Chapter 11 - "DN"

Namanya tidak ada di list, pikir Yuki dengan geram.

Satu-satunya hal yang membuatnya terlihat bodoh adalah itu. Yuki menghela napas lelah begitu menyadarinya.

Mungkin, dia memang butuh bantuan Yume.

Yuki tidak pergi dari sana, dia hanya memperhatikan mereka dari atas langit-langit, menunggu kepulangan Ayah dan Ibunya, lalu menunggu peluang untuk meminta bantuan pada Yume.

Satu-satunya hal yang bisa Yuki lihat di dalam ruangan itu adalah kecanggungan yang sangat dari Yume. Yume terlihat gelisah dan berulang kali memperhatikan sekelilingnya. Yuki pikir bahwa gadis penutup macam Yume pastilah tidak nyaman ditinggal bertiga--berempat, ralat--dalam ruangan itu.

Dan Yume yang malang harus menunggunya 'muncul' dahulu, barulah dia bisa kembali pulang.

Karena Yuki juga berperan sebagai pelindungnya, bukan hanya sebagai arwah saja.

Maka dari itulah, Yuki keluar dari langit-langit, lalu menatapnya dengan pandangan bersalah.

"Pulang?"

Sadar tak sadar, Yume memberikan senyuman tipis, lalu menoleh ke arah orangtua Yuki. "Paman, Tante, saya pulang dulu."

"Sering-sering berkunjung ya," ucap Ibunya sambil berdiri dan mengantar Yume sampai di pintu.

"Iya, tante, terima kasih."

Begitu pintu tertutup, Yuki bisa melihat Yume menghela napas lega. Jelas sekali bahwaYume ingin segera keluar darisana sedaritadi.

"Segitu mengerikannya-kah berbicara dengan orangtuaku?" tanya Yuki sambil menaikan sebelah alisnya.Padahal, Yuki bisa melihat Yume berbicara normal sebelum dia 'pergi' tadi.

Yume menggelengkan kepalanya. "Bukan itu," sergahnya. "Aku punya firasat buruk."

Yuki ikut penasaran juga, dia tahu mengenai kepekaan orang berindera enam. Perasaannya itu tidak mungkin salah. "Kenapa?"

Belum lagi Yume menjawab, dari dalam kamar terdengar suara Ibunya Yuki bergumam senang. "Aku suka gadis tadi."

"Ya, terlihat jelas kok kalau kau menyukainya," balas Ayahnya terdengar acuh.

"Mungkin kita harus mengunjungi keluarga Ootonashi dan berhubung-"

"Kurasa kita harus pulang, sekarang." Yuki mencoba mengalihkan pendengaran canggung itu, meskipun sampai saat ini Yume masih bisa mendengarkan perbincangan mereka di dalam sana.

Yume mengangguk, sedetik kemudian dia teringat dengan perkataan orangtua-nya tadi. "Kau perlu bantuanku, tidak?"

Bukan, ini bukan masalah gengsi, harga diri atau apalah itu.

Ini masalah sanggup atau tidak saja.

Karena Yuki tak kunjung menjawab, bahkan saat mereka mulai melangkah keluar rumah sakit, maka Yume menganggap itu adalah kesempatan kedua baginya untuk bertanya lagi. "Mengapa tidak bilang kalau kau dicelakakan? Siapa yang mencelakaimu? Dan mengapa dia mencelakaimu?"

Tiga pertanyaan tanpa jeda keluar dari mulutnya. Apa lagi hal yang lebih memalukan dari ini? Gerutu Yume menyesali perkataannya.

"Kau ingin aku menjawab yang mana dulu?" tanya Yuki balik dengan acuhnya. Harapannya saat ini hanya satu, Yume tak menpertanyakan pelakunya.

Yume berpikir sejenak, benar-benar sejenak saja. "Mengapa kau tidak bilang?"

Mungkin itu pertanyaan termudah dari yang tersulit. Setidaknya Yuki masih bisa menjawabnya seperti menjawab soal yang bisa dikerjakannya.

"Pertama, itu akan merepotkanmu. Kedua, ini masalah pribadi. Ketiga, aku tidak ingin berhutang budi. Keempat-"

"Banyak sekali alasanmu," potong Yume dengan suara kecil, karena mereka berdua sudah berada di dalam kereta api. "Tapi caramu berpikir benar-benar mirip Ayahmu."

"Yah, banyak yang bilang begitu...."

Pembicaraan sempat berhenti saat Yume keluar dari kereta api dan berjalan naik. Tapi Yume yanh pikirannya sudah melayang-layang saat itu disadarkan kembali oleh kendaraan yang lewat.

"Kupikir aku juga tidak ingin berhutang budi," gumamnya.

Yuki menjawab dengan sedikit malas, karena sebenarnya dia kurang suka membahas tentang apapun yang berkaitan dengan Kanata sialan itu. "Ya, kukira semua orang tidak akan menyukainya."

"Bagaimana kalau kita saling membantu?" Yume memberikan usul. "Jadi kita sama-sama tidak akan memiliki hutang."

