Chapter 16
A/N: Untuk kata yang digaris miring, itu cuma isi hati dan isi perasaan aja. POV berganti tanpa aba-aba yaaa ;).
Peringatan: Fanfiction ini berisi fiksi dan imajinasi belaka dari Author. Author hanya mencampurkan unsur ilmiah secara garis besar dengan imajinasi milik Author.
Guest star: Jeon Jungkook dari anggota boyband korea BTS (Bangtan Boys).
Use your imagination! Happy reading!
.
.
.
.
.
DRRTTT!
BRAK!
Jantung Fang nyaris loncat keluar ketika mengira suara yang terakhir ia dengar adalah suara dari senapan-senapan yang ada di dinding. Ternyata tidak. Dinding langit-langit Markas Kotak telah berlubang. Reruntuhan dinding tersebut telah berserakan dimana-mana. Debu mengepul tebal mengelilingi Fang dan teman-temannya.
BoBoiBoy Taufan tidak bisa tinggal diam. Dengan natural ia mengendalikan angin malam itu untuk menyingkirkan debu tebal yang menghalangi pemandangan.
Terlihat dua helikopter di atas langit yang memancarkan lampu ke dalam Markas Kotak. Lima orang berseragam polisi dengan topi khas berwarna biru disertai lambang Pulau Rintis mengelilingi dinding langit-langit di atas Markas Kotak. Senapan ada di masing-masing polisi tersebut dan benda itu berfokus pada Adu Du, Probe, dan Komputer.
BoBoiBoy Gempa hanya menganga kaget. Hey, tentu saja bukan ia yang menghancurkan dinding itu. Dari mana para polisi itu tahu markas kotak Adu Du? Dan siapa yang memanggil mereka semua?
Tidak hanya di atas dinding langit-langit Markas Kotak yang dikepung polisi. Di bawah ada tiga polisi yang mengunci tangan Adu Du, Mega Probe, dan Komputer, satu polisi wanita yang berada di samping Yaya, Ying, dan Gopal, dan satu polisi yang berada di samping Fang dan Ochobot.
"OI! APA MAKSUD KALIAN HUH?! LEPASKAN SAYA!" berontak Adu Du.
"Lepaskan kita. Anda semua tidak berhak menangkap kita. Kita tidak punya salah—"
"Kita berhak menangkap kalian semua. Saya punya surat penangkapan untuk kalian bertiga."
Belum sempat Komputer menyelesaikan bicara, seorang polisi yang berada di samping Fang berbicara.
Polisi tersebut melindungi Fang dan Ochobot dengan salah satu tangannya. Tangan yang lain mengeluarkan sebuah kertas.
BoBoiBoy Halilintar berusaha melihat polisi tersebut. Wajahnya ditutupi topi polisi dan sedikit menunduk.
"Berani-beraninya kau ..." Adu Du nyaris kehilangan kata-kata.
Kepala polisi itu terangkat secara sempurna. Topinya ia angkat ke atas agar semua orang bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Ayah?" ucap Fang nyaris teriak.
Ya, orang yang berseragam polisi yang berada di sampingnya itu adalah orang tuanya sendiri.
"Kau, Adu Du! Kau ditangkap karena jelas-jelas kau menetap di daerah Pulau Rintis dengan ilegal. Kau bukanlah warga yang terdaftar di kantor pusat Pulau Rintis. Itu berarti kau dianggap penyusup. Selain itu, kau selalu mengusik dan mengganggu para warga Pulau Rintis," jelas Ayah seraya memamerkan kertas dengan kop surat resmi Pulau Rintis ke arah Adu Du.
Adu Du hanya melongo melihat Ayah. Yaya hanya berpikir bagaimana cara mereka melenyapkan Adu Du tanpa membuat laporan sedetail itu.
Kenapa hal ini tidak terpikirkan oleh BoBoiBoy dan kawan-kawannya sejak dulu?
"Atas nama Pemerintah dan seluruh warga Pulau Rintis, kami yang bertugas sebagai polisi untuk melindungi dan mengamankan Pulau Rintis akan menangkap Adu Du beserta komplotannya," ucap seorang polisi yang berada di atas.
Adu Du hanya menggeram kesal. Wajah kotaknya memerah.
"Ya, tolong tempatkan mereka di tahanan yang berbeda. Jauhkan mereka dan jangan satukan mereka," ucap Ayah.
"Hoi, kau boleh menangkap kami tapi tidak dengan memisahkan kami semua!" protes Probe yang sudah berubah dari Mega Probe.
Mata Ayah menatap tajam ke arah Probe.
"Aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti anak-anakku lagi!" Telunjuk Ayah mengarah ke Probe, "Kalian kuat sekali jika bersatu. Aku tidak akan membiarkan kejadian ini terulang lagi."
