Chapter 41
Selamat datang di chapter 41
Tinggalkan jelas dengan vote dan komen
Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you enjoy and love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Rasanya seperti terjun tanpa parasut
Dan kau tak bisa berbuat apa pun kecuali berdoa kepada Sang Pencipta agar tidak mati
—Skylar Betelgeuse
____________________________________________________
Musim gugur
New York, 1 November
Pukul 11.45
“Jadi, ceritakan pada kami tentang album baru kolaborasi kalian,” pinta pembawa acara yang merangkap sebagai penyiar radio. Pandangannya disasarkan berpindah-pindah. Mulanya ke aku yang duduk beberapa jengkal di sebelahnya, ke Alton yang duduk persis di sebelahku, ke sisa personel The Black Skull dan Lupara yang telah berada di posisi masing-masing sesuai alat musik mereka di samping panggung bersama kelompok musik acara ini, lalu ke ketiga kamerawan, ke kamera otomatis, dan terakhir ke penonton yang duduk berjajar rapi di hadapan kami.
Aku mendekatkan mikrofon lantas menjawab lugas bak seorang murid teladan. “Pertama kami memikirkan tema dan konsep lagu. Lalu kami menyepakati temanya tentang cinta dengan konsep nuansa gelap sesuai genre lagu kami.”
Penonton bersorak gembira sembari bertepuk tangan. Jimmy Falcon ikut merakit senyum semringah. Diliriknya lagi kertas kecil yang diapit jari-jari gemuknya kemudian kembali berseru, “Oh, come on .... Tell us more. We’re still waiting for that ....”
Dengan usaha sekeras baja, aku ikut membawa diriku pada suasana ini. Kendati sulit dalam keadaan hati remuk redam, aku tetap melanjutkan penjelasan dengan raut wajah sama berbinar-binarnya seperti mereka. Meyakinkan diri bahwa musik—sesuatu yang kusukai—selalu mampu membuat semangatku muncul, tak peduli bagaimana kondisi hatiku.
“Lalu kami mulai menggarap lagu. Setelah rekaman kami syuting video klip di pantai Carmel By The Sea. Di sana pantainya indah sekali. Kami menikmatinya. Yah ..., itung-itung sebagai liburan bersama juga. Liburan sambil kerja. Well, intinya tunggulah beberapa hari lagi sampai video klip kami resmi diluncurkan. Dan kami harap musik kami akan disukai.”
“Ayolah .... Tidakkah kalian ingin memberi sedikit bocoran pada kami?” paksa Jimmy, tetapi dengan nada merajuk. Penonton pun mengikuti pria itu.
Alton yang sedari tadi diam mendengarkan kami kini mengambil andil dalam bagiannya. “Bukan kejutan namanya kalau ada bocoran.”
Jimmy berlagak setuju. “Memang benar. Tapi pengecualian bagi kami, kan?” Penonton ikut menyoraki untuk mendukungnya.
“Maaf sekali, kami tidak bisa. Tapi tak perlu khawatir. Kami akan berkolaborasi menyanyikan lagu kami yang sudah diaransemen menjadi satu,” jawab Alton lagi yang memicu sorak-sorak penonton serta Jimmy.
Pria berkemeja hitam yang dilapisi jas senada itu kemudian berseru, “Setuju! Tapi setelah iklan yang satu ini!”
Kami sudah mendapat pengarahan dari kru sebelum siaran langsung. Semua mendapat tugas masing-masing. Di depan tempat duduk kami ada beberapa kru. Salah satu dari mereka membawa papan tulis kecil yang digunakan untuk memberi arahan supaya kami tidak melenceng dari acara yang telah disepakati.
Sementara iklan diputar, pencahayaan lampu diredupkan, berganti lampu sorot warna-warni serta semua kamera diarahkan ke penonton. Agar tidak fokus pada aku yang beranjak dari kursi berbarengan dengan Alton. Kami lantas mengambil posisi di tengah panggung di depan standing mic masing-masing yang telah disiapkan kru radio.
“Ini gitarmu,” ulur salah seorang kru yang membawakan gitarku.
“Terima kasih,” ucapku.
