Chapter 45
Selamat datang di chapter 45
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you enjoy and love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
We were a masterpiece that turned into a tragedy, a love story left unfinished
—Someone in somewhere
____________________________________________________
Musim dingin
New York, 24 Desember
Pukul 21.01
Setelah Horizon membanting pintu rumah Ayah, aku tidak bisa mencegah air mataku berhenti berproduksi secara masal. Butiran-butiran bening itu terus-menerus bergelinciran di pipiku. Membuat tubuhku yang menggigil jadi panas kembali dan gemetar hebat.
Dilema mulai mengusaiku. Benakku memaksa untuk mengejar Horizon. Namun, hatiku mati-matian mencegah lantaran merasa tak pantas lagi bersanding dengannya. Diperhatikan dari gestur dan caranya menatapku tadi, Horizon jelas membenciku. Aku pun tidak bisa mengalahkannya karena akulah penyebab kekacauan ini terjadi.
Aku memeluk lutut menggunakan sebelah lenganku. Sedangkan tanganku yang lain meremas bagian depan gaunku. Aku menepuk-nepuk dadaku. Rasanya sakit sekali. Terutama saat kesadaranku terus bertambah bahwa aku telah menyakiti Horizon begitu rupa. Aku telah menyebabkan Horizon bertengkar dengan satu-satunya orang tua yang dimilikinya.
Di sisi lain, aku khawatir setengah mati dengan keadaan Horizon sekarang. Dengan siapa pria itu akan melewati malam ini serta bagaimanapun caranya untuk menenangkan diri, aku hanya bisa berdoa sekencang-kencangnya supaya Horizon baik-baik saja.
Kemudian Momster datang dan menyentuh pundakku, “Sayang, sebaiknya jangan menangis. Tenangkan dirimu demi kebaikanmu.”
Dorongan kuat ingin meneriaki Momster bahwasanya sumber dari segala sumber masalah sebenarnya adalah dirinya mengalir deras dalam diriku. Seandainya wanita itu tidak menginginkan resor ibu, aku tentu tidak akan mau menikahi Horizon. Yang kemudian membuatku jatuh cinta pada pria itu serta berakhir seperti ini.
Sayangnya aku tidak bisa. Perutku bertambah mual dan melilit sehingga aku spontan berlari ke kamar mandi terdekat untuk memuntahkan seluruh makan malamku.
“Uhuk ... uhuk ....”
“Apa kau sudah merasa lebih baik?” tanya Momster. Yang tak kusangka-sangka, selain memegangi rambutku, beliau juga membantuku menekan tombol flash karena aku tidak memiliki tenaga untuk menggerapainya. Beliau mengambil tisu dan mengelap mulutku. Tidak hanya itu, beliau pun menyingkirkan anak-anak rambut yang lengket dari wajahku yang basah. Kemudian mengelap air mata dan keringatku.
Aku duduk lemas di lantai sambil bersandar di toilet untuk melanjutkan tangisku. Kondisi ini mengingatkanku akan masa kecil saat aku sakit. Ibu ada untukku. Dan mengingat sosoknya yang penyayang menjadikan rasa rinduku meluap-luap. Seandainya masih hidup, Ibu pasti akan melewati ini bersamaku dan dapat mengobati seluruh sakit hati yang kurasakan saat ini.
Kemudian tanpa tedeng aling-aling, Momster berjongkok dan memelukku. “Oh, Sayang .... Kemarilah. Mommy di sini, Sayang. Mommy di sini,” gumamnya persis Ibuku dulu. Tangisku makin menjadi-jadi. Tidak peduli seberapa bencinya aku terhadap Momster, kubalas pelukannya. Wanita paruh baya itu pun mengusap-usap punggung dan rambutku.
Kuakui perannya kali ini tepat sekali. Yakni sebagai ibu yang ada untuk putrinya yang membutuhkan sandaran karena terkena masalah berat.
