Chapter 17

Matahari mulai menunjukkan sinarnya. Langit gelap malam kini berganti menjadi langit cerah pagi. Orang-orang menyambut pagi hari dengan segar dan semangat.

Tapi tidak untuk orang-orang di Rumah Sakit Pulau Rintis, khususnya di dalam ruang kamar VVIP.

NIIIIIIIIIIIIIITTTT!

Bunyi elektrokardiogram masih berbunyi. Dokter Tadashi dan rekan-rekannya masih mematung di tempat. Pemuda yang bersurai raven itu menjadi pusat perhatian karena tangisannya yang begitu menyakitkan. Fang tidak henti-hentinya berbicara sendiri dan meyakinkan diri sendiri bahwa ini hanyalah mimpi semata. Ayah dan Ibu hanya menatap pasrah anak mereka berdua. Ochobot tidak mungkin berbicara apa-apa. Karena robot itu merasa ia mempunyai banyak salah.

"Kak, maafkan aku." BoBoiBoy mendekat ke arah kakaknya dan memeluknya dari belakang.

Punggung Fang terasa kosong. Padahal adiknya berada disitu. Memeluknya hangat dan sebagai tanda rindu yang sangat mendalam.

Apa mungkin ini adalah pelukan terakhir BoBoiBoy?

Apa mungkin ia harus pergi?

Dokter Seok Jin hendak melepaskan infus yang menancap di punggung tangan BoBoiBoy dan selang oksigen yang berada di mulut serta hidung sang pasien. Namun Fang terlebih dahulu mengamuk dan menatap dr. Seok Jin dengan pandangan mematikan.

"HENTIKAN! JANGAN ADA YANG BERANI-BERANINYA MENYENTUH ADIKKU! JANGAN ADA YANG BERANI MELEPASKAN PERALATAN ITU!" teriakan Fang membuat jantung orang-orang seketika berhenti.

Dokter Seok Jin segera menjauh dari tubuh BoBoiBoy yang terbaring kaku.

"Hiks ... Hiks ..." Fang masih sesegukan seraya memegang tubuh adiknya.

Begitu kaku. Begitu dingin.

Otak Fang benar-benar percaya bahwa BoBoiBoy memang sudah meninggalkannya. Tetapi hati Fang berkata lain. Hatinya masih yakin bahwa BoBoiBoy masih ada. Masih hidup.

Air mata itu tidak henti-hentinya turun. Fang lalu memeluk tubuh kaku adiknya.

"BoBoiBoy, tolonglah bangun. Jangan begini. Bangunlah! Ayooooo," ucap Fang dengan suara tercekat.

Mau bagaimanapun, peraturan tetaplah peraturan. Kode etik tetaplah kode etik. Seorang Dokter harus tegas dalam melaksanakan tugasnya. Dokter Tadashi segera mendekati BoBoiBoy dan Fang.

Matanya memandang lurus ke arah BoBoiBoy. Wajahnya tidak berekspresi sama sekali.

"Waktu kematian pasien adalah—"

"JANGAN! TIDAK, DOK! HUWAAAA!"

Tangis pecah Fang kembali memenuhi ruangan itu. Tangannya yang ditutupi sarung tangan fingerless ungu mengguncang-guncangkan lengan dr. Tadashi.

"Tolong tangani adikku, Dok! Kau adalah dokternya! Aku mempercayaimu, Dok! Kau adalah dokter dan kau bisa menyembuhkan pasien!" jerit Fang dengan paksa.

Sikap Fang semakin menyebalkan. Seandainya ia bukan dokter, ia akan menjadi petugas keamanan dan akan menarik paksa Fang untuk menjauh dari kamar.

Tapi, pikiran itu segera ditepis jauh-jauh. Karena Dokter Tadashi pernah mengalami hal yang serupa dengan Fang.

"Kak, sudah cukup. Hentikan." BoBoiBoy meratapi kakaknya dan berbicara dengan nada cukup tinggi.

Walau bagaimana pun, BoBoiBoy tidak akan pernah di respons oleh orang-orang sekitarnya.

Mata Fang melirik ke arah Ochobot yang sedari tadi bisu, seperti robot dalam mode silent. Kakinya yang rapuh melangkah mendekati Ochobot.

"Ochobot, aku minta kau hidupkan BoBoiBoy kembali!" ucap Fang dengan tegas.

Ochobot menatap Fang dengan pandangan yang cukup kaget. Robot itu tak mungkin melakukan hal ekstrim semacam itu.

"A-aku ... tak bisa, Fang. Itu bukan—"

"Aku tak peduli," potong Fang, "Cepat lakukan! Ini perintah!"

"Sudah cukup, Fang! Hentikan!" ucap Ayah.

