Chapter 49
Selamat datang di chapter 49
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you enjoy and love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
My life is like Christopher Nolan Movie
I don’t really understand what is going on?
—Ayza
____________________________________________________
Musim dingin
New York, 29 Desember
Pukul 11.20
Betapa bodohnya aku karena tidak berpikir panjang sewaktu mengatakan kondisi eating disorder-ku akibat dari depresi berat pada dokter. Yang tentunya disimak secara langsung dan saksama oleh Horizon serta Momster. Perasanku jadi turut kacau saat Horizon mengajakku bicara di depan ruang pemeriksaan.
Padahal aku ingin menegaskan kepada pria itu bahwasannya semua yang kulontarkan hanyalah bentuk kekecewaan serta sarkasmeku belaka kepada dia dan Momster, sesuai pandanganku terhadap mereka. Maksudku, aku tidak hamil itu sesuai harapan mereka dan jikalau hal itu yang memberatkan mereka pada sebuah proses perceraianku, bukankah setidaknya mereka sudah tidak perlu memikirkan hal-hal lain lagi? Kenapa Horizon malah marah?
Sayangnya, aku tidak sanggup berdiri terlalu lama di dekat Horizon. Terutama setelah merasakan sentuhan tangan besar dan hangat pria itu di punggungku. Harum aftershave-nya membuat pikiranku keruh, melalang buana ke mana-mana. Membayangkan bibir dan lidahnya di bibir, leher dan dadaku. Gigitan-gigitan kecilnya pasti akan membuatku meresapi setiap jengkal sensasi yang ditimbulkan bakal-bakal janggutnya yang bergesekan di kulitku.
Alih-alih meminta maaf karena telah membuat hubungannya dengan Pops renggang atau mengatakan maksudku sebenarnya, aku justru ingin menghambur ke pelukan Horizon serta mengatakan betapa aku merindukannya. Namun, aku takut dia akan menolakku mentah-mentah di tengah kemarahannya.
Aku sudah pernah merasakan kemarahan Horizon beberapa kali dan tidak pernah bisa membantahnya. Setiap apa yang kuucapkan, dia selalu tidak mempercayainya. Setiap apa yang kuucapkan, dia selalu mengembalikan ucapan itu padaku. Setiap kali aku bertanya, dia selalu menjawab dengan memberikan pertanyaan itu balik kepadaku.
Aku sama saja bicara dengan dinding. Ibarat elemen, kami sama-sama api yang bila digabungkan akan membentuk bara besar. Lalu dapat membakar dan melahap semuanya sampai hangus tak tersisa. Dan itu sangat tidak sehat.
Karena itulah lebih aku baik pergi. Lagi pula aku membutuhkan Xanax untuk menekan ketegangan sarafku akibat menyadari keadaan yang berulang kali bermain-main dengan harapanku. Kupikir aku akan meminum dua pil sekaligus.
Aku duduk di dekat arena bermain anak-anak. Tanganku gemetaran merogoh-rogoh tas guna mencari obat penenang itu. Aku bahkan menumpahkan semua barangku di sana dan mengobrak-abriknya.
“Di mana? Aku yakin membawanya ke mana-mana,” gumamku yang makin gelisah. Beberapa barang berjatuhan di kakiku. Tidak sampai satu detik kemudian mataku membelalak senang dan perasaan lega membanjiriku karena berhasil menemukan obat itu. “Ini dia. Ini dia.”
Aku menurunkan masker untuk bersiap menelan dua butir sekaligus. Namun, Momster tiba-tiba datang dan langsung menyambar obat-obat tersebut. Botol obat yang kugenggam di tangan satunya pun cepat-cepat disahut dan dimasukkan Momster ke dalam tasnya. Aku curiga wanita ini punya radar pendeteksi keberadaanku. Sehingga cepat sekali menemukanku.
“Apa yang kau lakukan, Sayang?” tanyanya, “kau tahu kalau ini tidak boleh diminum sembarang, kan?”
“Aku butuh itu sekarang.” Aku berusaha meraihnya, tetapi Momster dengan gesit menghindar.
