Chapter 23 - "Dendam dan Puncaknya"

Yume tak bisa menahan dirinya untuk tidak mengikuti Ayahnya dan Kanata yang kini berada di depan rumah tua itu. Demi slipper yang tadi dilemparkan oleh Ibunya Kanata, Yume merasa ngeri pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Dia baru saja merasa kasihan dengan Kanata. Tapi apapun itu, Pamannya yang kini bersandar di belakang mobil hitamnya dan Ayahnya Yume yang terus-terusan mencoba mengajaknya berbicara, membuat Yume merasa diabaikan.

"Sebenarnya ini ada apa?"

Yuki bertanya, dialah satu-satunya korban yang kini kebingungan setengah mati dengan apa yang terjadi. Yume sebenarnya berencana untuk menceritakannya setelah dia mengisi rekaman suara pengakuan Kanata di voice recordernya, tapi persetan dengan itu, mereka telah berkendara sejauh ini dan misi mereka yang kacau balau membuat Yume berniat menceritakannya saat itu juga.

"Ayo ke belakang." Yume sudah sakit kepala dibuat kondisi di hari natal ini. Chizuko yang mengintip dari kejauhan, mendapat lambaian dari Yume tanda bahwa dia boleh mengikuti mereka sejenak. Chizuko terbang mendekat mengikuti mereka, tapi tak sedekat jarak Yuki dan Yume tentunya, dia tidak ingin berpindah tempat hari ini.

Di belakang rumah tua itu, terdapat jendela yang memperlihatkan beberapa sepupu Yume yang masih kecil berlari dan bermain kembali, sementara yang lain berusaha menenangkan Ibunya Kanata. Yume bisa melihat neneknya juga ikut menenangkan saudarinya yang sepertinya sudah emosi karena kehadiran Kanata.

"Soal gangguan mental Kanata, kau sudah dengar dari Ibuku kan, kemarin?" tanya Yume ke Yuki.

Chizuko menyambung dari kejauhan, "Aku sungguh tidak tahu apa-apa. Aku hanya mengikutinya beberapa kali, sungguh. Aku tidak mengikutimu karena ingin membalas dendam dengannya!"

Yume menebak, Chizuko tak mampu mendengar suaranya dari jarak sejauh itu, tapi mana mungkin dia yang berteriak menjelaskannya, kan? Dia bisa membuat semua orang keluar dari rumah itu dan mempertanyakan mentalnya.

"Jadi begini," Yuki yang memutuskan untuk menjelaskannya dengan suara keras, berhubung tak ada siapapun yang mampu mendengarnya selain Yume di sini. "Kanata itu Pamannya Yume, sepupu Ibunya Yume. Sejak kecil, dia memang sudah punya gangguan mental karena Ayahnya-"

"Kau berbicara terlalu keras," Seorang lelaki tua datang dan berterbangan di samping Chizuko. Chizuko terlalu kaget, namun tak sempat berkata apa-apa. "Ah, Hai, Yume."

"...Hai, Kek," balas Yume dengan pelan.

Yuki meneliti lelaki tua itu dengan serius. Kakek ini benar-benar adalah lansia yang selalu mengikutinya dan Yume sejak awal. Yuki ingat, Kakek ini pernah berbicara dengannya saat dia berkeliaran suatu malam karena terlalu bosan saat itu.

Kakek itu memperhatikan Yuki dan Chizuko bergantian, "Kalian masih terlalu muda untuk meninggalkan dunia, huh?"

"Kakek sudah pernah bilang begitu padaku," balas Yuki yang membuat Yume menatap penasaran ke arahnya. Sudahlah, biarkan saja mereka berbicara dulu.

"Ah, begitukah?" Kakeknya itu bergerak mendekati Yuki. "Kau tidak merasa perlindungan Yume melemah? Kau bisa mengambil tubuhnya dan-"

"Kek," Yume menatap Kakeknya gemas. "Jangan pengaruhi Akihito, dia pelindungku."

Yuki menerjap sejenak dan ucapan Yume seolah terulang-ulang kembali layaknya kaset rusak. Bagian jantungnya terasa sakit untuk kesekian kalinya. Yaampun, Yume.

"Dia tidak akan terpengaruh, lagipula Kakek sudah pernah mencobanya, "Kakeknya tertawa puas dan Yume menatapnya kesal.

"Kukira Kakek sudah pikun," sindirnya yang membuat Kakeknya terbahak pelan. "Kek, itu Chizuko Fujihara, korban lain dari Kanata."

"Hai, Kakek!" Chizuko menunduk dalam-dalam meski tengah melayang-layang.

Kakeknya hanya tersenyum tipis. Mirip Santa, pikir Yuki.

