Chapter 46

Selamat datang di chapter 45

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you enjoy and love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Semua orang hanya menganggap benar atas dasar prespektifnya masing-masing

Horizon Devoss
____________________________________________________

Musim dingin
New York, 29 Desember
Pukul 10.40

Skylar berbaring. Perawat membantu menyingkap lapis demi lapis pakaian hangat yang dikenakannya hingga sebatas bawah dada. Ketika melihat perutnya yang cekung dengan tulang-tulang rusuk menonjol, rasanya aku ingin mengobrak-abrik tempat ini detik ini juga. Namun, tenagaku seolah-olah terserap habis oleh keadaan. Aku hampir limbung seandainya tidak berpegangan pada tepi ranjang.

Hanya dalam waktu sebulan lebih, Skylar susut mirip tengkorak hidup. Sewaktu malam Natal, aku tidak seberapa memperhatikan keseluruhan tubuhnya sebab jaket kulit yang dikenakannya pada malam itu maupun sekarang begitu gombrong—jenis pakaian kesukaan Skylar. Tidak menunjukkan satu pun lekuk tubuhnya dan amat ahli menyembunyikan tubuh kurusnya.

Jadi, kupikir tidak ada perubahan signifikan kecuali rambut hitam yang kubenci itu dan tindik di alis serta hidungnya. Perubahan kecil yang kukira sebagai bentuk apresiasi kebebasannya karena sudah tidak serumah denganku, sudah lepas dari aturan-aturanku berdasarkan suka atau tidaknya aku dengan itu.

Memang sudah sejak lama aku kecewa pada Skylar. Namun, puncaknya pada malam Natal karena dia mengatakan perjanjian kontrak pernikahan itu kepada para orang tua. Yang tidak hanya berdampak buruk pada hubunganku dengan orang tuanya, tetapi juga memperparah hubungan dengan Ayah. Sejak malam itu pula, aku belum mengobrol lagi dengan Ayah. Padahal kalau tidak, semuanya pasti kuprediksi lancar sesuai permintaannya untuk mempercepat proses perceraian.

Sejak malam Natal, aku kembali mengurung diri di ruang rahasiaku untuk melukis, melukis, dan melukis. Sampai-sampai aku tak ingat waktu jikalau Johnson tidak menelepon serta mengingatkan tentang beberapa rapat yang harus kuhadiri. Salah satu hobiku itu dapat menjadi terapi diri sendiri dari hal-hal berat yang menimpaku saat ini. Akan tetapi, setelah melihat kondisi fisik Skylar hari ini—aku belum melihat kondisi mentalnya karena memang belum tampak betul selain dia baik-baik saja sekarang, perasaanku jadi campur aduk. Gabungan dari rasa ingin marah, kasihan, dan bingung.

Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memperhatikan perawat mengolesi perut Skylar dengan jel pelumas bening. Dokter yang sudah bersiap dengan alat USG di tangan kanannya lalu berkata, “Permisi, saya akan memeriksanya.”

Menggunakan alat tersebut, dokter menekan-tekan sambil menggeser-geser perut Skylar untuk mencari-cari letak rahim. Sementara fokus pandangan dokter mengarah pada layar komputer yang tergabung dalam perangkat USG. Ada pula sebuah LSD besar yang terhubung dengan komputer dokter, yang menampilkan hasil USG sama persis. Letaknya di depan ranjang rumah sakit tempat Skylar berbaring sehingga aku, Skylar, dan Momster dapat dengan jelas melihat hasil USG.

Dari perangkat USG itu, dokter dapat memotret rahim Skylar. Menggunakan kursor komputer di tangan kirinya, pria itu lantas menerangkan, “Ini rahim Mrs. Devoss. Jika kita lihat, di sini tidak ada penebalan dinding rahim. Juga tidak ada detak jantung janin yang terdeksi. Biasanya kalau ada janin, dinding rahim akan menebal dan ada sebuah titik yang kalau kita fokuskan, akan menghasilkan suara dan grafik detak jantungnya. Jadi, sekarang ini Mrs. Devoss tidak hamil. Tapi semuanya tampak normal.”

Skylar tidak hamil. Aku mengulangi kalimat itu dalam benakku dan menunggu reaksi hatiku, tetapi yang menyahut adalah otakku. Bahwa itu sesuai harapanku. Akan lebih mudah bagi kami untuk tidak memiliki keturunan ketika proses perceraian seperti ini. Aku tidak ingin anakku dan Skylar memiliki orang tua yang bercerai. Itu akan sangat mempengaruhi daya kembang anak.

