Chapter 7
Selamat datang di chapter 7
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (hobi yang susah dihilangkan sebagai kodrat kesalaham human)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤️❤️❤️
_____________________________________
Jujur saja, aku mulai merindukannya sekarang
Merindukan mengobrol dengannya dan atmosfer hangat yang selalu diciptakan pria itu ketika aku-ataupun semua orang-berada di sekitarnya
-Skylar Betelgeuse
______________________________________
Musim panas
New York, 13 Juni
08.30 a.m.
Negosiasi itu berjalan lancar berkat Horizon. Mulanya aku sangat khawatir akan penolakan momster, tetapi dengan keyakinan tinggi Horizon berkata, "Serahkan semua ini padaku. Kembalilah ke kamar dulu dan bersiaplah pulang."
Nada rendah pria beraroma Leather itu membuatku merinding karena sugkan. Oke. Tadi malam aku baru saja menolak lamarannya mentah-mentah sebanyak dua kali. Lalu sekarang dengan wajah tenang, dia membantuku untuk mengatasi masalah band-ku. Seolah-olah kejadian semalam tidak benar-benar terjadi. Semakin memperkuat asumsiku bahwa dia hanya bermain-main.
Lalu bagaimana dengan cincin itu, Sky? Pertanyaan dalam benakku yang tidak bisa kutemukan jawabannya mengolok-olok. Entah kenapa, aku selalu beranggapan bahwa Horizon tidaklah mencintaiku. Aku selalu ragu untuk menerima setiap perhatiannya. Seolah ada tangan-tangan tak kasat mata yang memerintahku untuk menjauhinya. Namun, aku tidak bisa. Aku harus memerangkap hidupku dalam rumah tangga bersama Horizon, demi menyelamatkan harga warisan mendiang ibuku.
Well, keraguan jelas memenuhi benakku seketika dan membuatku memandang sepasang manik hitam pekat tersebut lalu beralih ke manik biru momster yang sama tajamnya dengan Horizon, dan kembali pada pria itu lagi.
"Percaya padaku," imbuh Horizon sambil menelengkan kepala, memberi kode supaya aku beranjak dari kursi makan siang kami di hotel.
Dengan ragu aku memenuhi perintah itu. Lalu, pria yang tak sanggup kutatap matanya selama lebih dari tiga detik itu membawa berita bahwa konser yang seharusnya akan di selenggarakan bulan depan di Los Angeles, akan ditunda. Tepatnya dua bulan pasca tur kami ke Asia. Meski tergoda untuk bertanya bagaimana cara dia menakhlukkan momster yang penuh tipu muslihat, tetapi aku menahan diri untuk tidak melakukannya dan lebih memilih berterima kasih.
Berita itu pun segera kusampaikan pada semua anggota band, asisten dan manager melalui panggilan daring. Mereka pun mengekspresikan kegembiraan dengan berbagai cara seperti :
1. Mr. Reece selaku manager memejamkan mata dan melepas napas lega.
2. Storm selaku drummer kontan menggebuki bantal-bantal sofa penthouse-nya.
3. Cassy alias Lea selaku melodist yang saat itu makan siang bersama kakak iparnya yang sedang hamil besar otomatis saling berpelukan.
4. Rain selaku bassis yang saat itu sedang ke supermarket sontak berteriak lega layaknya orang gila pada orang-orang yang berlalu lalang melintasinya.
5. Rigel selaku organist kontan mencium Meghan-well, aku bertaruh rencananya melamar Meghan akan terlaksana dalam waktu dekat.
6. Asisten sekaligus sahabatku bernama Katerine yang saat itu sedang nail art praktis membuat petugasnya geram sebab hampir mematahkan kuku-kukunya yang baru dicat arkilik merah tua karena histeris.
Perfect. Tidak ada yang lebih sempurna dari itu.
Jadi, begitu tiba di New York, yang perlu kupersiapkan adalah cara untuk meminta Horizon menikahiku. Mungkin kau berpikir kenapa aku tidak langsung menjawab pertanyaannya dan mengubah penolakanku menjadi menerima lamaran Horizon. Cara paling sederhana. Iya 'kan?
