Jangan sudutkan Kak Fang seperti itu, ma," ujar Ying.
"Hmm, kalau kau tak bisa jelaskan, tidak apa-apa, Fang," ucap Yaya pengertian.
"Ceritakanlah saja, Bhaiyaa(26). Walaupun aku sudah tau dari BoBoiBoy, aku ingin mendengarkan langsung darimu," tutur Gopal kepo.
Yaya dan Ying memicingkan mata tajam kepada Gopal.
"Apa? Ada yang salah ke?"
Ochobot terbang mendekati Fang. Tangan robot itu mengelus pelan pundak Fang.
"Saranku, sebaiknya kau ceritakan semuanya sekarang juga. Agar semua orang yang ada di sini paham betul, apalagi Coach Namjoon. Coach Namjoon sama sekali belum tahu loooh, kalau waktu itu BoBoiBoy mengidap kanker alzheimer," saran Ochobot pelan.
"Nah, betul tuh. Betul!" celetuk Jungkook dan Gopal secara bersamaan.
"Oh iya ya..." kini suara Fang tercekat.
"Jelaskan saja pelan-pelan. Itu sekaligus membuat hatimu plong, 'kan?" bujuk Ochobot.
Fang menarik napas perlahan. Ia duduk dengan posisi tegap. Matanya menatap Coach Namjoon.
"BoBoiBoy sangat senang dengan pertandingan itu. Dia bilang bahwa itu adalah cita-cita dia. Dia ingin sekali memenangkan pertandingan itu. Dia sampai memohon izin kepada Ayah dan Ibu. Dia benar-benar ingin mengharumkan nama sekolah. Sebelum hari pertandingan itu, BoBoiBoy demam."
Semua orang yang ada di situ hanya diam dan menyimak.
"Aku melarangnya untuk ikut pertandingan besok. Menyuruhnya untuk digantikan dengan orang lain saja. Tetapi tetap saja ia tak mau. Akhirnya besok, Coach Namjoon menelepon ke rumah dan aku mengangkatnya. Coach bilang bahwa pada hari itu, jadwal pertandingan di undur, 'kan?"
Kening Coach Namjoon mengerut. Mencoba mengingat hari itu. Lalu ia mengangguk.
"Aku tidak memberitahu jadwal pertandingan yang sudah diubah itu, Coach. Aku tidak memberitahu kepada BoBoi—"
"NAAAH! Sebab tu lah BoBoiBoy telat ke pertandingan, Coach!" seru Gopal heboh.
Krik Krik ...
Krik Krik ...
"Ya! Bisakah kau tidak memotong cerita Fang?" Kini Jungkook menatap Gopal dengan straight face.
Gopal hanya memanyunkan bibir.
Fang mengembuskan napasnya. Ia terlihat lelah sekali.
"BoBoiBoy pulang ke rumah. Ia mengamuk, mulai menonjokku tanpa alasan. Lalu kita berperang. Ia berkata bahwa aku menghancurkan mimpinya. Gara-gara aku, cita-citanya hancur. Gara-gara aku, pangkat kaptennya hilang. Gara-gara aku—" Fang nyaris meledak saat itu juga. Wajahnya sudah memerah.
"Sudah cukup sampai di situ, Fang!" ujar Yaya. Tidak tahan melihat temannya menderita.
Coach Namjoon turun dari sofanya. Ia berlutut di karpet, menyamakan tinggi badannya dengan posisi duduk Fang. Tangannya memegang Fang.
Fang menunduk. Air matanya nyaris tumpah kalau saja ia tidak bisa menahannya.
"Fang, aku sudah mengerti. Tidak perlu kau lanjutkan." Coach Namjoon mengelus pelan pundak Fang yang bergetar.
"Ma-maafkan aku juga, Fang. Aku tidak tahu kalau masalahnya sampai sejauh ini. Mianhae. Aku benar-benar tidak tahu," sesal Coach Namjoon.