"SUDAH CUKUP! AKU MUAK! MATILAH KALIAN SEMUA DI SINI!"
Adu Du berteriak marah dan menekan tombol merah di remote. Mata Fang langsung melotot ke arah Adu Du. Seribu senapan sebentar lagi akan menuntahkan isinya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
5 detik
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
10 detik
.
.
.
.
.
.
.
.
.
15 detik
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tidak terjadi apa-apa.
Adu Du memasang tampang heran. Ia kemudian melihat sekitar dan menekan tombol merah itu sekali lagi. Sampai emosi. Sampai jari jempolnya sakit. Sampai ...
"Sampai nenek gayung berubah menjadi suster keramas pun kau tak akan berhasil menekan tombol merah itu, Adu Du," ucap Gopal seraya nyengir kuda.
Tawa cekikikan seketika pecah dari mulut Yaya dan Ying. Fang mengembuskan napas lega sekaligus ikutan nyengir.
Ternyata Gopal bertindak cepat.
Dinding telah berubah menjadi biskuit cokelat dan senapan-senapan berwarna itu menjadi pemen mengilap. Memang tidak ada yang menyadarinya karena kondisi Markas Kotak yang hanya disinari cahaya bulan di langit.
"TANGGA BAYANG!"
Fang membentuk formasi di tangannya dan tangga hitam segera muncul di bawah helikopter.
Tanpa basa-basi lagi, polisi segera menggiring Adu Du ke helikopter. Begitu juga Probe dan Komputer yang digiring polisi ke helikopter yang satunya.
Seorang polisi muda dengan rambut hitam kemerahan datang menghampiri Ayah.
"Terima kasih atas laporan Anda. Masalah sudah kami tangani," ucap polisi tersebut seraya hormat kepada Ayah.
Ayah membalas hormat polisi tersebut.
"Sama-sama, terima kasih juga telah membantuku, Jeon Jungkook!" balas Ayah.
"Ah, ini memang sudah seharusnya. Saya senang membalas atas perbuatan baik Bapak waktu itu. Saya permisi dulu ya," ucap Jungkook seraya membungkuk.
"Seragam polisi ini nanti saya akan kembalikan ke Markas Polisi Pulau Rintis. Sering-seringlah mampir ke rumah," ucap Ayah seraya menepuk pundak Jungkook.
Jungkook hanya tersenyum manis lalu ia segera menaiki tangga menuju helikopter.
Yaya dan Ying saling berpegangan tangan dan menjerit satu sama lain ketika melihat Polisi Jungkook. Mereka meleleh dengan senyuman polisi tersebut.
"Ying, jalannya gagah sekali. Duh manisnya kyaaa!" jerit Yaya heboh.
"Iya lo. Baru kali ini aku melihat polisi ganteng di Pulau Rintis!" jerit Ying tak kalah heboh.
Fang dan Gopal hanya bertatapan malas.
Dua helikopter sudah pergi dan menyisakan lima orang polisi di Markas Kotak.
"Yaya, Ying, Gopal, kalian akan diantarkan oleh polisi ini," ucap Ayah sembari menunjukkan dua orang polisi wanita dan satu orang polisi laki-laki.
Yaya, Ying, dan Gopal mengangguk.
"Kak Fang, kita pulang dulu ya. Salam untuk BoBoiBoy. Jaga diri Kak Fang baik-baik," ucap Gopal.
Fang hanya mengangguk. Gopal, Yaya, dan Ying beserta masing-masing polisi pendamping mereka meninggalkan Markas Kotak.
"Terima kasih, Gopal!" ucap BoBoiBoy Gempa tersenyum.
Dua polisi lain segera menyelesaikan urusan penyelidikan lebih lanjut.
"Nah, Fang, Ayo, kita pulang juga! Kasihan Ibu dan BoBoiBoy sudah menunggu di rumah sakit," ucap Ayah lalu merangkul pundak Fang.
Fang hanya merespons dengan diam karena ia sudah capek mengeluarkan tenaga untuk berbicara.
"BoBoiBoy sudah sadar?" tanya Ochobot yang berada dalam gendongan Fang dengan penuh harap.
Ayah hanya merespons dengan senyum tipis.
222
Fang meringis kesakitan begitu dr. Seok Jin mengoleskan alkohol pada lebam di dagunya.
"Beberapa lebam di tubuh sudah ku obati. Sekarang kau harus banyak istirahat, Fang," ucap dr. Seok Jin seraya melepaskan sarung tangan plastik.
Fang hanya tertunduk diam seraya memainkan jarinya. Baju kotornya kini sudah diganti dengan baju tidur pasien yang sama dengan adiknya. Berwarna hijau tosca dengan lima kancing di tengah baju yang tersusun secara vertikal. Kantung kecil dengan logo rumah sakit berada di bagian dada kanan.
