Chapter 37
Selamat datang di chapter 37
Tinggalkan jelas dengan vote dan komen
Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you enjoy and love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Cinta itu memberi atau membagi perasaan
Tapi menerima cinta yang sama itu bonus
—Katerine
____________________________________________________
Musim gugur
New York, 3 Oktober
Pukul 19.10
Kehadiran sahabat Horizon menjadikanku gamang. Aku tahu itu mungkin tidak akan terjadi apabila aku dan Ralph Brachii tidak memiliki kenangan di Raoul’s. Lalu pertanyaan dengan nada membujuk bagai memiliki ancaman terselubung dalam tatapan mata Ralph, menempatkan diriku pada posisi sulit. Aku harus menjawabnya dengan hati-hati dan sebijak mungkin. Sebab hal paling buruk yang terakhir kuinginkan ialah Ralph memberi tahu Horizon soal kenangan kami.
Apabila aku ingin memupuk hubunganku dan Horizon hingga tumbuh subur tanpa adanya tanda-tanda kekeringan, dan dilihat dari poin-poin kontrak pra pernikahan, tentunya suamiku tidak boleh mengetahui rahasia kecilku bersama Ralph, bukan?
Masalahnya, aku tidak bisa memutuskan seenakku sendiri bisa mengajak Ralph ke pesta Halloween itu. Maka, sembari berusaha merakit senyum walau terasa kaku, aku mengaku, “Sebenarnya bukan aku yang mengadakan pesta itu.” Melihat perubahan ekspresi Ralph menjadi murung, aku buru-buru menambahkan, “Tapi kau tenang saja, aku akan menanyakannya pada penyelenggara.”
Rupanya, itu tidak lantas membuat Ralph lega. Aku pun tidak. Perasaanku makin waswas ketika dia memaksa, “Ayolah, Sky. Hanya satu orang.”
“Begini, Ralph, kalau aku yang mengadakan pesta itu, aku pasti akan dengan senang hati mengundanganmu.”
Horizon menyela perkataanku yang belum kulanjutkan. “Lalu apa masalahnya, Bae? Dia sahabatku. Seharusnya tak apa-apa ikut. Kasihan dia. Sedang perlu hiburan.”
Meski baru bisa memahami kemurungan Ralph yang disebabkan batal kencan dari percakapan terakhirnya bersama Horizon, aku tetap tidak bisa seenaknya mengajak Ralph.
Kupindah-pindahkan tatapanku. Dari Horizon ke Ralph, lalu ke Horizon lagi. “Masalahnya ada undangan khusus yang harus diserahkan sebelum masuk pesta Halloween Harmoni Studio,” beberku pelan-pelan, kemudian aku mengunci tatapan pada suamiku. “Seseorang yang bekerja di sana hanya memiliki satu undangan yang diperuntukkan plus satu orang dan aku sudah mengajakmu, Bae.”
“Rumit,” jawab Horizon singkat. Kedua bahunya mengedik ringan sebelum menyesap martininya.
Aku mengangguk setuju. “Memang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pihak kami hanya menerima undangan terbatas, khusus untuk kami. Katanya Harmoni Studio ingin mencegah kalau-kalau ada wartawan atau semacamnya yang menyusup. Mereka juga sudah cukup sering bergerombol di depan pintu utama beberapa hari terakhir ini karena desas-desus album baru sakan meluncur di pasaran.
“Paparazi sangat gencar mencari informasi tentang itu. Kalau informasi liriknya bocor, sudah pasti kami terancam. Bisa-bisa musisi lain akan memplagiatnya. Tapi seperti yang kubilang tadi, Ralph. Aku akan menanyakannya pada pihak penyelenggara.”
Syukurlah, Ralph mengerti dan tidak mendesakku lagi. Dia hanya mengatakan, “Baiklah, kutunggu kabar baik darimu, Sky.”
Namun, tetap saja kala melihat ekspresi Ralph yang belum kembali ceria seratus persen belum membuatku bernapas leluasa.
Penyesalan kini datang menghampiriku; kenapa aku harus menyeret Ralph waktu itu? Kalau tidak, aku pasti tidak akan sekhawatir ini dan harus direpotkan dengan hal-hal—yang seharusnya—tidak penting seperti ini.
