Chapter 38

Selamat datang di chapter 38

Tinggalkan jelas dengan vote dan komen

Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you enjoy and love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Aku bagai terjerat lingkaran berbahaya yang dampaknya sama persis dengan menyuntikkan nimfetamin ke pembuluh darah. Memabukkan, membuatku melayang sampai aku lupa siapa diriku

—Horizon Devoss
____________________________________________________

Musim gugur
New York, 31 Oktober
Pukul 17.23

Akhir-akhir ini pekerjaan amat banyak dan terasa sangat melelahkan. Selain menangani resor ibu Skylar, ada tawaran proyek besar lain yang harus kupikirkan. Ini berkaitan dengan negosiator ulung yang telah memuluskan jalan pembangunan Diamond Bank di Shanghai beberapa waktu silam.

Begitu ditelepon tangan kanan Jayden bernama Nicolo pada Jumat menjelang jam pulang kantor, Johnson merasa cemas. Bulir-bulir keringat turun dari pelipisnya ketika asistenku itu berasumsi, “Kurasa ini proyek yang amat berbahaya, Sir.”

“Kenapa bisa begitu?” tanyaku penasaran. Beribu pikiran negatif juga berjubel masuk ke otakku saat sadar betul siapa yang sedang dibicarakan Johnson. Spontan, ingatan tentang kunjungan kami ke Inggris beberapa saat lalu dan bagaimana cara pria itu menangani Shanghai, membangkitkan adrenalinku. Dengan kata lain, kecemasan Johnson menulariku. Tampaknya begitu juga dengan Ralph yang khusyuk menyimak kami dari tadi.

Padahal semestinya aku dan sahabatku itu sudah pulang untuk bersiap-siap ke pesta Halloween Studio Harmoni yang diadakan nanti malam. Bukannya berkumpul di ruang kerjaku untuk rapat dadakan yang jelas mempersempit waktu kami pergi ke pesta tersebut. Satu jam kurasa tidaklah cukup untuk bersiap-siap, kecuali kostum yang akan kami kenakan memang tidak banyak butuh perhatian atau detail. Masalahnya, aku tidak tahu sama sekali kostum apa yang akan kukenakan sebab Skylar belum membocorkan kostum itu padaku.

Akan tetapi, kami tidak bisa begitu saja membiarkan telepon kejutan dari Nicolo yang mendapat mandat langsung dari Jayden itu diabaikan. Bila berkaitan dengan Jayden, segala sesuatu harus dipikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan penting yang akan memberikan butterfly effect—yang semoga saja baik untuk kami—di kemudian hari. Kendati, pada dasarnya kemungkinan kami menolak sangatlah tipis. Kami tahu persis bagaimana kekuatan pria itu yang bisa menggemparkan siapa pun, bisa menghancurkan siapa pun, dan sangat licin terhadap hukum.

Pesta Halloween itu pun bukannya tidak penting, bisa kami kesampingkan. Namun, aku khawatir terhadap perasaan Skylar bila kami tidak menghadirinya. Terutama dengan apa yang telah dia lakukan untuk Ralph.

Sepulang dari apartemen Katerine beberapa waktu lalu, Skylar tampak lesu, tetapi dengan bangga mengatakan, “Aku berhasil mendapatkan undangannya untuk Ralph!”

Jadi, kusimpulkan itu sesuatu yang sulit hingga menguras energinya begitu besar. Berhubung merasa kasihan, aku bertutur, “Sebenarnya aku tidak sungguh-sungguh memaksamu harus bisa membawa sahabatku ke pesta itu.”

Skylar mengibas tangan ringan sebelum masuk kamar mandi. “Sudahlah .... Tak masalah sama sekali, Bae. Berikan undangan itu padanya kalau kau bertemu dengannya besok.”

Skylar jelas tampak ingin mengesankanku; membuktikan diri menjadi istri yang baik bagiku sekaligus menjalin hubungan baik dengan sahabatku—yang jelas paling mengerti keadaan kami.