Jungkook menatap Namjoon dengan tatapan sedih. Ia tahu sekali, sahabatnya itu terguncang juga.
"Aku ... benar-benar keras sekali saat itu. Seandainya aku tahu masalah kalian berdua, aku pasti bisa menengahi kalian saat itu. Mianata(27)."
Fang menatap Coach Namjoon. Ia bisa melihat rasa sedih yang dialami Coach Namjoon.
BoBoiBoy sendiri adalah tanggung jawab Coach Namjoon juga.
"Aku tidak akan mengungkit masalah pertandingan itu, Fang. Aku akan membantumu," tambah Coach Namjoon seraya tersenyum.
"Ah, Coach. Terima kasih banyak. Tapi, maaf gara-gara aku juga, pertandingan itu hancur," sesal Fang.
"Aniyaa(28)! Mana ade! Sekolahmu kalah bukan karena kau, Fang," sanggah Coach Namjoon.
Fang menatap Yaya. Yaya menatapnya dengan pandangan tuh-kan-sekolah-kalah-bukan-karena-kau.
"Dengar, masalah itu biarkan saja, Fang. Yang paling penting, kita harus fokus untuk membantu BoBoiBoy sembuh dari penyakit alzheimernya. Okey?" ujar Coach Namjoon.
Fang mengangguk pelan.
KREK!
Pintu rumah terbuka. Terlihat Ibu dan BoBoiBoy memasuki rumah. Ayah sedang memarkirkan mobilnya di garasi.
"Sepi sekali rumah ini. Kalian tidak mengobrol?" celetuk Ibu.
"Eh, Coach Namjoon! Polisi Jungkook!" sapa BoBoiBoy ceria.
Namjoon dan Jungkook merunduk. "Annyeong(29)."
"Hai, BoBoiBoy! Bagaimana kemoterapi hari ini?" sapa Gopal.
"Seperti biasa, Gopal. Hehehhe," balas BoBoiBoy ambigu.
"Haaa! Kau pasti lapar kan? Sini makan biskuitku," ucap Yaya seraya menyodorkan sekeranjang biskuit warna-warni.
"Eh? Kebetulan sekali ada biskuit. Aku mau laah," ujar Jungkook lalu ingin mengambil biskuit Yaya.
"EH? JANGAAAN!" sontak BoBoiBoy, Fang, Gopal, dan Ying berteriak panik.
"Yaa! Kalian kenapa berteriak?" ucap Coach Namjoon sedikit galak. Tentu saja karena kaget tiba-tiba para bocah itu berteriak.
"Itu sudah biasa lah," cibir Ochobot.
"A-anu ... i-itu ... hehehe ..." BoBoiBoy kehilangan kata-kata untuk menjelaskan biskuit yang tidak enak tersebut.
Keheningan sejenak muncul begitu saja. Tidak mungkin mereka mengatakan bahwa biskuit Yaya itu ... bisa menyebabkan orang pingsan.
"Dasar anak-anak!" gerutu Coach Namjoon lalu hendak mengambil biskuit Yaya juga.
Fang, Gopal, BoBoiBoy, dan Ying hanya mampu menahan napas melihat adegan orang dewasa itu mengambil biskuit manis dari anak kecil.
"Makan siang sediaaaaa!" seru Ibu dari dapur.
"Eh! Eh! Makan siang tuh!" ucap Gopal sengaja heboh.
"Eh? Sudah waktunya makan, yaa? Ayuk lah," ucap Yaya lalu berjalan menuju dapur untuk membantu Ibu menata piring dan gelas.
'Hah ... untung saja ...' batin keempat anak super hero tersebut. Polisi Jungkook dan Coach Namjoon tak jadi pingsan.
Sekarang, mereka semua makan di halaman belakang yang ternyata tempatnya sudah disediakan oleh Ayah. Selesai makan, Ibu dan Coach Namjoon mengobrol. Ayah dan Jungkook membahas tentang kepolisian. BoBoiBoy, Ochobot, Fang, dan teman-temannya bermain seraya bercanda.
