Chapter 47
Selamat datang di chapter 47
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you enjoy and love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Aku memang ingin mendekatimu
Karena itu aku harus menyingkirkan saingan-sainganku
—Horizon Devoss
____________________________________________________
Musim panas tiga tahun lalu
New York, 17 Juli
Pukul 08.30
“Kenapa genjrengan gitarmu tidak seenerjik biasanya?”
Lamunanku buyar. Sejenak, aku menghentikan genjrengan gitarku untuk melihat River yang sudah bergabung duduk di kursi kafe North Salem Stable. Tepat di sebelah kursiku.
“Akhir-akhir ini aku tidak punya inspirasi positif,” elakku seraya mengangkat bahu ringan.
Mana mungkin aku akan mengatakan penyebab genjrengan gitarku melambat karena melamunkan bentuk hubunganku dengan Alton yang baru saja kandas, bukan?
Ayah bilang Alton terlalu urakan untuk diriku yang juga urakan ini. Tidak ada unsur positif dari hubungan kami kecuali kesamaan karier, sama-sama urakan, sama-sama bandel, egois, dan belum ada yang dewasa. Dan kata Ayah, tampaknya hubungan kami hanya bermain-main, tidak akan menuju ke arah serius.
Berhubung lama bekerja di industri entertainmen, Ayah bertemu banyak orang. Kata beliau, alasan lain tidak merestui hubunganku dengan Alton adalah banyak artis atau musisi yang sebelas dua belas dengan Alton. Bak cenayang profesional, Ayah bisa menebak dengan akurat ke mana mereka akan berakhir dan beliau meramalkan pria seperti Alton tidak akan bisa jauh-jauh dari obat terlarang setelah sukses nanti. Sebagai orang tua, tentu Ayah tidak menginginkan putrinya terjerumus dalam hal buruk yang dapat menghancurkan masa depan.
Ayah memang membebaskanku menempuh karier apa pun, termasuk tidak mengajukan protes dalam bentuk apa pun ketika aku memilih menjadi musisi dengan penampilan yang dianggap memang tidak layak bagi sebagian orang. Namun, Ayah tetap memberi syarat. Yakni lingkunganku bergaul harus positif.
Selain semua personil The Black Skull, Ayah tidak lagi melihat lingkaran pertemanan “normal” bagiku. Maka dari itu ayah mengenalkanku pada putra-putra Mr. Thunder Devoss bernama River dan Horizon. Ayah bilang kedua putra koleganya itu tidak neko-neko seperti kebanyakan temanku. Ibaratnya, River dan Horizon itu pria normal. Maksudku, sangat ... normal. Pekerjaan mereka normal, hobi mereka normal, mereka menghadiri pesta sewajarnya, dan hal-hal normal lainnya.
Mulanya aku malas. Bukan hobiku untuk beramah-tamah dengan orang asing yang tidak satu frekuensi denganku. Aku berani menjamin pertemanan ini akan gagal karena kami akan memiliki banyak sekali oposisi.
Sayangnya, Ayah mengancam akan membuat karierku anjlok dalam semalam kalau aku tidak menurut. Dengan rekan media sebanyak itu, aku percaya Ayah mempu melakukannya. Aku sudah setengah mati berjuang hingga mencapai titik ini. Sehingga, aku tidak punya pilihan lain selain menyetujui keinginan Ayah, meski lebih asyik bermain gitar bersama kasir kafe North Salem Stable.
Ayah terus menerus mengajakku bertemu mereka di peternakan kuda itu. Mau tak mau, aku, River dan Horizon jadi sering berinteraksi guna menjalin hubungan pertemanan yang baik. Tak dinyana, hubungan kami berjalan baik.
Aku suka River karena pembawaannya hangat, mirip kakak laki-laki yang selalu mengayomi adik perempuannya. Sedangkan Horizon .... Aku tidak begitu dekat dengannya karena dia lebih tertutup, lebih pendiam, dan agaknya memang menjaga jarak dariku. Namun, Horizon sangat penurut. Meski enggan dan setiap kali melihatku alisnya bakal mengernyit lantaran sangat kentara rampung menilai gaya busanaku, dia tetap menuruti River dan Mr. Thunder untuk menyapaku. Kendati hanya berkata, “Hai,” dengan tampang dan nada lempeng.