“Apa kau sudah meminumnya pagi ini? Dan ini dua pil, Sayang.”
“Sudah, tapi aku butuh lagi. Aku butuh dua agar lebih tenang. Tolong berikan padaku. Aku butuh itu sekarang,” mohonku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Maskerku berantakan, kacamataku melorot, dan topi rajutku rupanya sudah terbang entah ke mana. Namun, yang kupedulikan hanyalah aku butuh obat itu sekarang.
“Ya Tuhan .... Tidak boleh!”
Napasku berubah cepat dan pendek-pendek. Tenggorokanku kering dan kepalaku mulai pening. Jadi, aku merengek, “Tolong beri aku obat itu. Tolong .... Obat itu bisa membuatku tenang.”
“Tidak boleh!” tegas Momster dengan suara pelan, tetapi dengan nada ditekan-tekan.
“Berikan padaku!” jeritku jengkel. Wanita ini keterlaluan. Tidak mengerti badanku mulai sakit semua lantaran kewarasanku yang tinggal separuh dan aku membutuhkan obat itu. Amat, sangat membutuhkannya.
Momster tidak meladeniku. Beliau justru merengkuhku. Seperti melindungiku dari orang-orang yang mulai mengawasi kami. Sambil mendekap tasnya untuk mencegahku meraihnya, Momster mengemasi barang-barangku, termasuk yang tercecer di bawah. Dengan tenaga yang tidak mampu kulawan, Momster lantas berhasil menggeretku ke lobi dan memasukkanku ke mobil Ayah yang rupanya sudah menunggu di sana.
“Kita ke psikiater atau pusat rehabilitasi sekarang,” titah Momster yang duduk di sebelahku dan masih merengkuhku.
Aku masih merengek dan berusaha meraih obat penenang itu. Sedangkan Ayah jelas kaget. “Apa yang terjadi?”
“Dia kecanduan.”
“Apa?”
“Skylar kecanduan Xanax, Flint. Kita harus membawanya ke psikiater atau ke rehabilitasi terdekat sekarang! Cepat!”
Emosionalku tak terkendali. Aku merengek sampai kelelahan. Setelahnya aku tidak ingat persis apa yang terjadi. Yang jelas aku terus memberontak, mungkin sampai pada tahap tidak sadar. Jadi, aku dirawat di pusat rehabilitasi selama dua hari. Seorang dokter mengatakan kalau aku kecanduan Xanax—persis kata Momster—yang untungnya masih dalam jangka pendek.
“Berapa pil Xanax yang kau minum per harinya sebelumnya?” tanya seorang wanita ber-snelli dengan suara lembut sewaktu keadaanku sudah jauh lebih stabil. Aku menganggap ini sidang.
Aku refleks melihat Momster dengan tebeng paripurnanya dan Ayah yang bersidekap di dekat jendela ruang rawat inap. Semua orang, termasuk perawat, menungguku yang setengah duduk di brangkar, untuk bicara.
“Sebulan sebelumnya aku minum sesuai resep. Tapi sejak Natal, aku melipatgandakan dosisnya agar bisa lebih tenang,” jawabku takut-takut sambil membuang muka.
Wanita yang berprofesi sebagai psikiater itu lantas menerangkan bahwasanya sangat berbahaya melipatgandakan dosis obat penenang tanpa pengawasan dokter. Xanax bisa membuat kecanduan dan ketergantungan. Itu bisa jauh lebih memperburuk keadaan mental orang yang depresi daripada sebelumnya. Bila sudah tidak terkendali, obat itu bisa menyebabkan kematian akibat overdosis.
Lepas dari Xanax pun tidak mudah. Harus ada terapi khusus dan obat pengganti. Di samping itu, meski sudah diizinkan pulang, aku harus melakukan sesi terapi dalam bentuk obat pengganti sekaligus konsultasi setiap seminggu sekali.
