Chapter 13

"Oh, ya, juga beberapa chapter sebelumnya scene bbb sakit nya kambuh jarang ya, lebih ke kisah hubungan saudara."

Ya, kamu benar. Saking senangnya sama hubungan persaudaraan mereka, saya sampai lupa titik fokusnya itu harusnya ke penyakit BoBoiBoy. Terima kasih sudah mengingatkan saya ^^.

Reader lain boleh mengingatkan saya yaa kalau saya sudah kelewat batas dan lupa fokus permasalahannya ^^.

222

Peringatan: Fanfiction ini berisi fiksi dan imajinasi belaka dari Author. Author hanya mencampurkan unsur ilmiah secara garis besar dengan imajinasi milik Author.

222

BRAK!

Dua pintu ruang gawat darurat terbuka dan membentur dinding lumayan keras. Dokter Tadashi, dr. Seok Jin, dan Suster Rini mendorong ranjang pasien—di mana terdapat BoBoiBoy yang tidak sadarkan diri sedang terbaring lemah—masuk sampai sejajar dengan ranjang di ruang UGD tersebut.

"Dokter, gloves(6)!" ucap Suster Rini seraya memberikan sepasang sarung tangan elastis kepada dr. Seok Jin dan sepasang sarung tangan kepada dr. Tadashi.

Mereka bertiga lalu memakai sarung tangan dengan gerakan cepat.

"Pindahkan BoBoiBoy ke ranjang sebelah secara perlahan-lahan. Jangan sampai ada keguncangan di tubuhnya. Ikuti aba-abaku!" perintah dr. Tadashi lalu memposisikan kedua telapak tangannya masing-masing di bawah kepala dan di bawah leher BoBoiBoy secara perlahan.

"Siap, Dokter!"

Dokter Seok Jin meletakkan kedua telapak tangannya masing-masing di bawah punggung dan di bawah perut BoBoiBoy, sedangkan Suster Rini meletakkan kedua telapak tangannya masing-masing di bawah kedua paha dan kedua betis BoBoiBoy.

"Hati-hati! Sedikit guncangan, kita akan mendapat kesalahan fatal. Satu!" peringat dr. Tadashi.

Ketika dr. Tadashi menyebutkan kata 'satu', tubuh BoBoiBoy perlahan terangkat dan posisinya masih di atas ranjang dorong.

"Dua!"

Kata 'dua' disebutkan dan tubuh BoBoiBoy digeser ke ranjang ruang UGD. Posisinya masih di atas dengan jarak sejengkal dari ranjang.

"Tiga!"

Hitungan ketiga, tubuh BoBoiBoy sudah berada di ranjang ruang UGD.

Suster Rini lalu memindahkan ranjang dorong ke pojok ruangan.

"Dokter, ada luka di pelipisnya!" seru dr. Seok Jin setelah memeriksa bagian kepala BoBoiBoy.

"Suster, ambil dissecting forceps(7), kapas, cairan pembersih luka, dan pus basin(8). Bersihkan luka BoBoiBoy di bagian temporale(9)!" perintah dr. Tadashi.

"Siap, Dok!" ucap Suster Rini lalu bergegas mengambil peralatan yang disebut oleh dr. Tadashi di meja sebelah ranjang pasien.

Dokter Tadashi mengenakan stetoskop lalu memeriksa dada BoBoiBoy.

"Detak jantung tidak beraturan dan sistem pernapasan lemah. Dokter Seok Jin, pasangkan selang oksigen simple face mask(10)!" ucap dr. Tadashi seraya melepaskan stetoskopnya lalu meletakkannya di kantong jas putihnya.

Ketiga rekan itu disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Dokter Seok Jin memasang selang oksigen, Suster Rini membersihkan luka, dan dr. Tadashi melepaskan dasi dan melonggarkan kerah tuxedo BoBoiBoy.

"Sayang, bertahanlah. Kita akan membantumu sekuat mungkin," bisik Suster Rini di telinga BoBoiBoy.

"Dokter Seok Jin, aku minta kau mengganti pakaian BoBoiBoy. Setelah itu, Suster Rini, pasangkan infusion set(11) pada lengan kiri BoBoiBoy!" instruksi dr. Tadashi.

"Siap, Dok!" balas Suster Rini lalu membereskan peralatan yang digunakan untuk membersihkan luka tadi.

"Chingu, dia mengenakan tuxedo. Aku sudah memasangkan selang oksigen. Bagaimana cara membuka pakaiannya?" tanya dr. Seok Jin.

Dokter Tadashi menghembuskan napas, "Gunting pakaiannya. Kita tidak punya pilihan lain."

"Tuxedo ini mahal, Tadashi. Jangan salahkan aku yaa jika ibu dan ayahnya protes nanti," ucap dr. Seok Jin cengengesan lalu mulai mengambil gunting.

Dokter Tadashi memutarkan bola matanya malas, "Akan kutangani itu."

Dasar dr. Seok Jin. Di saat-saat genting ia masih saja menyempatkan canda.

222

Fang lari begitu cepat setelah Ms. Elsa memberitahu nomor kamar yang di gunakan BoBoiBoy di ruang gawat darurat. Terlihat Ayah sedang duduk di samping Ochobot di kursi tunggu ruang gawat darurat.

Perasaan Fang sekarang tidak beraturan. Napasnya menderu-deru seraya berusaha mendorong pintu kamar yang jendelanya tembus pandang. Memperlihatkan BoBoiBoy yang terbaring lemah.

Hati Fang serasa remuk melihat kondisi sang adik. Ia terus menggedor-gedor pintu.

"Hentikan, Fang! Dokter di dalam sedang menangani BoBoiBoy," ucap Ayah lalu menarik kasar tubuh Fang untuk menjauhi pintu.