Di luar konteks keadaan hubungan kami yang sekarang pun, secara logika, dengan kondisi fisik dan mental—buruk seperti yang dikatakan Skylar tadi, lebih baik dia tidak hamil. Orang awam pun sudah tahu itu terlalu berisiko. Jadi, bisakah aku melepas napas lega seperti yang dilakukan Momster saat ini? Namun, kenapa aku justru nyaris tidak bisa bernapas dengan benar? Seperti ada tangan tak kasat mata yang mencekikku.

Tatapanku mengarah pada Skylar yang berwajah tanpa ekspresi. Aku sangat penasaran isi dalam batok kepalanya, terutama hatinya. Bahagiakah? Legakah? Sedihkah? Atau apa?

Saat aku impulsif membantunya duduk, Skylar berhenti bergerak untuk melihat lenganku yang merangkul punggungnya. Dia lalu mengangkat pandangan untuk menatapku. Seolah-olah memberi kode peringatan agar tidak perlu repot-repot membantunya.

Aku mengabaikan peringatan itu. Sudah bersiap ketika Skylar mencoba protes, menolak, atau melawan. Syukurlah dia tidak melakukanya dan membiarkanku menuntunnya duduk di kursi bersamaku dan Momster. Aku bak suami siaga. Dan Momster segera membantunya memakai kacamata hitam serta masker, bak ibu perhatian.

Keluarga kami sedang menjalankan peran menjadi keluarga sempurna. Sangat memuakkan.

“Jangan berkecil hati, Mrs. Betelgeuase, Mr. dan Mrs. Devoss. Anak akan hadir di waktu yang tepat. Mental ibu juga sangat berpengaruh dalam hal ini. Jangan dijadikan beban. Saran saya kalau Mrs. Devoss ingin segera hamil, lebih baik menyembuhkan depresinya dulu dengan ditangani dokter yang ahli di bidangnya sambil didampingi keluarga. Lebih-lebih sampai terkena eating disorder yang membuat berat badan Mrs. Devoss di bawah idealnya. Akan sangat berbahaya bagi janin yang dikandung oleh ibu dengan kondisi seperti Mrs. Devoss.

“Dan saya mohon jangan berhenti berusaha untuk makan. Terutama makan makanan bergizi yang sangat penting untuk menutrisi tubuh. Coba dengan makan es krim, sorbet, gelato, atau sejenisnya dulu. Kalau benar-benar masih tidak bisa dan badan rasanya sangat lemas, saya sarankan untuk rawat inap. Kalau nutrisi sudah terpenuhi, pasti siklus menstruasi akan lancar kembali dan rahim akan lebih siap menerima janin. Di situlah nanti kami bisa membantu untuk menjalankan program hamil. Tapi saya akan tetap meresepkan vitamin penunjang daya tahan tubuh Mrs. Devoss,” terang Dokter.

Aku sama sekali tidak menyela atau menanggapi penjelasan dan saran dokter. Pandanganku kosong dan benakku semrawut. Memikirkan Skylar yang katanya depresi berat sampai tidak bisa makan dan harus mengkonsumsi obat penenang. Bukankah semestinya Skylar menikmati masa-masa kejayaannya sebagai musisi sukses dan meraih sedikit kebebasannya saat pisah dariku? Bukankah semua itu sesuai keinginannya? Lalu kenapa dia sampai depresi?

Sesi pemeriksaan dan konsultasi selesai. Ketika kami berduyun-duyun hendak keluar ruang memeriksaan, tiba-tiba sang perawat memanggil Skylar.

“Maaf mengganggu sebentar,” pungkasnya. “Saya tahu ini kurang etis, tapi mumpung di sini, bolehkah saya minta tanda tangan?”

“Maaf, putri saya tidak—”

Sure, I can.” Dengan cepat Skylar memotong pembicaraan Momster. “Where should I sign?”

Aku tidak bisa lagi membaca ekspresi Skylar yang tertutup kacamata hitam dan masker. Dari nadanya, dia tampak sekali ingin melawan setiap kata yang diucapkan Momster.

Dari sungkan, senyum perawat mengembang. “Di sini. Di baju lengan perawat saya,” tunjuknya.

Skylar mengambil spidol hitam permanen yang diulurkan perawat lalu menandatangani lengan baju wanita itu dengan penuh semangat.

“Terima kasih. Omong-omong saya sangat menyukai lagu baru The Black Skull dengan Lupara. Benar-benar sebuah karya seni. Dan saya harap Anda segera pulih sehingga bisa segera menjalankan program hamil,” harap perawat dengan senyum tulus. Dia menatap kami bertiga secara bergantian.

“Terima kasih doanya. Kami keluar dulu,” balas Skylar.