Meski demikian, hari-hari berikutnya Skylar menjadi amat sibuk. Dia berangkat pagi-pagi buta. Tertanda dari penemuan ranjang sebelahku yang kosong dengan sprei masih tertata rapi seperti tidak ditiduri. Mulanya aku curiga dia tidak pulang. Namun, terbantahkan oleh basahnya kamar mandi, sehelai-dua helai rambut yang tertinggal di saluran pembuangan air dan aroma sabun yang memenuhi ruangan lembap tersebut.

Tanda itu berlanjut pada setelan kerja pilihan Skylar yang sudah digantung di sisi cermin closet, seperti menempati bagiannya tersendiri. Lalu alu ketika turun ke dapur, sudah tersedia sarapan buatannya di meja pantri yang kuketahui melalui catatan kecil yang ditinggalkannya.

Itu terjadi setiap hari selama hampir tingga minggu.

Suatu kali, aku yang sudah setengah tertidur dengan mata amat berat untuk dibuka seratus persen, mendapati Skylar mengecup keningku. Dari situlah lamat-lamat aku tahu dia baru pulang dan kembali ke setelan pabrik; mengenakan kaus hitam dan printilan hitam lainnya secara asal-asalan tanpa riasan. 

Tidak hanya itu, Skylar juga jarang menghubungiku. Pesannya hanya berisi sesuatu yang singkat. Misalnya dia akan lembur dan pulang telat tanpa pernyataan cinta. Mungkin dia buru-buru mengetik pesan sehingga tidak dapat mengetik panjang lebar.

Sejenak aku merasa marah, tetapi di samping itu harus memahami situasi dengan akal sehat. Aku sempat berpikir dia menghindariku—entah apa yang kulakukan kepadanya, aku tak tahu letak kesalahanku ada di mana. Namun, aku menepis pikiran tidak berdasar itu walau sejujurnya aku tidak yakin dan tidak menyangka kalau persiapan peluncuran album baru kolaborasi antara The Black Skull dan Lupara begitu banyak menyita waktunya.

Setelah itu, muncul pertanyaan: Apakah aku terlalu memaksa Skylar menuruti keinginanku? Ataukah dia yang terlalu memaksakan diri? Toh, aku sudah menyinggung-nyinggung perihal resor ibunya yang dia damba-dambakan. Dia bisa memilih antara melanjutkan kontrak pernikahan kami atau tidak, bukan? Lalu kenapa Skylar sangat bekerja keras untuk bisa menyesuaikan diri denganku? Tolong, jangan katakan dia ingin membalas utang budi padaku yang telah merawatnya selama sakit.

Maksudku, aku tahu dan mengenal seperti apa Skylar. Sampai beberapa waktu ini, aku kurang yakin bisa mengenalinya lagi. Seperti ada sesuatu yang memberi jarak pada kami. Namun, lagi-lagi itu terbantahkan pada insiden di minggu ketiga bulan Oktober ini.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, atau petir menyambar-nyambar, sekonyong-konyong Skylar muncul di kantorku tepat jam makan siang kurang satu menit. Selanjutnya tanpa mengatakan apa pun, dia menutup pintu di belakangnya dan menguncinya. Langkah berikutnya dia melempar tasnya di meja dan duduk di pangkuanku guna menciumku amat liar bagai seseorang yang sungguh dahaga, yang membutuhkan air untuk menghidupinya kembali. Dia seperti orang yang dikuasai amarah yang hanya dapat dipadamkan oleh ciumanku.

Masih belum pulih dari kekagetan serta berusaha mengimbangi ciuman liarnya, aku mendapati Skylar terburu-buru melepas setelan kerjaku. Setelah dengan gesit turun dari pangkuanku, dia berkata, “Aku menginginkanmu sekarang, Horizon Devoss,” sambil dengan cekatan membuka kepala ikat pinggangku.

Biasanya aku yang mendominasi, tetapi kali itu dia yang memegang kendali.

Sudah kukatakan sebelumnya bahwa akhir-akhir ini kami jarang sekali berkomunikasi. Jadi, mulutku bagai perangkat besi berkarat yang susah diajak bekerja sama mengeluarkan kata-kata, kecuali gerungan nikmat yang jelas tidak bisa kutahan kemunculannya.

