Chapter 39
Selamat datang di chapter 39
Tinggalkan jelas dengan vote dan komen
Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you enjoy and love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Untuk apa aku mempertahankan atau memperjuangkan sesuatu yang sudah jelas hasilnya akan sia-sia?
—Skylar Betelgeuse
____________________________________________________
Musim gugur
New York, 31 Oktober
Pukul 19.55
Saat ini sedang terjadi peperangan batin dalam diriku. Antara kubu aku harus bersyukur bisa terlepas dari Horizon melawan kubu khawatir suamiku itu akan digoda para staf wanita berkostum seksi yang duduk di sebelahnya.
Terlepas dari Horizon artinya bisa kembali menghirup oksigen tanpa tekanan. Bayangan senyumnya yang cerah merekah bagai sinar mentari bersama Ginny pada akun Instagram wanita itu masih menjadi mimpi buruk yang menyesakkan dada.
Aku memang pulang tepat waktu pada malam di mana Katerine memperlihatkan Instagram Ginny Lauren. Namun, tanpa mengurangi dedikasi pada tugasku sebagai seorang istri, selanjutnya aku mulai merentangkan jarak antara diriku dengan Horizon. Aku berniat memikirkan hubungan kami sungguh-sungguh di tengah kesibukanku; mau dibawa ke mana arahnya.
Jujur saja hingga pada detik ini pun, perasaan bersalah masih menggerogotiku bagai gigi berlubang yang kalau tidak diobati rasa sakitnya bisa merambat ke seluruh tubuh. Meski tak masuk akal, aku masih merasa diriku merusak kebahagiaan Ginny dan Horizon. Maksudku mereka serasi sekali dan tampak begitu bahagia. Maka kecurigaanku terhadap Horizon yang menikahiku lantaran suatu alasan—dan jelas kutahu alasannya bukanlah karena dia mencintaiku, semakin kuat.
Sayangnya, perasaan-perasan yang mengerubungiku belakang ini terkadang terkikis habis oleh ladang kecemburuan. Contohnya beberapa detik lalu. Gara-gara para wanita tadi, aku jadi mengambil langkah defensif dengan duduk di pangkuan Horizon persis predator mengamankan teritorialnya.
Zaman sekarang wanita mengambil gerakan revolusioner untuk menyetarakan diri dengan pria. Termasuk menyetarakan diri dengan pria—khusunya kebanyakan pria yang kukenal baik dalam lingkunganku—dalam hal menggoda lawan jenis tanpa pandang bulu dan tak tahu malu.
Terlepas dari rasa cemburuku, aku tidak membual atau mengada-ada untuk memberi tanggapan negatif tentang mereka, jikalau aku tak pernah memergoki yang berkemeja biru kotak-kotak putih menggoda salah satu personel Lupara. Dua wanita lain yang bersahabat dengannya menyemangatinya. Bukankah dunia ini benar-benar sudah edan?
Alam bawah sadarku pun mengejek: Lalu bagaimana denganmu sendiri yang merayu Horizon, Sky? Kau merayunya sambil memohon supaya dia menikahimu.
Meski ketar-ketir, aku berharap semoga Horizon tidak membuka kostumnya atau semut-semut gatal itu akan mengerumuninya layaknya mengerumuni gula.
Katerine menggeretku ke balik pilar agak jauh dari ingar bingar. Volume musik nuansa gelap—segelap pencahayaan ruangan dan kacamata hitam yang kukenakan makin memperparahnya—otomatis jadi sedikit menurun. Aku melepas kacamata sehingga memperjelas pengelihatanku akan sosok Katerine yang cemas sambil celingukan.
“What’s going on, Kate?” tanyaku bingung.
Kecemasannya agak menular padaku. “Kau terlihat cemas. Apa ini berkaitan dengan Elijah?”
Katerine menggeleng. Sekali lagi dia celingukan. “Sama sekali tidak. Elijah baik-baik saja. Ini tentangmu.”
“Tentangku? Memangnya kenapa denganku?” tanyaku tak mengerti. Pasalnya, selain galau akibat melihat foto dan video Horizon bersama Ginny, yang mana itu sudah pasti diketahui Katerine, aku tak merasa ada hal lain yang membuatku makin terusik. Kecemburuanku terhadap para wanita berkostum seksi tak masuk hitungan karena masih berharap Horizon tidak membuka kostumnya. Maksudku, dia sudah berdamai dengan seprai itu, kan?