Lalu Horizon akan asyik dengan dunianya sendiri. Yakni ke istal kuda kesayangannya dan menungganginya entah ke mana. Sering kali dia bermain polo dengan teman-temannya di lapangan yang bisa dilihat dari kafe di lantai dua—meski jaraknya agak jauh.
Sementara Ayah dan Mr. Thunder mengobrol sambil berkuda di lapangan indoor, Horizon seperti sengaja membiarkanku dengan River. Tidak ingin ikut campur urusan kami. Padahal kami sering mengamatinya dari kafe. Terutama River, yang mengomentari cara bermain polo Horizon. Kadang-kadang River jadi penonton dadakan yang hebohnya mirip menonton pertandingan kriket. Dia sering gemas sendiri dengan cara adiknya bermain layaknya pelatih yang gemas dengan cara main anak didiknya.
Suatu hari aku diajak River dan Mr. Thunder menonton pertandingan polo Horizon di kandang Manhattan Riding Club. Sedangkan Horizon sendiri bergabung di tim inti North Salem Riding Club. River dan Mr. Thunder bangga sekali pada Horizon, terutama ketika tim mereka menang Victory Cup. Mr. Thunder lantas mengajak keluarga kami makan bersama untuk merayakan keberhasilan Horizon. Sayangnya entah kenapa waktu itu aku tidak sengaja memperhatikan Horizon yang malah murung.
Yah, pikiranku malah melebar ke mana-mana. Sebaiknya aku kembali memusatkan perhatian pada River saat ini.
“Lalu kenapa tidak kau coba saja dengan inspirasi negatif?” usul pria berkaus polo biru dongker serta bercelana kuda ketat lengkap dengan bot setinggi lutut. Usul yang sebenarnya cukup bagus.
Hanya saja ....
Aku nyengir. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya mencoba untuk terlihat tidak terlalu peduli dengan pengakuan yang terpaksa kuutarakan ini. “Masalahnya aku tidak yakin baru saja putus itu termasuk inspirasi positif atau negatif.”
“Kau baru saja putus?” River memebelalak diselingi senyum tipis di bibirnya.
Aku jelas kesal. “Bukankah kau seharusnya simpati padaku, Riv?”
“Maaf .... Maaf ...,” mohonnya sembari mengatupkan tangan. “Seharusnya aku memang simpati.” River menggaruk tengkuknya dengan senyum masam kaku. “Tapi maksudku kita senasib. Aku juga baru saja putus.”
Gantian aku yang memebelalak. “Kau juga?” Meski terkesan jahat, aku tetap tertawa. Kupikir skor kami satu sama.
“Ya, seperti itulah. Hahaha .... Kenapa kita jadi adu nasib begini?”
“Sepertinya kita harus mendirikan Klub Baru Saja Putus.” Aku memperagakan tangan membentuk tanda kutip ketika menyebutkan nama klub.
River makin terpingkal-pingkal. “Idemu boleh juga, Sky. Omong-omong aku penasaran, kenapa kau putus dengannya?”
Aku memetik senar-senar gitar membentuk melodi lembut dalam ritme pelan. Tiba-tiba mendapat inspirasi lirik untuk menjahili River sekaligus berusaha mengelak dari pertanyaannya. “Just ..., guess ..., what?”
“Tidak usah kau kasih tahu. Aku akan menanyakannya pada Mr. Flint.”
“Wait! No! You can’t do that, Riv!” Jengrengan gitar dan senandungku kontan berhenti. “Alright, Mr. Flint Betelgeuse tidak menyukainya. Apa kawan reporter kita satu ini puas dengan jawaban itu?”
River menyenggol lututku menggunakan sebelah lututnya. “Oh come on. Beri tahu aku lebih detail.”
Aku balas melakukan hal serupa. “Oh rupanya reporter kita masih belum cukup puas. Masih berusaha mengulik-ulik.”
Dariku, pandangan River mengarah ke lapangan indoor. “Mr. Flint ....”
“Ok, cukup, Riv. Tidak perlu berteriak memanggil-manggil Mr. Sutradara itu.”
“Jadi?” tagih River.
“Well, orang tua mana yang suka dengan putrinya yang punya pacar anak nakal? Tapi, aku suka bad boy. You know, ada pepatah yang mengatakan: a good boy goes to heaven. But a bad boy brings heaven to you. Nah, kau pasti tahu persis apa maksudku, kan?”