Hei! Pria normal pengkonsumsi steroid mana yang bisa menolak? Dihadirkan logika seakurat apa pun, tak akan ada yang bisa menolak tubuh molek Skylar. Aku bagai terjerat lingkaran berbahaya yang dampaknya sama persis dengan menyuntikkan nimfetamin ke pembuluh darah. Memabukkan, membuatku melayang sampai aku lupa siapa diriku atau di mana kami berada.

Setelah kami rampung beradu keringat secara dewasa dan Skylar ambruk terkulai lemas di pelukanku dengan napas kami yang saling memburu, ponselnya berbunyi. Istriku mengeram kesal. Mulutnya mengeluarkan banyak umpatan pelan. “Semoga Ched sakit perut, atau kakinya tersandung sesuatu, atau matanya kelilipan debu!”

Secara bersamaan, Skylar yang tampak sekali malas dan marah, terpaksa turun dari pangkuanku. Lalu dia buru-buru membenarkan celana jinsnya yang tinggal satu kaki dikenakan, juga merapikan penutup dadanya yang berantakan, serta mengenakan sebelah sepatunya.

Semua gerakannya menggunakan tangan satu sebab tangan lain sibuk mengangkat telepon. “Ya, ya, aku akan segera ke sana!” geramnya seraya melicinkan rambutnya yang agak acak-acakan sehingga penampilannya normal. Dia lalu meraih tasnya sebelum pergi dari kantorku tanpa menoleh atau mengatakan apa pun kepadaku.

Woah, apa itu tadi? tanyaku dalam hati berkali-kali sebelum merapikan penampilanku waktu itu.

Setelah beberapa menit dari kepergian Skylar, spekulasi baru terbentuk di benakku bahwa aku seperti baru saja diberi layanan gratis oleh wanita penghibur di tengah penatnya bekerja. Namun, aku tak semestinya berpikir seperti itu. Bagaimanapun, Skylar istriku dan aku seharusnya paham dia sibuk. Dia pasti benar-benar ingin memberiku kesan mendalam karena di waktu yang sempit baginya itu dia menyempatkan diri mengunjungiku.

Sejak kesibukannya itu, aku juga jadi banyak mempertanyakan sesuatu. Apakah aku terlalu keras padanya? Haruskan aku mengendorkan permintaanku padanya untuk menjadi istri sempurna? Haruskah aku memberinya waktu longgar lebih banyak, misalnya memperbolehkannya pergi dengan teman-temannya di akhir pekan? Semestinya, aku tidak merenggut waktunya untukku sendiri, bukan? Itu keegoisan yang nyata.

Kini, aku perlu mengingatkan diri bahwa besok sudah memasuki bulan November, yang artinya kurang dua bulan kami akan bercerai. Sejujurnya, setelah apa yang kami lewati bersama, aku agak berat melakukannya. Namun, di sisi lain, aku benci kenyataan Skylar hanya berpura-pura mencintaiku. Aku benci lagaknya yang menyiksa diri dengan harus menuruti kemauanku.

Maka dari itu, sebaiknya aku tak menahan wanita itu lebih lama di sisiku, mengurung dirinya untuk diriku sendiri. Aku ingin Skylar bebas, seperti dia bebas sebelum kukejar-kejar dulu. Aku dapat melihatnya amat hidup dengan perasaan apa adanya, bukan dengan akting berpura-pura mencintaiku sepanjang pernikahan kami.

Aku menarik napas dalam lalu mengeluarkannya. Kenapa pikiran-pikiran ini jadi terasa berat?

“Dia ingin meminjam uang dengan jumlah fantastis. Katanya ada bisnis yang ingin dijalankannya. Maksudku, dia sudah memiliki bisnis kelab malam, hotel, apartemen, resor dan cottage yang pendapatannya pasti tidak main-main. Kenapa dia harus meminjam uang untuk modal usahanya?” Penjelasan Johnson menarik pikiranku tentang Skylar. “Seharusnya dengan penghasilan besar dari bisnis-bisnis itu uangnya bisa diputar. Aku khawatir ini akan jadi sesuatu yang bentuknya ilegal, Sir.”