Hati Ibu menjadi khawatir melihat Fang. Ayah menganggap Fang sudah kelewat batas.

"Kau adalah robot canggih, Ochobot! Aku tau kau bisa melakukannya!" ucap Fang dingin. Ia tidak memedulikan perkataan Ayahnya.

Tangan Ayah hendak melayang memukul wajah Fang. Sekedar untuk menyadarkannya. Tetapi tangan itu berhasil dicegah oleh BoBoiBoy. Tangan hantu BoBoiBoy bisa menahan tangan Ayah.

"Ayah, kumohon. Jangan lakukan itu!" ucap BoBoiBoy seraya menatap Ayah.

Suara BoBoiBoy memang tidak bisa di dengar oleh Ayah. Tapi entah mengapa, suara itu sampai ke hati Ayah. Perlahan tangan Ayah turun dan tidak berkutik.

Ayah harus menjaga sikapnya di depan anak-anaknya.

"Aku tidak bisa, Fang! Aku adalah robot sfera kuasa, bukan robot penghidup manusia! Aku tidak mau melanggar peraturan!" ucap Ochobot tegas.

"T-tapi—" Fang hendak mengelak.

"Ini semua sudah diatur, Fang. Aku tidak bisa mengatur takdir seseorang." Ochobot memotong pengelakan Fang.

Ucapan Ochobot membuat Fang sadar. Ia sadar itu adalah hal yang tidak mungkin dilakukan. Ia menjadi menyesal dengan semua perkataannya.

"M-maaf," lirih Fang.

Fang menengokkan kepalanya ke arah BoBoiBoy. Ia kemudian berjalan perlahan mendekat ranjang adiknya.

Tangan Fang memeluk tubuh kaku BoBoiBoy. Kepalanya ia letakkan di dada BoBoiBoy.

Air mata Fang turun dengan deras. Sudah jelas tidak ada suara detak jantung di dalam dada adiknya. Mungkin Fang harus berusaha menerima semuanya.

"Hiks ... hiks ... maafkan aku, BoBoiBoy," ucap Fang sesegukan.

BoBoiBoy berjalan mendekati ranjang lalu memeluk tubuhnya sendiri yang berbaring di ranjang itu dari sisi yang berlawanan. Tangannya mengenggam tangan kakaknya.

"Aku sudah memafkan Kak Fang," balas BoBoiBoy tersenyum.

"Aku ... hiks ... hanya ingin ... kau hidup. Aku menyesal te ... lah hiks ... hiks ... bertengkar denganmu. Aku memang ... kakak yang tidak berguna. Aku ... hiks ... a-aku ..."

Dada Fang terus sesak. Matanya semakin panas. Napasnya terputus-putus seiringan dengan isakannya.

"To-tolonglah. Aku janji aku akan menjadi kakak yang lebih baik untukmu. Aku janji, BoBoiBoy. Kumohon, kembalilah! Aku ... merindukanmu. Hiks ... hiks ... Aku menyayangimu."

"Aku juga ingin kembali, Kak. Aku rindu Kak Fang juga. Hiks ... aku ... juga ... sayang ... sama ... Kak Fang ... hiks ... hiks." Tanpa sadar, BoBoiBoy ikut menangis.

Saking sayang dan rindu yang menghampiri mereka, kedua kakak beradik itu menangis bersamaan. Merasakan perasaan yang sangat menyiksa. Mereka sudah tidak tahan lagi.

Sayup-sayup BoBoiBoy mendengar suara aneh.

"Hai, Fang! Lihat ini adikmu! Lihat betapa menggemaskannya ia. Ya, 'kan? Ya, 'kan?"

Suara itu ...

"Biasa saja."

Suara Ibu dan Fang. Ya, BoBoiBoy ingat itu.

"Wah, ia sama gantengnya dengan Ayah! Hahahaha."

Suara Ayah.

"Siapa namanya, Bu?"

Suara Fang.

"Nah, panggil dia BoBoiBoy."

Momen itu ...

"Aaarrrghhh!" BoBoiBoy meremas kuat rambutnya untuk menahan sakit yang menghampiri kepalanya.

Momen ketika BoBoiBoy datang ke dunia. Ketika mata mungilnya melihat besarnya dunia.

"Kau kenapa sih? Sok berani banget melawan Adu Du?!"

"Aku ingin menyelamatkan tetangga kita tadi!"

"Iya! Tetangga selamat! Kalau kamu ga selamat gimana?!"

"Aku selamat! Buktinya aku masih berdiri di depan Fang, 'kan?!"

Perdebatan sewaktu BoBoiBoy dan Fang mendapat jam kuasa untuk pertama kalinya.