“Kau harus kuat, Sayang,” tukas Momster lagi yang kemudian merentangkan jarak di antara kami untuk menatap mataku lekat-lekat seperti ingin menularkan kekuatan. Sambil memegangi sebelah wajahku dan menyingkirkan anak-anak rambut, Momster mengusap air mataku serta melanjutkan, “Dengarkan aku. Kalau rumah tanggamu gagal, kau harus kuat dan bergerak maju. Aku tahu kau kuat. Kau masih muda, enerjik, kariermu bagus, kau cantik dan menarik. Pasti banyak pria yang mengantre ingin menghabiskan seluruh hidupnya denganmu. Pria yang benar-benar mencintaimu. Percayalah padaku.”
Bagaimana kalau satu-satunya pria yang kuinginkan adalah Horizon Devoss?
Namun, aku tahu itu mustahil. Horizon sudah membenciku dan sebentar lagi kami akan bercerai.
Aku tak bisa berkata-kata untuk menjawab Momster selain mengeluarkan air mata mirip balita. Momster lantas merangkulku untuk bangkit dan menuntunku agar duduk di sofa ruang keluarga yang terletak di dekat dapur. Aku meringkuk mirip anak kucing ketika beliau mengambilkan dan memberikan segelas air mineral padaku.
“Minumlah biar kau tenang.”
Tanganku masih gemetar saat menerima gelas tersebut. Jadi, dengan sigap Momster mengambil alih gelas itu lagi. ”Take a deep breath, Sayang. Take a deep breath ....”
Sebisa mungkin aku mengikuti perintah Momster.
“Exhale .... Inhale .... Ulangi beberapa kali .... Sampai kau merasa agak tenang.”
Aku memejamkan mata sembari menarik dan mengeluarkan napas sesuai instruksi Momster. Perasaan tenang perlahan-lahan datang. Mungkin dikarenakan merasa agak lebih kondisional, beliau menuntunku minum. “Minumlah pelan-pelan,” ucapnya seraya mengusap-usap punggungku lembut.
Seusai menggelontor tenggorokan, aku berusaha untuk lebih menenangkan diri. “Terima kasih, Mom.” Suaraku serak, pelan, dan bindeng ketika mengatakannya.
Momster meletakkan gelas di meja rendah depan kami. Kami lantas saling diam. Mungkin sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sofa beludru merah tanpa lengan di ruang tengah yang kami duduki menghadap pintu-pintu kaca yang menyuguhkan pemandangan taman dan kolam renang. Kebetulan sekali rumah yang terletak di townhouse The Royal Borough di Long Island ini menghadap laut. Sehingga taman dan kolam renang berlatar belakang kelap-kelip kota New York.
Aku menatap salju yang melayang-layang di udara sampai akhirnya menyentuh tanah taman rumah ini. Sebelahnya, ada kolam renang yang ditutup alas terpal. Jelas sekali tidak digunakan pada musim dingin. Mungkin airnya sudah beku sebab salju yang turun di terpal itu kelihatan tebal sekali, tetapi posisi air tetap bisa menyangganya.
Pintu kaca itu memantulkan diriku dan Momster. Gambaran sosok kami agak buram sebab membelakangi perapian. Lamat-lamat, pada refleksi itu aku melihat diriku dalam posisi meringkuk tanpa alas kaki yang rupanya tidak sadar telah bersandar pada beliau. Aku sudah tidak menangis walau masih muram. Mungkin itu akibat ketenangan Momster yang tidak memutus usapan lembutnya di punggungku. Sesekali beliau merapikan rambut hitamku yang berantakan.
Dua sosok yang kulihat itu bak ibu dan anak perempuannya sungguhan. Tidak tampak mereka tidak sedarah.
“Mungkin aku akan di sini sebentar sampai benar-benar tenang baru pulang,” gagasku pelan.
“Sebaiknya kau bermalam di sini. Kondisimu lemah. Ingat, kau baru saja muntah-muntah.” Kemudian seperti baru menyadari sesuatu, Momster melepaskanku dari rengkuhannya. “Akan kutelepon dokter. Lalu baru kuberitahu Ayahmu setelah dia berhasil menenangkan Ayah Horizon.” Berikutnya beliau celingukan. Tangannya meraba-raba sekitar sofa. “Di mana kutaruh ponselku tadi?”