Wajah Katerine hampir menangis selagi aku menunggunya melanjutkan omongan. “Maksudku sesuatu yang berhubungan denganmu.” Lantas dia berkata cepat-cepat setelah menghela napas berat. “Aku melihat mantan tunangan Devoss, Sky. Ginny Lauren.”
Bagai disiram seember es. Tubuhku kontan menggigil. Jantungku pun menggila karenanya. Namun, aku tak ingin mempercayainya. Sungguh-sungguh tak ingin mempercayainya!
Oleh sebab itu, sebisa mungkin aku mengelak dengan memberikan alasan logis. “Tidak mungkin. Kau pasti salah lihat, Kate. Ini, kan, pesta khusus.”
“Aku berani bersumpah, Sky. Aku melihatnya tadi masuk sini dengan undangan.” Katerine mendongak untuk balas menatapku. Sambil berbicara, kedua tangannya bebas bergerak di depannya.
Aku menggeleng-geleng cepat. “Tidak, kau pasti salah lihat, Kate. Pasti itu orang lain yang kebetulan mirip dengannya.”
Katerine agak jengkel, tetapi menegaskan, “Ya Tuhan, Sky. Aku sampai mengeluarkan ponsel dan melihat fotonya untuk memastikan itu benar dia atau bukan.”
“Ini pesta Halloween, Kate. Semua orang memakai kostum. Semua orang bisa salah mengenali orang lain. Lagi pula dari mana dia dapat undangan?”
“Mana aku tahu dia dapat undangan dari mana? Yang jelas, dia tadi kelihatan sendirian. Tapi aku tak akan seyakin ini kalau dia tidak mengenakan snelli-nya dan hanya mencoreng lisptiknya yang pinggirnya digambari eye liner agar tampak seperti leleran darah—”
“Sudahlah, kuanggap kau salah lihat, Kate.” Aku menyelanya seraya mengibas tangan di depan wajahnya. “Aku tak ingin membebani pikiranku dengan hal lain. Ini pesta, seharusnya aku bersenang-senang. Jadi, aku akan kembali ke Horry. Wanita-wanita di sebelahnya berbahaya.”
Lamat-lamat, aku mendengar suara keributan. Sayangnya fokusku sudah mengarah pada kegigihan Katerine yang menghadang langkahku. “Sky, aku benar-benar melihatnya! Demi kebaikanmu, kusarankan kau mengajak Devoss pulang sekarang juga.”
“Kate ..., apa yang bersamamu itu Sky?” sela seorang wanita berkostum Wonder Women. Aku dan Katerine serempak menolehnya yang berlari cepat menghampiri kami. Lalu dia membungkuk, mengatur napasnya yang ngos-ngosan sambil memegangi kedua lutut.
“Ya, ini aku. Kenapa kau lari-larian seperti itu, Lea?” tanyaku sekaligus menjawab pertanyaannya yang diajukan kepada Katerine.
“Oh God .... Aku mencarimu ke mana-mana. Suamimu berkelahi dengan Alton, Sky!”
“Apa? Dari mana kau tahu dia suamiku? Maksudku, dia pakai kostum sama sepertiku. Seharusnya tak ada yang bisa mengenalinya. Aku menyembunyikannya,” sangkalku sekali lagi untuk memastikan pendengaranku tidak keliru menangkap maksud Lea. Harapan Lea salah informasi ada dalam diriku.
“Dia melepas kostumnya! Makanya aku bisa tahu itu Devoss. Dan siapa yang tak tahu Alton pakai kostum ninja? Cepat ke sana! Jangan berdiam diri saja!” ajak Lea yang berwajah panik. Jantungku bedebak-gedebuk bukan main. Tanpa memedulikan dirinya yang tampak lelah, adrenalinku terpacu saat mengikuti Lea yang menggeret-geretku.
Baru sekitar beberapa meter berlari menuju ballroom, saat itulah aku menyadari banyak orang mengelilingi keributan sambil bersorak-sorai. Jadi, inilah sumber keributan yang kudengar tadi. Aku pun segera menyelinap di antara mereka, tetapi tentu tidak semudah kelihatannya.