Tubuh BoBoiBoy ambruk. Kejadian-kejadian itu terus berputar bak film di dalam otaknya.

"Kau gak usah sok-sokan mengeluarkan naga bayang untuk melawan Ejo Jo, Fang! Lihat akibatnya! Kau menjadi lemah!"

"Hhh ... hhh ... yang penting kau tidak apa-apa."

"Tapi tubuhmu menjadi lemas begini!"

"H-hah ... diamlah!"

Sewaktu Ejo Jo datang ke bumi dan menyerang BoBoiBoy beserta tim superhero-nya.

NGIIIIINGGGG!

Suara berdenging menghampiri telinga BoBoiBoy.

"Hah? Capek? ... Lebih capek mana dengan aku yang ke Stadion Kuala Lumpur menggunakan hooverboard kemudian berlari sepanjang jalan masuk stadion?!"

"Apa maksudmu?!"

"Lupakan saja. Orang macam kau tidak paham perasaan orang yang barusan kehilangan impiannya."

Oksigen di sekitar BoBoiBoy semakin menipis. Paru-parunya serasa dibakar. BoBoiBoy sulit bernapas. Ia merasakan tubuhnya ditarik oleh sesuatu.

Lalu semuanya menjadi gelap.

"Tolong. Kembali. Kumohon."

222

NIT NIT NIT!

Suara elektrokardiogram kembali normal. Gelombang detak jantung terpampang di layar dan berjalan dengan baik. Dokter Seok Jin membulatkan matanya melihat elektrokardiogram.

"Tadashi! Elektrokardiogramnya berjalan!" heboh dr. Seok Jin.

DEG DEG! DEG DEG!

Suara detak jantung menghampiri telinga Fang. Fang membuka matanya lebar lalu memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

Sekali guncangan kecil terasa di tubuh BoBoiBoy. Bocah itu membuka matanya dengan spontan. Bola matanya bergerak kesana-kemari untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Fang menegakkan tubuhnya dan nyaris tidak percaya apa yang ia lihat. Adiknya membuka matanya di depannya. Bahagia, senang, syok, terharu ... semuanya bercampur aduk menjadi satu.

"BoBoiBoy?" panggil Fang di depan wajah BoBoiBoy.

Dokter Tadashi segera memeriksa BoBoiBoy dengan stetoskopnya.

"Siapa namamu?" tanya dr. Tadashi kepada BoBoiBoy.

Dokter Seok Jin segera melepas masker oksigen dengan perlahan.

Mulut BoBoiBoy terasa kaku untuk digerakkan. Kerongkongannya sudah kering. Namun ia memaksa untuk mengatakan sesuatu.

"Bo ..."

Dokter Tadashi menunggu kelanjutan suara BoBoiBoy.

"Hhh ... hhh ... Boi ..."

BoBoiBoy berusaha semaksimal mungkin untuk mengeluarkan suaranya.

"BoBoiBoy," balas BoBoiBoy akhirnya dengan nada lirih.

"Oke, BoBoiBoy. Keadaanmu sedikit stabil. Sebaiknya kau jangan terlalu banyak bergerak ataupun berbicara," ucap dr. Tadashi.

Ayah dan Ibu segera menghampiri BoBoiBoy. Begitupun Ochobot. Mereka hampir meneteskan air mata bahagia.

"Sayang? Kau sudah sadar?" ucap Ibu seraya mengelus kepala BoBoiBoy dengan lembut.

"Ibu! Ayah! Ochobot!" panggil BoBoiBoy lemah dengan senyum di wajahnya.

"Sa-sayang? Apa ini benar kamu? Oh, Ibu rindu denganmu." Ibu menangkup wajah BoBoiBoy dengan kedua tangannya.

"BoBoiBoy juga rindu dengan Ibu."

Air mata bahagia itu tak dapat dibendung lagi. Ibu menangis bahagia seraya memeluk BoBoiBoy.

"Hiks ... hiks ... syukurlah."

Ibu melepas pelukannya, membiarkan giliran Ayah untuk berbicara kepada BoBoiBoy.

"Ayah lega kau baik-baik saja." Ayah menepuk-nepuk pundak BoBoiBoy.

"Terima kasih, Yah!" balas BoBoiBoy lalu nyengir kuda.

"BOBOIBOY!"

Ochobot memanggil BoBoiBoy dengan heboh lalu memeluknya. BoBoiBoy hanya tertawa kecil melihat kelakuan Ochobot.

"HUHUHHUHU! BOBOIBOY! AKU RINDU SANGAT DENGAN KAU!"

BoBoiBoy membalas pelukan Ochobot.