“Mom, tidak perlu menelepon dokter. Aku—”
“Apanya yang tidak perlu?” sela Momster sengit. “Di mana kutaruh ponselku tadi?” gumamnya lagi, celingukan dan masih kelihatan bingung. Jauh berbeda dengan Momster yang kukenal selalu tenang bagaimanapun situasinya. “Kondisimu benar-benar mengkhawatirkan, Sayang.”
“Tidak perlu, Mom. Aku sudah agak tenang sekarang,” tolakku masih dengan nada lemah.
Kami saling menolak. “Tidak. Kita butuh dokter untuk memastikan keadaanmu, Sayang.”
“Sungguh. Aku baik-baik saja. Mom, aku benar-benar sudah agak lebih baik sejak kau memelukku tadi,” akuku sebenarnya agak malu karena merasa tidak tahu diri. Maksudku, selama ini aku membencinya. Lebih-lebih dengan apa yang telah dilakukannya padaku. Namun, perlakuannya barusan telah bisa melunturkan rasa benci itu, kendati sedikit.
Dari panik sambil celingukan mencari ponsel, Momster sontak berhenti untuk menatapku. Beliau membelalakkan mata sedikit, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. “Benarkah itu berhasil?”
Aku mengangguk. “Ya. Karena itu terima kasih. Pelukanmu dan semua yang baru saja kau lakukan, membuatku agak tenang, Mom.”
Momster menutupi mulut menggunakan kedua tangan. Matanya tampak berkaca-kaca. Masalahnya, dia Momster yang selalu paripurna. Tak pernah sedikitpun terlihat emosional. Tatanan rambut, riasan, gaun yang dikenakan, aksesoris, dan sepatu. Semuanya dipilih secara cermat sehingga menampilkan kesan sempurna. Kesan wanita yang memilki kekuatan, kemandirian dan feminisme. Contoh empirik bagi wanita-wanita muda. Namun, di titik ini beliau seolah-olah meruntuhkan tembok ketenangannya.
Suasana haru ini mulai menular padaku. Aku lantas menggeleng-geleng pelan. “Ayolah, Mom. Kau menyuruhku berhenti menangis. Aku sudah berhenti menangis. Kenapa jadi kau yang ingin menangis? Tolong jangan menulari kesedihan padaku lagi. Kupikir sudah cukup untuk hari ini.”
Bukannya berusaha tegar, Momster malah menumpahkan air mata. “Skylar, maafkan aku, Sayang .... Karena aku, semua ini terjadi padamu. Oh, putriku ....”
Jantungku berdebar kencang karena terkejut mendengar permintaan maaf Momster. Namun, aku tidak berani membalas dengan kata-kata sebab takut kalimat-kalimat yang kuucapkan akan jadi tidak terkendali. Meski dengan jujur aku mengakui telah menanti-nantikan permintaan maaf dari Momster, tetapi aku tidak sampai hati mengolok-olok beliau. Bagaimanapun, Momster baru saja menjalankan perannya dengan benar sebagai ibu sambung.
Mungkin dikarenakan merasa aku bungkam, Momster jadi melanjutkan, “Tapi aku perlu meluruskan sesuatu.”
Kenapa seseorang yang jelas-jelas salah selalu perlu meluruskan sesuatu?
“Meluruskan apa?” tanyaku pelan sekaligus penasaran.
Momster membersit hidung. “Selama ini kau mungkin salah paham denganku.”
“Salah paham bagaimana?”
“Percayalah, aku pandai membaca raut wajah seseorang. Aku bisa merasakan kebencianmu terhadapku sampai kau bersandar padaku tadi. Kebencian itu seperti sudah menguap dan hilang. Tapi itu sepertinya tetap tidak bisa mengubah pandanganmu tentang kesalahpahamanmu, Sayang.”
Aku malu sekali sebab seluruh hatiku bisa dibaca dari raut wajahku oleh Momster. “Maafkan aku,” ucapku. Namun, aku tidak tahu maksud dari salah paham itu sendiri.