Dia kemudian mengulurkan gitar Alton kepada pemiliknya. Setelah menyetel gitar masing-masing, aku dan Alton mengode teman-teman kelompok musik kami; apakah mereka telah siap bermain begitu iklan rampung.
Sejujurnya aku bersyukur kondisi Alton sudah membaik, tidak lagi mirip orang teler. Kata Katerine, semalam manajer, asisten dan semua personil Lupara mengurusi pria itu sampai pengaruh mariyuananya benar-benar hilang. Pagi buta Alton berkata masih agak pusing, tetapi tetap ingin datang ke acara ini lantaran sudah merasa kuat.
Selain itu aku juga bersyukur tampilan mantan kekasihku tersebut mengenakan topeng khas kelompok musik mereka. Jadi, orang asing tak perlu tahu ada luka-luka bekas pukulan Horizon yang membiru di wajah Alton.
Omong-omong soal Horizon, sejak semalam hingga saat ini pun, aku tidak bisa berhenti penasaran bagaimana kondisinya. Lalu saat ingat Horizon bersama Ginny Lauren menjadikan perasaanku terbelah menjadi dua kubu. Pertama, kubu lega lantaran ada seorang dokter yang jelas akan merawat Horizon. Dan dua, kubu aku cemburu pada wanita itu, tetapi juga tidak bisa melakukan apa pun sebab perkataan Alton semalam telah mengubah pandanganku kepada Horizon.
Kendati hatiku rasanya luluh lantak, terselip perasaan kasihan pada pria yang masih berstatus sebagai suami sahku itu. Pasti dia sangat tertekan karena harus menuruti permintaan terakhir River. Terlebih menghadapi wanita sulit seperti aku, yang kekanakan dan paling seenaknya sendiri sedunia.
Mula-mula ingin sekali aku memarahi River karena telah seenak jidat menurunkan mandat kepada Horizon dengan melibatkan aku. Namun, itu jelas tindakan yang sia-sia belaka.
Penyesalan pun datang menghampiriku. Kenapa aku begitu egois dengan memaksa Horizon menikahiku karena resor ibu? Sementara ada seorang pria yang tertekan menghadapi permintaan kakaknya. Seandainya aku tetap gigih menolak lamaran Horizon, mungkin kami tidak akan jadi seperti ini. Menjalani hubungan toxic tanpa landasan cinta di dalamnya.
Meskipun aku telah jatuh cinta pada Horizon, tetapi pada akhirnya suatu hubungan harus terjadi dari dua arah serta saling menyambut. Sedangkan aku dan Horizon tidak. Aku gagal membuat pria itu jatuh cinta padaku bagaimanapun caranya. Cinta pria itu hanya ditujukan ke Ginny Lauren.
Oleh sebab itu semalam aku tidak pulang. Selain memberi kesempatan Horizon dan Ginny untuk berduaan, aku juga berpikir bagaimana aku bisa pulang? Aku merasa sudah tidak punya rumah. Penthouse itu milik Horizon jauh sebelum kami menikah, bukan rumahku sungguhan. Aku hanya menumpang di sana selama enam bulan sampai kontrak pernikahan kami habis.
Aku ingin pergi ke apartemen lamaku, tetapi di sana tidak layak dibuat istirahat. Perabotannya yang tidak banyak, ditutupi kain putih agar tidak berdebu. Tidak mungkin aku bersih-bersih dulu sementara keadaan fisik dan batinku luar biasa lelah, yang kubutuhkan hanyalah tidur dengan kualitas jempolan—walau mustahil bagaimana aku bisa melakukannya. Terlintas ide ingin pulang ke rumah orang tuaku, tetapi aku takut ditanya-tanyai.
Aku pasti sudah menangis sejadi-jadinya seandainya tidak ada Katerine yang memperingatkanku untuk tidak menangis. Lebih dari itu, dia mendampingiku semalaman dengan sangat bermurah hati mau menampungku di apartemennya. Dia memberikan obat tidur agar aku bisa tidur nyenyak.
Lea ingin tahu permasalahanku yang sebenarnya dan agak marah sebab sebagai sahabat kami merahasiakan ini darinya. Namun, sebagai orang paling waras serta paling logis, Katerine dengan tegas menolak memberitahu Lea sebab ada yang jauh lebih penting yang harus dipikir dan dikerjakan. Yakni acara hari ini.