“Ilegal?” ulangku gemas dengan satu alis terangkat yang tidak mengubah posisi tanganku menopang dagu. Sementara punggungku bersandar di kursi kerja, ingatanku menajam dan mengerucut tentang segala bisnis yang digeluti Jayden.

Johnson tidak memberi penjelasan lebih lanjut. Sebaliknya, pria itu membeberkan hal lain yang masih berkaitan dengan ini. “Bagian menariknya mereka tidak akan menggunakan hipotek atau jaminan lain karena yakin bisnis ini akan tumbuh subur.”

“Kusarankan sebaiknya Diamond Bank tidak terlibat, Dude,” usul Ralph. “Aku melihatnya dari segi bidangku. Bank kita memang sesuai hukum internasional dan memang keuntungannya amat besar kalau proyek ini kita ambil. Tapi kau tentu tahu, keuntungan besar berarti berisiko sama besarnya.”

“Tapi apa yang terjadi kalau Diamond Bank menolak kerja sama dengan Jayden Wilder, Sir? Aku khawatir itu sikap kurang ajar. Lepas tangan darinya ketika pihaknya mati-matian membantu kita. Tidak mungkin pihaknya menawarkan persahabatan saja, kan? Lagi pula persahabatan bisa bermakna luas. Seperti tolong-menolong dan lain sebagainya,” tanggap Johnson sungguh realistis.

Ponselku berdering di meja. Sekilas aku melirik layarnya. Dikarenakan mendapati Skylar yang menelepon—yang mana itu sesuatu yang langka akhir-akhir ini, aku lantas cepat-cepat berkata kepada Johnson. “Kapan pihak Jayden ingin tahu keputusan kita, John?”

“Lebih cepat lebih baik. Tapi Nicolo bilang tidak terlalu mendesak.”

“Kalau begitu, hubungi konsultan keuangan agar kita bisa melihat untung dan ruginya dulu. Dan Ralph, tolong tinjau lagi soal hukum. Proyek ini tidak boleh kita putuskan terburu-buru. Dan sekian untuk diskusi hari ini.”

“Baik, Sir,” jawab Johnson yang kemudian mengemasi barang-barangnya.

Aku tak melihat apa yang dilakukan Ralph. Sebab aku segera menghadap dinding kaca belakangku yang menampilkan langit petang, guna mengangkat telepon dari Skylar yang masih berdering.

“Ya?” sapaku.

Apa kau sudah di rumah?” tanya Skylar.

Sebelah alisku naik. Rupanya Skylar belum pulang. Baru kali ini aku menjumpai seorang wanita yang tidak sibuk mempersiapkan pesta Halloween jauh lebih awal. Jadi, aku menjawab, “Sebentar lagi aku akan pulang. Di mana kau sekarang?”

“Baiklah. Aku sedang perjalan pulang sekarang. Well, aku hanya memastikan kau tidak lupa acara pesta Halloween malam ini.”

“Tentu aku ingat. Sampai bertemu di rumah, Bae.”

“Apa-apaan ini? Kostum macam apa ini?” tanyaku tak percaya dengan kostum—jika memang bisa disebut demikian—yang disodorkan Skylar.

Dengan tampang tanpa dosa, Skylar yang berdiri di depanku pun balik bertanya, “Memangnya kenapa dengan ini? Kurasa ini bagus.”

“Bagus?” ulangku dengan nada meninggi. Mendadak jengkel. Pantas saja dia tidak terburu-buru bersiap-siap ke pesta atau meributkan sesuatu tentang dandanan Halloween seperti kaum wanita pada umumnya. “Aku tahu seleramu memang tidak umum, Bae. Tapi ini juaranya.”

Skylar ber-cak lalu lebih giat menyodorkan salah satu dari dua lembar sprei putih yang telah dia lubangi menggunakan gunting. “Sudahlah, jangan protes. Ini bagus. Ayo cepat pakai saja. Sebentar lagi pestanya akan dimulai.”

“Inikah kostum hasil diskusimu dengan Katerine sampai rela pulang malam waktu itu?” sindirku.

