Chapter 10 - "Dua Kemungkinan"
YUME
Pagi ini aku tidak menemukan Akihito dimanapun. Kalau saja hari ini bukan hari sabtu, aku pasti akan panik setengah mati karena belum menemukannya juga disaat jarum jam sudah menunjuk ke angka delapan.
Okaa-San tidak ada di rumah sejak pagi tadi. Akato yang masih memakai piyama birunya menatapku sayu, dia baru saja bangun sesaat setelah aku membangunkannya beberapa saat yang lalu.
Sedangkan Momo sedaritadi menonton anime bergenre fantasy-shoujo yang ditayangkan ditelevisi setiap weekend.
"Yume-Nee, Yuki-Nii mana?" tanya Akato sambil mengucek matanya.
Momo yang sedaritadi fokus menonton heroine di televisinya bertransformasi itu mengalihkan pandangannya padaku, seperti memintaku menjawabnya juga.
"Aku juga tidak tahu," balasku setelah berpikir untuk mencari alasan, tapi aku kehabisan akal. "Aka mandi dulu ya, mungkin saja saat kau selesai nanti Yuki-Nii sudah pulang," ucapku.
Mendengar ucapanku, Akato berbalik ke arah kamar mandi, sedangkan Momo melanjutkan film animenya.
Aku menghela nafas saat melihat ke arah kaca jendela. Disana, semua makhluk-makhluk itu melihatku dengan senyuman penuh arti. Aku bisa mendengar bisikan pelan mereka yang memintaku keluar untuk melihat keadaan luar atau hanya sekedar jalan-jalan saja.
"Sayang, keluarlah...." bisik seorang perempuan yang sebelah bola matanya keluar dan isi kepalanya berantakan.
"Keluarlah...."
"Kami tahu kau mendengarkan kami...."
Seorang arwah dengan isengnya mencakar kaca jendela dengan kukunya yang sudah mengikis tak berbentuk, mungkin karena keseringan mencakar, bentuk kukunya menjdi seperti itu. Suara yang keluar dari hasil perbuatannya tentu saja sangat menganggu.
"Aaah!" Momo menjerit kesal sambil menatap tajam ke arah jendela. "Kalian sangat berisik! Okaa-San bilang kalau orang nonton televisi tidak boleh diganggu!"
Aku sampai kaget saat mereka ikut menatap Momo dengan kesal. Desisan itu tak terlalu terdengar lagi saat Momo memutuskan untuk membesarkan suara, membuat suara heroine-nya terdengar semakin jelas saja.
Entah perasaanku saja atau apa, tepat saat aku menoleh ke arah pintu masuk, aku langsung melihat sosok Akihito yang masuk darisana dengan menembusinya. Padahal, dia bisa saja masuk dari langit-langit ataupun dari tembok.
"Maaf, aku terlalu lama," ucapnya dengan sedikit menyesal. "Aku terbiasa jalan dengan jalan yang disediakan. Menembusi tembok berulang kali benar-benar membuatku tersesat," ujarnya.
"Tidak masalah." Aku melirik ke arah jendela, arwah-arwah itu menatap Akihito dengan tatapan iri dan dengki. "Kau ada rencana berpergian?" tanyanya begitu melihat pakaian yang kukenakan.
Aku memang sudah memakai pakaian casual winter, syal berwarna merah melingkar di leherku, kaos kaki dan sarung tangan lengkap sudah kukenakan bahkan sebelum keluar rumah.
"Oh, iya. Aku ingin menjengukmu di rumah sakit," jawabku sambil membetulkan letak syalku. "Tapi aku harus menunggu Okaa-San pulang dulu. Tidak ada yang menjaga si Kembar," ucapku sambil melirik Momo yang masih tenggelam dengan lagu ending dari animenya yang sudah selesai itu.
Akihito hanya mengangguk saja.
Nah, lihat. Ekspresinya yang itu keluar lagi.
Entah sudah berapa kali aku menangkapnya mengeluarkan ekspresi itu sejak dia duduk di samping mejaku, beberapa bulan yang lalu.
Meskipun dia mencoba menyembunyikannya di balik senyumannya itu.
"Ootonashi, mau kubantu tugas remedialmu?" tanyanya yang entah mengapa membuatku merasa tersindir.
Tapi yah, seharusnya aku merasa beruntung. Murid terpandai dalam pelajaran Bahasa Inggris di kelasku, sekarang menawarkan diri untuk membantuku menyelesaikan tugas. Bukankah seharusnya aku lega?
"Tugas remedialnya apa?" tanyanya yang membuatku tersadar dari lamunanku.
"Menerjemahkan ke bahasa Inggris saja kok."
"Waaah, Yuki-Nii sudah kembalii!" seru Momo yang ternyata baru menyadari hal itu. "Okaerinasai."
"T-tadaima," Akihito terlihat canggung saat menjawabnya.
Beberapa saat kemudian Akato keluar dari kamar mandi dengan setengah berlari. "YUKI-NII!"
"Pakai bajumu yang benar, Akaa!" tegur Momo sambil menunjuk sweeter Akato yang terbalik.
Akato yang menyadari hal itu langsung panik setengah mati. Dia kembali berlari masuk ke kamarnya, terdengar suara bantingan keras, kemudian di susul suara ringisan kecilnya yang menandakan bahwa dia habis terjatuh. Saat aku baru bermaksud menghampirinya, Akato sudah kembali dengan letak sweeter-nya yang sudah benar.
"Yuki-Nii, ayo main."
Akato mengajak Akihito ke ruang tengah dimana mainan mobil-mobilannya terletak. Entah sudah berapa kali Akato mengajaknya bermain mobil-mobilan (dan sebenarnya dia sama sekali tidak pernah mengajakku). Momo yang biasanya asyik dengan boneka dan pesta tehnya pun tiba-tiba nampak tertarik (padahal dia tidak pernah mau bermain mobil-mobilan atau robot-robotan).