"Baik. Terima kasih, Dok!" ucap Ayah.
"Sama-sama."
Dokter Seok Jin keluar kamar rawat. Di saat yang bersamaan, Ibu memasuki kamar rawat dengan langkah tergopoh-gopoh.
"Fang, bagaimana keadaanmu, Nak? Aduh kenapa kau terluka gini, sih? Kamu diapain sama Adu Du?" tanya Ibu bertubi-tubi seraya memegang wajah, pundak, dan lengan Fang secara bergantian.
Fang tetap tidak merespons Ibu. Kepalanya terus menduduk. Bibirnya enggan terbuka.
"Tenang, Bu. Adu Du sudah selesai. Ia tidak akan tampak lagi di depan kita semua," ujar Ayah.
"Tapi, Yah. Anak kita terluka. Bagaimana Ibu bisa tenang?!" balas Ibu sedikit emosi.
Mata Ibu mengarah ke Ochobot.
"Ah, Ochobot!"
Ibu segera menarik tangan Ochobot lalu memeluknya.
"Kamu juga, Ochobot! Jangan buat Ibu khawatir dong! Ibu ga suka!" protes Ibu seraya mengelus kepala besi robot kuning tersebut.
Ochobot tersentak mendengar pernyataan Ibu. Ia pikir satu-satunya yang dipikiran Ibu adalah Fang atau BoBoiBoy.
Karena Ochobot bukan siapa-siapa. Ia hanyalah robot yang dipungut dan ditolong oleh keluarga ini.
"Eh? Ibu khawatir juga sama saya?" tanya Ochobot.
"Awas saja ya kalau Ochobot melanggar perintah Ibu lagi."
"T-tapi ..."
"Sudah diam. Ibu tak mau lagi dengar alasan apapun."
Ibu melepaskan pelukannya. Seandainya Ochobot memiliki mulut, mungkin sekarang ia sedang tersenyum lebar.
"Terima kasih, Bu. Terima kasih, Yah. Aku janji tidak akan meninggalkan kalian," ucap Ochobot terharu.
Ayah dan Ibu mengangguk dan tersenyum.
"Ochobot ingin ke kamar BoBoiBoy. Boleh, 'kan?" ucap robot bundar itu dengan nada malu-malu.
"Tentu saja. Tidak ada yang melarang," balas Ayah seraya menahan tawa melihat tingkah Ochobot.
Ochobot mengacungkan jempol besinya. Ia kemudian terbang keluar kamar dan menutup pintu.
Suasana di kamar serba putih itu mendadak hening. Hanya terdengar suara hembusan dari Air Conditioner dan jarum jam yang menunjukkan angka 2 pagi. Suara jangkrik dari luar juga ikut menemani walaupun samar-samar.
Ibu duduk di sebelah Fang yang dari tadi bungkam. Tangan lembutnya itu mengusap pelan punggung Fang.
Perasaan tak karuan mulai muncul dari hati Fang begitu tangan orang yang ia sayangi mengusap punggungnya yang lebam.
"Fang, kok dari tadi diam aja?" tanya Ibu pelan.
Tidakkah Ibu mengerti bahwa Fang sedang kelelahan setelah bertarung?
"Fang, jawab dong pertanyaan Ibu," balas Ayah sedikit tegas.
Fang menarik napas dan menghembuskannya dengan berat. Tenggorokannya mulai terasa sakit.
"Fang? Ada apa?" tanya Ibu dengan sabar.
Fang mulai menarik senyum paksa di wajahnya. Mata di balik kacamata ungu itu terus setia menatap lantai putih di bawah kakinya.
"Akhirnya setelah sekian lama, Fang mendengarkan pertanyaan itu dari mulut orang yang Fang sayangi," balas Fang sarkatis.
Ibu dan Ayah mengerutkan keningnya. Mereka saling lempar pandang.
"Apa maksudmu, Fang?" tanya Ayah penasaran.
Fang meremas tangannya untuk menahan perasaan yang sebentar lagi akan meledak.
"Selama ini akulah yang mengurus BoBoiBoy sendirian. Ia pergi ke sekolah, aku antar. Ia ingin makan, akulah yang kadang memasak. Ia sedang sakit, akulah yang memerhatikannya. Tapi, ternyata aku tidak sanggup mengurus itu semua sendirian," jelas Fang dengan suara serak.
Mata Fang mulai memanas. Napasnya mulai terasa sesak.
"Dari itu semua, akulah yang terbebani. Akulah yang merasa bersalah karena tidak mengurusi BoBoiBoy dengan becus. A-andai I-Ibu dan A-Ayah tahu ..." Fang mulai berbicara dengan tersendat-sendat.
Ibu dan Ayah menatap putra pertamanya itu dengan sabar sekaligus bingung.