Beberapa menit kemudian, acara dilanjutkan dengan permainan tebak-tebakan lagu. Dan siaran langsung ini pun berakhir dengan baik. Seperti biasa, selesai acara apa pun, kami selalu beristirahat sebentar sebelum rapat evaluasi.
Kami diberi dua buah ruangan oleh pihak radio. Yang satu untuk The Black Skull beserta kru. Yang satunya lagi untuk Lupara dan kru mereka. Ruangan tersebut berdempetan dan dilengkapi pintu penghubung sehingga memudahkan bagi kami untuk saling berkomunikasi. Terutama untuk rapat evaluasi.
Tidak sampai satu jam rapat evaluasi selesai. Semuanya puas dengan hasil kerja kami hari ini. Kami berencana makan-makan. Namun, aku menolak ikut sebab beralasan ingin istirahat. Alton pun mengikuti jejakku dengan alasan serupa. Selagi semua kru beberes dan bergiliran keluar ruangan, aku mengembuskan napas berat untuk membebaskan diri dari topeng keceriaan. Aku kembali dilanda awan kelabu.
Ketika aku menarik zipper gitarku, Katerine mendekat dan berkata pelan sembari mengulurkan ponselku yang disitanya agar aku tak kepikiran serta fokus pada acara. “Tadi dia menelepon beberapa kali. Tapi tidak kuangkat. Dia juga meneleponku dan mengirimiku pesan menanyakan keberadaanmu. Tapi tidak kujawab.”
“Sebaiknya memang jangan, Kate,” sahut Alton yang tiba-tiba bergabung di kursi sebelahku. Lalu duduk di antara aku dan Katerine.
“Alton ...,” gumamku. Dia sudah melepas topengnya dan tampaklah luka-luka mengerikannya. Semoga wajah Horizon baik-baik saja, tidak semengerikan Alton.
“Sky, maafkan aku soal semalam. Aku hanya khawatir padamu. Aku ingin melindungimu,” ucap Alton pelan dengan wajah bersungguh-sungguh.
Sebelum aku sempat merespons, Katerine lebih dulu angkat bicara, “Sudahlah, Alton. Tidak perlu lagi ikut campur. Semuanya sudah selesai tadi malam.”
“Sudah selesai tadi malam apanya? Buktinya kau bilang si berengsek itu menelepon dan mengirimi kalian pesan. Untuk apa dia berbuat seperti itu? Padahal semalam Skylar tidur di apartemenmu tapi dia tidak mencarinya. Aku hanya ingin bilang kalau aku akan selalu ada untuk Skylar. Aku akan tetap membela Skylar, Kate.”
“Tapi ini soal rumah tangganya! Kita tidak seharusnya—”
“Rumah tangga bohongannya, Kate! Bagaimana denganmu sendiri yang menjadi saksi penandatanganan kontrak perjanjian mereka?”
“Itu lain cerita, Alton! Aku tahu dari awal! Meski tidak tahu soal tujuan Devoss sebenarnya. Dan aku memang kerap memberi masukan serta dukungan mental bagi Skylar, tapi tidak untuk mencampuri urusan rumah tangganya!”
“Guys ...,” leraiku yang telah beranjak. “Silakan lanjutkan perdebatan kalian. Aku mau ke toilet dulu lalu pergi lewat pintu belakang gedung agar tidak dikerumuni penggemar. Permisi.”
“Kau mau ke mana, Sky?” teriak Katerine, tetapi kuhiraukan.
Aku tak tahan mendengar perdebatan mereka. Terutama topiknya tentang rumah tanggaku yang pelik. Aku ingin segera melepas rambut palsu hitam, menghapus riasan wajahku yang tebal, dan menukar gaun gotik yang kukenakan menjadi pakaian hangat hitam di ranselku. Dengan demikian, aku akan bisa menjadi diri sendiri.
Pihak radio memang menyediakan beberapa akomodasi mobil untuk kami. Namun, berjalan memanggul gitar di tengah lautan manusia di stasiun bawah tanah pada musim gugur menjadi impianku saat ini. Aku ingin merasakan angin dingin yang bisa menggemelutukkan gigi, suasana ramai orang yang tak tahu permasalahan hidupku agar aku tak merasa kesepian, dan suara klakson kereta yang silih berganti mampu menandingi kesemrawutan isi kepalaku.
