Chapter 3 - "Gadis yang Aneh"

YUKI

Sudah sore dan kami masih menunggu Ootonashi di gerbang barat. Semua orang sudah mengeluh bosan karena menunggu. Semuanya mendesakku agar kami segera pergi ke toko baru di dekat perempatan. Waktu ikut mendesak karena kudengar-dengar dari mereka, toko baru itu akan ditutup setengah jam lagi.

Sebenarnya hari ini bukan pertama kalinya aku pergi ke toko baru perempatan yang bernama The Precious itu. Minggu lalu aku pergi bersama Touma dan Sakawada. The Precious memang menjual barang-barang unik dan beragam seperti yang dikatakan oleh Ichisaki-San.

Aku masih ingat bagaimana tiba-tiba firasatku menyuruhku mengajak Ootonashi-San serta. Ootonashi-San sepertinya belum pernah pergi ke The Precious, karena itulah aku mengirim pesan ke satu-satu temanku dan meminta mereka untuk mengajaknya. Ootonashi nampaknya tak menyukaiku. Aku pernah sekali mengajaknya berbicara, namun dia tak mengubris perkataanku. Karena itulah aku menyarankan perempuan untuk mengajaknya, mungkin saja dia mau.

Tapi ternyata perkiraanku salah. Sudah limabelas menit kami menunggu, namun batang hidung Ootonashi tak juga nampak. Entahlah dia melupakannya atau memang dia tidak mau ikut. Aku tidak tahu.

"Yuki-Kun, bagaimana kalau kita pergi saja?" tanya Uchiwara-San dengan kening mengerut seperti tak senang menunggu sedetikpun lagi untuk kedatangan Ootonashi. "Sudah bentar lagi tutup, lho."

"Iya nih." Takawada ikut menimpali.

Aku tak bisa berkata apapun selain memberikan senyuman tipis andalanku. Memang benar, kami sudah menunggu Ootonashi cukup lama. Padahal, selama beberapa hari ini melihat Ootonashi, aku yakin persis dia selalu melewati gerbang barat, saat datang maupun pulang. Kulihat juga pintu masuk TK sudah ditutup dari kejauhan, yang mana halnya sudah tidak ada lagi murid yang menunggu disana.

Mungkin dia sudah pulang. Tapi mengapa dia mengabaikan ajakan kami?

"Yuki-Kun?"

"Ah, ayo kita pergi saja. Mungkin dia memang tidak bisa ikut, dia punya adik yang harus dia bawa pulang," ucapku menyayangkan. "Apa tadi kau bertanya apa dia bisa atau tidak, Ichisaki-San?"

Ichisaki nampak menerjap, beberapa detik kemudian dia tersenyum nyengir dan menggaruk kepalanya. "Hehe, aku lupa menanyakannya."

Semuanya langsung menyenggol pundak Ichisaki dengan kesal. "Aih, lima belas menit kita jadi terbuang sia-sia." Takawada menghela nafasnya.

"Ini seperti peringatan. Lain kali kalau mau pergi jangan ajak Ootonashi lagi."

Apa-apaan itu?

"Ngomong-ngomong..." Aku segera memotong pembicaraan sebelum topik mereka semakin jauh. "Ayo kita pergi sekarang, sebelum toko itu ditutup."

Lebih baik cepat-cepat mengalihkan topik daripada mendengar gosip-gosip aneh dari mereka.

*
Mataku menatap datar bangunan besar di depanku, dengan pagar hitam pekat dari besi yang menjajar rapat. Bangunannya berdominasi putih dan abu-abu, halaman luas dengan pepohonan rindang dan tali tambang dengan anyaman memutar mengikat di dahan terkuatnya membuat ayunan dari bahan sederhana.

Pot-pot yang berisi tanaman-tanaman terawat itu adalah milik Okaa-San yang dulunya pernah diatur olehnya, namun kini pekerjaan itu telah diserahkan kepada Matsugawa-San.

Aku menghela nafas terlebih dahulu sebelum membuka pagar yang tingginya sekitar dua meter itu.

"Yuki-Sama, anda sudah kembali," sapa pengurus kebun rumah kami, Matsugawa-San.