“Kau harus tinggal bersama kami, Sayang,” titah Momster yang disetujui oleh Ayah dan tidak dapat diganggu gugat. “Kami tidak akan membiarkanmu tinggal sendirian dan menelan semua obatmu. Kejadian kemarin lusa itu sudah cukup.”
Ayah yang menyetir pun menanggapi, “Entah apa yang akan terjadi seandainya Mom tidak menemukanmu, Sky. Dan selama kau di rumah kami, aku akan cuti. Akan kulimpahkan semua pekerjaanku kepada asistenku. Entah film yang kami garap itu jadi atau tidak. Aku tidak peduli.”
“Dan ponselmu kusita. Kita fokus pada kesehatanmu,” tandas Momster.
Aku merasa amat buruk dan tidak berguna serta merepotkan. Seperti remaja yang baru mencoba-coba narkoba karena ingin terlihat keren di mata teman-temannya. Maka dari itu, aku menuruti perkataan mereka dan dokter. “Apa boleh aku membawa barang-barangku dari apartemenku?”
“Boleh. Bawalah barang yang sekiranya kau perlukan,” jawab Ayah yang lantas membelokkan mobil ke apartemenku.
Momster membantuku mengemasi semua pakaianku di beberapa koper. Aku sempat melamun menyusuri kilas balik hubunganku dan Horizon tiga tahun lalu. Tepat pada saat pertama kali aku mengenalnya. Panah-panah rindu kembali menusuk. Menyebabkan diriku nekad menjadikan cincin pernikahanku sebagai bandul kalung yang lekas-lekas kukekan. Rasanya aku belum sanggup membuang benda itu.
Aku juga kembali mengenakan gelang tali couple-ku dengan Horizon. Untuk menyamarkannya, aku menambah gelang-gelang tali lainnya. Dan ketika Ayah menyusulku di kamar, aku buru-buru memasukkan kalung yang bandulnya masih kuamati itu ke balik sweter hitamku. Lalu aku resmi pindah ke Long Island.
Setibanya di sana, kami langsung menata barang-barangku di kamar yang disediakan untukku. Setelahnya aku diminta istirahat dan akan dibangunkan sebelum makan malam.
Omong-omong, selama di rumah sakit aku sudah lumayan bisa makan. Tidak muntah-muntah lagi. Tidurku memang belum nyenyak seratus persen, tetapi jauh lebih baik dan berkualitas. Penanganan dan pengawasan dari ahlinya memang yang terbaik.
Ketika aku terbangun di sore hari dan ingin mengambil air untuk minum—karena persediaan di nakas habis, aku mendengar Momster sibuk menelepon. Kuputuskan untuk mengintip dari balik pintu kamar yang mengarah ke ruang tengah.
Wanita dalam balutan baju hangat krem itu berdiri di dekat balkon yang tertutup. Aku bahkan bisa melihat rokok yang terselip di antara jari-jari lentik bercat kuku merah darah tangan kanannya. Sementara Ayah duduk di sofa dengan wajah murung.
“Batalkan semua jadwal Skylar. Ya, atau hadiri saja acara-acara undangan TV, podcast atau apa pun itu tanpa dia. Tidak usah banyak tanya karena aku tidak ingin ada keributan. Ya, ya, terima kasih, Reece.”
Momster mengisap rokoknya kuat-kuat dan menjatuhkan diri di sofa sebelah Ayah duduk. Ayah lantas berbisik kepadanya dan Momster refleks berdiri lagi.
“Tidak, Flint! Kau sudah lihat sendiri apa yang terjadi, bukan? Jadi, jangan. Aku tegaskan sekali lagi jangan,” tekan Momster sambil berkacak pinggang menggunakan tangan satu. Sedangkan tangannya yang memegang rokok dibuat menunjuk-nunjuk Ayah. “Aku tak mengerti kenapa kau harus mengaktifkan ponsel di saat seperti ini.”
“Tapi—”
“Tidak!” bantah Momster yang kali ini sudah melebarkan tangan untuk mempertegas perkataan itu. “Tidak cukupkah kau lihat bagaimana ini? Dari dulu aku sudah memperingatkan. Jadi, jangan coba-coba lagi. Aku yakin kita tidak akan bisa menanggung risiko yang lebih parah lagi.”