“Minggir, aku harus melerai suamiku. Minggir, permisi!” teriakku jengkel. Tanganku berusaha membelah kerumunan selagi kakiku berjinjit agar bisa melihat Horizon. Aku sudah tidak memedulikan keberadaan Lea maupun Katerine.
Dikarenakan gerakanku dibatasi kostum, aku melepas dan membuangnya sembarangan. Entah keberuntungan atau bencana, akhirnya aku bisa melihat suamiku dari sela-sela kerumunan ini.
Horizon Devoss terkapar di lantai dengan kedua tangan yang digunakan melindungi wajah dari pukulan-pukulan Alton Mason yang menjulang di atasnya.
“Alton, berhenti!” teriakku yang rupanya masih tidak mampu mengalahkan kegaduhan orang-orang yang berkerumun. “Berhenti memukuli suamiku!” Aku mencakar semua orang di sebelahku. “Minggir! Permisi! Aku harus ke sana! Ugh! Sial!”
Sebisa mungkin, aku tak melepas pandangan ke kedua pria itu. Entah apa masalah mereka, aku tidak tahu dan hanya berdoa semoga itu bukan sesuatu yang buruk. Namun, apabila itu bukan sesuatu yang buruk, kenapa mereka harus berkelahi seperti anak remaja labil?
Kemudian dengan cepat posisi mereka terbalik. Horizon meninju pipi Alton sebelum Alton berhasil meninjunya. Mantan kekasihku itu oleng sedikit sehingga celah tersebut digunakan Horizon untuk balik menghajar Alton.
Besok The Black Skull dan Lupara ada jadwal undangan ke radio. Acaranya live dan bisa ditonton di situs mereka. Bagaimana kalau perkelahian ini membuat Alton terluka parah sehingga tidak memungkinkan hadir dalam acara tersebut? Lebih dari itu, bagaimana caranya menjelaskan pada Momster tentang kerugian yang harus dibayar lantaran tidak jadi tampil di radio? Jadi, mana mungkin aku akan membiarkan Horizon menghajar Alton atau sebaliknya, bukan?
“Bae! Berhenti, Bae!” jeritku.
Kepanikanku bertambah. Beban pikiranku makin banyak. Aku heran orang-orang hanya menonton perkelahian antara mantan kekasih melawan suamiku itu. Kenapa tidak ada seorang pun di antara mereka yang memiliki akal sehat untuk mengambil tindakan heroik dengan melerai Horizon dan Alton? Apakah itu sebuah atraksi spektakuler yang baru pertama kali mereka tonton seumur hidup sehingga sangat sayang bila disia-siakan?
Konyol! Sungguh konyol!
Aku terus berteriak sambil berusaha membelah kerumunan dengan cakar-cakarku. Agak lebih lega rasanya ketika posisiku hampir mencapai tujuan. Kelegaan itu bertambah kala aku melihat Elijah yang berkostum Joker, Storm yang berkostum petinju, dan Rigel yang berkostum Kapten Amerika mencoba melerai Horizon dan Alton.
“Bae! Berhenti, Bae!” teriakku lagi dan lagi sebab Horizon mengabaikan ketiga pria itu. Malah, Storm terkena tinjunya juga. Pria botak itu sampai terhempas beberapa langkah, tetapi syukurlah tak putus asa untuk kembali melerai mereka.
Lalu rasanya dunia ini runtuh menimpaku kala mataku menangkap sosok Ginny Lauren tanpa tedeng aling-aling berdiri di depan Horizon, Alton, Storm, Elijah dan Rigel. Persis yang digambarkan Katerine sebelumnya. Wanita itu mengenakan snelli-nya dengan lipstik merah yang tercoreng bagai darah, yang dibingkai menggunakan eye liner.
Ketika Elijah dan Rigel berhasil menangkap kedua tangan Horizon, Ginny lantas berjongkok di depan Horizon yang masih berusaha meninju Alton dan mengatakan sesuatu padanya. Tak sampai sedetik, Horizon kontan berhenti meninju Alton.
Teriakan dan gerakanku mendadak berhenti, mungkin juga dengan jantungku. Orang-orang di sekitarku masih saling bersorak-sorai, musik masih berputar, kehidupan di bumi ini masih berjalan, tetapi tidak denganku. Aku hanya bisa merasakan hawa dingin yang merambat dan menyebar ke sekujur tubuhku serta rasa nyeri di hatiku.
