Chapter 8

Selamat datang di chapter 8

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (hobi yang susah dihilangkan sebagai kodrat kesalaham human)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤️❤️❤️

_____________________________________________

Seandainya Skylar tidak sedang menjalankan misi itu

—Horizon Devoss
______________________________________________

Musim panas
New York, 15 Juni
07.30 p.m.

Pukul setengah tujuh malam, aku melajukan Aston Martin-ku membelah jalanan kota New York yang agak padat menuju apartemen Skylar di dekat sungai Hudson. Beberapa menit kemudian ketika tiba di lobi, rupanya Skylar sudah berdiri di sana menungguku.

Kalau boleh menilai, aku cukup terkesan dengan penampilannya malam ini. Kaki-kaki Skylar yang sedang berjalan ke arah mobilku terlihat jenjang. Meski rasanya aku ingin meninju mata para pria yang melihat paha mulusnya, tetapi aku tidak bisa melakukannya sebab tidak ingin membuat keributan. Dan walaupun tak mengerti kenapa dia harus mengenakan jaket kulit hitam di musim panas ini, tetapi aku berusaha menghormati penampilannya dengan tidak mengomentari soal itu.

Kelihatannya Skylar sengaja berdandan untukku. Mungkin itu rencana yang sudah disusunnya sedemikian rupa bersama para sahabatnya untuk membujukku supaya menikahinya.

Itu lucu. Bahkan tak perlu segala macam rencana serta bujuk rayu pun, aku akan dengan senang hati menikahi Skylar. Itu memang tujuanku. Dua kali penolakan secara mentah-mentah dan berturut-turut tentu tidak mengubah keinginanku walau jelas mencoreng harga diriku.

Namun, berhubung—anggap saja—dia sudah bersusah payah merencanakan semua ini, alangkah baiknya aku sedikit bermain-main. Menguji seberapa gigih permainan yang diperankan Skylar sebagai wanita yang pura-pura jatuh cinta padaku.

“Kau tampak lebih cantik malam ini. Benar-benar ingin berkencan denganku, eh?” godaku sewaktu Skylar menutup pintu mobil di sebelahnya duduk.

Aku sempat melihat bola mata wanita beraroma oceanic air itu memutar sebentar sebelum akhirnya memasang senyum tipis. “Thanks. Kau juga tampak lebih tampan malam ini,” jawabnya yang sibuk melingkarkan seatbelt ke tubuhnya.

“Kau serius? Biasanya aku mengenakan setelan kerja. Sekarang aku hanya memakai kaos polos abu-abu. Penurunan penampilan, I guess.” Skylar pasti sudah mulai memerankan wanita yang jatuh cinta padaku dengan balas memujiku.

“Horry, aku serius. Aku lebih suka kau berpakaian santai seperti ini daripada kau yang mengenakan setelah kerja. Ini terlihat rileks.”

“Baiklah terima kasih. Jadi, ke mana kita akan berkencan?” tanyaku, mulai menginjak pedal gas secara perlahan sambil melepas persneling kemudian membelokkan stir supaya mobilku keluar dari wilayah apartemen Skylar.

“Ke mana biasanya kau pergi kencan?”

Aku mengernyit, menengoknya sepintas. “Kau yang ingin mengajakku kencan. Kenapa malah bertanya? Kau sendiri, ke mana biasanya kau pergi kencan?” tanyaku lebih ketus dari yang kumaksudkan.

Skylar mengembuskan napas berat. “Aku akan mengaku. Well, terima kasih sudah menggagalkan kencan butaku bersama pria-pria lain. Jadi, aku hanya pernah berkencan sekali seumur hidup dan biasanya kami tidak ke mana-mana. Hanya menghabiskan waktu di apartemen. Jangan menertawakanku soal itu. Jadi, aku tidak tahu ke mana kita akan pergi. Tapi aku ingin pergi denganmu malam ini.”

Hanya menghabiskan waktu di apartemen? Dengan vokalis Lupara itu? Lalu bagaimana seandainya jika aku tidak menggagalkan kencan-kencan butanya? Misalnya ada seorang pria—sebut saja mendapat restu Mr. Flint—mengajak Skylar kencan, ke mana kira-kira mereka akan kencan? Apa di apartemen juga? Apa yang kira-kira mereka lakukan di apartememen saja?

Pikiranku mulai menggurita ke mana-mana. Membayangkan Skylar dan Alton Mason sedang—

Aku menghentikan pikiranku yang semakin ngawur. Memangnya kenapa? Mereka berdua sudah dewasa. Bebas melakukan apa saja, termasuk beradu keringat. Lagi pula itu sudah masa lalu. Aku pun memiliki masa lalu.

“Bisakah kau tidak membahas kencan-kencan masa lalu kita masing-masing? Kenapa kita tidak kencan dengan cara kita sendiri? Malam ini hanya akan ada kita.”