Oh, aku tidak bisa seperti itu. Harga diriku cukup tinggi dan rasa sungkanku kadang lebih unggul juga. Apalagi melihat getsture Horizon selama perjalanan dari Abu Dhabi ke New York yang lebih pendiam, aku jadi tidak tahu harus bagaimana. Yah, seandainya aku memiliki kekuatan khusus seperti cenayang yang bisa membaca pikiran pria itu. Tentu aku tidak akan kesulitan seperti ini.
Berhubung aku masih belum menemukan gambaran yang jelas tentang ide cemerlang nan jitu untuk membuat Horizon menikahiku secara natural, tidak terkesan paksaan atau ada maksud terselubung, para sahabatku akan membantu.
Keesokan paginya di akhir pekan, aku membelokkan stir ke gedung apartemen Lea. Kata melodist The Black Skull itu, Katerine sudah tiba sekitar setengah jam yang lalu dan mereka sempat membuat semacam diagram-diagram rencana sederhana di beberapa lembar kertas.
Setibanya aku di depan pintu penthouse Lea, mereka sontak menggeretku ke kamar Lea. Dan benar, yang pertama kali kali kulihat di kamarnya adalah beberapa kertas coretan hasil karya mereka yang memenuhi kasur Lea.
"Letakkan ranselmu dan duduklah di kasur," titah Lea. Sebelum menuruti perintahnya dengan malas, Katerine mengambili kertas-kertas di kasur lalu duduk di kursi meja rias Lea. Posisinya tepat di depan kasur yang kududuki. Sedangkan Lea sendiri berdiri di sebelah Katerine. Dua sahabatku ini sungguh mirip polisi yang hendak menginterogasi pencuri.
"Jadi, begini rencananya, Sky." Katerine menenteng kertas itu dan mulai menerangkan sambil menunjuk-nunjuk bagan-bagannya. "Horizon mencintai Skylar. Jadi, Skylar juga akan mengatakan pada Horizon hal yang sam-"
"Interupsi, Mom. Horizon tidak pernah mengatakan mencintai Skylar," potongku sambil mengacungkan tangan mirip murid yang menginterupsi guru saat menerangkan pelajaran.
Lea yang sejak tadi bersedekap pun menghela napas berat dan memutar bola mata malas. Selain itu, dia juga berkomentar, "Ya Tuhan, Sky. Jangan kekanakan. Cinta itu tidak harus dikatakan. Orang buta juga bisa melihat kalau Horizon mencintaimu. Hanya kau saja yang selalu menolak mengakuinya."
"Lea benar, Sky. Dia bahkan melamarmu sebanyak dua kali. Jadi, mari kita lanjutkan penjelasanku."
Sebelum wanita berambut cokelat gelap sebahu itu melanjutkan, aku terburu menimpali, "Melamar bukan berarti mencintai, Kat. Itulah kenapa kita harus memiliki rencana membuatnya menikahiku secara natural. Karena aku telah menolak lamarannya."
"Ck, kau ini!" Katerine mengeram, " Skylar Betelgeuse ... pria mana yang ingin menikahi wanita kalau tidak mencintainya? Dan itu kebodohanmu karena telah menolak lamarannya. Lihat sekarang siapa yang repot?"
"Koreksi sedikit, Kat. Aku tidak mencintai Horizon tapi aku harus menikahinya," bantahku. "Maaf ... karena aku harus melibatkan kalian ...."
"Hold on, Girls," lerai Lea. Lalu menghadapku. "Yang kita bicarakan di sini 'cinta Horizon padamu.' Bukan sebaliknya, Sky. Dan sudah semestinya sahabat saling membantu."
Aku menghela napas berat nan pasrah. "Baiklah terima kasih. Tolong lanjutkan penjelasanmu, Kat."
Dengan penuh semangat yang membara, Katerine lanjut menerangkan rencana yang disusun mereka hingga tuntas. Lea tampak mengangguk-angguk sambil tersenyum setuju sementara aku hanya bisa memelotot dan baru boleh memberi pendapat di akhir.
"Are you sick? Aku tidak mau jadi seperti jalang untuk merayu Horizon!" elakku.