Aku tersenyum tipis dan berjalan ke arahnya, "bagaimana keadaan tanamannya?"

Matsugawa-San mengerutkan keningnya lalu memperhatikan bunga merah di sana yang warnanya tak secerah bulan lalu, lalu dia kembali melirikku.

"Sudah masuk di musim dingin," gumamnya. "Kurasa bunga ini tak akan sempat terpetik. Daun dan kelopaknya saja sudah berguguran."

Aku melirik sejenak bunga itu, lalu beralih kembali ke Matsugawa-San. "Ada yang sudah pulang?"

Matsugawa-San nampak ragu saat hendak menjawab. "Belum."

Aku hanya bisa tersenyum tipis dan melangkah menjauhi taman. Matsugawa-San tampak tidak nyaman dan sesekali melirikku. Seharusnya aku tidak menanyakannya pada Matsugawa-San, itu hanya akan membuatnya merasa bersalah. Mungkin lain kali aku harus memeriksa terlebih dahulu garasi mobil Okaa-San atau Otto-San.

"Tadaima."

"Okaerinasai, Yuki-Sama."

Sudah berapa lama 'mereka' tidak pernah menyambutku lagi?

Aku berjalan lurus, kali ini tak membalas perkataan Ihana-San, asisten rumah tangga di rumah ini. Ihana-San sudah diberi kepercayaan sepenuhnya untuk mengurusi rumah. Beliau sudah mengabdi kepada keluargaku, Keluarga Akihito selama hampir duapuluh tahun, bahkan sebelum aku dilahirkan di dunia ini.

Ngomong-ngomong soal keluarga, Otto-San adalah pemilik perusahaan swasta yang bersaing di negri ini. Okaa-San juga terlibat dalam perusahaan Otto-San hampir selama sepuluh tahun.

Sepuluh tahun ..., sudah selama itukah?

Bagiku, mereka tetap orangtua yang baik meskipun kami sudah jarang bertamasya bersama, meskipun kami sudah jarang makan malam bersama--terakhir kami melakukannya sekitar tiga tahun yang lalu, dihari pernikahan sepupuku-- dan meskipun kami sudah jarang bersitatap.

Mereka berdua sudah hampir tak mengunjungi rumah ini selama dua bulan. Ada apartemen yang lebih dekat dengan kantor pusat di Tokyo. Sedangkan kantor cabang lainnya tersebar acak di Jepang.

Kuperhatikan kalender yang tergantung di dinding. Lingkaran merah di akhir tahun membuatku menghela nafas.

Tinggal menghitung hari. Duapuluh lima hari lagi, semoga saja semuanya berjalan sesuai harapanku.

*

Tubuhku hangat dibalut selimut tebal di musim dingin. Mataku enggan terbuka, cuaca pagi ini sangat mendukung untuk melanjutkan tidur kembali. Sepertinya musim dingin kali ini akan menurunkan salju.

Alarm di nakas sudah berbunyi sejak beberapa saat yang lalu. Tanganku bahkan sungkan keluar dari selimut untuk mematikan bunyi melengking yang memekakan telinga. Namun akhirnya kulakukan juga begitu mataku melirik jam dan waktu rupanya sudah terlewat setengah jam.

Ah, jangan sampai terlambat.

Aku segera bersiap-siap meski tubuhku menggigil karena dahsyatnya dingin pagi ini. Kuharap penghangat ruangan di kelas akan dibuka hari ini. Syal dan sarung tangan bahkan tidak cukup untuk melindungi tubuhku dari tajamnya dingin.

Semoga tidak ada badai salju sampai hari itu tiba.

Pagi ini tidak ada yang berlari santai seperti biasanya. Tentu saja, siapa yang nekad melakukan itu dimusim dingin seperti ini?

Langit biru pucat, awan tak tampak karena kabut. Daun-daun di dahan pohon rontok, juga akibat musim gugur yang terjadi bulan lalu. Suhu makin dingin saja. Tidak ada suara burung yang nyaring seperti pagi-pagi di musim dingin. Terlalu dingin.