Mulut River membentuk huruf O sambil manggut-manggut. “Yes, I get it. Jadi, seperti apa dia?”
Kuletakkan gitarku di dekat kaki meja. Kemudian aku mengambil ponsel di saku celanaku. Kugulung-gulung layar untuk mencari foto Alton Mason yang menurutku paling keren. Foto yang kuambil saat Lupara manggung di Kanada.
“Wow .... Rambutnya pirang gondrong, bertato, dan dia musisi sama sepertimu?” tanya River.
“Yap. Aliran rock juga. Bukankah dia keren?” pungkasku bangga. Kukatupkan mulutku rapat-rapat agar tidak tersenyum lebar bak membanggakan anak emas.
“Memang keren. Pujaan gadis-gadis New York sepertimu. Iya, kan?” River menaik-turunkan kedua alisnya. Sambil melirikku, dia lagi-lagi tersenyum tipis.
Lalu saat menyadari hubunganku dengan Alton sudah kandas, aku menyiuk. “Yah, sayangnya kami harus putus. Meski bisa dibilang kami sepakat putus baik-baik.”
Andai saja Ayah tahu yang sebenarnya, pasti tidak akan menghakimi Alton. Sayangnya, Ayah tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dariku mengenai Alton. Maksudku, Alton memang suka mencuri-curi waktu untuk mengisap ganja. Juga gemar menghadiri pesta. Tidak jarang juga dia minum alkohol padahal gaya hidupnya itu pantangan bagi penyanyi rock
Berkebalikan dengan semua sifat buruknya tersebut. Alton tidak pernah memaksaku melakukan semua yang digemarinya itu. Dia justru melarangku teler dengan barang candu satu ini. Alton sangat menjagaku. Dia memang urakan, tetapi justru berpesan padaku agar jangan sekali-kali mau memasrahkan tubuhku ke sembarang pria, terutama kalau pria itu tidak berniat serius denganku. Sedangkan dia sendiri sama sekali tidak menyentuhku secara dewasa. Kami hanya berciuman. Aku merasa dia sangat romantis.
Mungkin dikarenakan kembali dirundung awan kelabu, River menenangkan. “Sudahlah, jangan bersedih. Hidup itu terlalu singkat untuk dibuat sedih, Sky. Bersenang-senanglah selagi bisa. Kau masih muda. Nikmati masa-masa mudamu. Omong-omong pria dingin seperti Horizon juga digemari para wanita.”
Pada saat itu, aku tidak merasa aneh dengan omongan River. Terutama pada bagian “Hidup itu terlalu singkat untuk dibuat sedih, Sky.” Namun, aku justru menanggapi bagian kalimat terakhirnya. “Dia bukan tipeku. Bukan tipe gadis-gadis sepertiku.”
River tertawa geli. “Tapi kau tidak mungkin akan jadi gadis terus, kan? Suatu saat nanti kau harus jadi wanita. Meski kau selalu kuanggap adik kecil bagiku.”
Aku menjulurkan lidah sambil memutar bola mata malas sebelum menggenjreng gitarku lagi. River lantas berjanji akan mengajakku bersenang-senang dengan memecah beberapa barang di Break Page agar aku tidak cemberut terus memikirkan bad boy-ku—memang begitu katanya. Namun, beberapa waktu setelah kami pergi ke Break Page, River jatuh pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Jangan tanya bagaimana kondisi hatiku. Aku sedih sekali. Aku menyayangi River. Oleh karenanya, meski tidak tahu penyakit apa yang tengah menggerogoti tubuhnya, aku berjanji untuk selalu meluangkan waktu setiap hari untuk menjenguknya di rumah sakit. Akan kuhibur dia dengan nyanyian dan genjrengan gitarku, dengan lirik-lirik yang spontan kuciptakan. Bagian sedihnya, pascaoperasinya terkadang River tak mengenaliku. Baru ketika aku memetik senar-senar gitar, dia tersenyum bahagia dan berkata, “Wah ini dia yang kutunggu-tunggu darimu, Sky.”
Oh ... aku jadi ingin menangis. Kupikir dia akan sembuh! Dia pasti sembuh!