Gelombang kejut menyergapku ketika tiba-tiba Skylar menghadap serta menatapku sambil tersenyum riang. Sangat jarang aku melihat senyum tulusnya seperti ini. Mengingat setiap kali berjumpa denganku, dia selalu menyuguhkan wajah sebal sampai-sampai kadang aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku semenyebalkan itu?

“Horry, kau cemburu ya?”

“Menurutmu, begitu?” Aku berbalik tanya dengan nada sama ketusnya seperti tadi.

“Baiklah ... baiklah .... Kalau begitu akan kuajak kau ke suatu tempat. Tapi biarkan aku yang menyetir mobilmu.” Skylar sangat antusias dengan itu.

Are you serious? No. Katakan saja di mana tempatnya.”

“Ayolah Horry .... Kau tahu, bukan, kalau aku selalu ingin mengendarai Aston Martin-mu dari dulu? Dari sebelum kau beli edisi terbaru,” rayu Skylar sambil mengguncang pelan lenganku. Sesuatu yang baru saja kulihat. Kupikir, aku menyukainya.

Sedangkan aku mencoba tidak terpengaruh dan masih fokus ke jalan raya sambil berusaha melepas guncangan itu. “Tidak, Sky. Justru karena aku tahu kuakitas menyetirmu. Makanya aku tidak mau.”

“Ck! Pelit sekali!”

“Ini demi keselamatan kita.” Aku berusaha memberikan pengertian logis.

“Aku tidak akan ngebut. Aku janji.” Skylar masih mencoba membujukku.

“Lain kali saja. Sekarang katakan kita akan pergi ke mana?”

Fine ... you win,” kata Skylar pasrah sambil mengedikkan bahu ringan dan menempelkan punggung di jok. “Aku ingin makan sushi di Sushi Yasuda.”

“Kau boleh makan sushi?” tanyaku heran. Teringat tentang larangan makanan yang dia makan supaya tenggorokannya aman.

Basicly, aku tidak boleh makan makanan berminyak, terlalu panas, terlalu pedas, minum kopi, merokok, minum minuman beralkoh atau  minuman dingin. But, this is a cheating day. Aku akan makan sushi dan wasabi, juga minum teh hijau dingin. Tenang saja. Konserku masih lama. Maksudku ... itu juga berkat kau. Terima kasih.” Suara Skylar sedikit menurun sewaktu mengucapkan dua kata terakhir.

Sushi Yasuda merupakan restoran koki bintang Michelin yang lumayan ramai malam ini. Tempatnya unik. Bernuasa Jepang dengan meja-meja dan dinding khas. Ada juga meja memanjang mirip bar kafe. Bedanya di balik meja itu bukanlah bartender yang meracik minuman, melainkan koki pembuat sushi. Jadi, apabila pengunjung duduk di sana, mereka bisa melihat secara langsung bagaimana sushi pesanan mereka dibuat. Dan Skylar mengajakku duduk di tempat itu.

“What’s up guys ...,” sapa wanita itu pada para koki sushi. Aku tidak terkejut dengan caranya menyapa, tetapi terkejut dia mengenal mereka. Apakah ada bagian yang terlewat oleh mataku ketika membaca semua berkas tentang Skylar yang diberikan Ralph? Tempat ini dan kenalan Skylar, maksudku.

“Wah lihat ... siapa yang datang ...,” seru salah seorang koki berperawakan gemuk yang sibuk menyiapkan sushi pelanggan.

“Si Pembuat Onar datang ... Astaga ...,” sahut koki lain.

“Enak saja, aku selalu menjadi wanita pendiam,” sahut Skylar lalu menolehku. “Horry, duduklah sini,” imbuhnya sambil menepuk kursi tinggi sebelahnya. Aku pun menurut.

“Hiro-san ..., Kesayanganmu tidak datang bersama teman-temannya karena membawa pacarnya!” seru koki gendut tadi.

“Hei! Jangan membuatnya cemburu, Hideyoshi,” pungkas Skylar pada koki gendut itu sambil tersenyum geli ke arahku.

“Ayolah, aku tidak cemburu,” jawabku malas.

Lalu seorang pria bermata sipit dan tinggi jangkung mirip model runway berjalan keluar dari balik pintu penghubung yang kuyakini dapur, menuju depan meja kami dan berhenti tepat di belakang Hideyoshi. “Mana Kesayanganku?” teriaknya.

“Ups ... sorry, Hiro-san jadi datang karena ulahku, Sky,” bisik Hideyoshi pada Skylar lalu menatapku. “Tenang saja, Dude, tidak perlu cemburu. Aku hanya bercanda.”

Belum sempat aku menanggapi, Hiro berkata, “Sky ... kau membuat membuatku patah hati, Sayang.”