Sampai di sekolah, menghela nafas saat melihat penghangat ruangan telah dinyalakan. Saat melihat kedatanganku di ambang pintu, semuanya tersenyum hangat dan menyapaku.

"Pagi, Yuki-Kun!"

Dan aku hanya perlu memperlihatkan senyum sebisaku.

"Pagi."

Saat mereka mendatangi tempat dudukku, aku hanya perlu menyambut perkataan mereka seperti biasanya. Aku hanya perlu menjalaninya seperti biasanya.

Dengan begini, tidak akan ada yang tahu.

Saat terdengar suara pintu terbuka, kulihat mereka semua menatap ke arah pintu sejenak, lalu kembali melanjutkan perbincangan seperti tak melihat apapun. Dari celah yang dapat kulihat, aku bisa melihat Ootonashi Yume datang dengan jaket bulu khas musim dingin, syal merah dan sarung tangan yang senada.

Mata kami sempat bertemu sejenak, sebelum akhirnya dia mengalihkan pandangannya ke tempat duduk disana.

"Stt, Ootonashi sudah datang," bisik Ichisaki dengan nada berbisik sangat pelan. "Apa perlu aku menegurnya soal kejadian kemarin?"

"Tidak perlu," sergahku cepat. "Biar aku saja."

Samar-samar aku dapat melihat Ootonashi-San menatapku dengan tatapan tajam. Entahlah, tampaknya dia tak begitu menyukaiku.

Apa dia bisa mendengarkan kami? Meskipun suara kami begitu kecil?

"Tapi Yuki-Kun, aku hanya mau mengingatkan bahwa, berbicara dengannya bisa membuatmu kesal." Fujihara berkacak pinggang.

Saat kulihat Ootonashi bangkit dari duduknya dan pergi keluar kelas, aku juga ikut bangkit dan segera beranjak ke pintu geser. Mengapa Ootonashi pergi? Padahal suhu hari ini sedingin ini.

"Cepat sekali dia menghilang," gumamku sambil memperhatikan ujung sudut koridor ke ujung lainnya. Ada kemungkinan juga dia berbelok ke perempatan yang memisahkan lorong loker, ada pula kemungkinan dia masuk di salah satu pintu di dekat perempatan itu.

Setelah yakin bahwa dia tidak berada di koridor, barulah aku berjalan ke persimpangan koridor. Tapi aku juga tidak melihatnya disana.

Aku menghela nafas. Mungkin nanti, saat istirahat makan siang.

Baru saja hendak kembali ke kelas, terdengar suara pekikan keras dari salah satu pintu, yang membuatku refleks menatap ke satu pintu. Beberapa detik kemudian suara pekikan terdengar kembali yang membuatku berinisiatif membuka pintu.

KREK.

Di dalam ruangan gelap itu, seorang gadis memasang ekspresi ketakutan. Dia tampak gelisah dan bernafas tidak teratur. Matanya berair, seperti hampir menangis.

"Ootonashi?"

Ootonashi tak berkata apa-apa, dia bangkit dari posisi duduknya di lantai dan berlari keluar tanpa mengatakan apapun.

Gadis yang aneh.

***TBC***

22 April 2016, Jumat.

a/n:

Sebenarnya sih rencana update-nya kemarin malam, jadi biar ada kesan horror gitu, ya kan?

Tapi setelah kupikir-pikir, Chapter ini sama sekali gaada horror-nya. Cuma pengenalan tentang Akihito Yuki saja, dia deutragonist kita di DN ini. Dan dia adalah alasan mengapa cerita ini diberi judul DN.

Ayolah, aku tahu kalau kalian juga udah tahu inti cerita ini nanti. As I said, cerita ini mainstream pake banget banget. kuusahain di lain cerita, gaada lagi yang mainstream-mainstream gini, okee?

Mengapa DN lambat banget publishnya? Dikata sudah dibuat sampai jauh? Iya jauh banget malah. Di word udah mau end, serius gabohong. Tapi saya ganiat buat DN panjang-panjang, jadi saya harus edit sedikit.

Oke, salam buat adik-adik yang lagi berjuang buat UN-nya mei entar, semangat buat adik-adik yang lagi ulangan harian. Semoga sukses yaaa.

Salam,
Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top