Tubuh Fang begitu beku. Antara ia syok karena di dorong Ayah atau karena ia tidak sanggup melihat BoBoiBoy yang dipasang selang infus dan selang oksigen. Kedua tangannya begitu bergetar dan matanya sangat lurus ke depan.

"M-maaf, Yah. A-aku ..." bibir Fang terus bergetar ketika berusaha untuk berbicara.

Ayah segera merengkuh Fang dengan penuh kasih sayang, lalu menuntunnya untuk duduk di kursi tunggu.

"Tidak apa. Yang harus kau lakukan sekarang ialah menunggu kabar dengan tenang," ucap Ayah seraya mengelus pundak Fang.

Tak lama kemudian, Ibu datang menemui Ayah dan Fang. Ayah bangkit dari kursi, lalu memeluk Ibu.

"Bagaimana anak kita, Yah?" ucap Ibu yang berada dipelukan Ayah.

Ayah menghembuskan napas pasrah, "Belum ada kabar, Bu."

Ibu dan Ayah kemudian duduk di kursi tunggu.

"BoBoiBoy pasti baik-baik saja, Fang," bisik Ochobot.

Fang hanya diam.

Dokter Tadashi keluar dari kamar tempat BoBoiBoy sedang ditangani. Tiba-tiba Ms. Elsa menemuinya.

Fang hendak masuk ke kamar tersebut. Namun langsung dihalang Ayah.

"Belum selesai, Fang. Dokter Tadashi sedang sibuk. Tunggu ia menghampiri kita!" ucap Ayah.

Fang hanya mendecih kesal, lalu kembali duduk. Lagipula percuma ia masuk ke kamar itu, karena pintunya sudah tertutup kembali.

"Dokter Tadashi, ada pasien keracunan makanan di kamar 102. Sudah sepuluh menit ia tidak berhenti muntah-muntah. Kita membutuhkan bantuanmu," desak Ms. Elsa seraya menyerahkan kertas laporan.

Dokter Tadashi menerima kertas itu lalu membaca secara teliti.

"Aku tidak bisa. Ada pasien lain yang sedang kutangani. Bersihkan mulut dan jalan nafas dari sisa muntahan. Miringkan badan pasien secara bergantian pada sisi kiri dan kanan. Setelah itu, panggil dokter spesialis toksikologi(12)!" ucap dr. Tadashi seraya menyerahkan kembali kertas laporan kepada Ms. Elsa dengan cepat, lalu pergi entah kemana.

Ms. Elsa mengangguk kecewa, lalu pergi. Fang melihat kejadian itu. Ia melihat bagaimana dr. Tadashi berbicara dengan ... nada dingin, eh?

Baru kali ini ia melihat dr. Tadashi begitu dingin dan ... apa mungkin itu tugas seorang dokter?

'Apa mungkin ia sedang berusaha keras konsentrasi menangani BoBoiBoy?' batin Fang.

Tak lama kemudian, dr. Tadashi kembali dan hendak membuka kamar. Lagi-lagi ia dihadang Ms. Elsa yang terlihat panik.

"Dokter, ada pasien yang baru datang. Sekarang dia di kamar 110. Dia terkena serangan jantung. Tadashi, kita membutuhkanmu untuk menangani pasien itu. Sebentar saja." Ms. Elsa memohon.

Dokter Tadashi mengembuskan napas, menatap Ms. Elsa, kemudian menepuk pundaknya, "Panggil dokter spesialis kardiolog(13). Sembari menunggu, tenangkan pasien dan dudukkan dengan posisi benar. Ajak ia bicara dengan pelan. Tanyakan obat terakhir apa yang dia minum dan sudah berapa lamai ia mengalami penyakit jantung."

Dokter Tadashi lalu memasuki kamar diikuti dengan kepergian Ms. Elsa.

"Cih, apakah dia sudah gila meninggalkan pasien darurat begitu saja?" desis Fang tajam.

Beberapa menit kemudian, dr. Tadashi keluar dari kamar dan menghampiri Ayah, Ibu, Ochobot, dan Fang. Ayah dan Ibu kemudian bangkit dari duduknya, lalu menatap antusias dr. Tadashi.

"Bu, Pak, BoBoiBoy sudah berhasil kami tangani. Walaupun Bapak membawa ke rumah sakit dengan sedikit terlambat," ucap dr. Tadashi.

Ayah dan Ibu hanya mengembuskan napas lega, tetapi ada sedikit rasa sesal juga begitu dr. Tadashi mengatakan 'terlambat'.

Fang melihat pintu kamar sedikit terbuka.

"Karena terlambat," dr. Tadashi berkata dengan begitu pelan, "dengan sangat menyesal, kami nyatakan kondisi BoBoiBoy saat ini sedang koma."

Ibu nyaris menjerit mendengar perkataan dr. Tadashi. Bahunya bergetar hebat. Ayah semakin mempererat rangkulannya. Ochobot hanya merunduk sedih.

Sementara itu, Fang dengan cepat menerobos pintu kamar dan menutup pintunya.

"Fang!" panggil Ochobot melihat Fang seenaknya memasuki kamar tersebut.

"Tidak apa. BoBoiBoy boleh dijenguk sementara sebelum kami memindahkannya ke kamar rawat," ucap dr. Tadashi.

"Pak, Bu, bisa kita ke ruangan saya? Ada beberapa hal yang perlu saya bicarakan."

222

Fang menatap datar BoBoiBoy yang terbaring lemah.

Ia begitu miris melihat adiknya yang terpasang selang oksigen, selang infus, dan dua kabel yang ditempelkan di dadanya di balik piyamanya. Kabel itu tersambung ke elektrokardiogram(14) di mana monitornya menampilkan gerak gelombang yang mendeteksi detak jantung BoBoiBoy. Bunyi "Nit ... Nit ... Nit" dari alat tersebut terdengar di telinga Fang.