Sekali lagi Skylar ber-cak, kemudian berkacak pinggang. “Pilih mana? Ini atau tisu toilet yang harus kulingkarkan di seluruh badanmu agar mirip mumi?”

“Sangat kreatif,” sarkasku yang terpaksa menerima dan mengenakan sprei putih itu. Aku menyesuaikan diri agar mataku tepat berada di lubang-lubang maha karya Skylar.

Belum cukup terkejut dengan jenis kostum paling tidak seram di muka bumi ini, Skylar—yang sudah berkostum sepertiku—memakaikan kacamata hitam kepadaku.

Voilà! Kostum kita selesai. Lihat, aku juga pakai kacamata yang sama denganmu. Sekarang, mari kita berangkat.”

Setengah jam kemudian, kami hampir tiba di Harmoni Studio. Jalanan yang terdiri dari bangunan berhias berbagai pernak-pernik Halloween agak macet, tetapi kami sama-sama tidak mempermasalahkan akan tiba tepat waktu atau tidak. Orang-orang berkostum Halloween yang keluar dari masing-masing kendaran tersebut memadati lobi Harmoni Studio. Banyak blitz kamera paparazi di depan gedung yang mencoba dihalau oleh para petugas keamanan.

Kami mendapat antrean cukup panjang sampai dapat masuk sepenuhnya di lobi. Untunglah aku tidak menyetir sendiri malam ini. Kalau iya, pasti sudah kubelokkan mobil ini kembali ke rumah.

Di depan pintu masuk, petugas keamanan memeriksa tiket pesta kami. Setelah lolos, kami diizinkan masuk. Dari luar pun musik nuansa gelap yang identik dengan Halloween terdengar. Di situlah aku bertanya-tanya apakah Ralph sudah di sini.

Skylar menggandengku untuk menerobos kerumunan. Ada panggung agak tinggi di tengah ruangan yang dihias seram itu. Tidak ada kursi di depan panggung, tetapi aku bisa menjumpainya di sudut-sudut, tidak jauh dari meja kudapan. Setelah menawariku minum, Skylar mengajakku duduk. Sayang sekali hanya tersedia bagi satu orang.

“Boleh aku duduk di pangkuanku?” pinta Skylar agak lebih kencang sehingga suaranya bisa mengalahkan musik.

“Ya, kemarilah.”

Maka, Skylar pun duduk di pangkuanku dengan posisi miring. Sebelah tangannya merangkul leherku, dan tangannya yang lain memegang gelas. “Aku mengambil minuman tanpa alkohol. Momster sudah berpesan aku tidak boleh mabuk karena lusa ada undangan dari radio.”

Sama dengan Skylar. Aku balas melingkarkan sebelah lengan ke tubuhnya sementara tangan lain sibuk memegang gelas sampanye. “Ya, demi kebaikanmu sendiri. Omong-omong, kacamata ini membuatku hampir tidak bisa melihat. Di sini agak gelap. Lalu, kostum ini dengan kau dipangkuanku membuatku tak bisa menyesap minuman. Sebaiknya tolong letakkan saja gelasku di meja depanmu.”

“Ups, maaf. Tapi tak ada kursi lagi. Lagi pula aku senang di pangkuanmu.” Skylar meraih gelasku lalu meletakkannya di meja hadapannya bersama gelasnya sendiri.

Lalu, tiba-tiba aku menjadi senang karena kami mengenakan kostum jelek ini dan ingin usil. Aku menyelipkan tangan dalam sprei Skylar untuk menyusuri perutnya.

“Bae .... Jangan tiba-tiba berdamai dengan kostum ini!” protesnya sembari meraih tanganku. “Oh ya, apa kau sudah memberikan undangannya kepada Ralph?”

Aku mengeluarkan tangan dari sprei Skylar dan melingkarkan seluruh lenganku di tubuhnya. Kepalaku kusandarkan di dadanya yang berdebar kencang. “Sudah. Tapi tidak tahu kapan dia berangkat. Tadi kami rapat lalu kau meneleponku. Setelah aku menutup teleponmu, dia dan John sudah tidak ada di ruanganku.”

Tiba-tiba datanglah seorang wanita yang mengenakan kostum Harley Quinn. Setelah dia mendekat, aku baru bisa mengenalinya sebagai Katerine.