"Oh ya, aku ingat," Kakeknya menunjuk Yuki. "Kau yang ditabrak Kanata dengan mobil sewaan itu, kan?"

Sedikit ragu Yuki menjawab, "uh, ya, benar."

"Kau di sini, tapi kau masih hidup, kan?"

Lagi-lagi Yuki menjawab dengan ragu, "Ya, aku masih hidup."

"Aku dulu sempat terbangun dari koma sebelum struk menyerangku beberapa menit kemudian," Kakeknya melirik Yume yang menatapnya penuh tanda tanya. "Lho, cucu-ku tidak tahu?"

"Tentu saja tidak, semua orang juga mengira Kakek meninggal karena koma."

Meninggal karena koma, dan kalimat itu terdengar berulang-ulang di pikiran Yuki. Rasanya kata-kata itu menusuk tajam dirinya.

"Eh, benar juga," Kakeknya menatap Yuki dalam, "Kau mau kuajarkan cara kembali ke tubuhmu?"

*

Kanata mengamuk. Yuichi--ayahnya Yume--telah menahan tangannya sejak tadi, saat Kanata mulai mengeluarkan sebilah pisau dan hendak menusukkannya padanya. Untung saja saat itu Yuichi sempat menghindar. Terlambat sedetik, lehernya pasti sudah menganga lebar.

"Mengakulah! Kau dan anak-anakmu itu tahu sesuatu soal aku, kan?!"

Yuichi ingin sekali menekan perekam lain yang ada di sakunya sekarang, tapi tentu saja keselamatannya lebih penting saat ini. Berteriak meminta bantuan pada orang-orang di dalam juga bukan ide yang bagus, banyak anak-anak di dalam sana.

Dia butuh seorang arwah untuk menyampaikannya pada Yume. Bagaimana ini?

"Kau pasti tahu sesuatu! Mengaku!"

Yuichi kewalahan karena Kanata terus saja meronta dalam kunciannya. Kanata semakin agresif. Apa dengan berbisik sedikit, Putrinya itu bisa mendengarkan?

"Yume...," bisiknya pelan.

Kanata makin liar saat tak sengaja mendengar bisikan itu, dia lepas dari kuncian Yuichi dan mengunci balik dengan kasar. Dipungutnya kembali pisaunya yang jatuh tadi, lalu mengarahkannya ke arah leher lelaki itu. Sorot matanya menatap Yuichi dengan tatapan tajam tak bersahabat.

"Mengaku, Ootonashi-San. Mengaku atau kubunuh kau,"

Yuichi baru akan menekan tombol untuk merecord, namun Kanata lebih dulu menepis jauh tangannya dan memeriksa isi sakunya. Amarahnya memuncak saat mendapati benda tak asing di dalam sana. Dia marah besar, apalagi mengingat benda semacam ini bukanlah barang bawaan yang biasa di bawa oleh oranglain, terkecuali jika orang itu punya maksud tertentu. Pisau yang ada di tangannya ini juga termasuk salah satu contohnya.

"Apa yang kalian rencanakan, huh? Sudah kuduga ada sesuatu yang kalian mainkan di sini! Yume tidak mungkin seberani itu padaku!"

"Harusnya aku yang bertanya padamu, Kanata. Apa yang kau rencanakan selama ini?"

"Kau tahu apa? Si tua bangka itu hanya terus-terusan marah. Menjengkelkan. Tak tahu diuntung! Dia kira, dia bisa hidup sampai saat ini karena siapa?! Kapan si tua bangka itu akan menerimaku?"

"Berhenti menyebutnya 'tua bangka'. Dia ibumu."

Kanata mulai menggoreskan sedikit pisaunya di leher Yuichi, rasanya pedih saat darah sudah mulai meluncur turun dari goresan baru yang diciptakan itu.

"Aku tak memintamu menceramahiku, Tuan Ootonashi. Katakan saja apa yang kalian rencanakan dan apa yang kalian tahu."

"Ayahmu yang memberitahu tentangmu. Sekarang dia sedang melihatmu, dan dia sangat marah."

Kanata tertawa meremehkan, "Ya, dia akan sangat marah kalau melihatku. Tapi persetan dengan itu, dia bahkan sudah membusuk di dalam tanah! Jangan berbasa-basi, Ootonashi."

"Tidak, aku serius. Dia sangat marah padamu."

"Hahaha. Ini lucu! Apa kau ingin bilang kalau kau dan keluarga kecil tercintamu itu bisa melihat roh yang sudah meninggal?" Kanata terbahak keras sekali, itu membuat Yuichi melirik cemas ke arah pintu, mungkin saja ada yang mendengarkan. "Biar kuberitahu, Ootonashi, aku tidak akan segan membunuhmu kalau kau masih mencoba bercanda," ujarnya serius. "Nah, jadi sekarang, Apa ayahku masih ada disini?"