"Kau ... koma?"

Fang mulai berbicara kepada BoBoiBoy. Kemudian ia tertawa renyah.

"Lelucon apa yang mau kau mainkan, BoBoiBoy?"

Fang masih tidak percaya BoBoiBoy tidur begitu pulas dan tidak merespons pembicaraannya.

"Mana hujan halilintarnya?! Mana?! Katanya kau mau membuatku menyesal, huh?!" Fang mengguncangkan pelan lengan BoBoiBoy.

"Hiks ..." tanpa disadari Fang mulai menangis.

"Kau adik yang brengsek. Teganya kau tidak menghadiri perpisahan di sekolah tadi. Hiks ..." Mata Fang memanas dan air mata terus mengalir deras membasahi pipinya.

"Kau membuatku hampir setengah gila karena menunggumu, BoBoiBoy. Akh! Bangunlah! Jangan mengerjaiku!" jerit Fang diiringi isak tangis.

"Hiks ... Hiks ..."

"M-maafkan aku ... hiks ... aku ti ... dak bermaksud ... hiks ... men ... jadi kakak yang ... hiks ... jahat bagimu," isak Fang menyesal.

"Sungguh aku tidak bermaksud menghancurkan impianmu, BoBoiBoy. Aku hanya mengkhawatirkan kondisimu," ucap Fang lalu melepaskan kacamatanya yang sudah buram akibat terkena air mata.

Fang meletakkan kepalanya di sebelah kepala BoBoiBoy. Salah satu lengan tangannya ia letakkan di bawah leher BoBoiBoy dan telapak tangannya memegang pundak BoBoiBoy.

"Aku tahu ini sedikit menjijikkan," decih Fang, "tapi sungguh aku lupa kapan terakhir kali aku memelukmu, BoBoiBoy."

"Tolonglah bangun. Aku janji akan menjadi kakak yang lebih baik lagi."

222

BoBoiBoy membuka matanya. Pandangannya yang tadinya begitu kabur, sekarang berusaha fokus.

"Eh, di mana aku?" ucap BoBoiBoy seraya duduk.

Secara refleks ia menyentuh pelipisnya yang tadinya terasa sakit.

"Eh? Tidak ada luka?" ucap BoBoiBoy setengah kaget.

Ia menerawang sekitar. Ruangan ini begitu gelap, tetapi masih kelihatan beberapa benda karena terkena cahaya matahari senja dari luar.

"Oh iya, aku harus menghadiri perpisahan Fang, 'kan?" ucap BoBoiBoy sambil menepuk jidatnya.

Ia baru saja melangkah menuju pintu rumahnya, tapi langsung berhenti begitu seseorang menyalakan lampu di ruang tengah.

Terlihat Ibu dan Ayah memasuki rumah dengan perasaan kacau.

BoBoiBoy mengerutkan keningnya.

"Bu? Yah? Kok kalian sudah pulang?" tanya BoBoiBoy.

Tiba-tiba Ibu menangkup wajahnya kemudian mulai menangis.

"Ayah ... hiks ... ini semua salahku," ucap Ibu terisak-isak.

"Eh? Ibu kenapa?" tanya BoBoiBoy lagi. Ia berusaha mendapat perhatian dari Ayah dan Ibu karena sedari tadi ia diabaikan.

"Seandainya aku lebih memerhatikan anak-anak di rumah, kejadian ini pasti tidak ada," sesal Ibu.

"Kejadian?" BoBoiBoy mengerutkan keningnya.

"Bu, tidak ada yang perlu disesalkan," ucap Ayah sambil memeluk Ibu.

"T-tapi ... coba saja aku dapat menghentikan pertengkaran mereka. Kau dengar' kan apa kata dr. Tadashi? BoBoiBoy pingsan karena tubuhnya terguncang dan ia mengalami syok. Apa mungkin akhir-akhir ini dia sering pingsan juga karena efek obat?" ucap Ibu dengan getir.

BoBoiBoy mengerutkan keningnya. Ia bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya. Kapan ia pingsan, eh?

"Ibu, Ayah, sebenarnya apa yang terjadi?" ucap BoBoiBoy setengah berteriak seraya menarik-narik baju Ibu.

"Sebenarnya aku merasa bahwa aku adalah ayah yang payah bagi mereka. Aku juga sangat sedih, Bu, melihat anak kita koma di rumah sakit ..." ujar Ayah sambil mengelus punggung Ibu.

"Hah? Koma? Siapa yang koma, hah?!" teriak BoBoiBoy, berusaha mendapat perhatian dari kedua orang tuanya.

"... tapi mau bagaimana lagi, Bu. Kita hanya bisa pasrah. Aku percayakan sepenuhnya penanganan BoBoiBoy kepada dr. Tadashi," ucap Ayah dengan tenang.

"Kita ... hiks ... memang orang tua yang payah," ucap Ibu dengan suara parau.

"IBU! AYAH! BOBOIBOY DI SINI!" teriak BoBoiBoy seraya mengguncangkan tubuh kedua orang tuanya.

Sebenarnya BoBoiBoy tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

Ayah kemudian menyingkirkan kedua tangan Ibu dari wajah Ibu. Kedua tangan Ayah menangkup pipi Ibu. Kedua ibu jari Ayah menghapus air mata Ibu.

"Bu, apa yang sudah lewat tidak perlu disesali. Sekarang kita harus fokus memantau keadaan BoBoiBoy dan merangkul Fang. Ayah yakin BoBoiBoy akan bangun sebentar lagi dari komanya," ucap Ayah seraya menatap bola mata Ibu.