“Bisa kita coba sekali ini saja? Siapa tahu yang ini akan berhasil.”
Momster menggeleng-geleng sampai menangis dengan wajah super duper kacau. Kedua kali ini aku melihat Momster menangis. Buta namanya bila aku tidak bisa melihat kepedihan yang tergambar jelas di wajahnya yang belum terlalu keriput karena botox tersebut. Dan tangisan itu kali ini sangat menusuk hatiku.
Ayah berdiri, mengambil alih rokok dari tangan Momster dan meletakkannya di asbak. Beliau kemudian memeluk wanita itu. Mulanya aku tidak tahu topik apa yang mereka bicarakan. Namun, satu detik kemudian, aku baru tahu mereka sedang membicarakan aku. Walau mengenai apa aku tidak tahu.
Terutama saat Momster berkata, “Skylar juga anakku, Flint. Aku surrogate mother-nya. Aku pernah mengandungnya beberapa bulan. Aku pernah tidak bisa makan karena dia rewel di dalam perutku. Aku pernah cukup depresi dengan morning sickness and I had survived. Aku tidak bisa menanggungnya lagi kalau kau melakukan itu. Tapi ini semua salahku yang belum bisa menjaganya. Karena itu aku ingin memperbaikinya.”
“Sssttt .... Pelankan suaramu, dia sedang tidur. Jangan sampai membangunkannya. Dan tenanglah. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Kita harus melangkah ke depan. Kita jaga dia bersama-sama.”
Momster menutupi wajah menggunakan kedua tangan. Masih sambil menggeleng-geleng di pelukan Ayah. “Bagaimana aku bisa menanggungnya lagi? Skylar benci padaku tak masalah. Asalkan dia tidak depresi seperti ini. Ini bukan tentang The Black Skull, ini tentang dia, Flint. Jadi, jangan lalukan itu. Kumohon.”
Meski tidak tahu Momster memohon untuk apa, aku tetap lemas dan terperenyak di balik pintu, masih sambil memegangi gelas kosong. Mendapati kenyataan bahwa wanita itu merupakan surrogate mother-ku, aku bagai ditonjok palu raksasa lagi dan lagi.
Selama ini rupanya aku telah salah paham pada Momster. Pikiranku mendadak penuh dan serangan panik itu kembali padaku. Napasku berubah cepat dan aku gelisah. Namun, aku berusaha melawan sekuat tenaga agar tidak mencari-cari obat penenang pengganti. Lalu aku memutuskan untuk mandi air dingin sampai menggigil, sampai mentalku benar-benar normal kembali.
Musim dingin
Long Island, 31 Desember
Pukul 10.00
“Bagaimana persaanmu sekarang, Sky?” tanya priskiater saat memulai sesi konseling. Sekarang kami hanya berdua di kamarku.
Momster tidak membawaku ke rehabilitasi lagi, tetapi mendatangkan beliau. Katanya itu tindakan pencegahan agar nama The Black Skull tidak terseret-seret karena adanya berita aku di tempat tersebut. Siapa tahu ada yang iseng memotretku. Penampilanku yang sekarang jauh lebih mencerminkan diriku sebagai vokalis. Momster bilang itu karena rambut hitamku. Aku lantas bertanya-tanya apakah penyebab Horizon benci rambut hitam ini karena aku jadi dikenali publik?
Aku mengembuskan napas dan mulai bicara. “My life is like Christopher Nolan Movie. I don’t really understand what is going on?”
Wanita paruh baya yang duduk anggun di depanku sembari memangku papan jepit dan pena itu membalas dengan berbalik tanya, “Apa artinya itu?”
Aku mengangkat bahu ringan. “Entahlah. Coba saja tonton semua filmnya.”
Senyum kaku terpatri di wajah wanita itu. “Oke, beri aku lebih spesifik lagi. Film Christoper yang mana yang sebaiknya kutonton?”