"Hehehe, aku juga sama, Ochobot. Kau baik-baik saja kan? Apakah Adu Du menganggumu?" tanya BoBoiBoy seraya mengelus kepala besi Ochobot.

"Tak lah. Kau tak perlu khawatir pasal Adu Du tu," balas Ochobot.

Ochobot melepas pelukannya.

Fang tersenyum manis melihat adiknya.

"Aku tahu kau akan mengejekku setelah ini. Tapi aku lega sekali kau sudah sadar, BoBoiBoy," ucap Fang.

BoBoiBoy mengerutkan keningnya ketika melihat Fang.

"Hehehe, terima kasih. Tapi, maaf siapa namamu?" tanya BoBoiBoy dengan polos.

Senyum Fang perlahan pudar mendengar perkataan adiknya.

"Jangan bercanda, BoBoiBoy! Kau ingin mengerjaiku, ya?" tebak Fang.

Namun, tidak ada raut wajah yang menunjukkan tanda bahwa BoBoiBoy sedang bercanda.

"Tidak. Sama sekali tidak. Ibu, Ayah, siapa dia?" pandangan BoBoiBoy beralih ke arah Ayah dan Ibu.

Ayah dan Ibu sama-sama terkejut dengan perlakuan BoBoiBoy. Masa sih BoBoiBoy tidak mengenal Fang?

"I-itu kakakkmu, BoBoiBoy," balas Ibu dengan nada sedikit bergetar.

BoBoiBoy kembali memandang Fang dengan bingung.

"Kakak? Benarkah?"

Perkataan itu sukses membuat hati Fang tertusuk walaupun memang terdengar sangat polos.

"Aku kakakmu. Masa sih kau tidak mengingatku? Jangan bercanda, BoBoiBoy! Kau selalu memanggilku 'Kak Fang' ," desak Fang frustrasi.

BoBoiBoy mengubah posisi berbaring menjadi duduk tegak dengan punggung yang disandarkan pada bantal.

"Apakah aku mengingatmu?" ucap BoBoiBoy seraya menatap Fang dengan pandangan berusaha mengingat.

Fang membuang muka. Ekspresi kesal dan kecewa menghampirinya.

Jelas-jelas memori BoBoiBoy sedang bermasalah.

Tapi, jika memang memorinya bermasalah, mengapa ia ingat Ayah, Ibu, dan Ochobot?

Ibu menutup mulutnya dengan tangannya, berusaha menahan sesegukan dan isakan tangis. Adegan di depannya sangat menyedihkan di matanya.

Suster Rini, dr. Seok Jin, dan dr. Tadashi sedang diskusi seraya berkutat dengan kertas laporan yang ditempel di papan jalan yang dipegang oleh Suster Rini.

"Aku akan memberitahu hasil laporannya. Keadaan BoBoiBoy saat ini—"

Tangan Fang teracung sebagai kode untuk menghentikan perkataan dr. Tadashi.

"Tidak perlu, dok. Saya tidak mau dengar."

Setelah nada dingin itu terucap, Fang segera keluar dari kamar rawat dan menutup pintu dengan kasar.

222

Udara pagi ini cukup sejuk. Kantin Rumah Sakit Pulau Rintis belum terlalu ramai. Setiap meja bundar beserta empat kursi yang mengelilinginya tertata rapi di ruangan itu. Keramik pastel mengilap dan begitu bersih.

Fang berada di meja yang dekat dengan jendela. Matanya melihat pemandangan Pulau Rintis serta awan yang begitu indah di pagi hari. Jalan raya masih sepi dan hanya satu atau dua kendaraan yang lewat. Semangkuk bubur ayam panas dan air putih tertata elegan dan manis dengan garpu, sendok, tisu, dan sedotan putih yang berjejeran. Aroma khas bubur ayam panas mengepul dan menerpa hidung Fang.

"Maaf, donat lobak merahnya sedang dibuat. Nanti kami antarkan," ucap seorang pelayan seraya mendata sesuatu di kertas pesanan Fang.

Fang hanya bergumam kasar. Matanya tidak lepas dari pemandangan luar jendela rumah sakit. Pelayan sedikit membungkukan badan lalu pergi untuk mengurusi pesanan Fang.

Fang mendengkus sebal karena makanan kesukaannya tidak ada di mejanya. Ia sudah terlalu capek menunggu. Hanya donat lobak merah yang bisa menenangkan suasana buruk yang dialami Fang saat ini.

Biasanya orang-orang sedih dan putus asa akan pergi ke taman dan menyendiri. Tetapi kali ini Fang lebih memilih ke kantin karena memang ia sangat lapar semenjak kemarin. Lagipula ia juga tidak mau ditemukan dengan mudah oleh Ochobot, Ayah, atau Ibu.