Jangan-jangan mereka lebih sayang Akihito daripada aku?
Dan untuk pertama kalinya..., kedua adik kembarku (yang tidak asal memilih teman mainnya) nampak senang dengan Akihito.
Kukira aku tidak akan pernah merasa cemburu dari mereka. Rupanya, sekarang aku merasakannya.
*
Aku baru berangkat bersama Akihito menuju rumah sakit begitu Okaa-San pulang tadi. Tadi pagi beliau mengunjungi nenekku yang sedang sakit, sekaligus bertanya kepada Kakek tentang hal-hal yang harus kulakukan. Kakek tak memberikan petunjuk apapun yang menjanjikan, beliau hanya berpesan agar aku tak jauh-jauh dengan Akihito sampai ulangtahun ke enambelasku tiba.
Saat memasuki kamar, alangkah terkejutnya aku saat melihat dua orang paruh baya, seorang pria dan wanita. Mereka berdua duduk berseberangan, dipisah oleh sebuah ranjang. Aku pun menerka bahwa mereka berdua adalah orangtua Akihito.
"Uhm...Selamat siang, Paman dan Tante." Aku membungkukkan badanku sopan. "Saya Ootonashi Yume, teman sekelasnya Akihito Yuki."
"Kau anaknya Ootonashi Yuichi?" Wanita yang sepertinya Ibunya itu langsung menyela.
Aku mengangguk dengan sedikit canggung begitu wanita itu menyebut nama Otou-San. "Tante kenal Ayah saya?"
Wanita itu menjawab dengan senyuman tipis. "Tentu saja, Ayahmu yang membawa Yuki kemari, kebetulan kami punya hubungan kerja."
Aku hanya bisa mengangguk mengerti.
"Ayo, Yume, silahkan duduk disini." Wanita itu menarik tempat duduk yang kebetulan dekat dengannya. "Aku Ibunya Yuki, dia Ayahnya. Maaf Yuki sudah merepotkan...."
Yang ada, aku yang ngerepotin Yuki, tante, batinku sambil melirik Akihito yang sepertinya memintaku mengangguk saja.
"Dari data pengunjung, kayaknya kamu sering kunjung-kunjung kemari." Sang Ayah mulai mengintrogasi sembari menaikan kacamata, aku sadar tak sadar menenggak ludahku sendiri, tiba-tiba saja merasa takut dengan tatapannya yang mengintimidasi.
Apa aku bilang saja ya, soal kelebihanku? Mungkin saja mereka bisa lega?
"Uhm...."
"Siapapun yang mencelakakan Yuki, tidak akan kuberi ampun," ucap Ayahnya dengan geram, membuatku merinding.
Ayahnya terlihat tegas, berwibawa, punya aura pemimpin yang terlihat jelas, dan pastinya setiap hal yang diucapkannya adalah hasil pemikiran kritisnya.
Kan? Sudah kubilang kan, kalau aku terlalu bisa membaca keadaan? Tapi siapapun yang melihatnya pasti mengerti.
"Memangnya...Aki-maksudku Yuki-Kun dicelakakan?" tanyaku dengan kening berkerut. Aku tahu Ayahnya ini bukan orang macam-macam yang akan dengan asal menuduh sebuah perkara berdasarkan persepsinya. Tapi setahuku...Akihito sendiri yang bilang kalau...,
"Saya positif yakin ini bukanlah kecelakaan biasa. Tertabrak di jam dan tempat itu sangat tidak masuk akal. Apalagi kalau itu Putraku, Yuki tidak melanggar lalu lintas, aku sangat positif tentang ini."
Aku bisa melihat bagaimana Akihito yang berada disamping Ayahnya menunduk dalam.
Setelah kupikir-pikir, tidak mungkin Akihito bisa seceroboh. Kalau begitu, hanya ada dua kemungkinan; Perkiraan Ayahnya salah atau Akihito sedang...berbohong.
"Yang bisa kita lakukan sekarang, hanya menunggunya bangun dan menceritakan semuanya," ucap Ibunya sambil menghela nafas.
Tapi..., Putra kalian ada di samping kalian saat ini...
"Aku sudah punya list kemungkinan tersangka yang melakukannya...." Ayahnya mengeluarkan kertas dan menyerahkannya kepada Ibunya. Aku hanya bisa melirik tanpa berani mendekat, sedangkan Akihito sudah melayang di atasku, juga melihat nama-nama itu. "Aku akan mulai melacak mereka satu persatu, kita akan melibatkan beberapa oknum penting. Kamarnya akan mulai di jaga ketat." Lalu Ayahnya melirikku. "Tenang saja, kamu boleh masuk tanpa perlu dikawal."
"Terima kasih," jawabku malu-malu.
"Tidak ada," gumam Akihito yang membuatku melirik ke arahnya--di atasku. "Tidak ada."
Aku mengerutkan kening, berharap dia menoleh ke bawah agar aku bisa bertanya padanya, tidak ada apanya?
Tapi belum lagi dia menunduk ke bawah dan aku tak sempat bertanya apa-apa, dia sudah melayang menembusi langit-langit, meninggalkan kami bertiga dan berempat ditambah raganya sendiri.
Aku sama sekali tidak mengerti.
***TBC***
2 Juni 2016, Kamis
a/n
Seharusnya sih meskipun alurnya lambat begini, cerita ini tetap pendek sih, seharusnyaaa.
Oh yaa, apa ada yang sudah membaca cerita baruku? Judulnya Air Train.
Dari judulnya aja kalian tahu laaa... hehehe.
Selamat bermalam jumaaat!
Salam, Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top