Lea dan Katerine sontak saling berpandangan dan menggeleng. "Itu bukan rayuan dan jalang. Tapi trik untuk membuatnya tidak fokus lalu dia akan dengan senang hati kembali ingin menikahimu. Sangat natural."
"Kate benar, Sky. Tidak ada pria yang tahan dengan wanita seksi kecuali dia serong," tanggap Lea.
"Benar. Tapi 'kan sama saja ...," erangku.
"Tidak ada cara lain selain itu." jawab Lea dan Katerine kompak.
Embunas napas berat nan putus asa keluar dari paru-paruku. Aku pun mengerung serta menggelebak-gelebak di kasur mirip ikan yang baru diangkat dari air dan insangnya membutuhkan oksigen. Beberapa saat kemudian diam, tetapi tanganku meraih bantal untuk menutupi wajahku lalu berteriak, memberi nada dengan cengkok-cengkok sedikit pada suara yang kukeluarkan barulah duduk. Dengan wajah memelas aku mengiba, "Haruskah? Aku tidak bisa berpakaian seksi feminin atau bahkan merayunya."
"Soal rayu-merayu, kau harus belajar dari situs web. Soal pakaian, kita butuh seorang ahli untuk merombak penampilanmu," jelas Katerine yang sudah meletakkan kertas-kertas di meja rias Lea.
Pemilik hunian ini pun tersenyum lebar dan menaik-turunkan kedua alisnya. "Oleh karena itu, Sky .... super model Jasmine Maxwell Devoughn kutahan di sini selama beberapa hari."
"Tapi, sekarang kau harus menelepon Horizon dan pastikan malam ini atau besok malam jadwalnya kosong," desak Katerine yang antusianya agak berlebihan sambil tersenyum.
"Uuu ... menghabiskan malam bersama Horizon Devoss ...," goda Lea. Dan keinginan menjitak kepalanya sangat memenuhi hatiku.
Aku mencibir lalu mengambil ponsel dan melakukan apa yang mereka suruh. Entah kenapa rasanya jantungku berdebar keras sekali. Gugup. Terutama saat Horizon baru saja mengangkat teleponku dan menyapa, "Halo?" Suaranya yang rendah membuatku resah.
Lea dan Katerine menempelkan kepala di ponselku guna menguping. Lalu menyenggol-nyenggol lenganku supaya cepat menjawab. "Ha-halo, Horry," balasku gagap.
"Ya?" tanyanya ringkas. Menambah kengerian.
"Tanyakan jadwalnya nanti malam atau besok malam," bisik Katerine. Dan aku melakukannya sesuai titah.
"Apa yang akan kau lakukan nanti malam?"
"Kenapa kau ingin tahu?" Horizon berbalik tanya dan itu membuatku kesal. Namun, karena mengingat tujuanku, aku harus menahannya.
"A-aku ingin bertemu denganmu, Horry. Maksudku, ada sesuatu yang ingin kubicarakan berdua denganmu. Tentu saja kalau kau tidak memiliki rencana. Aku akan menunggu jadwal kosongmu."
Terdapat jeda selama beberapa menit sebelum Horizon berbalik tanya. "Apa kau sedang berusaha mengajakku kencan?"
"Uh-oh! Em, aku ... maksudku, kau boleh menyebutnya apapun. Jadi, bagaimana?"
"Mula-mula sekali. Tapi ...." Lagi-lagi jeda sebentar sebelum dia menjawab,"Baiklah. Aku akan menjemputmu nanti malam. Sampai jumpa."
Mulutku menganga dan jantungku kembali beratalu-talu. "Sa-sampai jumpa, Horry."
Sedetik telepon kututup, detik itu pula Katerine dan Lea menjejaliku dengan pertanyaan beruntun.
"Apa katanya, Sky?" desak Katerine.
"Dia ada di mana? Tidak sedang di luar kota kan?"
"Ho-Horizon akan menjemputku malam ini. Kyaaa ...."
Jika kukatakan para sahabatku setia, tidak ada keraguan tentang itu. Jika kukatakan mereka sangat gila, sekarang mereka sedang mencoba membuktikannya. Jadi, kami menunggu kakak ipar Lea pulang bersama kakak laki-lakinya dari kontrol kandungan rutin di rumah sakit, lalu memulai misi ini.