Walaupun BoBoiBoy masih dalam kondisi pucat pasi, mereka tidak peduli. Mereka ... aka Fang dan kawan-kawannya berusaha membuat suasana seakan-akan BoBoiBoy sehat bugar.
222
TING TONG!
"Paket datang!"
BoBoiBoy yang kebetulan berada di ruang tamu, segera membukakan pintu. Terlihat seorang pemuda berseragam khas Pos Pulau Rintis.
"Ada paket untuk ..." Pemuda itu sejenak melihat nama yang tertera di depan sebuah box yang terbungkus rapi "... Fang. Untuk Fang. Bisakan Anda tanda tangan di sini?"
"Baiklah."
Setelah menandatangani formulir penerimaan, BoBoiBoy menerima paket tersebut.
"Isinya apa, ya?" Penasaran, BoBoiBoy duduk di sofa lalu menyobek bungkus paket tersebut.
"Eh? Dari sekolah?" Terlihat lambang Sekolah Rendah Pulau Rintis di setiap sisi box tersebut.
BoBoiBoy membuka box tersebut. Isinya ialah catatan akhir sekolah yang berupa nilai dan sikap, buku tahunan sekolah, dan beberapa foto perpisahan sekolah.
Bocah bertopi itu diam sejenak. Matanya meneliti setiap foto yang ada di tangannya.
"Kakak sudah lulus? Bukankah ..." Ia bingung sendiri dengan perkataannya.
Salah satu foto itu menunjukkan Fang dan Yaya sedang bernyanyi di atas panggung. Foto yang lainnya menunjukkan Fang dengan tuxedo-nya memegang beberapa buket bunga. Foto yang lainnya Fang bersama dengan teman-teman sekelasnya.
"Foto keluarga kok tidak ada?" BoBoiBoy menyadari ada sesuatu yang janggal.
Tangannya meraih box. Ternyata ada salah satu foto yang menyempil.
Foto itu menunjukkan Fang, Ochobot, Ayah, dan Ibu di dalam gedung yang amat BoBoiBoy kenali.
"I-ini ... Gedung Serba Guna Pulau Rintis?"
Ekspresi Fang disitu sulit dikenali. Entah sedih ataupun senang.
"Aku kemana?" BoBoiBoy sadar dirinya tidak ada di dalam foto satupun.
Manik mata karamel itu memandang lurus. Pandangannya menjadi buram seketika.
"Akh, ada apa ini? Tolong hentikan. Aku ingin menonton Kak Fang hari ini."
"Ukh!"
Tangan BoBoiBoy memijat keningnya. Kepalanya terasa begitu sakit.
"K-kak Fang. M-maafkan aku. T-tolong aku," racau BoBoiBoy.
Ingatan itu mendadak berputar di otak BoBoiBoy. Ia melihat dirinya terlentang jatuh di lantai rumah dengan napas ngos-ngosan. Ia begitu kesakitan dan lemah saat itu juga.
"A-apa ini?" racau BoBoiBoy lalu menjambak rambutnya. Berusaha menghilangkan rasa sakit yang menjalar begitu cepat.
Udara di sekitarnya mendadak menipis. Dadanya menjadi sesak dan pernapasannya tersendat-sendat.
"Hah ... hah ..."
"Aku ingin menonton Kak Fang. Kuharap belum terlambat."
"Akh! KUMOHON HENTIKAN!"
"Uh ... hen ... uh ... tikan," rintih BoBoiBoy seraya meremas dadanya.
Ibu baru saja turun dari tangga. Matanya melihat BoBoiBoy tengah kesakitan di sofa ruang tamu.
"Bo-BOBOIBOY!" Ibu berlari kecil menghampiri putranya.
Tangannya mengecek kening BoBoiBoy.
BoBoiBoy melihat wajah Ibu yang tidak begitu jelas. Semuanya buram.
"Kamu gak apa-apa, nak?" tanya Ibu cemas.
