Chapter 18 - "DN (2)"
YUME
Sudah hampir tiga jam aku berbaring di atas kasur empukku, tapi aku tetap saja tak menemukan posisi nyaman untuk tidur. Jam digital di depanku telah menunjukan pukul dua dini hari. Suara-suara yang mendominasi hanyalah suara detikan jarum jam, suara air yang menetes dari kejauhan, dan suara bisikan lembut yang selalu terdengar setiap telinga mencoba mempertajam fungsinya.
Kata Otou-San, Paman menginap hari ini karena mereka akan berangkat keluar kota bersama besok pagi. Dan karena kebetulan rumah kami memang tidak terlalu jauh dari bandara, Paman memutuskan untuk menginap.
Seharusnya aku lega. Dalam tiga hari ini, Paman Kanata tidak akan berada di sini. Atau lebih tepatnya, Akihito aman, setidaknya untuk sementara waktu.
...Tapi entahlah, aku tak merasakan kelegaan itu.
Aku sama sekali tidak merasa aman.
Suara dering asing yang sebenarnya terdengar dari kejauhan--namun terdengar dekat--membuatku terduduk. Sebenarnya, daripada kaget karena mendengar suara itu, aku lebih kaget karena mendengar suara goresan kuku pada kaca jendela rumah. Aku tak dapat melihat siapa yang melakukannya karena aku menutup jendela dengan tirai, tapi aku tahu, bukan manusia yang melakukannya karena kamarku berada di lantai dua.
Terlanjur bangun, aku memutuskan untuk menutup lampu kamar. Tapi baru saja hendak menekan saklar, terdengar suara langkah kaki mendekat. Itu membuatku buru-buru masuk ke dalam selimut, memunggungi pintu dan memejamkan mataku.
Ada yang datang.
KREK.
Suara pintu terbuka terdengar sangat pelan. Padahal suara dari pintu tua itu hampir selalu membuatku kesal karena suaranya yang berdecit dengan nada yang tentu saja tidak merdu. Apalagi saat Akato dan Momo berlari keluar-masuk kamarku dan membuat suara decitan pintu itu lebih menyerupai permainan biola rusak daripada decitan, itu membuatku kesal.
Setelah decitan itu, selanjutnya suara langkah kaki yang sangat pelan terdengar. Mengendap-ngendap dan suara nafas mulai mendominasi telingaku. Aku mulai gelisah saat tak mendengarkan apapun yang seharusnya dapat kudengar.
Ingin melihat apa yang terjadi di belakang sana, aku sempat berpikir bahwa orang itu membuka pintu kamarku hanya untuk melihat aku tidur memunggunginya, namun aku tahu ada sesuatu yang tak beres tengah terjadi saat ini. Maka dari itulah aku dengan sengajanya melakukan pergerakan sedikit, berpura-pura tertidur lelap mencari posisi nyaman.
Dan aku mendapatkan jawabannya, orang itu terdengar mengendap mundur selangkah sebelum akhirnya menghela nafas lega.
Satu-satunya orang yang kucurigai saat ini hanyalah Paman Kanata.
Bukan, aku punya alasan untuk mencurigainya, aku bukanlah tipe orang yang cepat berprasangka buruk, terlebih terhadap Pamanku sendiri. Tapi aku tahu ini bukanlah bualan, suara bisikan itu, gerak-gerik, ekspresi dan segala kebetulan yang pernah terjadi di antara kami terbukti begitu saja. Aku bukan mau mengada-ngada, tapi yang kuperhatikan, memang begitulah adanya.
Aku membuka sedikit celah mataku dan mendapatinya sedang menatapku lurus. Buru-buru aku memejamkan mataku lagi, takut dicurigai.
Saat mendengar suara langkah kaki untuk yang kesekian kalinya, aku bisa menebak bahwa dia berhenti di depan gantungan yang ada di dinding sisi pintu. Aku bukan hanya menggantung seragam sekolahku saja disana, tapi juga tas sekolahku.
Aku membuka lagi sedikit mataku dan mendapati Paman Kanata melakukan sesuatu yang mencurigakan terhadap tas sekolahku, sebelum akhirnya mengendap keluar dan menutup pintunya.
Aku bangkit dari tiduranku dan menatap lurus tas sekolahku, lalu menghela nafas pelan dan melangkah untuk memeriksa apa yang ia lakukan terhadap benda milikku.
"Dia memasang pelacak," gumam Akihito yang entah muncul darimana secara tiba-tiba, Itu membuatku tersentak kaget. "Apa ini di luar bayanganmu?"
Aku menatap lelaki itu lekat, meski dia sedang melayang-layang, aku tahu betapa seriusnya dia memikirkan itu. "Tenang saja, aku bukan tipe yang kaget pada hal-hal seperti ini. Ini memang di luar rencana kita, tapi ini juga di luar rencananya juga, kan? Kita bisa membelokkan segalanya kapan saja."
Akihito tak menjawab, hanya diam. Satu-satunya hal yang membuatnya malas berbicara seperti ini adalah kedatangan Paman Kanata. Selalu begitu.
"Aku berpikir untuk menceritakannya pada Ayahku," gumamku pelan. "Aku akan bicara dengannya pelan-pelan."
"Jangan."
Aku menoleh ke arahnya. "Mengapa? Kau takut Ayahku mengira, kau telah mengadudombakan ini semua?" Aku menghela nafas kasar, "baiklah, biar kuberitahu, Akihito. Aku tahu kalau Paman Kanata pelakunya, dari suara bisikan. Entahlah, aku kurang tahu siapa yang memberitahuku."