"Apa? Aku ... koma?" ucap BoBoiBoy dengan nada syok.

"I ... itu sebabnya ... mereka tidak menggubrisku? Di sini? A-aku? Sudah menjadi hantu?" tanya BoBoiBoy pada dirinya sendiri.

"Konyol, ini tidak mungkin!" ucap BoBoiBoy frustrasi.

Jari-jari lentik Ibu mengelus pipi Ayah dengan begitu lembut. Sang istri menatap mata sang suami dengan penuh keyakinan. Perlahan bibirnya terangkat teratas membentuk senyum.

"Ibu ... Ayah ... Jangan mengerjaiku. Tidak mempan tahu!" ucap BoBoiBoy seraya menatap mereka berdua yang tengah 'bermesraan'.

"Ayah, aku sungguh menyayangimu. Ah, aku tidak tahu seandainya tidak ada Ayah," ucap Ibu.

BoBoiBoy melipat kedua lengannya di depan dada. Ia sungguh tidak menyukai adegan mesra di depannya. Rasanya BoBoiBoy ingin berada di tengah-tengah Ibu dan Ayah.

Ayah tersenyum. "Memang itu tugas seorang Ayah sekaligus suami."

Ayah semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Ibu. Sepertinya mereka ingin ...

"JANGAN!" teriak BoBoiBoy heboh. Enggan melihat adegan selanjutnya.

Tiba-tiba telapak tangan Ibu menutupi wajah Ayah lalu mendorongnya pelan.

"Nanti saja, Sayang. Kita harus buru-buru ke rumah sakit sekarang. Bantu aku mengemas baju anak-anak dan baju kita," ucap Ibu lalu menaiki tangga.

"Hahaha, baiklah. Aku akan mengemas baju kita," balas Ayah seraya memasuki kamar Ibu dan Ayah.

BoBoiBoy hanya memutarkan bola mata melihat kedua orang tuanya.

"Jadi ini kelakuan mereka kalau aku dan Fang tidak ada di rumah. Hahaha," gelak BoBoiBoy.

BoBoiBoy segera menuju lantai dua. Dilihatnya Ibu sedang memasukkan beberapa baju BoBoiBoy ke dalam koper di kamarnya.

"Bu, BoBoiBoy di sini," ucap BoBoiBoy di depan Ibu.

Ibu tetap sibuk merapikan baju di dalam koper. Tangan dan matanya fokus melipat baju.

"Bu, apa benar BoBoiBoy sedang 'koma'?" ucap BoBoiBoy seraya memegang tangan Ibu.

'Ternyata hantu bisa menyentuh manusia juga,' batin BoBoiBoy.

Ibu menghentikan aktivitasnya sejenak. Kepalanya terangkat dan menatap lurus ke arah BoBoiBoy.

"Ibu! Akhirnya Ibu bisa melihat BoBoiBoy?!" ucap BoBoiBoy antusias.

Ibu tetap diam dan menatap datar BoBoiBoy.

"Tuhkan Ibu dan Ayah memang bercanda," cibir BoBoiBoy.

Namun, bukannya membalas perkataan BoBoiBoy, Ibu malah beranjak menuju lemari yang berada tepat di belakang BoBoiBoy.

"Sepertinya ada yang kelupaan deh," ucap Ibu sambil mengobok-obok isi lemari BoBoiBoy.

BoBoiBoy hanya sweatdrop melihat kelakuan Ibu.

"Ternyata aku memang hantu, ya?"

222

Sampai detik ini BoBoiBoy masih tidak percaya ia sedang koma dan berwujud hantu. Pengalaman macam ini hanya terjadi di drama TV dan komik-komik. Ini semua memang benar-benar konyol.

Namun, ia penasaran. Apa mungkin kedua orang tuanya sedang mengerjainya? Kalaupun orangctuanya mengerjainya, Ibu pasti tidak akan sampai menangis.

Untuk itu ia harus memastikan apakah ini semua benar-benar atau tidak. BoBoiBoy mengikuti kedua orangtuanya sampai ke rumah sakit. Saat ini mereka sedang berada di lantai utama.

"Ah, dr. Tadashi!" panggil Ayah begitu melihat dr. Tadashi keluar dari ruang kerjanya.

"Itu dr. Tadashi. Dia pasti tidak akan bercanda," ujar BoBoiBoy lalu menghampiri dr. Tadashi.

Dokter Tadashi melihat kedatangan Ayah dan Ibu yang masing-masing sedang menarik koper.

"Dokter, aku—"

Belum sempat BoBoiBoy menyelesaikan perkataannya, dr. Tadashi melewatinya begitu saja lalu menghampiri Ayah dan Ibu.

"Sial, aku dilewati," gerutu BoBoiBoy.

"Ah, Pak, Bu, selamat datang. Kalian akan menginap nantinya?" tanya dr. Tadashi.

"Iya, Dok. Bagaimana dengan keadaan BoBoiBoy?" ucap Ayah.

"Sesuai dengan permintaan bapak, kami sudah memindahkan BoBoiBoy ke ruang rawat inap VVIP. Di sana sudah ada Fang yang menemani BoBoiBoy," terang dr. Tadashi.

'Ayah sampai menyuruh dr. Tadashi untuk menempatkan aku di kamar VVIP?!' jerit BoBoiBoy dalam hati.

"Terima kasih, Dok. Oh ya, di mana letaknya?" tanya Ibu.

"Di lantai dua, di kamar VVIP Nomor 133. Mari saya antarkan," ucap dr. Tadashi.

"Aku sudah dapat informasi kamar. Sekarang aku harus lihat apakah kuasaku masih berfungsi," ucap BoBoiBoy lalu melihat jam kuasanya.