Namun, saat baru saja kakiku selangkah keluar dari ruangan, aku berhenti. Jantungku mendadak menggila. Hatiku kontan bagai ditusuk-tusuk jarum tak kasat mata. Kakiku lemas dan napasku bagai direnggut orang yang tepat berada beberapa langkah di depanku. Sumber pikiranku.
Tidak ada orang lain di koridor ini, tetapi suara-suara berisik tetap terdengar: kru yang saling mengobrol, suara-suara alat dikemasi, dan lain-lain. Bedanya, suara-suara tersebut seperti tidak penting. Aku seolah-olah hanya bisa mendengar napasku yang tercekat ketika menatap orang yang paling tidak ingin kutemui sekarang.
Horizon Devoss setengah bersandar di dinding dengan pandangan serius tertuju pada pantofel hitam mengilatnya. Beberapa lembam menghiasi wajah tampannya. Gestur pria itu membawaku ke ingatan beberapa bulan silam. Gestur itu persis ketika dia hendak menemuiku dengan berkata membeli seluruh waktuku untuk jumpa penggemar. Selain wajahnya yang lebam-lebam, bedanya kali ini aku seakan-akan menemukan kepingan puzzle yang dulu hilang.
Jika dulu aku tak tahu kenapa dia selalu memandang sepatunya ketika menungguku selesai konser, kini aku tahu. Dia pasti benci malakukannya. Dia pasti tertekan lantaran amat terpaksa menjemputmu dalam kondisi ini. Dan kedatangannya kali ini juga kuartikan serupa.
Pria itu mengangkat wajah sehingga mau tak mau kami bersitatap. Aku ingin mengabaikannya sebab jujur saja hatiku sakit sekali sekaligus tak tahan melihatnya tersiksa. Aku ingin kabur. Namun, dia berhasil menahanku dengan berkata, “Tak mungkin kau berencana mengabaikan suamimu, kan?”
Tidak memiliki alasan, aku lantas bertanya, “Bagaimana kau bisa masuk ke sini?”
Horizon Devoss berdiri tegak lantas mendekatiku. Rahangnya mengetat saat berkata, “Mudah saja dan kau tak perlu tahu. Sekarang, ayo kita pulang.”
“Tapi aku masih bekerja.”
“Tidak lagi. Aku sudah izin Revina akan membawamu pulang setelah acara ini selesai. Banyak yang harus kita bicarakan. Tidak perlu membuang-buang waktu. Semakin cepat, semakin baik.”
Aku benar-benar ingin menolak ajakan Horizon. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku pun merasa tidak sanggup bila harus mendengar kata-katanya yang mungkin akan sangat menyakiti hatiku. Sayangnya, aku tak punya pilihan lain. Berkaca dari kejadian semalam, Horizon mungkin akan mengamuk lagi dan membuat kerusuhan di stasiun radio ini. Jadi, aku membiarkan tangan besar Horizon yang terulur padaku. Bertepatan dengan itu, pintu di belakangku terbuka dan Alton bersama Katerine yang mulanya masih berdebat sontak berhenti.
“Lihat, gara-gara kau Skylar pergi, Kate.”
“Kenapa gara-gara aku? Itu salahmu, Alton.”
“Aku hanya—oh! Lihat siapa ini?”
Horizon resmi meraih tanganku, tetapi Alton dengan cepat menepis serta pasang badan di depanku untuk menghadang Horizon. “Hei! Singkirkan tanganmu dari Skylar!” gertak Alton. Sementara Katerine terkejut dan sepertinya tak mampu bergerak atau bersuara. Sama sepertiku.
Horizon menggeleng dengan amarah tertahan. “Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu. Minggir, aku mau membawa pulang istriku.”
Alton membalas, “Istrimu? Hahaha! Istri bohonganmu! Minggat sana ke mantan tunanganmu yang menunggumu!”
“Minggir! Jangan sampai aku memukulmu lagi!”
“Kau pikir aku takut? Aku tidak akan membiarkanmu membawa Skylar.”