Di depan ruang pemeriksaan, Momster mengingatkan Skylar. “Kurang bijak menanggapi perawat yang minta tanda tangan, Sayang. Bagaimana kalau semua orang tahu-tahu minta tanda tangan?”

Skylar menghela napas. “Aku sudah lupa rasanya memberi tanda tangan ke para penggemar karena dua tahun belakangan seseorang membeli waktu jumpa penggemarku di setiap konserku. Jadi, bisa dibilang aku kadang merindukan momen yang hilang itu,” sindirnya. “Well, soal pemeriksaan. Lihat, seperti yang kalian harapkan. Aku tidak hamil. Kalian boleh bernapas lega sekarang. Tidak ada beban yang harus dipikirkan lagi.”

“How could you say that, easily?” geramku dengan suara setengah berbisik, tetapi penuh penekanan. Kupegang kedua pundak kurus Skylar dan mengguncangnya agak kencang sebab amarahku yang naik tidak bisa kukontrol. Yang sejujurnya tak bisa kupahami, alih-alih menyetujui pendapatnya tentang satu beban ini yang sudah bisa dilewati.

Momster sontak melerai dan berdiri di tengah-tengah kami. “Apa yang kau lakukan, Horizon? Lepaskan putirku. Kau menyakitinya. Lagi pula, apa kau tidak ingat ini tempat umum?”

Aku tidak peduli di mana sekarang kami berada. Kepalaku benar-benar ingin meledak. Aku yang tidak memutus kontak mata dengan Skylar pun menukas, “Bagaimana kau bisa dengan entengnya berkata tidak ada beban yang harus dipikirkan lagi sementara kondisimu dan kita seperti ini?”

“Horizon! Demi Tuhan! Hentikan ini!” cegah Momster sambil celingukan.

“Kurasa tidak ada lagi yang perlu kita diskusikan. Jadi, aku pergi dulu. Sampai jumpa.”

“Kau tidak bisa pergi begitu saja. Kita perlu bicara, Sky!”

Aku ingin mengejar Skylar, tetapi Momster kembali menahanku dengan menghalang-halangi setiap langkahku. “Biarkan putriku pergi! Apa kau masih tidak mengerti juga kalau sebulan belakangan ini dia depresi? Kenapa kau masih berusaha mengintimidasinya juga?”

Aku mendesis jengkel. Tidak mendapat celah untuk kabur lantaran beberapa petugas medis sedang berlalu-lalang mendorong kursi roda yang diduduki ibu hamil besar. Kami terpaksa menyingkir ke sisi bangunan, mengarah pada taman berselimut salju.

“Bagaimana aku bisa mengetahuinya kalau dia pergi dan memutus semua komunikasi dariku sejak saat itu?” tandasku yang terpaksa meladeni Momster.

“Dan kau masih tak ada pikiran kalau yang menyebabkannya depresi adalah dirimu?”

“Diriku?” ulangku tak terima. “Memangnya apa yang telah kuperbuat padanya?”

“Kau menikahinya karena permintaan River. Kau seharusnya introspeksi diri kenapa dia sampai kabur darimu! Sudah bagus dia kabur darimu daripada dia bunuh diri! Kau memang bajingan. Tapi aku senang kalian beberapa hari lagi akan resmi bercerai. Putriku jadi bisa fokus pada kesehatan mentalnya yang kau buat babak belur!” desis Momster yang sama-sama jengkel. Rupanya wanita ini juga tidak lagi peduli di mana kami berada dan beberapa pasang mata yang menatap kami penasaran kenapa ada dua orang dewasa perang kata di tengah hujan salju tipis.

“Tidak adil menghakimiku atas dasar itu. Bagaimana dengan dia sendiri? Dia menikahiku karena resor ibunya, karena kau ingin menguasainya. Tidakkah penyebab dari kekacauan ini adalah kau? Kenapa hanya aku yang disalahkan?” tuduhku berdasar. “Bahkan dia yang menyebabkan hubunganku dengan Ayahku kembali renggang.

“Lalu tiba-tiba dia mengatakan telah depresi selama sebulan padahal dia yang meminta cerai dariku sejak saat itu. Kenapa semua itu jadi salahku? Bagaimana dengan mentalku sendiri? Tidak adakah yang peduli dengan mentalku? Kalau kau hanya memperkeruh keadaan, lebih baik diam. Tidak perlu ikut campur urusanku dengan Skylar seakan-akan kau peduli padanya.”

“Oh, tentu aku akan ikut campur. Karena aku peduli padanya. Karena dia putriku dan aku orang tuanya.”