"BoBoiBoy Halilintar!"

Terlihat BoBoiBoy yang mengenakan jaket yang didominasi motif petir berwarna merah dan topi hitam yang disertai lambang petir merah di depannya. Anak itu memakai topinya menghadap depan, bukan menghadap belakang seperti biasanya.

"GERAKAN KILAT!"

Secepat kilat, BoBoiBoy Halilintar menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sengaja ingin mendahului dr. Tadashi dan orang tuanya. Ia juga ingin cepat-cepat bertemu dengan Fang.

222

Dokter Seok Jin dan Suster Rini baru saja keluar dari kamar VVIP 133. Pintu nyaris tertutup rapat. BoBoiBoy Halilintar segera masuk.

Kamar rawatnya begitu luas, melebihi luas lantai satu di rumahnya. Terdapat lemari besar di sisi selatan kamar, tepat beberapa jarak di sebelah pintu. Jendela besar dengan gorden warna cokelat kalem ada di sisi utara. Dua kamar mandi—satu kamar mandi biasa, satu kamar mandi khusus pasien—dengan pintu lebar berada di sisi timur laut. BoBoiBoy berani bertaruh kedua kamar mandi itu pasti sangat luas, mungkin ada bathub-nya.

Setelah berubah menjadi normal, BoBoiBoy memfokuskan matanya ke arah ranjang tidur, berusaha mengabaikan fasilitas VVIP di kamar itu. BoBoiBoy bergidik ketika kata 'VVIP' melintas di benaknya. Berapa banyak lembar uang yang dikeluarkan ayahnya?

Oke, stop, BoBoiBoy! Fokus.

BoBoiBoy berjalan pelan ke arah ranjang tidurnya, yang berada beberapa jarak di sebelah jendela besar. Fang duduk di kursi tinggi, di sebelah ranjang tidurnya.

Tangan BoBoiBoy perlahan terulur ke tubuhnya yang terbaring di ranjang.

"Ini ... aku?"

BoBoiBoy melihat kondisi tubuhnya yang terbaring lemah di ranjang. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, tetapi ekspresi wajahnya begitu tenang. Alat bantu pernapasan terpasang manis di mulut dan hidungnya. Infus terpasang di lengan kirinya. Dua kabel terpasang di dadanya dan tersambung ke suatu alat di samping ranjangnya yang BoBoiBoy tidak ketahui namanya.

Yang pasti, monitor alat itu menampilkan gelombang yang menandakan detak jantungnya yang stabil, persis seperti yang ia tonton bersama Gopal di acara drama televisi.

"Aku ... masih ... hidup?" BoBoiBoy menyentuh pundaknya sendiri. Pundak tubuhnya yang terbaring lemah di ranjang.

Kepalanya menoleh ke arah Fang.

Fang menatap lurus ke arah wajah BoBoiBoy yang terbaring di ranjang. Pandangan matanya begitu frustrasi. Lensa kacamatanya berembun, akibat tangisan tadi. Ekspresi wajahnya frustrasi, seakan-akan ia menemukan jalan buntu. Jejak air mata masih terlihat di kedua pipi mulus Fang.

"Kak Fang?" panggil BoBoiBoy.

Fang tidak menggubrisnya. Mata Fang selalu fokus ke arah wajah BoBoiBoy yang terbaring di ranjang. Fang menunggu tanda-tanda reaksi sadar dari adiknya. Tapi hasilnya nihil.

"Kak Fang! Ini aku, Kak! Tatap aku!"

BoBoiBoy mengguncang keras kedua pundak Fang. Tapi entah mengapa, tubuh Fang tetap diam layaknya patung.

"KAK, KATAKAN KAU MELIHATKU! AKU MASIH HIDUP, KAK! JANGAN MEMANDANGKU SEPERTI ORANG MATI!" teriak BoBoiBoy frustrasi.

Fang tetap tidak melihat keberadaan BoBoiBoy.

"Kak Fang! KERIS PETIR!"

Keris berbentuk petir kuning muncul di tangan BoBoiBoy. Tanpa basa-basi, ia menusukkan benda itu ke tubuh Fang.

Tetapi posisi Fang tetap tidak berubah.

"Akh ... kuasaku ... tidak ... bekerja?" BoBoiBoy menatap frustasi kedua tangannya.

Sekilas muncul pikiran tentang suatu adegan di otaknya. Arwah atau hantu—'ah, persetan dengan sebutan tersebut', pikir BoBoiBoy—akan masuk ke tubuhnya dan menyatu jika ia memegang atau menyentuh tubuh aslinya.

BoBoiBoy meremas kedua pundak tubuhnya yang terbaring lemah. Berharap ia bisa masuk ke tubuhnya yang terbaring di ranjang dan segera sadar dari kegilaan ini.

Tapi beberapa kali BoBoiBoy memegang seluruh bagian tubuh aslinya, tubuh hantunya tidak bisa menyatu dengan tubuh aslinya.

"ARGH! INI TIDAK BERHASIL! Kenapa kalau di acara drama cara ini berhasil, huh?!" teriak BoBoiBoy frustrasi.

"Tolonglah! Ayo, kita menyatu, BoBoiBoy!" ucap BoBoiBoy pada dirinya sendiri dan juga kepada tubuh aslinya.

Nihil. Mata BoBoiBoy di tubuh aslinya tetap tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda perubahan sama sekali.

BoBoiBoy bernapas dengan frustrasi. Ia menjauh dari ranjang tidurnya, kemudian menjambak rambutnya dan menutup matanya dengan erat.

"BANGUN, BOBOIBOY! BANGUUUUN! SADARLAAAH!" teriak BoBoiBoy pada diri sendiri.