Maka, untuk meredakan gejolak rasa bersalah dan kegamangan ini, aku pura-pura ke restroom. Aku duduk di kloset yang tertutup lalu mengetik pesan kepada Ralph.
Skylar Betelgeuse:
Aku janji akan mendapatkan undangan itu untukmu. Tapi tolong jangan beritahu apa pun ke Horry soal Roul’s atau Break Page.
Tak sampai sepuluh detik kemudian ponselku bergetar dan berbunyi. Tanda sebuah pesan masuk dari Ralph, seolah-olah pria itu memang tengah menanti-nantikan pesanku sejak tadi.
Ralph Brachii:
Tenanglah. Aku tak akan mengatakan rahasia kecil kita kepada Horry. Dan terima kasih sudah mau mengusahakannya. Kuharap aku dapat undangan itu.
Untuk detik ini, meski perasaan waswasku terhadap terjaminnya keamanan rahasiaku bersama Ralph lumayan berkurang, tetapi muncul rasa bersalah pada bagian dari diriku yang lain. Pasalnya, aku jadi menutupi rahasia dengan rahasia lain. Semoga itu bukan persoalan besar yang di kemudian hari akan menimbulkan dampak negatif bagi hubungan pernikahanku dengan Horizon.
Keesokan paginya sudah memasuki spooky season. Setiap jalan raya dan gedung-gedung yang mengisi New York telah dihias seram dengan dominasi warna hitam, ungu, dan oranye. Begitu pula dengan Harmoni Studio. Bagian depan gedung itu dihias jaring laba-laba yang terbuat dari tali hitam. Dua boneka dewa kematian membawa sabit menyambutku di depan meja resepsionis. Di pojok kiri sebelah pintu masuk labu-labu ukuran besar yang sudah diukir wajah seram tergeletak bersama berbagai macam hiasan; penyihir, tengkorak, zombie, dan vampir mainan serta batu nisan yang terbuat dari kayu. Banyak juga kelelawar serta laba-laba yang menggelantung di langit-langit.
Tak ingin membuang waktu lebih lama dengan melihat-lihat hiasan, aku bergegas menuju ruang penanggung jawab pesta untuk menanyakan apakah masih ada sisa undangan. Rupanya itu tidak sesuai harapanku. Undangan itu benar-benar terbatas dan sudah disebarkan ke seluruh orang yang bekerja di Harmoni Studio sehingga tidak ada satu pun yang tersisa. Tidak ada bentuk undangan elektronik karena bentuk kehati-hatian kami. Aku pun keluar ruangan dengan lesu.
Ketika berjalan kembali ke lantai dua dan tidak sengaja melihat Katerine bersama Elijah, bola lampu tiba-tiba menyala di atas kepalaku mirip di film-film kartun; pertanda sebuah ide cemerlang datang. Aku melancarkan ide itu dengan buru-buru menggeret Katerine ke restroom di lantai yang sama untuk kutanyai.
“Kau akan datang ke pesta Halloween dengan Elijah, kan?” Rupanya, membahas pria itu dapat membuat wajah Katerine berseri-seri. Dia bahkan tersipu malu dan hanya mengangguk. Jawaban itu menjadikanku bersemangat. “Kalau begitu, kau tidak perlu undangan ganda, bukan? Kau bisa masuk dengan undangan Elijah. Maksudku, boleh tidak, undangan Halloween-mu untukku saja daripada menganggur?”
Katerine menatapku heran. “Kenapa dengan undanganmu? Hilang? Tenang saja, teman-teman kita juga pasti mengenalimu. Kau tak perlu menunjukkan undanganmu.”
“Bukan, bukan untukku. Ini untuk Ralph Brachii,” bisikku.
Kombinasi antara terkejut dan geli terpatri di wajah Katerine. “Dia tiba-tiba akrab denganmu?”
“Sssttt!” Aku buru-buru membekap mulut Katerine. “Jangan bicara sembarangan!” omelku sembari melihat salah satu bilik restroom yang tertutup; sarat akan seseorang sedang menggunakannya. Dan aku jelas tidak ingin orang yang tidak kuketahui itu menguping pembicaraanku dengan Katerine. Lebih-lebih, membahas Ralph Brachii.
“Wah, ada apa ini? Padahal aku hanya bercanda. Tapi ternyata kau benar-benar jadi akrab dengannya? Kau belum menceritakannya padaku, Sky,” tagih Katerine yang sudah berhasil lolos dari bekapanku. Syukurlah dia ikut berbisik.
