Chapter 36
Selamat datang di chapter 36
Tinggalkan jelas dengan vote dan komen
Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you enjoy and love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Untuk apa bermimpi kalau tidak diwujudkan?
—Horizon Devoss
____________________________________________________
Musim gugur
New York, 3 Oktober
Pukul 14.35
“Mendadak ada pekerjaan tambahan ...,” keluh Skylar di seberang sambungan telepon. Suara agak manja wanita itu bersama bisikan napas halusnya membawa pikiranku ke arah lain.
Belakangan, istriku memang kerap menggunakan nada seperti ini; sedikit-banyak mengikis kepribadiannya yang mandiri dan tegas menjadi agak lunak serta mudah dititah atau dikendalikan—dalam artian baik—sesuai keinginaku. Tentunya, aku tidak akan semena-mena kepada Skylar.
Sering kali situasi, insiden, waktu, dan lain-lain, dapat mengubah kepribadian seseorang, bukan? Begitu juga dengan Skylar.
Pada kondisi itu, perasaan serta benakku terbelah menjadi dua buah pikiran yang terdiri dari segi positif dan negatif.
Segi positifnya, Skylar menjaga sikap. Dia telah bisa sedikit demi sedikit berlaku lebih bijak. Dia juga tidak lagi berbuat sesuka hati. Ke mana pun pergi tanpa diriku, dia pasti memberitahuku. Sering kali dia membuatkanku bekal makan siang yang selalu dicicipi Ralph. Selera busana Skylar pun sedikit demi sedikit berubah seperti manusia pada umumnya—padahal, aku tak keberatan sama sekali sebab yang terpenting bagiku adalah saat istriku tidak mengenakan apa pun.
Segi negatifnya, akumulasi dari sikap-sikap Skylar yang lebih baik itu membawa kekhawatiran dalam diriku dan mengundang pertanyaan lain; apakah semua perubahan itu merupakan cara Skylar untuk cepat mengambil alih resor ibunya lalu melepaskan diri dariku sesuai rencananya semula? Bila memang benar demikian, apakah itu baik untukku? Apakah aku rela melepaskannya secepat yang—kupikir—dia harapkan?
Suatu malam, ketika mendapatkan kesempatan pillow talk, aku sedikit menyinggung perihal tersebut dan jawaban Skylar benar-benar membuatku kebingungan. Dia memasrahkan segala urusan resor itu kepadaku sebab sedang merasa masih sangat sibuk memikirkan segala mempersiapkan peluncuran album baru. Katanya takut dia akan kewalahan lantaran pikirannya terbagi-bagi. Di saat aku meminta penjelasan lebih lanjut tentang rinciannya, Skylar sudah terbang ke alam mimpi dan kami belum memiliki kesempatan untuk membicarakannya lagi.
“Halo, Bae. Kenapa diam saja? Say something.” Suara Skylar memotong pikiranku. “Aku minta maaf. Ini benar-benar mendadak,” imbuhnya.
Aku berbalik tanya, “Apa kau sudah membuat reservasi?”
“Sudah. Apa kita harus membuatnya ulang?”
“Tergantung seberapa banyak pekerjaanmu,” komentarku.
“Aku tidak tahu. Semoga cepat selesai,” desahnya yang kemudian mengutarakan maaf secara hati-hati. “Maaf sudah membuatmu kecewa.”
“Sebenarnya tak masalah bagiku. Tapi bagaimana denganmu sendiri? Bukankah kau sudah lama ingin makan di restoran kesukaanmu itu?”
“Iya. Sudah lama aku tidak ke sana.”
“Nah, aku fleksibel. Keputusan ada di tanganmu, Bae.”
Terdapat jeda beberapa saat yang kelihatannya digunakan Skylar untuk berpikir sebelum memutuskan, “Kalau begitu, aku akan berusaha menyelesaikan pekerjaanku secepat mungkin tanpa kesalahan. Semoga Ched tidak menyiksa kami terlalu lama. Well, boleh tidak kalau aku berharap dia sakit perut atau semacamnya agar kami tidak jadi lembur?”
Semua garis bibirku tertarik ke atas membentuk senyum. Gelengan kepalaku menambah bukti gambaran keherananku. Dasar Skylar! Ada-ada saja! Aku jadi membayangkan wajahnya sekarang. Mungkin dia setengah putus asa dan setengah bermuka jahat. Ched selalu bisa membuat mood-nya berantakan.