"...Yume."
Aku masih merinding hebat saat mendengarkannya memanggil namaku, untuk kesekian kalinya. "Dengarkan aku, yang perlu kita lakukan sekarang adalah mencari bukti kalau Paman Kanata yang melakukannya."
"Percuma, Yume, itu akan sia-sia," gumamnya, "tidak ada bukti apapun yang bisa membuktikannya. Tidak ada CCTV lalu lintas, tidak ada saksi mata, tidak ada apapun."
Aku menekuk keningku bingung. "Ada. Ada yang melihat itu." Aku berpikir bagaimana menyusun kata-kata. "Tidak ada tempat yang kosong, di manapun itu. Mereka ada dimana-mana."
"Mereka tidak akan mempercayai arwah, itu masalahnya."
Benar juga sih, aku bahkan tak bisa meyakinkan orangtua Akihito dan Ibunya Chizuko. Bagaimana mungkin aku bisa meyakinkan para polisi dan lembaga yang berkepentingan lainnya?
Ketukan kecil dari jendela membuatku merinding. Hal pertama yang terbesit dalam pikiranku adalah, arwah-arwah jahil itulah yang melakukannya. Melihatku enggan bahkan hanya untuk menoleh ke arah tirai yang tertutup, Akihito memilih untuk keluar.
"Yume mana?"
Suara Chizuko yang terdengar di indra pendengaranku membuatku bergegas membuka tirai jendela, namun kututup beberapa detik kemudian saat melihat sosok-sosok wajah berdarah-darah yang menyambutku di depan jendela, bukan Chizuko atau Akihito.
"Aku bisa dengar, lanjutkan saja," bisikku pelan.
"Kupikir kau tidak perlu lagi menyakinkan Ibuku," gumamnya dengan sedih. "Dia tidak akan percaya."
"Chizu-"
"Tapi, aku tetap akan membalas kebaikanmu. Terima kasih sudah berniat membantuku, aku sangat menyesal tidak berjumpa denganmu sebelum aku meninggal."
...Aku gagal.
Aku menyibak tirai meski tahu akan bersitatap dengan arwah-arwah bersimbah darah dengan senyum menyeringai. "...Kau yakin, tidak mau mencoba sekali lagi? Besok aku akan mencoba lagi...."
Meski tak menemukan sosok Chizuko dimanapun, aku bisa merasakan bahwa ia tengah tersenyum tipis. "Terima kasih banyak."
"Kau ingin memberikan sesuatu padanya? Aku akan mewakilimu memberikannya."
Entah mengapa aku tak lagi mendengar suara Chizuko. Beberapa detik kemudian Akihito melayang menembusi dinding--dia satu-satunya yang bisa melakukan hal itu di antara banyaknya arwah-arwah di luar sana. "Fujihara bilang, dia ingin memberikan sesuatu."
*
Aku menarik nafas panjang setelah mengunjungi rumah Chizuko. Aku tak menyangka, barang yang kuberikan pada Ibunya, mampu membuatnya percaya bahwa aku dan Putrinya memanglah berteman. Aku menceritakan padanya bahwa aku baru berteman dengannya baru-baru ini. Meskipun dia nampak begitu frustrasi menyatakan maaf berulang-ulang kali di hadapanku, aku tak bisa berbuat apapun selain melihat Chizuko yang sudah menintikan air mata-nya, dan tubuhnya yang melayang segera turun untuk memeluk Ibunya yang tak merasakan kehadiran anaknya.
"Lega?" tanya Akihito yang berada disampingku.
Setelah Otou-San dan Paman telah berangkat pagi-pagi jam enam tadi, aku langsung berinisiatif membuat barang yang Chizuko ingin berikan kepada Ibunya. Setelah selesai, aku langsung pergi ke rumah Chizuko dan untungnya kedatangan keduaku tidak berakhir sia-sia seperti saat itu.
"Aku belum pernah bangun sepagi ini kalau sabtu," ujarku sambil tertawa kecil, sadar bahwa yang kujawab dengan yang ia tanyakan benar-benar tak cocok untuk dipadankan.
"Baguslah," gumamnya sambil tersenyum tipis.
"Aku benar-benar tidak menyangka, barang sesederhana itu bisa membuatnya percaya padaku," sahutku dengan penuh kekaguman. "Maksudku, itu hanyalah sebuah lipatan origami."
"Terkadang hal yang sederhana memang bisa menjadi kenangan yang berarti," balasnya. "Mungkin ada makna lain yang tidak kita ketahui tentang mereka, misalnya, hanya rahasia yang mereka berdua ketahui."
"Setuju!" jawabku riang--puas atas apa yang kulakukan hari ini. "Apa kau punya satu? Maksudku, hal yang ingin kau berikan pada orangtuamu? Mungkin saja ada sesuatu yang membuat mereka percaya."
Akihito nampak berpikir, tapi tak seserius yang kupikirkan. "Entahlah, kami jarang menghabiskan waktu bersama," balasnya tanpa beban.
Ucapannya membuatku merasa bersalah. "Kau benar-benar tidak tahu?"
Akihito tertawa pelan, "aku hanya bercanda, aku tahu, kok."
"Apa?" tanyaku penasaran.
"DN."
***TBC***
3 oktober 2016, senin.
a/n
Semua cerita saya yang lagi on-going bakalan di private. Khusus untuk LMP dan Flashback yang sudah selesai, akan di private chapter pentingnya pada hari rabu.
I have my own reason, but I couldn't tell u now.
cindyana h
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top