“Aku tidak akan menceritakannya di sini. Aku tidak ingin Alton atau siapa pun mendengarnya. Tapi kau harus janji akan memberikan undanganmu padaku.”
Jadi, selesai kerja, aku tidak langsung pulang. Melainkan mampir ke apartemen Katerine. Aku beralasan saling memberi masukan kostum Halloween kami kepada Horizon. Suamiku mengerti. Lalu begitulah, setelah kami makan malam di jam awal, aku menceritakan tentang Ralph kepada Katerine. Sahabatku itu kontan membodoh-bodohkan aku dengan tanggapan, “Kenapa kau baru bercerita tentang ... siapa namanya tadi, Sky?”
“Ginny Lauren,” jawabku tanpa memandang Katerine sebab sibuk meremas tanganku dan memandangi kaktus yang dulu kubelikan di Heratl Store. Sementara di luar jendela kamar Katerine angin musim gugur bertiup membentuk suara menderu. Beberapa ranting pohon setinggi lantai dua sedikit mengetuk-ngetuk kacanya.
Maksudku, sampai detik ini aku masih tidak mengerti. Ginny anggun, punya pekerjaan mulia, ceria dan dicintai semua orang. Hanya menyebalkan di bagian tidak ingin mendengar komentar orang lain. Lalu kenapa Horizon memilih untuk mengakhiri pertunangannya dengan wanita itu dan memutuskan menikah denganku sebelum aku memaksanya?
“Menurutku tidak ada yang salah dengan itu. Mungkin Horizon hanya ingin bersikap jujur pada Ginny Lauren kalau dia jatuh cinta padamu. Jadi, pertunangan mereka bubar. Kau bodoh karena menyeret-nyeret Brachii, Sky.”
Insting pertama seseorang yang terdesak adalah membela diri. Jadi, aku melakukannya. “Kate, aku melihatnya berduaan dengan Horry. Kelihatannya mereka sedang membicarakan masa lalu sambil membawa cincin tunangan. Saat itu aku bertindak impulsif dengan menggeret Ralph untuk kutanya-tanyai.”
“Lalu, apa hasil yang kau dapat dari Brachii?”
Bibirku terkatup rapat sebelum dengan lemas menjawab, “Dia tidak mengatakan apa pun.”
“Nah, itulah kebodohanmu!” maki Katerine lagi. Sambil menunjuk-nunjukku, dia berdiri di hadapanku yang duduk di kursi membelakangi meja riasnya. “Dia sahabat Horizon, Sky! Mana mungkin akan menceritakan alasan Horizon memutus pertunangannya dengan Ginny? Lagi pula itu bukan haknya. Sekarang, kau waswas karena rahasiamu dengan Brachii akan ketahuan Horizon, kan?”
Aku mengatakan, “Ya,” tanpa menyuarakannya.
“Aku heran. Kenapa kau tidak merusak kesenangan wanita itu bersama Horizon dengan berkata ‘aku sekarang istri Horizon dan seharusnya kau tidak berduaan dengan suamiku’ waktu itu?”
“Aku tentu akan berkata seperti itu kalau hubunganku dengan Horry tak ada batas waktunya sampai akhir tahun ini, Kate. Lagi pula kami sedang bertengkar waktu itu,” bantahku yang merasa amat nelangsa. “Sejak berpura-pura sampai jatuh cinta sungguhan pada Horry, dia tak pernah sekalipun berkata mencintaiku meski aku sudah berjuta-juta kali mengatakan itu kepadanya.
“Dia bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengubah perjanjian itu. Sekarang aku tahu melibatkan Ralph juga tak ada gunanya. Sebentar lagi aku tetap akan bercerai dengan Horry. Bagaimana ini, Kate? Aku tidak mau.” Aku melafalkan kalimat terakhir dengan amat lirih sembari membenamkan wajah ke kedua telapak tangan.
Katerine kontan memelukku dan menepuk-nepuk punggungku. “Yakinlah Horizon hanya tidak pintar mengungkapkan perasaannya. Aku yakin dia pasti tidak jadi menceraikanmu. Kenapa kau tidak menanyakannya langsung kepadanya, Sky?”
“Aku takut dia menolakku.”