“Inception. Mungkin?” Lagi-lagi aku mengangkat bahu.
“Apa kau merasa hidupmu seperti di film itu?”
“Jelas tidak. Aku tidak bekerja di bidang militer atau bidang ilmiah. Maksudku, semua film Christoper Nolan memang gila dalam artian bagus dan sangat kompleks. Kupikir masalah yang belakangan ini datang padaku juga sangat kompleks. Masalah yang awalnya kecil lalu entah karena dibiarkan atau karena tidak begitu bisa menemukan jalan keluar akhirnya menjadi rumit. Jadi berlarut-larut. Yang berakhir menyerang mentalku,” terangku hati-hati. “Efek kupu-kupu, begitulah orang-orang menyebutnya.”
“Tak apa-apa. Pelan-pelan saja. Kau bisa memulainya dengan hal yang bisa kau ceritakan dari permasalahan itu. Yang paling ringan sekalipun. Kau tahu aku disumpah untuk merahasiakan apa pun permasalahan pasienku. Dan tugasku adalah membantumu. Jadi, jangan anggap aku musuh. Anggaplah aku sebagai sahabat baikmu yang siap mendengarkan setiap ceritamu.”
Aku memejamkan mata dan membayangkan beliau sebagai Katerine. “Well, aku kaget dengan Mom. Maksudku dia bukan ibu kandungku. Aku membencinya karena keras terhadapku, karena selalu mendikte aku. Dan suatu kesialan atau keberuntungan, Mom memiliki kedudukan penting di jajaran Harmoni Studio. Tempatku bekerja sebagai vokalis The Black Skull. Yang lagunya baru keluar dan langsung booming.”
“Ya, aku mendengarkan lagu itu. Sangat bagus. Lalu bagaimana?”
“Tapi lama-lama aku mulai menerimanya karena suatu fakta. Aku mulai melihatnya dari sisi berbeda. Aku mulai diam-diam melihatnya masak makanan yang ingin kumakan. Aku melihatnya menangis di lantai dapur. Lalu saat mendengar ovennya bunyi, Mom buru-buru mengelap air matanya, memasang topeng paripurna ‘aku baik-baik saja’ dan bangkit untuk memeriksa apakah pai apel yang kuinginkan sudah matang sempurna atau belum. Mom melakukan semuanya demi aku. Bagaimana selama ini aku bisa berpikir dia sangat jahat karena membatas-batasi aku?”
Psikiater itu mengangguk-angguk. “Itu sebuah kemajuan yang sangat bagus sekali. Kau sudah mulai menyadari perannya dan kasih sayangnya.”
“Ya. Lalu aku minta maaf karena selama ini salah paham. Dan Mom memaafkanku. Jadi, kami akur dan Ayahku senang,” terangku yang duduk bersila di sofa kamar. Ada sedikit perasaan lega karena menceritakan itu dan respons orang yang kubagikan cerita sesuai harapanku, yaitu positif.
“Itu luar biasa. Tapi, apa karena ini kau jadi mulai depresi dan diresepkan Xanax? Kupikir permasalahan ini sudah selesai, bukan? Akhir yang menyenangkan. Kalian akur dan saling memahami.”
“Kejadian itu baru kemarin. Bisa dibilang itu salah satu efek kupu-kupu. Dan aku sudah lebih baik dalam menghadapinya. Bisa lebih rasional. Tapi, tidak. Bukan itu yang membuatku mulai merasakan depresi.”
“Kalau begitu apa kau mau menceritakannya?”
Lama sekali aku berpikir sambil menatap ke luar jendela. Nanti malam tahun baru. Itu berarti sudah beberapa hari aku tidak bertemu Horizon. Aku penasaran dan ingin tahu kabarnya, bagaimana dia. Apakah pria itu bisa menghadapi kerusakan hubungannya dengan Pops? Apakah dia bisa makan dan tidur nyenyak? Apakah dia bersama Ginny yang selalu diagung-agungkannya? Apakah mereka sudah berencana kembali menjalin hubungan setelah kami resmi bercerai?