Tubuh-tubuh yang menghimpitku mengenaiku dan aku tak peduli. Dadaku sesak seperti diikat tali besar kencang-kencang sampai-sampai membuatku sulit bernapas. Lebih-lebih ketika aku melihat Ginny Lauren berhasil memapah Horizon Devoss lalu membawanya pergi menjauhi kerumunan.
Kendari Horizon menunduk, aku bisa melihat cairan merah keluar dari salah satu lubang hidungnya. Namun, dia terlihat tidak peduli. Sebelah tangan pria itu memegangi rahangnya yang membiru—mungkin itu luka yang dia rasakannya paling sakit. Sementara tangan lain Horizon merangkul Ginny, seperti membalas rangkulan wanita itu. Horizon tidak menoleh sedikitpun seolah-olah sudah berada di tangan yang tepat.
Mataku terus terpaku pada punggung suamiku dan Ginny yang makin menjauh.
Seandainya tidak tahu riwayat mereka, aku pasti sudah mengamuk sejadi-jadinya karena berani-beraninya seorang wanita menyentuh suamiku tanpa seizinku. Kali ini aku tak bisa bergerak sama sekali. Dua orang itu seperti berusaha menunjukkan adegan masa lalu mereka padaku.
Padahal aku istri sah Horizon Devoss yang seharusnya berkuasa penuh atas diri pria itu. Akan tetapi, pada detik ini aku merasa kalah total, tak berarti, tak berdaya, dan merasa tak berhak sama sekali mencampuri urusan mereka.
Gerombolan orang berangsur-angsur mengurai, tetapi kakiku seperti tertancap di lantai. Tubuhku terhuyung sedikit akibat tersenggol seseorang. Orang itu meminta maaf, tetapi aku masih tidak bergerak. Dadaku sakit. Sakit sekali.
“Apa yang kau lalukan di sini, Sky? Kejar suamimu! Wanita itu membawa pergi suamimu, bodoh!” Gantian Katerine yang mendorong-dorongku.
“Itukah yang kau pertahankan, Sky? Kau sudah melihatnya sendiri, kan? Suamimu pergi dengan wanita lain dan tak menyadari keberadaanmu!” tanggap Alton yang rupanya masih berdiri tidak jauh dariku. Bibir dan pelipisnya berdarah serta kostumnya sudah berantakan. Meski kedua tangannya dipegangi Elijah dan Storm, dia terlihat kesulitan berdiri tegak. Sepertinya efek tinju Horizon sangat memengaruhinya.
“Diamlah, Alton!” cerca Katerine yang kemudian menatapku. “Kenapa kau masih di sini? Kejar Devoss, Sky.”
Atensiku kembali ke Alton yang memekik, “Apa kau sudah gila dengan menyuruh Skylar mengejar pria itu, Kate? Dia itu bajingan! Dia sesumbar mengatakan padaku alasan menikahi Skylar! Karena itu aku langsung menghajarnya! Sekarang, dia malah pergi dengan wanita lain tanpa mencari istrinya lebih dulu! Kenapa Skylar harus mengejar pria bajingan itu?”
“Kau teler, Alton. Sebaiknya kau kuantar pulang!” sela Elijah. Tangannya menggeret bagian lengan kostum ninja Alton.
Mata Alton memang setengah menyipit dan pandangannya tampak tidak fokus; sarat akan orang teler. Biasanya orang teler tidak tahu apa yang dilakukanya dan omongannya seratus persen sembarangan alias ngawur. Namun, Alton berkata seperti itu berdasarkan fakta yang nyata-nyata jelas terpampang di hadapan kami semua.
“Cepat, Sky! Aku melihat mereka naik lift! Pasti mereka akan ke lobi. Kau bisa turun lewat tangga darurat!” seru Lea yang masih mengawasi gerak-gerik Horizon dan Ginny.
Namun, bukannya bergegas menyusul Horizon, aku lebih tertarik untuk bertanya, “Memangnya alasan apa yang dikatakan suamiku padamu, Alton?”