“Sky, bukankah cinta itu tidak harus dibalas? Cinta itu memberi atau membagi perasaan. Tapi menerima cinta yang sama itu bonus. Tapi aku yakin Horizon memang mencintaimu.”
“Semoga dia memang mencintaiku dan ingin menghukumku saja dengan gertakan cerai karena aku dulu berencana berpura-pura mencintainya.”
“Semoga begitu. Omong-omong, aku penasaran seperti apa Ginny Lauren ini. Coba kucari dulu Instagramnya.”
Dengan cepat, Katerine melepas pelukannya untuk meraih serta menggulung-gulung layar ponselnya. Karena masih tidak bersemangat, aku tak sempat mencegahnya. Sesaat kemudian, dia menunjukkan beberapa akun Instagram, lalu aku menunjuk foto Ginny yang benar.
“Syukurlah akunnya tidak dikunci. Well, dia cantik dan anggun. Tapi persetanlah dengan itu. Mari kita lihat lagi. Eh, dia dokter bedah?” tanya Katerine yang jelas kelihatan terkejut.
“Ya,” jawabku masih selemas tadi. “Yang menangani operasi usus buntu Horry.”
“Ha? Kenapa kau baru menceritakannya pada—what the hell? Apa-apaan ini? Dia belum menghapus semua foto dan videonya bersama Horizon.”
Semangatku tumbuh dan aku langsung meraih ponsel Katerine untuk melihat Instagram Ginny. Tepat seperti yang dikatakan sahabatku itu. Foto dan video Ginny bersama Horizon sejak beberapa tahun silam belum dihapus. Ada swafoto mereka berciuman di balkon dengan latar belakang gedung-gedung malam yang berkelap-kelip dengan keterangan: Terima kasih, kado terbaik ulang tahunku. Jepang! lengkap dengan bendera negara itu. Horizon-lah yang memegang ponsel itu.
Ada juga foto Horizon dan Ginny di savana sedang bersama anak-anak kulit hitam yang rata-rata amat kurus. Anak-anak itu menggeleyuti mereka. Dilihat dari spanduk yang mereka pegang, mereka sepertinya bersama badan amal. Keterangan yang ditulis Ginny di foto itu berbunyi: Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menemaniku dan timku ke Afrika. Aku makin mencintaimu.
Dan yang paling menjengkelkan serta menusuk hatiku ialah video lamaran Horizon kepada Ginny yang kulihat di ruang rahasia Horizon, lengkap dengan tulisan keterangan: Mrs. Devoss, segera dan sudah tak sabar. Banyak yang memberi komentar selamat dalam video lamaran itu.
Foto yang terakhir Ginny unggah ialah kotak cincin pertunangannya dengan Horizon; kotak cincin yang pernah kupegang serta kutemukan di ruang rahasia Horizon. Tidak ada keterangan yang ditulis di sana. Kalau tidak salah ingat, tanggal pengunggahan foto itu ketika musim panas. Mungkin saat aku sakit. Entah apa maksud Ginny, aku tidak tahu dan tidak ingin menduga-duga.
Selama ini aku memang memiliki media sosial. Namun, bukan milik pribadi. Melainkan milik The Black Skull dan Katerine selaku managerlah yang memegang akunnya. Jadi, aku sama sekali tidak bisa menjelajah dunia maya. Dan setelah melihat semua unggahan foto serta video Horizon bersama Ginny, hatiku sakit sekali.
Aku memang cemburu. Namun, sakit hatiku bukan lagi ke arah sana. Sesuatu sedang mengusikku. Maksudku, mereka tampak begitu bahagia bersama. Terutama Horizon Devoss. Pria itu jauh lebih ekspresif bila bersama Ginny dibandingkan ketika sedang bersamaku. Sayangnya, Horizon tidak memiliki Instagram sehingga aku tidak bisa melihat akunnya dan apa saja yang diunggahnya.
Fokusku terpecah ketika mendengar Katerine bertanya, “Sky, kau tak apa-apa?”
Aku menyerahkan ponsel Katerine dan merakit senyum. “Aku tak apa-apa, Kate.”
Hanya tiba-tiba merasa amat bersalah.
“Maafkan aku, Sky. Seharusnya aku tidak mencari Instagram Ginny,” mohon Katerine dengan wajah sedih.