Selama River dirawat di rumah sakit, aku akhirnya tahu dia memiliki mantan tunangan. Meski sudah putus, mereka terlihat masih amat saling menyayangi. Mantannya itu hampir setiap hari menjenguknya. Tentu saja aku menyisihkan waktu bagi mereka untuk berduan. Siapa tahu itu support system paling ampuh bagi River. Untuk menunjang kesembuhannya.
“Terima kasih sudah datang hari ini dan menghihur River,” ucap Horizon saat aku keluar dari ruang rawat inap River. Pria itu duduk di deretan kursi di depan ruangan tersebut. “Maksudku, terima kasih karena datang setiap hari dan menghiburnya setiap hari,” lanjutnya.
Baru pertama kali itulah Horizon berbicara lebih dari satu kata kepadaku. Lebih dari “Hai” yang dilafalkan dalam nada dan wajah datar. Aku jarang mengagumi suara pria jikalau mereka bukan penyanyi. Namun, aku menyukai suara bariton Horizon yang berat, dalam, dan agak serak.
Rasanya seperti terngiang-ngiang dalam benakku.
“Don’t mention it. Aku senang melakukannya.”
Tidak lama kemudian, River meninggal. Aku memang sangat sedih karena kehilangan sosok kakak laki-laki. Namun, aku juga bersyukur sebelum dia meninggal, aku masih sempat menghiburnya.
Berbeda denganku. Di sanalah aku melihat Horizon begitu terpukul. Mr. Thunder sibuk dengan dukanya sendiri. Ayah membantu menenangkan beliau. Sementara Horizon sendirian seperi anak kecil yang dilanda kesedihan sekaligus kebingungan. Sembari berlinangan air mata, aku memberanikan diri untuk mendekati Horizon yang sesenggukan di sebelah makam River. Aku memberanikan diri untuk memeluk pria itu sebagai bentuk dukungan moral. Horizon kontan balas melingkarkan seluruh lengannya di tubuhku erat-erat bagai bayi merajuk yang baru bertemu ibunya.
Kutakan, “Tidak apa-apa, Horry. Aku di sini. Kita akan melewatinya bersama-sama. Kita pasti bisa.”
Kuusap punggung lebar Horizon. Punggung yang gemetar hebat. Pria dempal dalam balutan jas hitam ini tampak begitu nelangsa dan rapuh sampai-sampai dia merosot. Aku berusaha tetap berdiri. Namun, karena bobot tubuh Horizon yang lebih berat daripada aku menyebabkan diriku ikut terseret gravitasinya. Posisiku jadi berdiri menggunakan lutut, sementara Horizon terduduk. Dia menyembunyikan wajah penuh air matanya di dadaku.
Kuletakkan pipiku di kepalanya. “Sebaiknya kita tidak menangis berlebihan. River pasti tidak akan menyukainya,” tuturku. Kalau dipikir-pikir konyol juga aku mengatakan itu padahal sambil menangis dan bersusah payah menghapus air mata.
Sudah tidak ada River. Kupikir hubunganku dengan Horizon pasti akan mengalami kemunduran. Kupikir memeluknya di hari pemakaman River akan menjadi terakhir kalinya kami berinteraksi. Rupanya aku keliru. Adegan pelukan itu ternyata baru permulaan. Karena setelahnya, Horizon mengekoriku bagai anak anjing yang mengikuti pemiliknya.
Pertama-tama, Horizon tetap konsisten datang ke konserku. Ayah memberinya tiket gratis di kursi VVIP. Tiket yang tentu didapat dari hasil membujuk Momster. Istri Ayah tidak terlalu setuju. Sayangnya beliau kalah debat sewaktu Ayah berkata, “Horizon kelihatan sangat sedih setelah River meninggal. Dia butuh hiburan. Sebaiknya dia menonton konser Skylar. Tidak ada salahnya berteman.”
Saat itu aku mendengar Momster bergumam, “Asal tidak melebihi teman.”
Selama konser, mataku selalu tertuju pada Horizon sebab pria itu paling mencolok di antara penonton yang lain. Dia selalu mengenakan pakaian formal, kelihatan baru saja pulang kantor. Dia juga selalu diam, tidak jingkrak-jingkrak seperti penonton-penonton lain yang mengikuti alunan musik The Black Skull.
Itu aneh sekali. Bagaimana mungkin mataku tidak tertuju padanya terus? Iya, kan?