“Ya Tuhan, ternyata benar kalian mengenakan kostum ini,” komentar Katerine.

Agak jengkel karena diganggu, aku mengangkat kepalaku untuk menghadap Katerine. “Jadi benar kalian merencakan kostum ini untuk mengerjaiku?”

“Aku tidak mengerjaimu, Bae,” bantah Skylar. “Aku hanya berpikir ini cocok untuk kita. Dua hantu kecil.”

“Ya, ya, ya, dua hantu kecil,” sarkasku.

“Lagi pula kau sudah berdamai dengan kostum ini.”

“Tapi kau mencegah kedamaianku berlangsung, Bae.”

“Sudah teman-teman. Aku ke sini untuk meminjam Sky. Kau tak keberatan, kan, Devoss?” lerai Katerine.

“Ya, silakan.” Kupikir aku akan menyesap minumanku selagi istriku dibawa Katerine.

Dikarenakan merasa tidak nyaman, aku melepas kacamata hitam dan sprei ini. Di saat aku mengambil minuman di meja depanku, ketiga wanita berkostum cowboy yang duduk di sebelahku tiba-tiba mengajakku mengobrol.

“Oh My God, beruntungnya kau ditinggalkan di sini bersama kami,” kata salah seorang yang melepas topi cowboy berkata padaku. Dia duduk yang paling dekat denganku.

“Kenapa kostummu jelek sekali? Pacarmu tidak pandai memilih kostum, ya?” sahut yang berkemeja biru terang motif kotak-kotak putih top crop, dengan dua kancing atas yang terbuka. Sehingga belahan dadanya yang montok terlihat. Aku yakin kalau dia berjongkok, rok bayi yang dikenakannya itu tidak bisa menutupi pantatnya.

Aku melirik mereka sekilas. Sambil menyesap minumanku, aku berpikir seandainya Skylar berkostum mirip mereka, aku pasti akan marah besar. Untunglah dia memilih kostum ini. Dia tidak hanya melindungi tubuhnya dari pandangan pria lain, tetapi juga wajahnya.

Kukatakan, “Dia bukan pacarku—”

“Hei, Ladies. Jangan mengganggunya. Apa kalian tidak lihat cincin pernikahannya?” sela seorang pria berkostum ninja. “Minggir! Aku mau duduk di sini!” usirnya.

“Menyebalkan! Kau merusak kesenangan kami, Mason!” teriak para wanita itu.

“Padahal kelihatannya dia ingin bersenang-senang juga dengan kami!” sahut salah satu dari wanita itu sembari mengikuti dua temannya pergi.

“Minggat sana! Cari pria lain!” usir—sialan!—Alton Mason. Entah keberuntungan atau bencana aku diselamatkan olehnya.

Pria itu duduk di kursi terdekat dariku setelah para wanita tadi pergi. Dia membuka maskernya, meletakkan pedang yang diselempangkan di punggungnya. Lalu dia mengeluarkan kotak besi kecil yang rupanya berisi kertas rokok dan tembakau.

Tidak hanya itu, Alton juga mengeluarkan plastik bening yang berisi bubuk putih. Sebelum menekan salah satu hidung untuk menghirup bubuk tersebut, dia meletakkannya di selembar kertas rokok. Alton terlihat seolah-olah merasa dirinya lebih baik setelah barang tersebut merasuki tubuhnya.

Sialan! Aku harus pergi dari sini. Diam-diam aku menyusurkan pandangan untuk mencari Skylar. Susah sekali mencari istriku di antara lautan manusia. Bagai mencari jarum ditumpukkan jerami. Namun, ekor mataku tetap menangkap gerak-gerik Alton.

Setelah merakit rokok dengan bubuk putih tersebut, Alton mengulurkannya padaku. “Mau? Ini hanya ganja. Ambillah, anggap saja aku telah menyelamatkanmu dari para ular itu, selagi menunggu Sky kembali.”

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan benerin typo

It means a lot to me

Bonus foto:

Skylar Betelgeuse

Horizon Devoss

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Rabu, 31 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top