Fang menatap buburnya lalu mengambil sendok. Ia tidak mood untuk makan berlama-lama, makanya ia memilih bubur karena tidak membutuhkan kunyahan lama.

Matanya menatap lurus ke arah bubur ayam seraya ia memakan buburnya.

"Haaaah? Bubur? Aku bukan anak bayi, Kak Faaaangg~" rengek BoBoiBoy.

"Diamlah. Mana obatmu?"

Tiba-tiba Fang mengenang sesuatu.

"Nih, makan!" ujar Fang menyodorkan sepiring bubur kepada BoBoiBoy.

"Tidak mau ah, itu buat Kak Fang saja."

Mulut Fang tidak tahan untuk tidak senyum. Ia begitu terhibur melihat wajah BoBoiBoy pada waktu itu.

Tapi ... tidak akan ada lagi rengekan 'Kak Fang' dari BoBoiBoy kepadanya.

Tangan Fang menggenggam sendok begitu kuat lalu melepaskannya dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi tabrakan antara alumunium dan kaca. Punggunggnya ia senderkan di kursi dengan gerakan cepat.

Fang begitu sakit hati kepada BoBoiBoy. BoBoiBoy sudah melupakan Fang begitu saja. Tapi, mengapa ia mengingat yang lain? Mengapa cuma dirinya? Apa ia akan ingat kepada tiga atau empat kuasanya? Apa mungkin ia lupa kegunaan jam kuasa?

"Fang?"

Fang tersadar dari lamunannya. Ia menengok Ibu yang sudah duduk di hadapannya.

Fang sudah tidak berminat berbicara kepada siapapun. Ia sudah lelah. Lelah berbicara, berteriak, menangis, marah, dan apapun itu. Fang melanjutkan makan bubur ayam yang sempat tertunda.

"Sayang, kau masih marah dengan kejadian tadi?" Ibu mencoba mengajak Fang berbicara.

Fang tidak menjawab Ibu. Ia terus fokus untuk menghabiskan buburnya daripada sekedar kontak mata dengan sang Ibunda.

Ibu menghela napas panjang. Ibu memang sudah lelah, tapi senyum di wajahnya tidak akan lepas.

"Fang sayang, tidak apa-apa jika kamu ingin marah. Ibu dan Ayah tidak menyalahkanmu. Tapi, bolehkah Ibu mengatakan sesuatu?"

Fang memutar bola matanya.

'Tidak, Bu. Jangan menasihatiku!' gerutu Fang dalam batinnya.

"Kamu boleh marah pada sisi BoBoiBoy yang mengalami masalah memori. Tapi, BoBoiBoy sudah sadar dari komanya. Apakah kamu marah akan hal itu?"

Fang langsung menghentikan aktivitas memakan buburnya. Pandangannya beku ketika kalimat itu muncul dari mulut Ibu.

"Ibu tanya sekali lagi. Apa Fang marah karena BoBoiBoy sudah sadar dari koma?" tanya Ibu dengan nada lembut.

Fang menundukkan kepalanya. Ia memang sangat marah kepada adiknya. Ia sudah lelah menunggu, menuntut, bertarung dengan Adu Du, dan bahkan sempat menyalahkan dirinya walau sebentar. Namun, ketika keinginannya terpenuhi, mengapa ia sangat marah?

Ia ingin BoBoiBoy sadar. Ia ingin BoBoiBoy sembuh.

Tapi pada saat semua keinginannya terkabul, mengapa ia justru sangat marah?

Ibu mengenggam tangan Fang dan mengelusnya pelan. Anaknya itu masih menghindari kontak mata dengan Ibu. Ibu tahu Fang sedang memikirkan sesuatu.

"Jangan terlalu dipikirkan, oke? Saran Ibu, Fang harus tenang dan memikirkan semua itu dengan matang. Kalau memang BoBoiBoy lupa dengan Fang, Fang bisa memulai semua dari awal," ucap Ibu dengan penuh kasih sayang.

'Memulai dari awal? Segampang itukah Ibu bilang?' Fang marah dalam batinnya sendiri.

"Ibu tahu ini sangat menyiksa Fang. Setidaknya coba dulu, sayang. Ibu, Ayah, dan Ochobot akan membantumu." Ibu menggenggam tangan Fang dengan lembut.

Ya. Setidaknya Fang harus berusaha dulu. Itu satu-satunya jalan untuk masalah saat ini.

"Ikatan batin antara kedua anak Ibu sangat kuat. Mereka tidak akan melupakan satu sama lain. BoBoiBoy sangat sayang kepada kakakknya. Fang sangat sayang kepada adiknya."

Fang tersentak.

Ikatan batin ...

Ibu melepas genggamannya.