"S-setiap h-hari ..." Fang meremas celana panjang yang serasi dengan bajunya itu, "... A-aku selalu mengeluh bahkan sebal dengan Ayah dan Ibu. M-maaf aku harus jujur ..." Mata dengan manik karamel itu mulai memanas, "T-tapi di sana ada BoBoiBoy yang selalu melarangku untuk mengeluh tentang sibuknya Ayah dan Ibu. Bo-Bo-BoBoiBoy ..."
Fang menggigit bibir bawahnya dengan keras. Berusaha menahan perasaan yang akan meledak ini. Ibu berhenti mengelus punggung Fang.
"S-selalu berpikir positif tentang Ayah dan Ibu. Adikku selalu ceria dan tidak pernah mengeluh tentang Ayah dan Ibu. T-tapi ... k-kenapa ..."
Tenang, Fang. Tenang.
"A-Ayah dan I-Ibu tidak pernah bertanya bagaimana perasaan kami yang sebenarnya. Ibu dan Ayah berdebat ... seakan-akan itu ... adalah masalah kecil seperti urusan bisnis yang kalian lakukan ..."
Setetes air mata jatuh mengenai tangan Fang yang memutih karena genggaman pada tangan yang begitu kuat.
"... Kalian seenaknya bertengkar dan berteriak di depanku. Huks ... Huks ... A-Aku s-sangat ... huks ... ketakutan. Ibu dan Ayah bahkan tidak melirikku di sana. Huks ..."
Napas Fang tersendat-sendat dan terputus-putus. Air mata terus membasahi pipinya.
"A-akulah orang yang selama ini berada di dekat BoBoiBoy. Tapi mengapa kalian ... justru seperti menyalahkan aku dan BoBoiBoy? Huks ..." Segukan demi segukan keluar dari mulut Fang.
Rasa khawatir mulai muncul dari hati Ibu. Fang mulai berbicara kacau karena memang ia sangat kelelahan. Lengan Ibu memeluk tubuh Fang.
"Sayang, kamu sudah sangat lelah. Lebih baik tidur yuk, sama Ibu," ujar Ibu dengan suara sedikit gemetar.
"TIDAK!"
Suara teriakan Fang menggema di kamar rawat itu. Fang dengan kasar melepas pelukan Ibu. Matanya yang sembab dengan bola mata yang memancarkan kesedihan juga kemarahan langsung menatap mata Ibu dan Ayah secara bergantian.
"AKU MEMANG SUDAH LELAH DARI DULU, IBU!" teriak Fang.
Ibu kaget mendapat respons dari Fang. Mata Ayah langsung melotot begitu Fang berteriak di depan Ibu.
"Fang, pelankan suaramu!" perintah Ayah.
Mata Fang menatap fokus ke wajah Ayah. Gigi putihnya ia rapatkan keras-keras dan menyebabkan rahangnya sedikit sakit.
"Ayah! Tolong ... hiks ..." Kedua telapak tangan yang ditutupi sarung tangan fingerless ungu itu menempel rapat. Air mata dari mata seorang kuasa bayang itu tidak kunjung berhenti turun.
"Aku mohon ... hiks ... jangan mentang-mentang kami punya kekuatan super hero, kami sekuat yang Ayah dan Ibu bayangkan. Jangan kira aku dan BoBoiBoy dengan mudahnya mengiyakan permintaan Ochobot untuk memakai jam kuasa ini! Hah ... Hah ..." Fang mulai kehabisan napas. Air mata terus mengalir dan jantung Fang semakin berdebar dengan kencang.
"Hah ... Aku ... HUWEEEEEE ..."
Fang menangis dengan kencang layaknya anak kecil. Tapi, dia memanglah anak kecil. Fang belum sepenuhnya dewasa. Ia mudah rapuh dan sensitif seperti anak kecil lainnya.
Lengan Fang berusaha menghapus air matanya. Menggosok-gosok matanya yang terasa sangat sakit dengan punggung tangannya.
"HUAAA ... HUAAAA!"
Masih banyak hal yang ingin Fang katakan. Tapi kepalanya sudah sakit dan ia tidak mampu menahan beban dari dulu.
Akhirnya perasaan itu meledak.
Ibu ikut menangis dalam diam dan langsung mendekap hangat Fang. Tidak peduli jika anaknya yang dingin itu akan memberontak nantinya.
"A-AKU ... CUMA ... HIKS ... I-HIKS ... NGIN-HIKS ... BOBOIBOY ... S-SE-SEMBUH!"
Fang menangis seraya berteriak dalam dekapan Ibu. Ia sudah terlalu lemah untuk mendorong tubuh Ibu yang lebih berat darinya. Ia benar-benar tidak peduli dan sudah lelah.
"KAPAN BOBOIBOY SADAR, BU?! Hiks ... KAPAN?! HUEEEEEE!" Fang meraung-raung dalam tangisnya.