Aku sudah tak bisa membedakan lagi mana yang benar atau salah. Sepertinya aku juga teler mirip Alton sebab tak tahu apa yang mesti kulakukan selain mencari cara meredakan sakitnya hatiku serta rasa penasaran alasan Horizon menikahiku.
Alton berbalik tanya kepadaku. “Serius kau tak tahu? Kukira kau audah tahu, maka dari itu setuju saja menikah dengannya. Toh, kau juga punya alsan tertentu, Sky.”
“Sudahlah, Alton. Kau benar-benar teler! Bicaramu melantur!” sergah Katerine yang kemudian menghadapku. “Sky, jangan dengarkan Alton. Sebaiknya kau pulang. Ingat, besok kita ada acara.”
“Dia menikahimu karena kakaknya yang memintanya! Kau kesayangan kakaknya, bukan? Dia terpaksa memutus pertunangannya demi menyetujui permintaan terakhir kakaknya sebelum meninggal. Kau tahu, Sky? Dia bahkan mengagung-agungkan seorang wanita yang ciri-cirinya persis wanita tadi. Dia juga mengatakan padaku sangat membencimu karena harus melakukan ini. Karena harus memutus pertunangannya dengan wanita berkostum dokter ta—”
“Alton! Kau kelewatan! Bicaramu benar-benar ngawur! Kau itu teler!” bentak Katerine. “Elijah, tolong bawa Alton pulang. Aku akan mengurusi Skylar.” Katerine lantas menghadapku yang tiba-tiba pening. Ribuan kepingan puzzle yang tadinya hilang dan berserakan dalam benakku satu per satu mulai ketemu serta membentuk gagasan baru yang lebih valid. “Jangan dengarkan orang teler itu, Sky. Ayo pulang, kau harus istirahat untuk acara besok.”
Bagai batu penghalang jalan yang sulit dipindahkan, aku tetap berdiri tegak ketika Katerine menarik-narikku.
“Lalu apa masalahnya, Alton? Aku juga menikahinya karena resor ibuku, kan?” Sumpah, aku tak tahu apa yang sedang kubicarakan. Pikiranku terlalu banyak mencerna keadaan sehingga tidak bisa menyaring yang hendak kuucapkan.
Melalui ekor mata, aku bisa merasakan tatapan tak percaya dari orang-orang yang masih mengerumuni kami. Untunglah mereka personil yang amat dekat denganku, tidak ada staf lain.
Katerine segera memarahiku. “Skylar! Kenapa malah meladeni orang teler? Ayo kita pergi! Dia hanya cemburu. Aku yakin dia hanya membual!”
Sebelum Elijah dan Storm benar-benar menyeretnya pergi dari sini dan sebelum tubuhku berhasil melangkah, Alton memekik, “Masalahnya kau jatuh cinta padanya dan berharap hidup dengannya, Sky. Tapi Devoss bilang sebentar lagi kalian akan bercerai. Aku jelas tak akan membiarkanmu disakiti dia! Jadi, sebaiknya kau sadar dengan harapanmu yang sia-sia itu!”
Apa kau tahu rasanya bernapas dengan paru-paru yang baru saja dilubangi? Ya seperti itulah yang kurasakan saat ini. Meski percaya orang teler akan mengatakan sesuatu yang melantur, tetapi tetap saja aku mempercayai Alton. Pasalnya, hanya Katerine yang tahu hubungan antara Horizon dan Ginny. Dan aku yakin sahabatku tidak akan menceritakannya kepada siapa pun. Termasuk pada Lea yang sejak tadi mirip orang kebingungan.
Apabila Alton asal membuka mulut akibat teler, tak mungkin dia bisa menebak seakurat ini, bukan? Itu berarti Alton tidak bohong mengenai sesumbar Horizon.
Sekarang semuanya mendadak terang-benderang. Potongan puzzle sudah ketemu semua. Keraguan yang selama ini menghantuiku juga telah menemukan jawabannya.
Satu fakta menonjok diriku. Bahwa sebesar apa pun aku mencintai Horizon, tak ada masa depan bagi hubunganku dengannya.
Benar kata Alton. Untuk apa aku mempertahankan atau memperjuangkan sesuatu yang sudah jelas hasilnya akan sia-sia?
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan benerin typo
It means a lot to me
Bonus foto:
Skylar Betelgeuse
Horizon Devoss
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Rabu, 14 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top