"I-Ibu? Uh ..." Napas BoBoiBoy semakin sempit. Keringat dingin terus mengalir di pelipisnya.
"Fang! Ochobot! Ah ... siapapun yang mendengar Ibu, tolong ambilkan Ibu kaleng oksigen!" seru Ibu dengan nada panik.
WUUSHH!
Tiba-tiba Fang memunculkan dirinya seraya menyerahkan kaleng oksigen kepada Ibu.
"Ibu, BoBoiBoy kenapa?" Fang kaget melihat BoBoiBoy yang kesusahan mengambil napas.
"Ibu juga tidak tahu, Fang," ujar Ibu seraya membuka mulut kaleng.
Fang menerawang benda-benda di sekitar BoBoiBoy. Akhirnya ia tahu apa penyebab adiknya seperti ini.
Benar kata Yaya, paket perpisahan sekolah akan sampai di rumahnya hari ini.
Mulut kaleng itu dipasang di sekitar hidung dan mulut BoBoiBoy. Ibu menyatukan badan kaleng dengan mulut kaleng yang sudah terpasang di sekitar hidung dan mulut BoBoiBoy.
"BoBoiBoy, dengar Ibu. Tarik napas perlahan. Kontrol pernapasanmu, sayang. Oksigen akan masuk ke dalam hidungmu," ujar Ibu.
"Hah ... hah ..." BoBoiBoy bersusah payah mengatur pernapasannya.
Fang merutuki kesalahannya karena tidak mengambil benda-benda berserakan di sekitar BoBoiBoy. Benda-benda itulah yang memaksa memutar memori BoBoiBoy.
222
BoBoiBoy masih terbaring lemah di atas sofa. Rasanya sangat lelah sekali mengambil oksigen. Beruntung Ibu menyediakan oksigen kaleng di rumah.
Mata sayunya menatap sang kakak yang mematung di depannya.
"Kak ..." nada bicara BoBoiBoy begitu lemah, "Kakak sudah lulus?"
Fang menggigit bibir bawahnya. Sekarang justru ialah yang menyebabkan masalah kepada BoBoiBoy.
"Aku kemana, yaa? Kenapa aku tidak datang?" tanya BoBoiBoy sekali lagi.
Fang membuang muka. Ia tentu saja tidak tahu alasan BoBoiBoy tidak datang pada acara perpisahannya.
"Kamu pingsan dan koma pada hari itu, BoBoiBoy." Terpaksa Ibu menjawab pertanyaan BoBoiBoy.
"Oh ..." BoBoiBoy melempar pandang ke arah lain. "Tapi, rasanya, ada alasan juga aku tidak da—"
"SUDAHLAH, BOBOIBOY!" bentak Fang seraya memberikan tatapan death glare.
BoBoiBoy cuek seakan-akan sudah kebal dengan semua tatapan kejam kakaknya.
"Tidak usah diingat lagi! 'Kan sudah kukatakan, jangan diingat kalau itu membuatmu sakit!" gertak Fang.
BoBoiBoy sedikit takut dengan gertakan Fang. Namun ia melanjutkan pembicaraan, "Kak, aku merasakan ada sesuatu yang ganjil. Aku tidak tahu apa itu. Aku hanya ingin tahu dan—"
"Dan ingin membuatmu kehilangan pernapasan seperti tadi? IYA?!"
BoBoiBoy mengerutkan keningnya.
Fang tidak mau BoBoiBoy mengingat masa lalu lagi. Ia tidak mau melihat adiknya kesakitan lagi. Fang rela BoBoiBoy melupakan dirinya asal ... penyakit adiknya tidak kambuh lagi.
"Aku akan cari tahu sendiri!" BoBoiBoy meninggikan suaranya yang serak. Ia sendiri penasaran dengan semua memori di dalam otaknya.
Fang hampir stres berhadapan dengan adiknya. Ia tidak tahu lagi harus apa supaya BoBoiBoy menghentikan ingatan-ingatan masa lalu itu.