Air mata Fang turun dengan deras membasahi baju Ibu. Ibu sendiri hanya mengelus kepala Fang dan ikut menangis. Ia sudah kehabisan kata-kata.
Sedangkan Ayah mematung. Fang baru pertama kalinya menangis di depannya. Terakhir kali ia melihat Fang menangis ketika Fang masih di gendongannya. Ketika tubuhnya masih mungil dan hangat.
Wajah Ayah sudah memerah. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak ikut menangis. Kakinya berusaha menopang tubuhnya yang mulai bergetar.
Tangisan raung Fang terus memenuhi ruangan. Tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka bertiga.
222
Sakit kepala memang sangat mengganggu. Hal menyebalkan itu terjadi pada BoBoiBoy yang sedang terduduk lemas di sofa kamar rawatnya.
"Aku sudah menjadi hantu tapi masih tetap sakit," ucapnya seraya sweatdrop.
Ada sesuatu aneh menghampirinya. Sesudah Halilintar, Taufan, dan Gempa bersatu menjadi BoBoiBoy normal, mendadak tubuh anak itu lemas.
"Apa mungkin aku kurang tidur?"
Kelopak mata BoBoiBoy hampir menutupi seluruh bola matanya. Angin malam itu berhembus lembut membelai kulit BoBoiBoy. Seakan-akan menyuruhnya untuk tidur dalam damai.
Pintu masuk terbuka dan Ochobot masuk. Robot itu melayang ke arah ranjang BoBoiBoy.
"Hai, BoBoiBoy! Aku sudah kembali. Jadi kau tak perlu khawatir," ucap Ochobot ceria.
Mata BoBoiBoy kembali terjaga dan ia hendak berjalan menuju Ochobot. Namun, kakinya seakan-akan tidak kuat menopang tubuhnya. Kedua lututnya mencium lantai dan tangannya berpegangan pada sisi ranjang.
"Aduh!"
BoBoiBoy meringis kesakitan.
"Aku kenapa, sih?" ucapnya pada diri sendiri.
"Kuharap kau cepat sadar. Aku rindu sekali denganmu, BoBoiBoy," ucap Ochobot lesu seraya mengenggam tangan BoBoiBoy.
"Aku juga merindukanmu, Ochobot," balas BoBoiBoy walau ia tahu Ochobot tidak akan meresponsnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Aku juga ingin sadar. Tapi bagaimana caranya?" ucap BoBoiBoy seraya menggigit bibir bawahnya.
Tapi, apa memang benar aku ingin sadar?
Jika aku sadar, aku akan merasakan sakit lagi. Jika aku sadar, aku harus siap melihat masalah di dunia.
"Aku ingin sembuh," BoBoiBoy memeluk kedua lututnya.
Kalau aku memilih pergi, mungkin semuanya akan berakhir. Aku tidak akan merasakan sakit lagi. Ide bagus, 'kan?
BoBoiBoy berdebat sendiri dalam batinnya. Dua-duanya memang enak, tetapi ada kerugiannya juga ia memilih dua-duanya.
"Aku ... harus ... sembuh ..." tekad BoBoiBoy kepada dirinya sendiri.
Tapi ...
NIIIIIIIITTTTT!
Ochobot terlonjak kaget. Elektrokardiogram menunjukkan garis yang lurus, tidak seperti biasanya. Suara itu bagaikan mimpi buruk bagi Ochobot.
Tanpa basa-basi, Ochobot segera menekan tombol pemanggil di atas ranjang BoBoiBoy. Ia segera melesat keluar dari kamar rawat untuk memanggil bantuan. Siapa pun itu.
NIIIIIITTTT!
Alat itu terus berbunyi. BoBoiBoy berdiri dan mendekat kepada tubuhnya yang terbaring kaku di ranjang.
"Ah, aku kenapa?! Aku kenapa?!" BoBoiBoy berbicara panik seraya memandang tubuhnya dan elektrokardiogram secara bergantian.
BoBoiBoy memerhatikan wajahnya yang pucat. Ia mengguncang-guncang tubuhnya sendiri.
"BoBoiBoy! Jangan begini! Aku tidak mau matiiiii!" jerit BoBoiBoy dramatis.
BRAK!
Dokter Tadashi beserta rekan-rekannya telah hadir dan siap untuk menangani BoBoiBoy.
222
Wajah Fang terulas manis. Ia begitu damai dan tenang. Kakinya menggantung di sisi kasur sedangkan tubuhnya berada di pelukan Ibu. Napas yang tadinya terburu-buru, kini berembus tenang. Tubuh yang tadinya berontak, kini begitu tenang di dekat Ibu.