"Tidak. Dia sudah pergi," balasnya pelan, sambil melirik ke tempat terakhir dimana arwah tadi pergi.

"Nah, sekarang, aku akan lanjutkan introgasi kita. Apa saja yang sebenarnya kalian tahu?"

*

"Aku benci membawa kabar untukmu Kakak ipar...,"

Yume menyergit, ada arwah lain yang datang disaat Kakeknya sedang menjelaskan ke Yuki bagaimana cara kembali ke raganya. Yume ingat wajah itu terpasang di salah satu foto tanda bahwa kematiannya telah terjadi, tapi Yume tidak pernah tahu siapa itu. Kalau tidak salah, foto itu dilihatnya di rumah Kanata saat dia berkunjung saat kecil.

"Apa itu Ayahnya Kanata, Kek?" tanya Yume langsung ke Kakeknya yang malah memilih mengabaikannya dan menghampiri ke arwah baru itu dengan muka serius.

"Anakku berulah lagi, dia bahkan sedang mencelakakan menantumu."

Mata Yume membulat, bukan karena dia berhasil menerka jawaban itu dengan benar. Tapi Ayahnya!

"Tunggu, Yume!" Yuki menahannya sebelum dia bertindak gegabah. "Telepon bantuan terlebih dulu,"

"Ayahku dalam bahaya!" Yume menghampiri jendela dan mengetuk-ngetuk beberapa kali. Ibunya yang menyadari keberadaan Yume pun bangkit meski Ibunya Kanata kini tengah menangis karena menceritakan tentang kesalahannya mendidik Kanata di masa lalu.

"Kenapa wajahmu pucat begitu?" tanya Merumi--Ibunya begitu membuka jendela.

"Telepon ke nomor darurat sekarang, Kaa-San. Otou-San dalam bahaya."

Wajah Merumi tak kalah pucat, rasanya ia ingin segera berlari ke depan untuk menghentikan Kanata, tapi ia sadar bahwa kepanikannya hanya akan membuat korban berkemungkinan bertambah. Jadi, yang dilakukannya adalah menelepon nomor darurat secepat mungkin, mengabarkan hal darurat yang terjadi tanpa siapapun yang tahu kecuali dirinya dan Yume.

"Aku akan ke depan kalau begitu," Saat Merumi menahan tangan Putrinya dengan pucat, Yume kembali bersuara. "Aku punya pisau di sakuku, jangan khawatir."

"Bagaimana mungkin Kaa-San tidak khawatir?" tanyanya pelan, "Jangan, Yume. Kau tunggu saja, pos polisi tidak jauh dari sini."

"Lalu bagaimana dengan Otou-San?"

"Yume! Jangan sampai karena ini, korban malah bertambah-"

"Kaa-San." Yume memotong perkataan Ibunya untuk pertama kali dalam hidupnya. "Aku harus menghentikannya. Kalau bukan aku, siapa yang akan melakukannya? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Ini kesempatan, tolonglah percaya padaku. Sekali saja."

Merumi terdiam, dirinya lalu menarik dan melepaskan nafasnya dengan cepat. "...Yuki, aku tidak bisa melihatmu dan mendengarmu, tapi aku minta tolong, tolong jaga Yume."

Yuki yang sebenarnya menyimak sedaritadi pun mengangguk, lalu mengikuti Yume yang sudah berlari ke depan untuk melihat kondisi. Arwah-arwah yang lain mengikutinya, turut melihat apa yang dilakukan oleh Kanata saat itu juga.

"Oh, jadi kalian bisa melihat makhluk halus?" Kanata melemparkan senyum remeh. "Kalau begitu, coba tanyakan pada Ayahku yang ada di sana, apa dia sudah makan?"

"Konyol. Arwah tidak bisa makan," jawab Ayahnya Kanata begitu tiba di sana. "Yuichi, suruh dia mengganti pertanyaan."

Yume tidak yakin bahwa ini adalah acara tebak-tebakan berhadiah di hari natal, apalagi dengan kondisi seperti itu. Ayahnya yang kini bersandar di mobil Kanata dan sebilah pisau yang menyarah ke lehernya. Yume ingin sekali mengeluarkan pisaunya dan segera menusuk pisau itu dalam-dalam ke perut Kanata.

Tapi disituasi dimana dia amat geram dan emosi, dia mencari-cari hal yang mungkin bisa mereda emosinya di dalam sakunya. Dan dia teringat alat perekam suara di dalam sakunya. Dia menyalakannya dengan segera sesuai dengan yang diajarkan Ayahnya kepadanya.