“Tak perlu minta maaf. Bukan salahmu kau jadi membenciku. Itu karena aku yang tidak bisa mengungkapkan kejujuran tentang aku tahu soal permintaan River kepada Horizon.”
“A-apa?” tanyaku terbata-bata.
“Aku tidak sengaja mendengarnya saat aku ingin mengambil lipstikku yang tertinggal di kamar inap River waktu itu. Aku jadi mengurungkan niat mengambilnya. Lalu tiba-tiba setelah River meninggal, Horizon benar-benar mengejarmu. Padahal aku tahu dia punya tunangan. Maka dari itu aku selalu mengatakan padamu kalau Horizon tidak seperti yang kau pikirkan. Sebaiknya kalian tidak menikah. Aku mengarang alasan kau sibuk tur di Asia. Tapi kau mengabaikan peringatan-peringatanku. Baru tadi aku tahu rupanya dia mengaku rela memutus tunangannya demi permintaan terakhir River.”
Ya Tuhan .... Harus berapa fakta mengejutkan lagi yang kuterima hari ini?
“Mom ... bisakah kita berhenti membicarakan ini? Aku merasa tidak sanggup,” pintaku.
Momster tidak mengindahkanku. Sambil menangis, beliau terus bercerita, “Dan soal resor itu. Aku ingin mengelolanya karena ingin segera menyelematkannya. Aku hanya berniat membantu. Tidak lebih. Tapi tiba-tiba Ayahmu memiliki keinginan meminta bantuan Horizon yang ahli dalam hal ini untuk mengelolanya. Karena Ayahmu sibuk bekerja, ayahmu khawatir akan dirimu. Kukatakan aku akan menjagamu, tapi sepertinya Ayahmu lebih tenang kalau Horizon yang menjagamu sebagai suami. Karena Ayahmu hanya percaya pada Horizon ketimbang Alton Mason.”
“Sudah cukup, Mom. Sudah cukup. Tolong hentikan—”
“Maka dari itu aku mencari-cari siasat. Karena tidak bisa mencegahmu yang merencanakan menikah dengan Horizon, aku sengaja menghubungi manajer Lupara dan mengadakan kolaborasi dadakan. Agar kau bisa dekat dengan Alton lagi. Karena aku bisa melihat, meski Ayahmu sangat membenci Alton karena pria itu tidak memiliki etika yang baik, tapi dia pria yang tulus mencintaimu.”
“Iya, aku paham, Mom. Tolong sudah—”
“Dan rencana ke dokter kandungan besok itu .... Aku sangat berharap kau tidak hamil anak Horizon sebab itu akan sangat menyiksamu di saat harus bercerai dari Horizon.”
Emosiku naik. Aku seketika bangkit dan memekik di hadapan Momster sambil menuding-nudingnya! “Sudah cukup, Revina! Kau keterlaluan! Kau memang kejam! Ini semua memang salahmu! Padahal aku baru saja mengubah presepsiku padamu setelah mendapatkan pelukanmu! Tapi kau malah mengacaukannya! Aku benar-benar benci padamu, Revina! Aku tidak pernah sudi kau jadi ibuku!”
Setelah mengatakan itu, aku mengemasi barang-barangku lalu pergi dari rumah Ayah. Tak menoleh sedikitpun pada Momster yang mengemis permohonan maaf sambil menangis pilu.
Di tengah salju yang turun lebat sekali, aku berjalan sejauh beberapa blok agar mencapai jalan utama. Aku menangis lagi dan lagi. Saat berhasil memberhentikan taksi, sopirnya jelas tampak terkejut melihat keadaanku. Dia yang tadinya dengan ceria mengatakan selamat malam sontak berdeham. Kukatakan padanya di mana alamatku agar dia bisa mengantarku.
Sepanjang perjalanan kami diam. Hanya suara radio yang disetel volume rendah yang menemani kami. Baru pada waktu setengah jalan, sopir itu bertanya, “Bukankah kau vokalis The Black Skull?”
Dengan spontanitas tinggi, aku mengelap kasar air mataku dan membuang muka ke luar jendela. “Bukan. Aku salah satu penggemar yang memang berpakaian mirip dia.”