Mata Ibu berkali-kali berusaha untuk terjaga. Ia tidak mau ikut jatuh tidur agar putra pertamanya tidak terbangun. Air mata di pipinya belum sepenuhnya kering. Masih terlihat bekas air mata di wajah putih wanita karir tersebut. Tidak ada senyum yang menghiasi wajah itu. Keningnya sedikit berkerut seperti berpikir sesuatu.
Tangan kekar Ayah mengelus lembut kepala Fang. Hatinya terus merasa bersalah melihat wajah Fang saat ini. Mulutnya tidak bisa berbicara sepatah katapun, seakan-akan ada lem yang menghiasi langit-langit mulut dengan lidahnya.
"Aku rasa, tidak ada gunanya mengucapkan kata maaf kepada anak kita."
Suara Ibu memecahkan lamunan Ayah. Pria itu tersenyum setuju.
"Aku akan selalu menjadi Ibu yang baik untuk Fang dan BoBoiBoy. Aku sangat sayang sekali kepada mereka. Mereka adalah harta yang tak bernilai untukku," ucap Ibu yang pandangannya tidak lepas dari wajah polos Fang.
Tangan Ayah meraih tangan Ibu dan menggenggamnya. Lagi-lagi Ayah hanya bisa senyum dan memandang mata Ibu.
TOK TOK TOK!
Pintu terbuka. Menampilkan Ms. Elsa dengan wajah sedikit panik.
"Maaf lancang mengganggu kalian berdua. Bisakah saya berbicara di luar ruangan dengan Bapak?"
Ibu menganggukkan kepala. Matanya mengisyaratkan Ayah untuk mengikuti Ms. Elsa.
Mendadak perasaan tak enak menghampiri Ibu begitu Ayah menutup pintu kamar. Namun ia berusaha untuk mengabaikannya.
Detik demi detik berlalu. Ayah belum kunjung kembali ke dalam kamar.
'Apa sih yang mereka bicarakan? Kenapa lama sekali?' rutuk Ibu dalam hati.
Padahal Ibu bisa saja cuek dengan kepergian Ayah. Tapi entah mengapa rasanya cemas begitu Ayah pergi darinya hanya untuk sementara.
Pintu kembali terbuka dan menampilkan Ayah dengan wajah khawatir. Keningnya mengerut dan bola matanya menyiratkan ketakutan. Garis bibirnya melengkung ke atas.
"Apa yang terjadi, Yah?" tanya Ibu to the point seraya memegang tangan Ayah.
Mulut kaku itu terpaksa Ayah gerakan.
"Ms. Elsa memintaku untuk menandatangani kontrak perjanjian bahwa BoBoiBoy akan dioperasi."
Ibu seperti mendengar suara keras menghantam jantungnya. Tubuhnya menjadi menegang dan matanya melotot ke arah Ayah.
"Kalau begitu, apa yang kau tunggu, Yah?! Cepat tanda tangani kontrak itu!" balas Ibu panik.
"Sudah aku tanda tangani, Bu."
Mereka tahu sesuatu hal yang gawat terjadi pada BoBoiBoy. Namun mau apa lagi. Mereka hanya bisa pasrah.
"Bo-BoBoiBoy?"
Gumaman kecil itu terdengar dari mulut Fang. Tetapi matanya masih tertutup, menandakan Fang masih dalam keadaan tidur.
"Bo-BOBOIBOY!"
Fang berteriak dan matanya langsung terbuka. Napasnya begitu memburu dan keringat mengalir dari dahinya. Ia segera duduk tegak di samping Ibu.
"Ibu, BoBoiBoy mana? BOBOIBOY MANA?!" ucap Fang panik. Matanya melihat ke segala arah. Mencari keberadaan sang adik.
Fang memandang gelisah Ibu dan Ayah. Tidak ada jawaban yang muncul dari mulut Ayah dan Ibu. Mereka sendiri saja tidak tahu apa yang terjadi dengan anak mereka sendiri.
"T-tadi ... a-aku ... bermimpi ... buruk." Fang berbicara terbata-bata.
Fang seperti merasakan firasat yang buruk. Yang berkaitan dengan mimpi buruknya.
"A-aku harus pergi sekarang!"
Fang melompat dari kasur dan segera berlari keluar kamar.
"FANG! TUNGGU!" teriak Ayah seraya mengejar Fang.
Bunyi langkah kaki Fang memenuhi lorong rumah sakit yang sunyi pada pukul 4 pagi itu. Tubuhnya menabrak siapa saja yang berada di dekatnya. Jantungnya berdebar dengan kencang seiringan dengan jarak yang mulai mendekat.
Tolong hentikan permainan gila ini sekarang juga.
Lampu tanda operasi di atas pintu kamar VVIP itu menyala terang. Tubuh Fang menabrak pintu dan tangannya berusaha memutar kenop pintu. Tangannya yang lain menggedor-gedor pintu.