"Baiklah. Hanya itu saja yang ingin Ibu katakan. Oh ya satu lagi, dr. Tadashi menunggu Fang di ruangannya. Lebih baik Fang temui dr. Tadashi. Ya, sayang?"

Fang tetap terdiam. Ibu menganggap Fang sudah mengerti akan ucapannya.

"Ibu ke kamar BoBoiBoy dulu ya. Ibu bagi satu donat lobak merahmu."

Perkataan 'donat lobak merah' sukses membuat bola mata Fang melihat ke arah Ibu.

Ia tidak sadar bahwa tiga donat pesanannya—minus satu karena diambil Ibu—sudah ada di meja.

Ibu sudah berjalan menjauhi Fang. Di tangannya ada sebuah donat kesukaan Fang dari dulu.

"Dasar Ibu," gumam Fang lalu tersenyum.

Fang segera menghabiskan bubur ayamnya. Ia tahu hal apa yang seharusnya ia lakukan setelah ini.

222

"Aku harus mengatasi ini semua. Bagaimanapun juga, ini semua tanggung jawabku."

"Tapi Tadashi! Izinkan aku membantumu. Aku juga ikut bertindak dalam operasi itu."

"Tidak, Seok Jin. Ini sudah tugasku sebagai ketua dalam tim."

Dokter Seok Jin menghela napas.

"Kau baru saja mendapat pujian dari Kepala Rumah Sakit Pulau Rintis melalui telepon. Lalu apa lagi sih yang harus diurus? Semua udah selesai, 'kan?" dr. Seok Jin menggerutu kesal.

"Semua memang sudah selesai. Aku memang dapat respons yang bagus dari pihak rumah sakit. Tapi ... belum tentu aku mendapat respons yang bagus juga dari pihak keluarga." Nada bicara dr. Tadashi agak pasrah.

"Ayah dan Ibu BoBoiBoy berterima kasih kepadamu barusan. Apalagi?!"

KRIEEEK.

Pintu ruangan dr. Tadashi terbuka lebar. Fang dengan wajah tenang memasuki ruangan tersebut.

Kedua dokter itu hanya bengong memandang Fang. Mereka sedikit kaku terhadap Fang. Mengingat hal tadi yang belum lama terjadi.

"Hai, Fang!" sapa dr. Seok Jin dilanjuti dengan cengirannya, "Begini saja, dr. Tadashi tidak mempunyai ma—"

"Dokter Kim Seok Jin! Tinggalkan ruanganku sekarang!" perintah dr. Tadashi dengan tegas.

Ucapan dr. Seok Jin terpotong. Ia lalu menatap dr. Tadashi dengan pandangan apa-maksudmu-menyuruhku-keluar seraya mengangkat kedua bahunya.

Tangan dr. Tadashi terulur ke arah pintu. Menyuruh dr. Seok Jin segera keluar.

Dokter Seok Jin akhirnya berjalan pelan menuju pintu keluar. Sebelumnya, ia sempat melempar wajah 'bodo amat' kepada dr. Tadashi.

Ruangan langsung sunyi senyap begitu dr. Seok Jin keluar. Hanya terdengar suara hembusan dari Air Conditioner yang serasa mencekam bagi dr. Tadashi.

Jantung dr. Tadashi sedikit berdegup. Ia takut jika Fang masih emosi lalu menyerangnya dengan kuasanya.

Namun semua negative thinking itu lenyap begitu dr. Tadashi langsung membungkuk 90 derajat di depan Fang.

"Maaf."

Kata itu terdengar dari mulut sang dokter. Fang sedikit terkejut melihat dr. Tadashi.

"Maaf. Maafkan saya, Fang. Saya benar-benar gagal menangani BoBoiBoy," ucap dr. Tadashi penuh sesal sambil terus membungkuk.

Fang memutar bola matanya dengan ekspresi datar.

Kedua tangan Fang terulur dan menuntun dr. Tadashi agar tubuhnya tegak kembali.

"Dok, sudahlah. Ini semua bukan salah Dokter," ucap Fang datar.

Dokter Tadashi menatap Fang penasaran.

"Seharusnya aku berterima kasih kepada Dokter. Dokter dengan sukarela merawat BoBoiBoy," jelas Fang.

Dokter Tadashi tersenyum tulus, "sama-sama."

"Mungkin perlahan, aku akan mencoba mengatasi semua masalah ini." Nada bicara Fang menjadi murung.

"Fang, duduklah. Ada sesuatu yang ingin dokter katakan." Dokter Tadashi menunjukkan bangku di sebelahnya.

Fang duduk, diikuti dr. Tadashi yang duduk di bangku sebelah.