Apa yang ditakutkan BoBoiBoy benar-benar terjadi. Ketika dirinya mati—koreksi, belum mati, ia melihat Fang begitu frustrasi. Ia melihat Fang begitu sedih.

BoBoiBoy merasa gagal membuat kakaknya tersenyum bahagia. Terakhir kali mereka bertemu, malah membuat kesan buruk. Mereka bertengkar dan belum meminta maaf satu sama lain.

"Jangan seperti ini ... hiks." BoBoiBoy terjatuh duduk. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya.

"KUMOHON JANGAN SEPERTI INI! AKU BELUM MAU MATI, HIKS! AAARRGHHHH!" BoBoiBoy berteriak sepuasnya dan menjambak rambutnya sekuat mungkin. Menangis sekeras mungkin.

Tidak peduli ia berteriak sekuat tenaga. Toh, tidak ada orang yang menyadarinya karena ia HANTU!

"HIKS ... HIKS ... HUWAAA!"

BoBoiBoy menenggelamkan kepalanya diantara kedua lutut yang ia peluk.

"Hiks ... aku benci ini ... hiks ... AKU BENCI INI!"

NIT NIT NIT!

Mendadak elektrokardiogram berbunyi dengan tempo cepat. Gelombang yang tadinya bergerak normal, menjadi cepat.

Fang dengan cepat menyentuh lengan BoBoiBoy.

"BoBoiBoy? Hei! Hei! Kau kenapa?" ucap Fang dengan nada panik.

Bunyi alat itu terus menggema, memasuki indra pendengaran Fang, membuat dirinya semakin panik.

"BoBoiBoy! Tenanglah!" seru Fang seraya mengguncangkan tangan BoBoiBoy.

Tepat di saat itu, dr. Tadashi memasuki kamar bersama Ayah dan Ibu.

"Dokter! Dokter! Tolong adik saya, Dok! CEPAT!" teriak Fang seraya menarik-narik jas putih dr. Tadashi.

Mendengar teriakan Fang, BoBoiBoy yang sedang memojokkan diri, langsung tersadar dan menengok apa yang terjadi di depannya.

BoBoiBoy mengerutkan keningnya ketika melihat alat di sampingnya berbunyi dengan tempo cepat dan gelombang yang bergerak begitu cepat.

"Eh? Aku kenapa?" ucap BoBoiBoy seraya menunjukkan dirinya.

Dokter Tadashi mengeluarkan stetoskopnya dan mulai memeriksa BoBoiBoy. Ayah dan Ibu terpaksa menyeret Fang—yang terus-terusan meracau—keluar kamar.

Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, dr. Tadashi mengeluarkan handphone-nya dan menelepon dr. Seok Jin.

"Seok Jin, cepat ke kamar rawat BoBoiBoy bersama Suster Rini. Elektrokardiogram menunjukkan tanda-tanda tidak biasa pada pasien. Kau tahu 'kan alat-alat yang harus dibawa?" ucap dr. Tadashi lalu menutup telepon.

BoBoiBoy segera berdiri di samping ranjang. Dia melihat tubuhnya begitu tenang, tetapi elektrokardiogram terus berbunyi seperti ada tanda bahaya.

"Aku kenapa, sih?" tanya BoBoiBoy dengan nada cengo.

Dokter Seok Jin dan Suster Rini langsung hadir di depan dr. Tadashi.

"Tekanan darahnya tinggi. Sepertinya pasien mengalamin ketegangan dalam dirinya," lapor dr. Tadashi.

Suster Rini mengelus lembut rambut BoBoiBoy yang tertutupi topi dinosaurus tersebut.

"Sayang, tenanglah. Kau bisa melewati ini semua," bisik Suster Rini di dekat telinga BoBoiBoy.

"Tenang apanya, heh? Ini semua terdengar gila bagiku!" ucap BoBoiBoy emosi.

Dokter Seok Jin dan dr. Tadashi segera melakukan sesuatu dengan berbagai alat yang entah BoBoiBoy tidak mengerti.

"Sayang, keluargamu sudah menunggu di luar kamar. Kau harus berjuang demi mereka," ucap Suster Rini seraya membantu kedua dokter menangani BoBoiBoy.

Mendadak perkataan Suster Rini membuat BoBoiBoy terdiam sejenak.

"Oh iya, aku membuat Kak Fang sedih lagi nanti," sesal BoBoiBoy.

Perasaan BoBoiBoy yang tadinya emosi, sekarang menjadi lebih tenang. Ia begitu suka mendengar pembicaraan dari Suster Rini. Perlahan BoBoiBoy tersenyum.

Elektrokardiogram menjadi lebih normal. Tidak ada suara dengan tempo cepat seperti tadi.

"Fyuuuh. Semuanya sudah lancar, dr. Tadashi," lapor dr. Seok Jin.

222

Fang sudah berganti baju pada saat BoBoiBoy sedang ditangani. Kini pemuda bersurai raven itu kembali meratapi adiknya yang sedang berbaring lemah dengan tatapan kosong.

Seakan-akan ada titik putus asa di hati Fang.

"Fang, lebih baik kau tidur. Ini sudah jam 11," ucap Ibu seraya menatap kedua anaknya.

Fang tetap tidak bergeming. Mengabaikan sang ibunda yang mungkin sudah lelah dengan tingkah laku Fang. Sudah cukup anak keduanya berbaring lemah, jangan lagi ditambah dengan kondisi Fang yang kini seperti menyerah dalam hidup.

BoBoiBoy masih berdiri menyaksikan Ibu dan Fang dengan perasaan bersalah.

"Bangunlah, BoBoiBoy! Jangan memperburuk suasana!" ucap BoBoiBoy cemas.