“Dia bukan putri kandungmu! Kau hanya orang tua sambung yang tidak dekat dengannya. Seharusnya kau tahu posisimu!”

“Memang! Tapi aku pernah menjadi surrogate mother-nya. Aku pernah mengandungnya selama beberapa bulan. Aku lebih dari ibu sambungnya. Jadi, tak peduli sebenci apa pun dia padaku, tak peduli dia tahu fakta ini atau tidak, aku akan tetap berusaha melindunginya dari bajingan sepertimu. Camkan itu, Horizon. Aku tak akan membiarkanmu mengintimidasinya! Aku tak akan membiarkanmu menemuinya lagi selain di sidang cerai kalian nanti.”

Dasar wanita keparat! Ingin sekali kucekik wanita ini sampai mendelik dan tak bernapas seandainya tidak ingat kalau membunuh itu dosa dan berisiko dipenjera. Jadi, kubiarkan Momster pergi. Sebab di sisi lain aku merasa seolah-olah ada palu raksasa yang memukul perasaanku.

Aku membuang karbon dioksida secara brutal guna meredakan emosi. Lalu aku menunduk sembari memegangi sebelah lutut. Tanganku yang satunya menggerapai deretan kursi di belakangku. Kursi taman berbahan besi itu diselimuti salju. Tanganku yang telanjang dapat merasakan betapa dinginnya benda itu. Namun, perlahan-lahan aku tetap duduk sambil menunduk dan menekan pangkal hidung.

Kenapa River harus pergi lebih dulu? Kenapa aku harus dituduh menyebabkannya meninggal? Kenapa aku harus memiliki perasaan bersalah yang tertancap dalam-dalam di diriku sehingga harus menuruti permintaan terakhirnya? Dan kenapa di saat aku sudah melakukan penebusan dosa itu, keadaannya malah seperti ini?

Aku lelah sekali menghadapi ini. Lelah sekali. Tidak hanya fisik, tetapi juga mental dan hati.

Aku iri setengah mati kepada Skylar yang memiliki orang-orang yang mencintainya dan peduli padanya di saat terpuruk seperti ini. Aku iri dia memiliki Ayah terbaik seperti Mr. Flint. Aku bahkan iri karena Momster yang notabene dibencinya mati-matian membelanya. Sedangkan aku tidak memiliki seorang pun yang seperti itu.

Beberapa minggu setelah River meninggal, Ayah menceritakan padaku yang sebenarnya tentang Ibu. Bahwa Ibu belum meninggal. Wanita itu menginggalkan kami setelah aku lahir. Ayah mengarang kebohongan tentang kematian ibu pada semua orang agar aku tidak sedih. Dan sekarang, di saat seperti ini, aku ingin sekali membunuh wanita yang melahirkanku ke dunia itu karena meninggalkanku. Aku ingin meneriakinya bawah meskipun telah tumbuh dewasa, aku juga butuh sosok Ibu. Aku juga butuh sosok Ayah. Bukan hanya status, tetapi figur nyata. Aku ingin keduanya mendukungku, membelaku dan menjadi sandaranku di saat aku ada masalah berat.

Tidak ada yang peduli bagaimana mentalku selama menghadapi perceraian, kecuali Ralph— yang sekarang telah menjaga jarak dariku sejak mengakui dia menyukai Skylar.

Semua orang munafik. Semua orang hanya menganggap benar atas dasar prespektifnya masing-masing. Semua orang pasti akan menganggap aku dan Skylar akan jadi penambah data statistik angka peningkatan perceraian di New York. Yang dianggap sebagai hal lumrah.

“Horizon Devoss?”

Kuseka ingus dan kuusap wajah kasar sebelum melihat siapa yang memanggilku. “Jameka Michelle?” gumamku yang masih setengah tak percaya. Aku harus berusaha menenangkan diri di hadapan orang asing.

“Apa yang kau lakukan di luar sini?” Wanita itu celingukan.

Berhubung bingung harus menjawab apa, aku berbalik tanya, “Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?”

Wanita dalam balutan mantel wol krem itu membenai topi rajutnya dan menyembunyikan kedua tangannya yang bersarung tangan ke balik mantel. “Well, hari ini kebetulan aku ada sedikit urusan bersama adikku. Setelah urusan kami selesai, dia ada urusan lain. Jadi, aku memutuskan mengunjungi tempat-tempat kesukaanku dan River dulu. Aku baru saja dari North Salem Stable. Ini rute terakhir sebelum ke River.”

Aku dibuat bingung. “Tapi ini rumah sakit ibu dan anak.”

“Ya, aku tahu.” Jameka lantas membelokkan topik. “Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Apa menunggu istrimu di tengah hujan salju?” Wanita itu kembali celingukan. “Di mana dia?”