“Tapi suaramu—”
“Kubilang bukan!” semprotku jengkel. Menyadari sikapku yang keterlaluan, aku lantas meminta maaf. “Maafkan aku. Aku hanya .... Kau tahu, melewati Natal yang buruk. Karena itu, bisakah kau mengantarku ke alamat yang kuberikan saja dan jangan mengatakan apa pun lagi?”
Musim dingin
New York, 29 Desember
Pukul 09.20
Ada sebanyak 20 panggilan dari Katerine, 13 dari Momster, hampir 50 dari Ayah, dan mungkin beberapa ratus panggilan serta pesan lainnya dari sahabat dan kerabat dekatku. Namun, tidak ada satu pun panggilan atau pesan dari Horizon.
Aku mengurung diri di apartemen selama dua hari. Jelas melewati janji dengan Momster dan Horizon ke dokter kandungan lantaran masih ingin menyendiri dan menenangkan diri.
Ayah, Katerine dan Lea jelas khawatir, tetapi kukatakan pada mereka melalui pesan bahwa aku baik-baik saja. Aku hanya ingin menenangkan diri di suatu tempat. Kalau pikiranku sudah kembali rasional, aku pasti akan menghubungi mereka untuk memberikan kabarku.
Dua hari itu pula aku tidak bisa makan dan terus muntah-muntah seperti yang terjadi sebulan belakangan. Jadi, aku hanya minum susu yang distok Katerine di kulkasku seminggu lalu. Untungnya aku masih punya persediaan obat agar bisa tidur nyenyak.
Berangsur-angsur perasaanku jadi kebas. Dua hari kemudian, aku muncul di acara sebuah televisi swasta seperti Skylar Betelgeuse yang dulu. Ayah, Lea, dan Katerine tampak senang dengan sekembalinya aku meski khawatir dengan badanku yang tambah susut. Selepas acara itu, aku menemui Momster empat mata untuk mengatakan, “Kurasa aku sudah siap ke dokter kandungan. Tolong pastikan Horizon hadir juga besok.”
Momster tidak protes. Entah bagaimana caranya menghubungi dan membujuk Horizon. Yang jelas wanita itu berhasil melakukannya. Kami janjian di rumah sakit Ibu dan Anak terdekat. Ketika bertemu Horizon, jantungku berdebar kencang dan rasa nyeri itu kembali hadir. Namun, aku harus tetap tegar. Beruntungnya pil yang kutelan sebelum ke sini sangat membantuku untuk tetap tenang.
Pria itu mengenakan pakaian formal seperti biasa. Bedanya dia mencukur habis cambangnya sehingga tampak lebih muda. Penampilan yang jauh berbeda denganku. Aku berpakaian seperti ciri khasku dengan rambut warna hitam. Cincin pernikahanku sudah tidak kupakai sejak kami pisah rumah. Begitu pula dengan gelang couple kami. Aku menambahkan tindik di alis dan hidungku. Berkaca dari pengalaman-pengalaman malam Natal, aku memakai kacamata hitam, masker dan topi rajut agar tidak dikenali di tempat umum.
Setelah mendaftar, kami menunggu antrean untuk dipanggil. Kami sama-sama tidak berbicara satu sama lain. Kami bahkan duduk terpisah sibuk dengan ponsel masing-masing. Beberapa waktu kemudian, giliranku tiba. Mereka ikut aku masuk ruang pemeriksaan. Namun, kali ini kami terpaksa duduk bersebelahan di hadapan dokter kandungan dan perawatan yang berdiri di sebelah pria berjas putih itu.
“Mrs. Devoss?” panggil Dokter dengan nada standar. “Mau mengecek kehamilan, ya?”
“Iya,” jawabku singkat sembari melepas kacamata dan masker. Horizon yang duduk di sebelah kananku mengamatiku sejenak dan Momster yang duduk di sebelah kiri ku tampak memasang dinding paripurnanya.
“Sudah pernah hamil sebelumnya?”
“Belum,” jawabku.