"Begini, aku menganggap BoBoiBoy hanya mengalami kematian sementara tadi. Alzheimer di tubuhnya belum juga hilang. Memori penghubung di otaknya ada masalah."

Fang menatap dr. Tadashi lalu mengangguk kecil.

"Ia memang mengingat orang tuamu dan Ochobot saja. Itu karena ... BoBoiBoy tidak terlalu dekat dengan mereka."

Fang mengerutkan keningnya.

"Apa maksud perkataan Dokter?" Fang jelas-jelas tidak menerima kalimat terakhir perkataan dr. Tadashi.

"Eehhm ... begini. Setiap otak bagai tempat penyimpan kenangan. Banyak kejadian-kejadian yang dialami oleh BoBoiBoy dengan orang-orang terdekatnya. Tetapi mungkin kejadian itu tidak terlalu dikenang oleh BoBoiBoy. Jadi, ketika ia pulih dari koma, ia mengingat kejadian itu dengan mudah dan tidak sulit," jelas dr. Tadashi.

"Aku semakin tidak paham dengan penjelasanmu, Dok," balas Fang.

Dokter Tadashi menggerakkan bola matanya ke segala arah. Berusaha menemukan kalimat yang pas.

"Saya sedikit bertanya informasi tentang Fang kepada Ayah dan Ibu tadi. Jadi, maaf kalau saya sedikit ingin tahu sesuatu yang kau anggap privasi. Apa benar kau dan BoBoiBoy begitu dekat? Dari dulu?" tanya dr. Tadashi.

Fang menghela napasnya.

"Iya, aku memang dekat dengan BoBoiBoy."

"Belakangan ini sebelum alzheimer itu muncul, kau ditinggal Ayah dan Ibu ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Itu berarti di rumah hanya ada kau, BoBoiBoy, dan Ochobot, 'kan?"

Fang mengangguk.

"Kau dan BoBoiBoy pasti semakin dekat. Ketika saya dan BoBoiBoy pertama kali bertemu, saya tahu BoBoiBoy begitu sayang kepadamu. Setiap hari kalian pergi ke sekolah bersama, makan bersama, bercanda bersama, melawan Adu Du bersama, dan lainnya. Itulah memori dan kenangan yang begitu berharga di otak BoBoiBoy."

Fang membelalakkan matanya. Ia perlahan semakin tahu maksud penjelasan dr. Tadashi.

"Kau dan BoBoiBoy pernah bertengkar, ya? Kalau boleh tahu, apa inti permasalahannya?"

Perasaan ragu sempat menghampiri Fang. Ia tidak mungkin menceritakan sesuatu yang menjadi privasi baginya. Apalagi itu adalah suatu masalah besar baginya dan BoBoiBoy.

Fang menarik napas begitu dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia sudah mengenal dr. Tadashi cukup lama. Mungkin tidak apa-apa jika dr. Tadashi tahu.

"Ya. Aku bertengkar parah dengannya. Waktu itu ada pertandingan yang begitu penting bagi BoBoiBoy. Aku sempat melarangnya pergi walaupun Ayah dan Ibu mengizinkannya. Aku mendapat telepon dari Coach Namjoon bahwa jadwal pertandingan dimajukan. Aku tidak memberitahu hal itu kepada BoBoiBoy. Dan ... Dokter pasti tahu 'kan apa yang terjadi selanjutnya," ujar Fang dengan wajah murungnya.

Dokter Tadashi mengangguk mengerti.

"Ya. Mungkin itu adalah memori paling kuat bagi BoBoiBoy. Satu pertanyaan lagi, apa yang terakhir kali kau lakukan dengan BoBoiBoy sebelum ia jatuh pingsan kemudian koma?" dr. Tadashi menatap serius wajah Fang.

"Aku bertengkar lagi dengannya."

"Kejadian itu melekat di ingatannya. BoBoiBoy begitu tertekan dan mungkin syok juga. Pada akhirnya, semua memori itu pecah dan dengan mudahnya ia tidak mengingatmu, Fang."

Jantung Fang seakan berhenti berdetak.

"BoBoiBoy sangat sayang kepadamu. Kesimpulan akhirnya, BoBoiBoy tidak mengingatmu karena kau adalah orang yang paling penting dalam hidupnya."

Fang membeku di tempat. Tangan dr. Tadashi menghampiri pundak Fang.

"Bukan berarti kau harus menjauhi atau tidak mendekati BoBoiBoy. Kau harus ekstra keras menjaganya untuk memulihkan ingatannya. Maafkan saya, Fang. Kami dari tim medis hanya bisa memberinya obat yang diperlukan," ucap dr. Tadashi.

222

Fang duduk termenung di kursi tunggu depan kamar VVIP adiknya.