Aku berusaha menenangkannya. “It’s okey.” Lalu aku pura-pura melihat ponsel yang kutarik dari sakuku. “Omong-omong, sudah jam tujuh. Horry pasti menungguku pulang. Aku pergi dulu, Kate.”
Tanpa menunggu jawaban dari Katerine, aku pergi dari apartemennya. Di luar gedung, angin musim gugur yang membawa hawa dingin menerpaku. Aku mengabaikan desaunya dan berjalan tanpa arah dengan pikiran penuh serta hati amat tak enak. Begitu fokus, tahu-tahu aku sudah berada di sisi jembatan Manhattan. Banyak bangku kosong meski orang-orang terlihat berlalu-lalang. Tampaknya hawa dingin menahan mereka duduk di sana. Kecuali aku yang kini memutuskan menempati salah satu bangku kosong besi yang menghadap jembatan. Lampu-lampu di jembatan yang sudah dinyalakan terlihat begitu cantik.
Halloween kurang beberapa hari lagi. Itu artinya tanggal perceraianku makin dekat. Sementara itu aku belum bisa meyakinkan Horizon agar tidak menceraikanku. Masa depan bagi kami masih seperti rencana semula. Ditambah dengan adanya foto dan video Horizon bersama Ginny yang baru saja kuketahui, hatiku semakin gelisah.
Sekali lagi kuingat semua ekspresi Horizon di foto serta video itu. Tidak ada foto atau video berpose urakan atau unsur nakal dalam unggahan-unggahan Ginny. Semuanya elegan dengan ekspresi Horizon yang luar biasa ceria.
Aku makin bertanya-tanya apakah pernah Horizon menatapku seperti dia menatap Ginny seolah-olah wanita itulah dunianya? Apakah pernah Horizon seceria itu bila bersamaku?
Rasanya tidak.
Bila bersama Ginny, Horizon dan semua orang di muka bumi akan berpikir pria itu ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan Ginny—seperti yang telah diungkapkan saat melamar wanita itu. Sedangkan bila bersamaku dan bila ditelusuri lagi bagaimana kami selalu mengacu pada pertengkaran yang dipadamkan dengan seks liar—tak ada unsur elegan sama sekali—mendadak seolah-olah aku bisa membaca pikiran serta perasaan Horizon yang transparan.
Mungkin tidak hanya Horizon. Mungkin kebanyakan pria akan berpikir: oh aku hanya ingin bersenang-senang dengan Skylar. Kami memiliki pengalaman seks yang hebat. Tapi untuk hubungan serius? Astaga, dia terlalu buruk. Aku bahkan tak yakin dia bisa menjadi ibu seandainya terjadi kecelakaan saat kami lupa menggunakan pengaman ketika melakukan seks. Mungkin dia akan menggugurkan kandungannya dan aku tak peduli.
Ya, Horizon tampak seperti itu.
Aku dan Horizon tidak sejalan dan perbedaan itu sangat jelas sehingga membentuk asumsi-asumsi baru.
Apakah Horizon menikahiku lantaran terpaksa melakukannya? Pasti ada alasan khusus, bukan?
Aku mengembuskan napas berat. Uap tipis keluar dari mulut serta hidungku. Pandanganku kuarahkan ke atas karena ..., sial! Mataku mulai berkaca-kaca dan menangis bukanlah sesuatu yang ramah bagi tenggorokanku. Lagi pula, aku tak seharusnya menangis. Orang yang paling tersiksa di lingkaran hubungan kami adalah Ginny Lauren. Bukan aku. Sejak awal aku hanyalah orang luar yang masuk dan merusak lingkaran hubungan harmonis mereka. Mungkin itulah sebabnya Horizon tidak ingin memberitahu Ginny soal statusku selain “Adik perempuan kesayangan River”.
Sekarang apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus bertanya langsung kepada Horizon? Namun, apakah dia akan menjawabnya? Dan, bila dijawab, apakah aku akan siap dengan jawaban yang diberikannya?
Kepalaku pusing sekali dan kelopak mataku kian memanas. Pandanganku makin buram. Demi apa pun, aku tidak boleh menangis.
Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan benerin typo
It means a lot to me
Bonus foto:
Skylar Betelgeuse
Ekspresi Horizon Devoss waktu nikahin Skylar
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Selasa, 25 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top