"Fang, bergabunglah dengan ayahmu untuk tidur. Biar Ibu yang menjaga BoBoiBoy," ucap Ibu dengan lembut.

Manik mata dibalik kacamata nila itu tetap tidak bergerak. Fokus menatap mata tertutup BoBoiBoy.

Ayah memang sudah tidur dari tadi, mengingat besok adalah hari senin dan beliau harus bekerja. Sebelumnya, Ayah sempat khawatir dan susah tidur karena cemas dengan BoBoiBoy, takut-takut kejadian tadi terulang lagi. Namun Ibu berhasil menenangkan Ayah.

BoBoiBoy melihat mimik wajah Ayah ketika tidur. Memang pulas, tapi wajah cemasnya tetap tidak terlepas.

Ayah tidur di kasur lebar yang memuat dua orang, empuk, dan nyaman. Kasurnya berada di barat daya, tepat di sebelah kasur BoBoiBoy. Ada tirai sebagai sekat di antara kasur itu dan kasur pasien. Sebelah kasur yang menjadi tempat tidur Ayah, ada satu sofa yang empuk.

Sofa itu ditempati oleh Ochobot yang sudah tidur juga. Tadinya ia bersikeras juga untuk menjaga BoBoiBoy sampai pagi, karena ia robot dan tidak butuh istirahat. Tapi tetap saja Ayah dan Ibu menyuruh robot kesayangan mereka itu untuk tidur. Walaupun dalamnya mesin yang kuat, mesin itu butuh proses juga untuk menghasilkan energi baru untuk keesokan harinya.

"Fang—"

"Lebih baik Ibu saja yang tidur." Fang memotong perkataan Ibu dengan nada dingin. Posisi tubuhnya tidak berubah sedikitpun.

Ibu sedikit kaget Fang akhirnya meresponsnya.

"Sayang, lebih baik kamu istirahat dulu. Kamu juga belum makan daritadi. Jangan menyiksa dirimu," ucap Ibu kemudian perlahan menghampiri Fang.

Entah mengapa, ada perasaan takut menghampiri hati Ibu. Ia takut perilaku Fang menjadi sedikit lebih kasar karena perasaannya yang sedang tidak menentu.

Tapi Ibu tidak akan mundur begitu saja. Kedua tangannya menghampiri pundak Fang.

Fang tersentak, seperti orang yang sudah sadar sehabis dihipnotis. Kedua tangan Ibu berada di pundaknya.

Hangat. Sangat hangat.

BoBoiBoy sedikit iri dengan kakaknya. Ia ingin juga merasakan kedua tangan Ibu. Yang hanya BoBoiBoy bisa lakukan ialah, tangan kirinya memegang tangan Ibu, sedangkan tangan kanannya memegang tangan kaku Fang.

"Kak Fang, tolong dengarkan Ibu," pinta BoBoiBoy, walau ia tahu mustahil untuk didengar Fang karena kenyataannya ia tidak nyata untuk saat ini.

Fang masih diam. Menikmati suatu aliran dari tangan hangat Ibu. Perlahan senyum tipis terbentuk di bibir Fang.

Fang memutar tubuhnya ke belakang, lalu kedua tangannya yang tertutupi sarung tangan ungu fingerless itu meraih kedua tangan Ibu kemudian menggenggamnya.

"Baiklah. Apapun untuk Ibu, Fang akan tidur," ujar Fang seraya nyengir kuda.

Hati Ibu menjadi lega ketika melihat Fang seperti itu. Yang ada, Ibu malah ikut-ikutan nyengir seperti Fang.

"Baiklah, tapi tidak seperti ini juga kali. Pantas saja banyak perempuan yang jatuh hati sama kamu karena kamu ..." goda Ibu sambil melirik tangannya dan wajah Fang seara bergantian, "... seperti ini."

"Iya dong. Ibu jadi jatuh hati 'kan sama Fang?" ujar Fang dengan pedenya.

"Jatuh hati karena apa?"

"Karena Ibu adalah ratu hatiku~"

"Gombal kamu."

BoBoiBoy hanya tertawa melihat percakapan antara Ibu dan Fang.

"Hehehehe." Fang cengengesan seraya menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Sudah. Sudah. Lebih baik kamu tidur. Biar Ibu yang jaga BoBoiBoy sekarang," ucap Ibu.

"Baiklah, Bu."

Ibu duduk di kursi baru yang lebih rendah daripada kursi tinggi tempat Fang tadi, sedangkan Fang beranjak menuju sofa empuk di antara kasur BoBoiBoy dan jendela besar yang ditutupi gorden.

Fang meletakkan bantal sofa di bawah kepalanya, menarik selimut sampai lehernya, melepaskan kacamata lalu meletakkannya di samping. Kemudian ia menutup mata dan mencoba untuk tidur.

BoBoiBoy tersenyum lalu mengembuskan napas lega begitu Fang menuruti permintaan Ibu.

BoBoiBoy berjalan ke arah Ibu, lalu memeluknya dari belakang. Ibu hanya diam dan memerhatikan BoBoiBoy yang masih tertidur pulas di ranjang.

BoBoiBoy menguap, lalu dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan.

"Ternyata hantu bisa mengantuk juga," ujar BoBoiBoy seraya sweatdrop.

BoBoiBoy akhirnya beranjak menuju kasur dan tidur di sebelah Ayah.

Ibu memeluk badannya sendiri. Keningnya mengerut. Ada sesuatu yang ia pikirkan. Lalu salah satu tangannya mengelus kepala BoBoiBoy beberapa kali.

"Entah mengapa, walaupun kamu koma, Ibu merasakan bahwa kamu ada di samping Ibu, BoBoiBoy. Berbicara kepada Ibu dan men-support Ibu dari belakang."