“Hentikan, Alton,” leraiku yang tidak ingin mereka berdua berkelahi lagi sementara ketegangan yang mereka ciptakan terus meningkat. “Aku akan pulang dengannya.”
Alton melihatku dan tak terima. “Apa kau sudah gila, Sky? Tapi dia—”
“Aku akan pulang dengan suamiku,” tegasku lagi.
Gantian Katerine yang protes. “Tapi, Sky—”
“Aku tahu kau sahabat yang baik bagi Skylar. Tapi untuk yang satu ini, aku minta kau tak ikut campur, Kate. Aku suami Skylar. Aku berhak mengatur-ngatur istriku,” sela Horizon yang lantas meraih tanganku dan menggeretku pergi dari sini.
Di belakang, aku mendengar Alton berkata, “Seandainya tak ingat tempat, aku bersumpah akan menghajarnya lagi.”
Kami lewat belakang gedung. Di sana mobil Horizon telah menunggu. Dia mengambilalih gitarku yang kemudian diletakkan bagasi mobil sebelum membukakan pintu mobil untukku. “Naiklah.”
Selama berkendara, aku melihat keluar jendela, tak ingin melihat Horizon sebab tak sanggup. Juga menyadari penampilanku yang konyol. Biasanya dia lebih suka aku mengenakan pakaianku sehari-hari, bukan pakaian manggung. Kali ini pun sepertinya dia tidak peduli. Yah, untuk apa peduli?
“Sudah menemukan alasan yang tepat kenapa tidak pulang semalam?” tanya Horizon dengan nada mengejek.
“Sudah. Aku ingin tidur nyenyak,” jawabku sambil menahan gumpalan di tenggorokan.
“Di mana? Di tempat mantan kekasihmu tadi agar kalian bisa merencanakan masa depan kalian?”
Aku menggeleng pelan. “Bukan urusanmu aku tidur di mana dan dengan siapa.”
Mobil berhenti di tepi Jembatan Manhattan. “Oh ya? Kau tidak ingat isi perjanjian itu? Lihat aku saat aku bicara denganmu, Sky!” Dia membalik tubuhku menghadapnya dan lebih mengernyit.
“Kau sendiri bagaimana? Tidur dengan mantan tunanganmu? Tak ingat perjanjian itu?”
Amarah yang sejak tadi amat kentara ditahan Horizon, kini dimuntahkan kepadaku. “Itu jelas beda! Dia merawatku di saat istriku tidak pulang! Dia bahkan menunggumu pulang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja karena sudah ada kau. Tapi kau ke mana?” bentaknya.
Mulutku terkunci rapat.
Horizon lalu melanjutkan, “Jadi dia menungguku sampai tidak tidur! Sedangkan kau? Apa yang kau lakukan? Aku yakin sekali kau sudah tahu kejadian semalam. Tapi lebih memilih Alton Mason daripada menolong suamimu sendiri. Kau bahkan menceritakan perjanjian itu kepada Mason! Kalau kau sudah tidak tahan lagi berpura-pura mencintaiku, katakan padaku! Tak perlu kau libatkan orang lain dalam hubungan kita! Aku akan dengan senang hati menceraikanmu!”
Rasanya seperti terjun tanpa parasut. Dan kau tak bisa berbuat apa pun kecuali berdoa kepada Sang Pencipta agar tidak mati. Meski terdengar mustahil, kau akan berharap bisa mendarat di sesuatu yang empuk seperti ranting-ranting pohon di hutan lebat. Lalu tim penyelamat akan menyelamatkanmu dengan sempurna tanpa kau terluka.
Masalahnya tak ada penyelamat untuk menarikku dari siksaan ini. Tak ada lagi kata-kata penjelasan yang jelas tidak akan didengarnya. Tak peduli seberapa besar aku mencintai Horizon, tak peduli setulus apa pun aku menunjukkan cintaku pada pria itu, dia tidak mempercayainya. Bagian paling penting, dia tidak mencintaiku. Dia terpaksa melakukan hubungan ini karena River.
Maka, apa lagi yang bisa kulakukan selain berkata, “And then, let’s get divorce, Horizon Devoss.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan benerin typo
It means a lot to me
Bonus foto:
Skylar Betelgeuse
Horizon Devoss
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Jumat, 30 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top