"Dia bilang itu pertanyaan konyol dan memintamu menggantinya."

Kanata tersenyum makin lebar dan kian mengerikan juga, "ah, ini menarik. Baiklah kalau begitu, coba tanyakan kepadanya, apa yang si tua bangka itu inginkan sebelum kematiannya?"

"Dasar anak tak tahu diri!" umpat ayahnya Kanata geram.

"Ah, tunggu, aku akan ganti pertanyaan." Kanata mengelus dagunya dengan tangannya yang tidak memegang pisau. "Oh, berapa password brankasnya? Aku sudah nyaris ingin meledakannya karena itu tidak bisa dibuka."

"Dasar monster! Aku tidak akan pernah memberitahu monster tak tahu diuntung sepertimu!"

"...dia tidak mau menjawabnya, kau terlalu keparat."

"Ayolaaah, Ayah, lagipula kau tidak butuh harta lagi kan? Kau kan sudah meninggal." Kanata berbicara dengan nada penuh lelucon yang dibuat-buat. "Nah, apa dia sudah bersedia memberitahu?"

"Masih belum, kau masih keparat."

Kanata menyayangkannya dengan nada yang betul-betul dibuat-buat, "Membosankan. Ada arwah siapa lagi di sini? Tidak asyik berbicara dengan Ayah."

Yuichi melirik sekitarnya, astaga, jumlahnya sangat banyak. Tapi Yuichi tidak yakin bahwa semuanya terlibat dengan aksi Kanata.

"Apa ada Mika-San disana?"

Seorang wanita tiba-tiba saja memajukan dirinya dan menatap Yuichi dengan tatapan datar. Yuichi menyimpulkan bahwa itu memang Mika-San yang didedikasikan Kanata. Wajahnya pucat dan kantong matanya turun sudah sejajar dengan posisi hidung, ujung bibirnya mengeluarkan darah dan dia sedaritadi terus menatap Kanata penuh dendam.

"Nah, Mika-San, bagaimana rasa nasi terakhirmu?"

Wanita itu menjawab dengan nada patah-patah penuh dendam, Yuichi yakin wanita ini pasti sudah pernah duduk di jok belakang mobil Kanata dan selalu mengutuk kesialan Kanata setiap saatnya. "Kare-nya tidak terasa karena racunnya terlalu pahit, dasar brengsek."

"Racunnya terlalu pahit, kare-nya tidak terasa."

Detik itu senyuman Kanata menghilang sepenuhnya. Dia menatap Yuichi dengan lekat, "Darimana kau tahu itu?"

"Bukankah sudah kubilang kalau aku bisa melihat mereka?" tanya Yuichi balik dengan tidak senang.

Kanata terdiam untuk beberapa saat, "Hm, begitu... jadi kau sudah memata-matai hidupku selama ini?"

Yume benar-benar jengkel dengan orang macam Kanata, sudah diceritakan, masih saja menambah cerita baru. Ayolah, bantuan segera datang.

"Nah, apa ada Akihito Yuki disana?"

Yume melirik Yuki yang tiba-tiba saja terlihat marah. Yuichi juga menyadari Yuki yang terlihat marah. Arwah yang emosi akan sulit dipadamkan kemarahannya, begitupun semua arwah yang ada disini saat ini.

"Aaah. Pasti ada! Bahkan disaat kau dalam keadaan koma pun, kau masih mengikutiku? Sangat mengesankan!" Kesimpulan konyol itu dibalas dengan keheningan panjang.

Yuki tidak mendekat ke sana meskipun jika dia punya kesempatan untuk mencekik Kanata hingga mati. Masih ada Yume disini dan Yume masih membutuhkannya.

"Jadi, apa kau sudah menemukan rencana untuk menjatuhkanku, huh, bocah kecil?"

Yuki hanya diam, Yume benar-benar tak tahu harus memberi respon apa untuk menenangkan lelaki itu. Apapun yang menyangkut soal Kanata akan menjadi peledak bagi lelaki itu.

"Tentu saja, sudah," bisiknya pelan.

"Dia menjawab apa? Dia menjawab apa?" tanya Kanata antusias.

Yuichi menatap Kanata dengan tatapan tajam. "Sudah, katanya."

Disaat bersamaan pula, terdengar suara sirine polisi dari kejauhan. Beberapa saat kemudian, sebelum Kanata sempat mencerna apa yang terjadi tiga mobil polisi memasuki perkarangan rumah tua itu dan mengarahkan senjata mereka ke arah Kanata.

"Lepaskan senjatamu!"

***TBC***

29 Desember 2016, Kamis.

a/n

Jadi..., bagaimana chapter hari ini?

CINDYANA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top