Mata Ibu memanas kemudian disusul dengan segukan hebat. Ibu menutup mulutnya dengan punggung tangannya, berusaha agar suara sesenggukannya tidak terdengar oleh suami dan anak keduanya yang sedang tidur.

Air mata mengalir begitu deras membasahi pipi Ibu.

"Hiks... Hiks... Cepatlah sadar, Sayang... Hiks... Buat kita semua tersenyum lagi."

222

Nyatanya Fang tetap saja merasa ia tak tidur.

Fang membuka matanya lalu memakai kacamata. Ia melirik jam dinding.

Pukul 2 dini hari.

Fang menyibakkan selimutnya lalu beranjak dari sofa. Ia melihat Ibu yang tidur di samping BoBoiBoy.

"Tuhkan, ujung-ujungnya Ibu juga tidur," ucap Fang dengan suara kecil.

Fang mengambil selimut di sofa. Ia lalu menyelimuti sang ibunda yang tidur dengan posisi duduk dan kepala di sebelah lengan BoBoiBoy.

Fang mencium pipi Ibu sekilas lalu keluar dari kamar rawat BoBoiBoy.

Matanya menyapu lorong rumah sakit yang sangat sepi dan hening. Fang duduk di lantai sebelah kursi tunggu. Kedua kakinya ia lipat dan ia peluk. Kemudian matanya menatap lurus ke pintu kamar rawat BoBoiBoy.

Fang ingin sekali BoBoiBoy cepat sadar dari komanya. Semenjak tadi pagi, ia belum mengetahui kondisi BoBoiBoy karena sekarang Ayah dan Ibu yang hanya mengetahui itu.

Fang berfirasat bahwa alzheimer itu sudah merambat kuat ke saraf-saraf dan bagian lainnya. Pikirannya kemana-mana dan perasaannya juga selalu campur aduk.

Ia tidak bisa tenang sampai BoBoiBoy sadar dari komanya, berdiri di depan pintu, mengatakan bahwa semua ini adalah lelucon untuk mengerjai Fang, lalu Fang dan BoBoiBoy saling bertengkar dengan penuh kasih sayang.

Namun itu semua hanyalah harapan kosong Fang.

Dokter Tadashi hendak berjalan ke ruang dr. Seok Jin yang berada di ujung lorong, tetapi ia malah berhenti ketika melihat Fang yang sedang duduk dan melamun.

Tanpa basa-basi, dr. Tadashi ikut duduk di samping Fang.

Keheningan mulai ada di antara mereka. Dokter Tadashi tidak tahu awal yang bagus untuk memulai percakapan, sedangkan Fang hanya melirik dr. Tadashi. Sampai akhirnya ...

"Dokter, kenapa kau mengabaikan pasien yang lainnya?" ucap Fang yang pandangannya masih lurus.

Dokter Tadashi sedikit tersentak mendengar pertanyaan Fang. Dokter itu menebak pasti Fang melihat kegiatannya tadi.

Dokter Tadashi mengembuskan napas panjang, bersiap-siap untuk memberi jawaban.

"Karena aku tidak mau kejadian lima tahun yang lalu terulang lagi."

.

.

.

.

.

A/N: Eiiiittt. Sudah sampai 4k+. Cukup sampai di sini. Saya tak mau membuat Anda gumoh.

.

.

.

.

.

Catatan kaki:

7. Dissecting forceps = Pinset anatomis, bagian dalam kedua belah ujungnya bergaris-garis horisontal. [fungsialatkesehatan. blogspot. com]

8. Pus basin = berfungsi untuk menampung kapas bekas.[fungsialatkesehatan. blogspot. com]

9. Temporale = bahasa latin tulang pelipis.

10. Simple face mask = Susah jelasinnya. Pokoknya selang oksigen yang nutupin hidung dan mulut, kayak di sinetron wkwkwk. Mengalirkan oksigen konsentrasi oksigen 40-60% dengan kecepatan aliran 5-8 liter/menit. [nikenadipuspita. blogspot .com]

11. Infusion set = berfungsi sebagai selang untuk pemberian cairan infus. [fungsialatkesehatan. blogspot. com]

12. Dokter spesialis toksikologi = spesialisasi ilmu kedokteran yang berkonsentrasi pada diagnosa, penanganan, dan pencegahan keracunan. [persify. com]

13. Dokter spesialis kardiolog = dokter yang mendalami dan bekerja di lingkup penyakit jantung dan pembuluh darah. [Wikipedia]

14. Elektrokardiogram = Alat yang merekam aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu [Wikipedia]. Yaa, pendeteksi jantung kayak di sinetron-_-.

A/N: Gimana gengs chapter ini? Puyeng yah?

Saya bener-bener payah dah kalau deskripsikan sesuatu. Cacat banget pas deskripsiin kamar VVIP BoBoiBoy tersayang. Maaf yah kalau membuat kalian bingung :".

Jangan tanyakan saya tentang hal yang berbau ilmu kedokteran. Saya nulis istilah kedokteran di ff ini karena ada pengetahuan dan belajar di sekolah. Sisanya browsing wkwkwkwk. Kalau ada yang aneh di bagian istilah kedokteran, tulis aja di review, biar saya bisa perbaiki ke depannya.

Terima kasih masih setia dengan ff saya sampai chap 12. Tunggu kejutan lain dari saya ;).

Silakan review!

Helloooo, masih zaman jadi silent reader? Ayolah, kalian bebas mau review apa saja di sini!

——————————
K O L O M  N U T R I S I

——————————

1. Kira-kira sampai kapan, ya, BoBoiBoy koma?

2. Kamu pernah menginap di rumah sakit?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 13 di Do I Remember You ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Do I Remember You?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top