Yuki menatapnya kurang suka. "Aku tidak ingat kau berhutang denganku."

"Benarkah?" Yume memperlihatkan wajah terkejut, meski Yuki sendiri tak percaya bahwa dia benar-benar sedang terkejut. "Lalu kita menamakan ini apa?"

"Maksudmu?" Yuki bukan berpura-pura bingung, tapi dia benar-benar sedang bingung.

"Kau mengawalku kemana-mana, membuatku aman dari arwah-arwah liar itu," ucapnya sambil bergidik tak senang ke arwah yang mereka lewati dan menangis keras melihatnya. "Nah, bukankah itu hutang?"

"Kalau ayahmu tidak berbaik hati mengizinkanku di rumahmu, kurasa aku juga akan menjadi arwah liar," balas Yuki dengan nada menyindir. "Kalau keluarga Ootonashi tidak ada yang bisa melihatku, kurasa aku akan-"

"Hei...." Yume memotong. "Bantu aku mengerjakan karangan bahasa Inggris ya nanti pulang?"

Yuki tak mengerti mengapa Yume tiba-tiba menganti topik pembicaraan. Tetapi dia hanya mengangguk.

Yah, dia tidak mungkin bisa menebak jalan pikirannya.

*

Merumi memperhatikan jam berbentuk rumah kecil di rumahnya. Ada sedikit rasa penasaran juga karena putri sulungnya belum juga pulang. Tapi setahunya, Yume pergi bersama pelindungnya, jadi seharusnya dia tidak perlu cemas seperti itu.

"Aka," sang Ibu berbisik kepada putranya. "Yuki sudah di sini?"

Akato menjawab dengan sedikit bingung. "Bukankah Yuki-Nii bersama Yume-Nee?"

Iya, masalahnya kan Kaa-San tidak bisa melihatnya kan?, ingin sekali Merumi menjawab demikian, namun dibatalkannya karena melihat wajah bingung polos milik putra-nya.

"Eh, Aka, wajah Yuki seperti apa, sih?" tanya Merumi penasaran.

Belum lagi Akato menjawab, Momo berlari dan berloncat antusias. "Masak lupa sih? Itu loh, Kakak yang bawa kami pulang hari itu...."

"Memangnya wajah Yuki-Nii berubah?" Akato bertanya penasaran.

Merumi menutup mulutnya tak percaya. Apa bisa sekebetulan itu? Bukan...mungkin bukan kebetulan, tapi-

"Tadaimaa." Yume menyapa dari luar rumah. Beberapa saat kemudian Yume muncul dari pintu geser. "Sedang kumpul?"

"Tadi kami-"

"Tidak ada apa-apa," sergah Merumi cepat-cepat.

Yume menatap udara kosong disampingnya--tepatnya Yuki yang tidak bisa dilihat oleh Merumi tentunya. "Nah, aku keluarkan alat-alat tulis dulu. Kau di sini saja."

Saat Yume sudah pergi, entah mengapa Merumi begitu ingin mengobrol dengan Yuki, meskipun dia tidak bisa melihatnya. "Yuki, kau di sini?"

Hening...

Hanya ada balasan tatapan dari si dua kembar yang melihat Ibunya penasaran.

"Kaa-San, kok nggak dilanjutin? Yuki-Nii sudah dengerin tuh," tegur Akato sambil melihat ke udara kosong--yang sama dengan kemana Yume menoleh tadi.

Merumi menggeleng sambil tersenyum tipis. "Tolong jaga Yume, yah."

"Nah, ayo mulai."

Merumi hanya diam, memperhatikan Yume yang melebarkan kertas di atas meja di ruang tamu. Yume mulai menulis, sambil sesekali mengangguk-angguk mengerti. Bukan, meskipun Merumi belum pernah melihat sosok itu sekalipun, bukan berarti dia tak mempercayai itu. Terlebih lagi, dia sudah menerima kekurangan maupun kelebihan suaminya sejak dulu, dan dia sudah siap dengan apa yang akan terjadi pada keturunannya nanti.

"Selesai!" Yume bersorak, nyaris menyamai pekikan riang. "Hah? Apa?"

Merumi masih memperhatikan mereka, lebih tepatnya dia memperhatikan Yume yang nampak lebih 'hidup' dibanding sebelumnya. Meskipun sedikit ragu, tapi firasat seorang Ibu tidak mungkin salah.

"Mengapa harus menambahkan huruf D dan N?" tanya Yume menekukkan wajahnya bingung.

Detik berikutnya, ekspresi putri sulungnya itu berubah drastis. Lalu Yume menunduk dalam. Merumi melihat Akato dan Momo, berharap bahwa diantara anak kembarnya itu, ada yang mendengar pembicaraan mereka. Namun itu hanya bisa menjadi harapan belaka saat dilihatnya anak kembarnya itu asyik memainkan mainan-mainan mereka.

Diperhatikannya lagi Yume yang masih menunduk, dia terlihat berpikir panjang.

Entah apa jawaban yang diberikan Yuki.

***TBC***
9 Juni 2016, Kamis

a/n

Selamat malam jumat.

Salam,
Cindyana H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top