"Buka pintunya! Aku ingin masuk!" teriak Fang seraya mengintip di jendela kecil pintu.
Fang memutar knop pintu dan mendorong pintu sekuat tenaga. Namun tidak berhasil. Pintu sudah dikunci terlebih dahulu.
Emosinya memuncak pada saat itu. Akhirnya ia tidak punya pilihan lain.
Matanya Matanya menyorot fokus ke arah pintu. Ia melangkah mundur.
Pelan.
Pelan.
Dan mundur secara pelan.
Tangannya membentuk sebuah formasi. Bayangan hitam pekat mengelilingi tubuh Fang.
"TUSUKAN BA—"
GREP!
Tangan Ayah berhasil mengunci kedua pergelangan tangan Fang ke belakang.
"L-Lepaskan aku!" berontak Fang.
Ayah tetap tenang dan tidak berbicara.
"Ayah, lepaskan aku! Aku ingin melihat BoBoiBoy!"
"Dokter di dalam sana sedang mengoperasi BoBoiBoy. Bisakah kau tenang sedikit?" ucap Ayah datar.
"Tidak, Yah. Aku harus me—"
"Bisa tidak sih, kau menuruti perkataan Ayah sekali ini aja?"
Fang berhenti memberontak.
"Ayah sudah menyerah untuk menanganimu dengan cara apapun, Fang. Tolong untuk kali ini biarkan BoBoiBoy ditangani oleh mereka. Apa susahnya duduk diam menunggu? Ayah tahu kau khawatir dan sayang kepadanya. Tapi jangan berlebihan juga seperti ini. Apa yang di katakan BoBoiBoy jika seandainya ia ada di sini?"
Hati Fang terasa tertusuk mendengar perkataan itu.
"BoBoiBoy tidak ada di sini," balas Fang dingin.
"Kalau begitu ..." Ayah mendorongnya tubuh Fang dengan sedikit kasar lalu melepaskan kedua tangan Fang.
Tubuh Fang maju satu langkah.
"Serang saja pintu itu. Lakukan apa yang kau mau," balas Ayah lebih dingin.
Fang mengerutkan keningnya. Apa benar Ayahnya memperbolehkannya menghancurkan pintu itu?
Secara tiba-tiba, entah ada angin apa, tubuh Fang berbalik menghadap Ayah. Mata di balik kacamata itu menatap Ayah.
Nada bicara Ayah memang dingin. Tetapi ekspresi di wajahnya ...
Begitu menyedihkan.
Fang tahu, mata itu tengah menatapnya dengan kekhawatiran.
Fang memerhatikan garis wajah Ayah. Mata Ayah yang begitu sayu dan keningnya mengerut. Fang mengalihkan matanya ke rambut Ayah yang sudah mulai memutih di beberapa titik.
Ayahnya sudah bekerja begitu keras.
Ada sesuatu hal yang Fang sadari. Ayahnya lebih takut memikirkan kondisi BoBoiBoy daripada dirinya.
Mulai dari mengurusi biaya, membagi waktu dengan kerja, dan mengeluarkan tenaga yang lebih banyak ...
... untuk menenangkan dirinya dan Ibu.
Tapi, siapa yang menenangkan Ayah? Apakah ia menangis juga seperti Ibu atau melampiaskan kemarahannya di kantor seperti Fang yang bisa melampiaskan emosinya kapan saja?
Perasaan bersalah mulai menyelimuti Fang.
"Ayah ..."
"..."
"... Maafkan, aku."
Fang sedikit berlari dan memeluk tubuh Ayahnya. Tidak ada yang memberi penjelasan satu sama lain karena ... mereka sudah saling mengerti.
222
BoBoiBoy hampir tidak percaya ketika dr. Tadashi mengumumkan bahwa operasi pengangkatan sebagian kanker itu selesai.
Seharusnya BoBoiBoy senang bahwa operasi sudah berjalan lancar. Namun entah mengapa, setelah operasi berjalan lancar, tiba-tiba elektrokardiogram menunjukkan garis lurus.
"Apa ... aku ... sudah ... mati?"
NIIIIIIITTTT!
Bunyi itu terus menggema di ruangan itu.
"Seok Jin, cepat ambilkan defibrilator(22)!" perintah dr. Tadashi.
Dokter Seok Jin segera mengambil alat yang disuruh. Suster Rini segera mengoleskan gel di bagian bawah paddle sternum serta paddle apex(23). Dokter Tadashi lalu menggosok-gosokkan permukaan yang mempunyai muatan listrik itu.
Permukaan itu ditempelkan di bagian tertentu pada dada BoBoiBoy. Reaksi selanjutnya ialah tubuh BoBoiBoy terlonjak seketika.
"Ayo, BoBoiBoy! Kau pasti bisa melewati ini!" BoBoiBoy menyemangati dirinya sendiri.