Apalagi setelah beberapa waktu, Horizon jadi makin aneh. Dia tidak hanya datang ke konserku. Melainkan membeli seluruh waktu jumpa penggemarku. Oh tidak hanya itu, dia juga merusak kencan-kencan buta yang kulakukan.
Sebenarnya, kencan buta melalui aplikasi kencan itu merupakan usul Katerine. Katanya supaya aku bisa melupakan patah hatiku kepada Alton. Padahal setelah kupikir-pikir, aku malah merasa aneh karena tidak terlalu memikirkan Alton. Dulu, selain sibuk menghibur River di rumah sakit, kini aku sibuk memikirkan keanehan Horizon.
Contohnya saat aku kencan buta di salah satu restoran Asia di Chinatown. Tanpa tedeng aling-aling atau aba-aba, Horizon bergabung ke mejaku. Kebetulan kami memilih meja di luar restoran agar dapat menikmati udara musim panas.
Tidak hanya itu. Di saat aku sibuk kaget karena kehadirannya, Horizon juga langsung menukas, “Halo, kenalkan, aku calon suami Skylar.”
Pria bertato yang notabene teman kencanku itu jelas bingung dan mengernyit. Sedangkan aku menganga. “Hei! Apa yang kau lakukan? Jangan bicara sembarangan!”
Horizon tidak menggubrisku. Dia masih sibuk menatap tajam teman kencanku. “Mohon dimaklumi. Skylar sedang agak merajuk. Jadi, beginilah dia. Senang mengujiku dengan kencan buta. Dia pikir aku tidak cemburu,” cerocosnya.
Aku langsung panik dan memberikan klarifikasi. “Tidak, tidak, tidak. Dia bicara ngawur. Sumpah. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya.”
“Ayolah, jangan seperti ini, Bae. Kalau kau tidak suka model cincin yang kuberi kemarin karena berliannya kurang besar, katakan saja padaku. Aku akan memberikanmu yang baru yang lebih besar daripada sebelumnya. Lalu kau mau apa lagi? Kapal pesiar? Baiklah, ayo kita beli.”
Teman kencanku spontan menjauhkan tubuh dan beranjak. “Hei, tenang, Dude. Dia milikmu. Kami hanya ingin berkenalan. Tidak ada yang serius di sini. Tapi aku akan pergi. Semoga masalah kalian terselesaikan dengan baik.”
“Hei, kau mau ke mana? Jangan pergi!” cegahku yang ingin mengejarnya, tetapi pramusaji terburu datang dan mengantarkan pesananku. Sementara aku kebingungan dan jengkel, Horizon malah mengangkat gelas mocktail yang kupesan sebelum menyeruputnya.
“Horizon Devoss! Bagaimana kau bisa mengatakan itu padanya? Apa kau sudah gila? Atau kesurupan?”
Dengan tampang tanpa dosa, Horizon melepas sedotan dari mulutnya dan malah berbalik tanya, “Kenapa tidak?”
“Dan itu minumanku!”
“Aku minta sedikit. Haus. Aku baru saja lari-larian ke sini tadi.”
Oh My God, anak anjing satu ini .... Memangnya itu urusanku?
“Kau tahu aku baru aja berkenalan dengannya! Lihat, dia pergi kerena salah paham. Itu semua karena salahmu, Horry!”
“Itu bagus.”
“Bagus? Kau bilang itu bagus?” ulangku jengkel.
“Ya. Aku memang ingin mendekatimu. Karena itu aku harus menyingkirkan saingan-sainganku.”
“Jangan bercanda, Devoss. Ini tidak lucu sama sekali!”
“Apa aku terlihat bercanda, Sky?”
Kau memang tidak bercanda, Horizon Devoss.
Aku membantin sembari mengamati cincin pernikahanku yang kuubah menjadi bandul kalung. Kemudian lamunanku dibuyarkan oleh suara Ayah yang bertanya, “Sudah siap?”
Kulirik koper-koper yang berserakan di pintu depan. Kutengok ke belakang sekali lagi, barangkali ada yang tertinggal.
Ayah kemudian merangkulku. “Ayo kita berangkat, Langit-ku.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan benerin typo
It means a lot to me
Bonus foto:
Horizon Devoss
Skylar Betelgeuse
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Senin, 17 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top