Ia tidak begitu menyangka tentang perkataan dr. Tadashi. Sepertinya Fang belum begitu paham tentang penyakit BoBoiBoy. Atau, ia memang bodoh?

Ia sangat menyesal telah membuat kenangan buruk kepada BoBoiBoy. Andai ia bisa memutar waktu, ia akan memukuli dirinya pada saat itu.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

KRIEK

"Jangan keluar kamar dulu, BoBoiBoy! Kau belum pulih!"

Suara Ochobot terdengar dari dalam kamar. BoBoiBoy dengan langkah tertatih keluar kamar dengan memegang tiang infus standing portable.

"Aku bosan di kamar." Mata BoBoiBoy menangkap Fang yang sedang memerhatikannya, "Eh, ada Kakak."

Fang nyaris sweatdrop dengan panggilan barunya. Jangan bilang BoBoiBoy tidak tahu namanya.

"Engh ... maaf aku lupa nama Kakak. Soalnya nama Kakak susah, hehehe," ucap BoBoiBoy dengan cengiran polosnya.

Tuhkan.

Fang memandang BoBoiBoy dengan tatapan elangnya. Ia sedikit kesal dengan perkataan BoBoiBoy tadi.

Begitu mendapat tatapan yang begitu menakutkan, senyum BoBoiBoy langsung pudar. Justru ia sangat ketakutan dengan respons Fang.

BoBoiBoy sampai tidak percaya jika Fang benar-benar kakaknya.

Fang melihat ekspresi ketakutan di wajah BoBoiBoy. Padahal dulu, adiknya sudah terbiasa dengan tatapan mematikannya.

Fang bangkit dari kursi tunggu dan berjalan menuju BoBoiBoy. Setiap langkah kaki Fang terdengar begitu menakutkan di telinga BoBoiBoy.

Fang memasukkan kedua tangannya ke saku jaketnya.

"Kau mau ke mana? Biar aku temani," ucap Fang dengan nada datar.

Fang bisa merasakan hawa ketakutan dalam diri BoBoiBoy.

"Aku mau keliling sekitar rumah sakit ini saja. Baiklah," balas BoBoiBoy spontan.

BoBoiBoy segera menutup mulutnya rapat. Mengapa ia begitu bodoh mengiyakan saran kakak yang menakutkan itu? Ia juga tidak tahu mengapa mulutnya sangat spontan mengiyakan saran Fang.

Fang membalikkan tubuhnya dan berjalan di depan BoBoiBoy.

BoBoiBoy mengembuskan napas lega. Ia sangat ketakutan sampai-sampai harus menahan napas.

Langkah kaki BoBoiBoy mulai maju. Namun, ia hampir jatuh karena kakinya belum kuat menopang tubuhnya.

"Aduh," rintih BoBoiBooy begitu kakinya menekuk.

Tangan BoBoiBoy memegang erat-erat tiang infusnya. Ia takut kalau ia akan jatuh setelah ini.

Dua tangan yang ditutupi fingerless ungu segera memegang lengan BoBoiBoy.

"Pelan-pelan saja, BoBoiBoy," ucap Fang.

BoBoiBoy menatap mata Fang seraya menegakkan tubuhnya.

"Iya, Kak."

Entah mengapa, BoBoiBoy begitu yakin dengan sosok menakutkan di sampingnya.

Mereka berdua mulai berjalan menjauhi kamar rawat BoBoiBoy. Fang terus menuntun BoBoiBoy berjalan.

Fang menghela napas pasrah. Sepertinya ia memang harus memulai semuanya dari awal.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N : Gimana? Kurang puas? Jelek yaa? Hahaha maaf :")

Saya berterima kasih kepada kalian semua yang sabar menunggu. Setiap aktivitas yang saya lakukan, saya selalu ingat pesan-pesan para reader yang memberi semangat maupun menunggu ff ini :"). Itulah yang membuat saya semakin ingin terus mengetik ff ini.

Maaf banget udah membuat kalian semua menunggu ;(. Semoga kalian puas yaa sama chapter ini.

Rencana tamat itu chapter 20. Saya akan munculin BoBoiBoy Air juga. Tentu dong saya tidak lupa permintaan reader itu x). Tunggu saja yaa, Misairy ;D

Okey lah kalau begitu. Sekian dari saya. Jangan lupa review lagi yaaa ^^.

Hai, Silent Reader! Semoga kalian mendapat hidayah untuk me-review ff ini xD.

——————————
K O L O M  N U T R I S I

——————————

1. Sampai sejauh ini bagaimana tanggapanmu tentang karakter 'Ayah' di DIRY?

2. Biasanya kecewa datang pada saat kamu …?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 17 di Do I Remember You ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Do I Remember You?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top