"Garis gelombang masih lurus. Belum berubah," lapor dr. Seok Jin.
"Tetapi peredaran darah lancar, dok," lapor Suster Rini.
Sekali lagi dr. Tadashi menempelkan paddle sternum dan paddle apex di bagian jantung BoBoiBoy.
Tidak ada reaksi yang ditunjukkan BoBoiBoy sama sekali. Tubuhnya tidak terlonjak seperti tadi. Tidak ada reaksi. Elektrokardiogram masih menunjukkan garis lurus dan menimbulkan bunyi yang begitu menakutkan bagi BoBoiBoy.
"TIDAK!" jerit BoBoiBoy syok.
Itu artinya ruhnya sudah benar-benar terpisah dari tubuhnya.
"Dokter, tolong aku. Aku tak mau sendirian!" ucap BoBoiBoy seraya menarik-narik jas dr. Tadashi.
Dokter Tadashi beserta rekan-rekannya hanya mengembuskan napas pasrah.
"Beritahu pihak keluarga dan panggil ke sini," ujar dr. Tadashi kepada Suster Rini.
"Baik, Dok."
Suster Rini melepaskan maskernya dan keluar dari kamar rawat.
Pintu terbuka lalu Ayah dan Ibu langsung menghampiri Suster Rini.
Fang dan Ochobot melihat mereka saling berbicara. Suster Rini membisikkan sesuatu sampai Ibu menundukkan kepalanya begitu dalam.
Ochobot melihat gerakan mulut yang dilakukan Suster Rini. Wajah suster cantik itu begitu bersalah. Ochobot tahu apa yang terjadi dengan kawan karibnya itu. Robot itu hanya bisa diam seribu bahasa.
Fang segera memasuki kamar rawat dengan langkah terburu-buru. Salah satu rekan dr. Tadashi sedang menutupi tubuh BoBoiBoy dengan kain putih.
"JANGAN! HENTIKAN!"
Fang berteriak kencang sampai membuat semua orang yang di dalam ruangan itu terdiam menatap Fang.
Fang nyaris tidak percaya bahwa mimpi buruknya menjadi kenyataan.
"Kak Fang!" panggil BoBoiBoy.
Fang menyingkirkan kain putih itu dengan kasar. Dilihatnya wajah BoBoiBoy yang begitu pucat. Seketika kaki Fang menjadi lemas. Jantungnya berdebar keras. Tubuhnya menegang.
Elektrokardiogram masih menunjukkan garis lurus. Membuat Fang semakin panik.
"INI ... INI TIDAK MUNGKIN!"
Fang menjambak rambutnya sekeras mungkin. Berharap ia dapat terbangun dari tidurnya. Berharap ini hanya mimpi. Berharap ini tidak nyata.
Air mata itu kembali turun lagi. Lebih banyak dan lebih deras.
"Kak Fang, aku di sini. Jangan menangis!" BoBoiBoy panik melihat kakaknya yang begitu tersiksa. BoBoiBoy juga tidak menginginkan dirinya menghilang.
"HUWAAAAAA!"
Fang meraung-raung. Tangannya menarik-narik jas putih dr. Tadashi. Meminta penjelasan dengan paksa.
"Katakan kalau ini hanyalah mimpi! Dokter, BoBoiBoy belum mati! Ya 'kan? YA 'KAN?!" teriak Fang seraya menangis.
Dokter Tadashi hanya diam menanggapi Fang.
"DOKTER TADASHI! JAWAB PERTANYAANKU!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Catatan kaki:
22. Defibrilator = stimulator detak jantung yang menggunakan listrik dengan tegangan tinggi untuk memulihkan korban serangan jantung [Wikipedia].
23. paddle sternum serta paddle apex = bagian dari defibrilator. Seperti setrika kecil gitu. Ditempel di bagian atas dan bagian bawah jantung. Aku carinya di artikel bahasa Inggris ._. . Jadi maaf ga bisa memberikan penjelasan yang lengkap. Cari aja coba di google gambar ^^
A/N: Holaaaa! Ada yang masih tunggu ff ini? Ada? Syukurlaaaah. Makasih banget yaa udah sabar nunggu.
By the way, siap-siap yaa sebentar lagi ff Do I Remember You tamat! Terima kasih banget sudah menyempatkan waktu kalian untuk membaca ff ini. Saya akan berusaha sebisa mungkin untuk melanjutkan ff ini.
Mohon koreksi jika ada kesalahan yaaa^-^
Hey, silent readers, review kali!
#yakaligakuy
#yakaligareview
——————————
K O L O M N U T R I S I
——————————
1. Apa yang sebenarnya terjadi pada BoBoiBoy?
2. Kesedihan apa sampai membuatmu menangis tersedu?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 16 di Do I Remember You ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Do I Remember You?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top