BoBoiBoy merubah posisinya dari baring menjadi duduk. Ia menatap Fang serius.
"Sel-sel otakku hampir rusak karena alzheimer. Aku tidak mau mati dengan memori kosong!" seru BoBoiBoy.
A-apa ... apaan ini.
"Kau tidak akan mati BoBoiBoy!" seru Fang lebih keras.
BoBoiBoy tidak memedulikan seruan kakaknya. Ia terus melanjutkan pembicaraan.
"Kak, kita pernah bertengkar sebelumnya? Atau kita—" Mungkinkah mereka pernah bertengkar sebelumnya? Ah jelas sekali mereka pernah, menurut perasaan BoBoiBoy. Tapi apa penyebabnya?
"SUDAH CUKUP, BOBOIBOY! HENTIKAN!"
Kini Fang panik bahkan parno. Adiknya itu terus menggali memorinya.
"SUDAH KUBILANG AKU ... UH ... TIDAK AKAN BERHENTI!" BoBoiBoy merintih kesakitan lagi. Ia ingin mengingat sesuatu yang berhubungan dengan kakaknya.
Mata Fang berapi-api menatap BoBoiBoy. Ia benar-benar marah kepada adiknya.
"Kalau begitu ..." Fang membalikkan badannya, "Aku yang akan berhenti."
Mata BoBoiBoy membulat. Apa maksud sang kakak?
"Kak—"
Sebelum BoBoiBoy melanjutkan pembicaraan, Fang terlebih dahulu meninggalkan ruang tamu. Ia membanting pintu sebelum keluar rumah.
"KAK FANG! HIKS ..." BoBoiBoy tidak bisa menahan tangisannya lebih lama lagi. Air mata itu keluar dengan deras.
Ibu jelas tidak bisa ikut campur dalam masalah mereka. Hatinya hanya bisa cemas memikirkan kepergian Fang ketika melihat cuaca di luar sangat mendung ditambah angin yang berhembus dengan kencang.
Sebenarnya, apakah Fang benar-benar kakakku? Mengapa hanya ia satu-satunya orang yang tidak bisa kuingat?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Catatan kaki:
24. Kemungkinan sembuh lima persen. Ini cuma karangan belaka Author. Tenang saja.
25. Sunbae : Senior dalam bahasa Korea.
26. Bhaiyaa : Saudara laki-laki dalam bahasa India. Bisa juga sebagai panggilan 'bro' kepada teman.
27. Mianata : Maaf dalam bahasa Korea.
28. Aniyaa : Tidak dalam bahasa Korea.
29. Annyeong : Hai dalam bahasa Korea.
A/N: Gatau kenapa makin mendekati chapter akhir, plot cerita yang aku rencanakan di otak kok makin kacau ya :". Aku ngerasa adegan Tiga Rob itu sampah banget. Ga guna. Pengen ganti pake adegan lain, tapi udah terlanjur bersambung ama chapter sebelumnya :". Gatau kenapa aku pengen aja masukin Tiga Rob. Tapi masa jadinya gini huaaaa :"
Aku butuh kritikan lagi dari kalian. Semoga chapter ini memuaskan kalian sebelum Final Chapter selanjutnya.
Terima kasih kalian sudah setia menunggu ff ini. Bahkan mengingatkan Author untuk melanjutkan ff ini :"). Author sayang kalian semuaaaa *hug*. Maafkan Author yang masih payah bet nulis ff ini :"(.
Finally, tinggal chapter akhir di depan mata! Saya akan update kilat. Mungkin. Tunggu saja yhaahahaha x). Soalnya masa senggang saya lagi banyak banget.
Silent reader, yekali sampai chapter segini belum review XD.
Mohon review kalian semua ^^!
—————————
K O L O M N U T R I S I
——————————
1. Dapatkah BoBoiBoy berhasil mengingat memori yang hilangnya?
2. Bagaimana caranya menghadapi adik yang keras kepala?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 19 di Do I Remember You?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Do I Remember You?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top