Setelah Jasmine meneliti semua ragaku-aku sampai malu-dia meminta suaminya mengantar kami ke butik JasLee-salah satu cabang butik kondang Jasmine yang berada di New York-sebagai awal mula misi ini.
Sambil membenarkan letak kacamata, kakak laki-laki Lea pun berkata, "Tolong jangan biarkan istriku kelelahan, oke?"
Lea dan Katerine secara otomatis memberi hormat ala prajurit. "Yes, Sir."
Sedangkan aku hanya meringis lalu menyaksikan pria berkacamata itu mencium kening istrinya sebelum meninggalkan kami dan berjanji akan menjemput kami di butik ini lagi begitu urusan para wanita selesai. Well, he's a pretty good brother. Membuatku iri.
Aku menahan napas sejenak sebab pikiranku tidak sengaja mengarah pada River. Ya, dia juga pria yang baik, aku selalu menganggapnya sebagai kakak laki-laki. Kami sering bertukar kabar dan mendengar keluh kesah masing-masing. Kadang-kadang dia menceritakan mantan kekasihnya bernama Jameka yang membuatnya susah move on.
"Memangnya apa yang dia lakukan sehingga membuatmu tidak bisa melupakannya?" tanyaku ketika kami duduk sambil minum segelas cokelat dingin di kafe North West Stable, sedangkan Horizon masih mengurusi kudanya di pedok.
Dengan senyum masam dan kepala menunduk, River mengehla napas berat sebelum menjawab, "Aku membuat kesalahan besar."
"Apa itu?"
Pria ramah itu lebih membentangkan senyum. "Kesalahan fatal yang tidak bisa dimaafkan. Tapi Jameka malah menyuruhku beralasan pada Horry kalau kami putus karena dia tidak menyukaiku memakai kaos merah jambu. Seolah terkesan dia yang jahat, padahal aku yang membuat kesalahan fatal itu."
"Bukankah artinya dia mencintaimu, Riv?" tanggapku.
River mengangguk. "Ya. Aku tahu Jameka masih mmencintaiku. Dia hanya benar-benar kecewa padaku. Karena itulah aku harus mengakui hal konyol itu pada Horry." Dengan tatapan menerawang ke arah adiknya, River tertawa kecil di akhir kalimat.
Aku, tentu saja ingin tertawa. Namun, walaupun tatapan River tertuju pada Horizon, tetapi sorot matanya terlihat kosong. Jadi aku hanya tersenyum masam.
"Lupakan soal itu, Sky," katanya lagi. Kau sendiri bagaimana?"
Dengan penuh kenyamanan, aku juga menceritakan soal backstreet-ku bersama Alton Mason karena ayahku menentang hubungan kami. Lalu karena lelah, kami menyerah dan memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing. Dan itu membuatku galau selama bertahun-tahun.
River berkata aku harus tetap semangat menjalani hidup dan menuruti kata ayahku sebab beliau satu-satunya yang saat ini kumiliki-meski ada momster. River juga menanyakan pendapatku tentang Horizon yang saat itu sudah menyusul ke kafe. Namun, aku selalu mengelak karena sebal.
Jujur saja, aku mulai merindukan River Devoss sekarang. Merindukan mengobrol dengannya dan atmosfer hangat yang selalu diciptakan pria itu ketika aku-ataupun semua orang-berada di sekitarnya.
Mungkin aku akan mengunjuginya nanti, lalu menceritakan misi konyol ini. Bibirku merakit senyum tipis sebab membayangkan wajah River tersenyum geli dan akan mengataiku terkena karma, tetapi tetap bersyukur sebab bisa akur dengan Horizon. Persis seperti River yang menelepon daring untik meminta maaf karena acara makan siang kami yang batal waktu dulu.
Tepukan di pundak kananku membawaku kembali ke alam nyata. Atas perintah Jasmine, Lea menggiringku ke depan cermin setinggi dua meter. Bingkai putih mutiara cermin itu dililiti lampu-lampu terang dan bagian depannya terdapat sebuah panggung kecil warna senada yang hanya dapat menampung satu orang. Mirip-mirip di butik gaun pengantin. Sementara Jasmine yang mengernyitkan alis tanda berpikir keras, Lea, dan Katerine pun duduk di sofa depan cermin itu.