Skylar tertawa saat menatap wajah Hiro yang dimalang-malangkan. Akting yang berlebihan.

“Hiro, kenalkan ini Horizon Devoss.” Tatapan Skylar kemudian beralih padaku. “Horry, ini Hiro—astaga nama kalian membuatku geli. Hahaha ....”

“Senang berkenalan denganmu,” kataku. Lucu sekali bila aku mengatakan kalimat itu yang bertolak belakang dengan nada datarku.

“Aku juga senang sekali bisa bertemu denganmu,” katanya dengan raut wajah lebih ceria. “Akhirnya aku bisa bertemu langsung dengan yang namanya Horizon—”

“Hiro, berhentilah! Jangan mempermalukanku,” potong Skykar sambil menggeleng dan mengibas-ngibaskan tangan-tangannya. “Lebih baik kau membuatkanku sushi kesukaanku. Aku ingin Horizon merasakan sushi kesukaanku dan buatanmu.”

“Sshh ... shh ... diamlah, Sayang!” kata Hiro yang baru kulihat getsture-nya agak gemulai. “Jadi, ceritakan padaku caramu bisa memenangkan hati Kesayanganku ini. Kau tentu tahu seberapa keras hatinya dicairkan.”

“Ya, aku sangat setuju denganmu. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya,” kilahku pada Hiro. Tidak ingin mengatakan hal yang sebenarnya. Itu bukan urusannya.

“Kau harus tahu bagaimana dia selalu membicarakanmu bersama teman-temannya di restoranku. Horizon menggagalkan kencanku lagi! Berikan aku sebotol sake, Hideyoshi! Aku ingin mabuk malam ini. Lalu ... Horizon datang ke konserku .... Lalu Horizon menculikku .... Lalu .... Horizon sangat menyebalkan! Aku membenci Horizon dengan segenap jiwaku! Dan Horizon-Horizon yang lain. Sekarang, tiba-tiba dia mengajakmu ke sini. Kurasa semua usahamu berhasil.”

I hope so.

Tanpa sadar aku mengulas senyum geli sebab mendengar Hiro berusaha menirukan suara Skylar dengan ekspresi lucu dan tangan bergerak-gerak di depan wajahnya.

“Tidak! Kapan aku begitu?” kilah Skylar, sedetik kemudian menghadapku. “Jangan percaya padanya, Horry! Ya Tuhan seharusnya aku tidak mengajakmu ke sini. Aku tidak tahu kenapa mengajakmu kencan ke sini. Lain kali aku akan mengajakku ke tempat lain!”

Obrolan ringan terus berlanjut. Bersamaan dengan itu, Hiro membuatkan kami sushi kesukaan Skylar. Dia menggusur tempat Hideyoshi yang sudah rampung membuat sushi pelanggan lain dan beralih tugas membawakan minuman pesanan kami.

“Bagaimana menurutmu sushi ini?” tanya Skylar sambil mengamatiku memasukkan sebuah sushi bertabur telur ikan ke mulutku.

“Enak,” jawabku ringkas dan jujur. Tak heran bila Hiro mendapat bintang Michellin.

“Baguslah. Lain kali kita harus pergi ke tempat makan favoritmu, Horry,” kata Skylar sebelum mencomot sebuah sushi dengan sumpit lalu memakannya sambil memejamkan mata. Terlihat sangat menikmati makanan itu.

“Jadi, kau berencana mengajakku kencan lagi?”

Suara dering ponselku menginterupsi percakapan kami. Aku meletakkan sumpit untuk mengambil gawai tersebut. Membaca sekilas nama Johnson kemudian mengangkatnya.

“Ada apa lagi? Bukankah aku sudah bilang tunda pekerjaan. Aku sedang kencan dengan Skylar,” ucapku.

“Maaf, Sir. Tapi ini soal pembangunan gedung baru yang ada di Thailand. Aku baru mendapat informasi kalau ada orang-orang yang menghambatnya. Kurasa kita memerlukan bantuan Jayden Wilder.”

Satu napas berat terembus olehku. “Jadi?”

“Sedikit informasi, Sir. Jayden Wilder tidak pernah mau berbicara sendiri lewat telepon meski itu dengan istrinya sekalipun. Jadi, kita harus menelepon semacam tangan kanan atau penasihatnya sebagai penghubung.”

Aku menaikkan sebelah alis. Selama dua detik akhirnya paham lalu refleks melihat Skylar yang khitmad melahap sushinya. “Apa kau sekarang sedang sibuk, John?”

“Hanya sedikit mencari informasi seputar ini, Sir.

“Kalau begitu, datanglah ke penthouse-ku dua puluh menit lagi dari sekarang. Aku ingin mendiskusikan ini.”