Disinggung soal Skylar, aku kembali murung dan tidak ingin menjawabnya. Jadi, aku mengelak, “Kau baru tiba atau sudah mau mengunjugi River?”

Jameka tidak langsung menjawab, mungkin berpikir kenapa aku tidak ingin memberi jawaban atas pertanyaannya. Namun, aku tahu dia tipe wanita yang peka dan pengertian. Anggap saja kami satu sama karena tidak menceritakan apa urusan kami berada di sini.

“Ya. Tadinya aku baru mau mencegat taksi di depan. Tapi aku tidak sengaja melihatmu. Jadi, aku ke sini untuk memastikan itu benar kau atau tidak.”

“Kalau begitu, boleh aku ikut ke River?”

“Kau tidak ada kerjaan?”

“Aku mengosongkan jadwalku hari ini.”

“Baiklah. Ayo kita ke sana bersama-sama. Ajak juga istrimu.”

Akhirnya aku mengaku, “Sebenarnya dia sudah pergi. Tapi aku ingin duduk dulu di sini untuk merenung.”

Sudah kukatakan sebelumnya bahwa Jameka ini sangatlah peka. Meski aku tidak mengatakan semuanya, tetapi wanita itu sangat bisa mencium kemelut rumah tanggaku. “Apa kau mau membicarakan renunganmu denganku? Kelihatannya tidak ada yang bisa kau ajak bicara.”

Bolehkah aku membagi masalahku dengan Jameka? Dia memang orang asing, tetapi bukan benar-benar asing.

“Kalau kau tidak keberatan sama sekali.”

“Kau adik River. Mana mungkin aku keberatan? Bagaimanapun, kita dulu hampir menjadi saudara ipar. Jadi, jangan anggap aku orang lain.”

Hujan salju sudah reda ketika kami tiba di Billing Road Cemetery yang berkabut dan tidak banyak pengunjung. Kami membeli sebuket bunga sebelum ke sini. Saat di makam kakakku, kami tidak berbicara satu patah pun. Kami sama-sama merindukan River. Mungkin kami larut dalam kenangan masing-masing kala bersamanya.

Setelah dari River, kami pergi ke kafe terdekat. Jameka memesan dark chocolate panas. Dan aku mengikutinya karena sebenarnya masih tidak berselera makan ataupun minum. Hanya saja aku butuh membasahi tenggorokanku yang kering.

“Sebenarnya kami akan bercerai. Tadi kami mengecek kondisi dia hamil atau tidak. Hasilnya negatif,” ceritaku setelah pramusaji yang mencatat pesana kami pergi.

“Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa selain turut bersimpati. Tapi, kenapa kau bercerai? Padahal sebelumnya aku sangat kaget kau menikahi Skylar. Sejujurnya aku sempat cemburu padanya, tapi kakakmu bilang dia berharap kaulah yang menikah dengan Skylar. Dan dia hanya berusaha mendekatkanmu dengan Skylar. Tapi seingatku dulu, kata River kau punya tunangan.”

“Ya. Seperti yang kau lihat, aku memutus tunanganku untuk menikahi Skylar.”

“Kau mau menceritakan kenapa sampai mau bercerai?”

Entah kekuatan magis apa yang dimiliki Jameka sampai-sampai aku bisa menuangkan seluruh isi hati dan kepalaku. Mungkin, meski dulu aku membencinya karena telah merebut cukup banyak waktuku dengan River, sebagian kecil hatiku menganggap dia adalah kakak perempuanku.

Jameka mula menanggapi, “Sebentar, Horizon. Kau masih berhubungan dengan mantan tunanganmu?”

“Ya. Tapi aku tidak selingkuh. Aku bisa menjaminnya.”

“Tapi selama ini kukira kau sudah tahu soal dia. Jadi, akhirnya kau memutuskan menuruti saran River?”

Sebelah alisku naik. “Tahu soal apa?”

Jameka jelas kaget. “River dan Ayahmu belum memberitahumu?”

“River sudah meninggal. Dan kau baru saja kuberitahu soal hubunganku dengan Ayahku.”

“Dulu River memang sangat kesulitan mengatakannya padamu. Takut responsmu. Tapi saat menikahi Skylar, kupikir kau sudah tahu soal ibu kalian yang setelah melahirkanmu kabur karena berselingkuh dengan ayah mantan tunanganmu.”

“Apa?”

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan benerin typo

It means a lot to me

Bonus foto:

Horizon Devoss terbengong-bengong gaes

Skylar Betelgeuse nanem kebahagiaan dulu nggak sih

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Jumat, 14 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top