"Kalau boleh jujur, aku iri padamu," komentar Jasmine.
"Iri?" tanyaku tak paham. Dia sangat cantik secara risik dan aura kecantikan dalamnya terpancar saat hamil. Selain itu dia juga memiliki suami yang baik serta pengertian, sekarang dia iri padaku yang selengekan ini? Ehe dia pasti bercanda.
"Ya. Kau memiliki tubuh yang bagus. Kau lumayan tinggi. Pinggang dan pahamu kecil. Dada dan pantatmu juga lumayan berisi. Dengan kata lain, kau seksi," terangnya.
Aku menganga, kemudian meringis. "Well, em. Ya. Terima kasih. Kau juga sangat cantik dan seksi."
Tawa Jasmine kontan mengudara. "Kau benar, sekarang aku sudah seksi. Kata adikku dulu sebelum hamil, aku kerempeng mirip papan triplek. Well, jadi ..., aku ingin kau memgenenakan sesuatu yang menonjolkan lekuk tubuhmu. Tanpa mengurangi sisi tomboy-mu."
Jasmine mulai memerintah para pegawainya untuk membawakan kaus hitam bergambar tengkorak putih yang terususun dari swarovski putih berventuk V neck dengan belahan dada sangat rendah. Aku ingin protes tetapi siapa pun tidak mengizinkanya.
Jadi, aku pasrah sambil menyanyikan lagu-lagu The Black Skull dari album terbaru kami. Sementara orang-orang berlalu-lalang mengambil apa saja yang diperintah Jasmine. Ada yang menyodorkanku bra hitam berenda dengan pengait di depan, lengkap dengan pasangan celana dalamnya. Ada juga yang membawakan rok kulit cokelat gelap sependek paha, serta dokmart hitam.
Setelah semua merasa perpaduan ini cocok, meraka memaksaku spa dan merawat tubuh termasuk wax bikini. Aku, bisa berpendapat suka dan tidak suka. Aku suka warna baju dan motifnya, juga dokmart hitam itu, tetapi benci rok dan belahan rendah kaus hitamnya. Namun, semuanya tampak bagus.
"Nah, selesai." Jasmine berkata lalu duduk sambil makan pizza yang dilumuri frosting vanilla. Kotak pizza-nya dia letakkan di atas perutnya. Astaga, apa kau percaya itu? Makanan aneh wanita saat hamil, maksudku.
"Bagaimana kalau dia tidak percaya kata-kataku?" tanyaku lemas, masih duduk di depan meja rias.
"Aku yakin dia pasti memintamu membuktikan ucapanmu," jawab Jasmine. "Dan kau harus siap pasang badan, karena itu aku memilihkanmu pakaian dalam bagus."
Tekanan mulai kurasakan sekarang. Bukankan aku seperti seorang 'baby girl yang menunggu sugar daddy-nya?'
"Haruskah?" tanyaku loyo.
"Harus. Itu satu-satunya bukti kuat," jawab Jasmine tanpa ragu. Semakin memojokkanku.
"Hei, ayolah. Kau sudah sejauh ini," hibur Lea sambil merangkul pundakku.
"Lea benar, Sky," sambung Katerine. "Ingatlah tujuanmu. Lagi pula kalau berhasil toh tidak masalah. Tidak akan ada yang mengecapmu sebagai 'wanita yang penggoda' karena telah menggoda calon suaminya. Benar kan, Girls?"
"Benar," jawab Lea.
"Absolutely right," timpal Jasmine.
Aku kontan berdiri dan memeluk mereka. Jasmine melambai-lambai lalu kami mendekati dan memeluknya.
"Tunjukkan pesonamu, Sky!" teriak Katerine dengan semangat menyala.
"Baiklah, terima kasih teman-teman. Aku menyayangi kalian," ucapku.
_________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen dan benerin typo, kelen luara biasa
Btw, ada yang udah ngeh kenapa bagian River selalu terjadi di masa lalu? 🌚 Ehe
Bonus foto Skylar Betelgeuse
Horizon Devoss
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Senin, 2 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top