Setelah kupikir-pikir, lebih cepat bergerak, lebih baik. Sehingga permasalahan cepat terselesaikan dan aku bisa fokus pada misi Skylar sepenuhnya.

“Lalu bagaimana dengan kencan Anda?” tanya Johnson.

“Akan kuurus.” Aku menutup telepon lalu menghadap Skylar. “Maaf, kita harus mengakhiri kencan. Aku ada urusan mendadak. Habiskan makananmu. Akan kunantar kau pulang.”

Aku bersumpah melihat wajah Skylar campur aduk. Antara kaget, heran, kecewa, juga sedih. Gerakan kunyahannya juga kontan berhenti. Lalu secara tergesa-gesa menelannya. “T-tapi sekarang akhir pekan. Kenapa kau masih sibuk dengan pekerjaan?”

“Setelah berhasil mengguritakan Diamon Bank di Timur Tengah, aku juga berencana menambahnya ke Asia. Lalu sekarang ada kendala di sana. Aku harus bergegas menyelesaikannya.” Aku juga tidak tahu kenapa mengungkapkan seluruh urusan pekerjaanku pada Skylar lengkap dengan kendalanya.

“Apakah lama?” tanyanya, isyarat tidak ingin kencan ini berakhir begitu saja.

Seandainya Skylar tidak sedang menjalankan misi itu.

“Tidak tahu. Johnson dan aku akan beriskusi di penthouse-ku. Tapi kuharap secepatnya.”

“Boleh aku ikut denganmu, Horry?”

Aku melirik ke sembarang arah dan mendapati Hideyoshi bersama Hiro sedang tertangkap basah mengamati kami. Mereka lantas dengan cepat berpaling dan pura-pura mengerjakan sesuatu. Secara praktis bibirku tertarik ke atas sedikit. Dan dengan iseng, aku menjawab, “Rupanya kau masih ingin berkencan denganku. Baiklah. Ayo kita pulang ke penthouse-ku.”

Sepanjang perjalanan Skylar memutar radio sedikit keras tetapi masih akrab di telinga dan menyanyi mengikuti lagu. Memang inilah kebiasaannya. Menyanyi di sembarang tempat dan di berbagai waktu serta kesempatan. Kadang-kadang dia suka mengganti lirik lagu sesuai situasi, tetapi tetap pada nadanya. Seperti sekarang setelah tiba di basement penthouse-ku, lagu dari Queen yang berjudul We Will Rock You yang dia ganti bagian reff-nya dengan: welcome home Mr. Horizon Devoss.

Sambil naik elevator, kutelepon Johnson yang rupanya telah menunggu di lobi. Ketika dia sudah naik ke lantai penthouse-ku, Skylar menyapanya sama persis seperti  menyapa orang-orang sushi Yasudha.

“What’s up, Johnson.”

Dan Johnson pun tersenyum kikuh. “Halo, Miss Betelgeuse.”

Kemudia Skylar mengikuti kami ke ruang kerjaku dan duduk di sofa sebelah pintu sambil memainkan ponsel. Sepanjang diskusi dengan Johnson, aku baru sadar jika meliriknya terus-menerus. Mengamati kakinya yang disilangkan dan diayun-ayunkan, sesekali juga bersenandung pelan.

Aku jadi ingin mengakhiri diskusi ini secepat mungkin dan melakukan seuatu dengan Skylar.

“Jadi, itu strategi kita untuk membujuk Jayden Wilder melalui tangan kanannya.” Aku mengakhiri diskusi kami.

“Baik, Sir. Kalau begitu aku permisi dulu,” pamit Johnson. Skylar memberikan senyum singkat lalu berjalan di depan meja kerjaku.

“Horry ...,” panggilnya pelan. Aku hanya bergumam sebagai jawaban. “Apa kau ingat apa yang kukatakan kemarin di telepon?” tanyanya dengan nada pelan. Suaranya syarat kehati-hatian.

“Tentu saja aku mengingatnya.”

“Boleh kita membicarakan itu sekarang?” tanyanya ragu.

“Tak masalah. Katakan saja ada apa?”

Aku menunggu Skylar yang mengatupkan bibir rapat-rapat, lalu menunduk, jari-jemarinya pun saling menaut. Setelah menelan saliva, dia mengangkat pandangan ke arahku dan mengatakan, “Aku ingin menikah denganmu.”

Tentu saja. Dari semua kencan yang dia rencanakan, ujung-ujungnya pasti akan seperti ini. Aku pun tidak bisa mencegah diriku sendiri untuk merasa bangga karena tebakanku benar atau merasa marah karena dia memanfaatkanku dan aku juga berencana memanfaatkannya. Bermain-main dengannya, mungkin menguji kesabarannya dalam jangka waktu yang lama.

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen dan benerin typo, kelen luara biasa

Bonus foto Skylar Betelgeuse

Horizon Devoss

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Jum’at, 27 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top