Aku merindukan Horizon. Sungguh, aku benar-benar merindukannya.
“Em .... Soal Mom yang melarangku. Itu ada kaitannya dengan depresiku. Mom sebenarnya melarangku menikah dengan Horizon. Tapi larangan itu tidak terang-terangan diucapkan. Seperti peringatan-peringatan. Waktu itu aku masih menganggap Mom itu pengekang, pengeruk harta Ayahku. Karena suatu hal, aku jadi ingin makin menantangnya. Tapi karena mengabaikan peringatan Mom, aku jadi .... Entah apa sebutannya. Semacam .... Hal yang ditakutkan dan sudah diperingatkan Mom terjadi padaku. Aku bertengkar dengan suamiku sampai kami merencanakan perceraian.”
Selain menyimak ceritaku, priskiater itu juga mencatatnya. “Bertengkar karena apa?”
“Masalahnya rumit. Masih sulit bagiku untuk bercerita.” Aku menganggaruk kepala yang tidak gatal. “Tapi maksudku, aku tidak menyangka itu akan bisa menjadikanku depresi. Padahal kupikir mentalku kuat. Guru vokalku galak, suka membentak-bentak sambil memukul tuts piano. Abuse verbal, tapi aku paham itu demi kebaikanku. Demi kemajuan vokalku. Intinya aku bisa mengerti guru vokalku. Tapi sampai sekarang aku masih belum bisa memahami kenapa aku dan Horizon jadi seperti ini.”
Aku harus mengakuinya kami cocok sekali kalau sedang akur, tidak ribut-ribut.
“Aku merindukannya. Tapi maksudku, setelah kuanalisa, semua ini bermula dari kecerobohanku yang tidak berpikir panjang. Dan aku merenggangkan hubungan antara suamiku dan mertuaku. Aku merasa bersalah sekali atas hal itu. Aku ingin minta maaf, tapi bagaimana caranya aku masih tidak tahu.”
“Dia tidak pernah menghubungimu?”
“Tidak lama ini kami bertemu di dokter kandungan untuk mengecek aku hamil atau tidak. Lalu sesuai hasil yang diharapkan dia dan Mom. Aku tidak hamil. Tapi aku tidak tahu kenapa dia marah dan itu memicu kecemasanku dan akhirnya aku sakau.”
“Kau tidak hamil itu harapannya dan Mom. Tapi apa harapanmu sebenarnya?”
“Sebuah pikiran bodoh. Seandainya aku hamil, mungkinkah kami tidak jadi bercerai karena fokus untuk merawat bayi kami?” Aku mulai tertawa miris. “Tapi itu pikiran naif. Aku sadar itu. Aku sudah bersalah pada Horizon. Tentu saja dia tidak akan sudi menghubungiku lagi atau mengubah keputusannya. Lagi pula ponselku disita Mom agar aku tidak banyak pikiran dan aku paham itu demi aku. Toh, besok lusa sidang cerai kami dimulai.”
“Tapi kita juga harus memahami bahwa anak bukanlah satu-satunya solusi. Bisa jadi akan semakin rumit bila ada kehadiran seseorang anak di saat kondisi hubungan kalian buruk.”
“Ya, aku tahu. Aku paham. Hanya saja itu bertentangan dengan hatiku. Kau tadi bertanya tentang perasaanku, kan?”
“Oh, Sky ....” Wanita paruh baya itu lantas mengulurkan tisu dan duduk di sebelahku untuk menenangkan aku. “Biasanya di sidang pertama, pengadilan akan berusaha memperbaiki hubungan kalian lagi. Jika kau ingin memperbaiki hubungan dengannya, cobalah untuk menjelaskan sejelas-jelasnya tentang apa yang kau rasakan terhadap suamimu. Tarik akar permasalahannya dan uraikan dengan jelas. Siapa tahu kalian akan berbaikan.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan benerin typo
It means a lot to me
Bonus foto:
Horizon Devoss
Skylar Betelgeuse
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Minggu, 23 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top