“Kapan terakhir kali jadwal menstruasi Anda?”
“Sudah hampir dua bulan ini saya tidak menstruasi,” jawabku entang. Aku bisa merasakan embusan napas berat Horizon dan juga Momster yang memejamkan mata pelan.
Dokter tersebut mengangguk-angguk. Perawat di sebelahnya yang membawa papan penjepit pun mencatat dengan saksama. Kemudian Dokter itu bertanya lagi. “Apa Anda menggunakan kontrasepsi?”
“Sebelum-sebelumnya saya minum pil, tidak pakai kontrasepsi lain. Tapi sebulan belakang sudah tidak, karena saya harus mengkonsumsi Xanax[5].”
“Xanax?” ulang Dokter. Aku melihat tangan Horizon mengepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Sedangkan Momster jelas-jelas tidak bisa menyembunyikan kekagetanya. Begitu juga dengan perawat. Mereka semua memandangku.
“Ya,” kataku datar. Kemudian bercerita, “Sebulan belakangan saya terkena eating disorder karena depresi berat. Tidak ada makanan yang bisa masuk ke perut saya. Setiap kali makan, tidak lama lagi saya pasti muntah seperti tadi pagi. Berbagai macam makanan dan minuman tanpa memikirkan pantangan makan bagi seorang penyanyi rock seperti saya, saya coba makan. Tapi tidak berhasil. Hanya susu yang bisa masuk ke lambung saya.”
Katerine dan aku sepakat menyembunyikan kondisiku untuk menghindari keributan karena album baru kami melejit. Aku tidak bisa absen dari jadwal undangan televisi untuk lebih mempromosikannya. Aku juga tidak bisa menceritakan ini pada keluargaku. Beruntungnya ada Katerine yang selalu bersamaku walau dua hari setelah Natal aku tak menghubunginya.
Aku yakin mentalku kuat. Bagaimanapun Ched memaki-makiku sambil menggebrak-gebrak tuts piano, aku tidak kenapa-kenapa. Namun, tak kusangka berada di titik ini dapat memperburuk mentalku. Karena kesusahan dengan kondisiku sejak pisah rumah dari Horizon, aku dan Katerine sepakat memberitahu Lea. Lea-lah yang mengambil inisiatif memanggil dokter di sela-sela jadwal longgar kami.
Namun, tentu saja aku tidak akan mengatakan itu pada dokter kandungan itu. Akan kukarang cerita bahwa kami datang kemari sebagai keluarga bahagia.
“Kata dokter itu, saya harus diinfus akibat kekurangan nutrisi dan dehidrasi. Berat badan saya berkurang lumayan drastis. Itu sebabnya saya tidak menstruasi. Tapi Ibu dan suami saya sepertinya masih berpikir penyebab saya muntah-muntah pastilah karena hamil. Pengaruh hormonal yang bisa menyebabkan depresi berat,” lanjutku.
Aku tidak menceritakan bagian saat kunjungan-kunjungan Ralph untuk diskusi masalah perceraian, aku meminta infusku dilepas dan meminta sahabat-sahabatku agar diam di kamarku. Aku harus pura-pura baik-baik saja meski sulit konsentrasi.
”Apa Anda sudah pernah mengeceknya dengan testpack?” tanya Dokter masih dengan nada standar.
“Belum. Ibu saya kurang percaya cara kerja alat itu. Makanya kami kemari untuk memastikan saya hamil atau tidak.”
Dokter kembali mengangguk-angguk. “Memang benar kadang kala testpack ada yang tidak efektif. Kalau begitu, silakan berbaring. Akan saya cek dengan USG sambil menerangkannya.”
_______________
[5] Merek dagang Alprazolam. Yakni obat golongan psikotropika yang digunakan sebagai terapi akibat depresi. Alprazolam disebut sebagai obat penenang. Pasien yang mengkonsumsinya harus dalam pengawasan dokter karena apabila digunakan sembarangan, obat ini bisa membuat kecanduan.
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan benerin typo
It means a lot to me
Bonus foto:
Horizon Devoss
Skylar Betelgeuse
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Rabu, 12 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top