“Aku akan menunggumu sambil melanjutkan pekerjaanku,” pungkasku. Berharap dia tidak merasa sendirian dalam situasi diburu pekerjaan. Semoga dengan ini mood-nya naik.
Skylar kenyiuk. Mendengar gema suaranya, aku yakin dia sedang bersandar di depan wastafel restroom sambil menempelkan ponsel ke telinga dan memegangi dahi dengan mulut cemberut. Mungkin dia juga menunduk guna mengamati sepatu pantofel cepernya yang akhir-akhir ini sering dipakainya. Sayang sekali kami tidak bisa melakukan panggilan video.
“Sebentar, Kate. Sebentar lagi aku ke sana. Aku sedang menelepon suamiku. Beri aku semenit saja.” Skylar berbicara kepada Katherine. Baru setelahnya kembali berbicara denganku. “Tapi kau bilang sedang tidak ingin lembur hari ini. Kenapa tidak pulang dulu dan beristirahat sebentar sebelum kita makan malam? Kukira kau masih punya beberapa jam untuk istirahat.”
“Aku takut ketiduran. Lagi pula, masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Walau tidak terlalu terburu-buru, kurasa selagi masih ada waktu, aku akan menggarapnya. Dengan begitu waktu luangku besok jadi lebih banyak dan aku bisa bersantai sedikit,” paparku logis dan diplomatis.
“Tapi kau harus janji malam ini akan tidur lebih awal. Kau harus menjaga kesehatanmu, Bae.”
“Aku tahu. Terima kasih sudah mengingatkanku. Kabari aku begitu pekerjaanmu selesai. Aku akan langsung menjemputmu dan kita makan di restoran favoritmu.”
Semangat Skylar terdongkrak. “Baiklah. Aku akan menutup teleponnya sekarang. Kate sudah memanggilku lagi. Kelihatannya Ched kesurupan. Jadi, aku harus mengusir roh jahat itu dari tubuhnya. Sampai jumpa, Bae. Aku mencintaimu.”
Semestinya, ungkapan cinta itu membuatku terbiasa sebab sudah sering diucapkan Skylar. Namun, untuk alasan yang tidak kumengerti, jantungku makin lama makin menggila karenanya. Dan aku tidak ingin memikirkan yang menjadi kekhawatiranku akan pengaruh ungkapan cinta tersebut.
“Ya, sampai jumpa nanti malam,” balasku sebelum Skylar resmi memutus sambungan telepon kami.
“Kita akan lembur lagi malam ini?”
Pertanyaan yang dilontarkan Ralph baru menyadarkanku jika aku tidak sendirian di ruang kerjaku. Ada sahabatku itu dan Johnson. Selain menatapku lekat-lekat dengan mata memohon kebaikan atas jawabanku selanjutnya, mereka berdua duduk di sofa kulit hitam berlengan bersebrangan denganku. Tiga laptop menyala di hadapan kami di meja kaca rendah yang dikelilingi sofa ini.
“Tidak. Aku saja yang lembur. Kalian pulanglah tepat waktu,” jawabku yang memuaskan mereka. Jariku menggeser kursor agar tampilan latar belakang laptop berganti menjadi pekerjaan yang kami diskusikan.
Ralph langsung sumringah. “Baguslah. Aku jadi tidak harus membatalkan kencanku malam ini.”
“Wah, suatu pergerakan, Ralph?” ejekku, tetapi ikut senang hubungan Ralph mengalami kemajuan meski aku kurang suka caranya mendekati wanita yang masih bersuami. Kendati mengkompor-komporinya beberapa waktu lalu, aku tetap khawatir dia akan dituduh atau dicap sebagai perusak hubungan rumah tangga orang lain. Lebih-lebih, itu kliennya. Aku khawatir itu akan berdampak pada reputasinya sebagai pengacara.
Sambil membuka kedua lengan yang sebelumnya mengedikkan bahu, pria itu berkata dengan sedikit malu-malu. “Kita lihat saja nanti, apakah ada kemajuan atau tidak.”
Pukul enam petang, pekerjaan Skylar akhirnya selesai. Ketika aku menjemputnya, kami tidak sengaja berpapasan dengan mantan kekasihnya yang menatapku seakan-akan aku ini kuman yang harus dibasmi. Aku mengabaikan Alton Mason. Tidak ada gunanya membesarkan ego dengan balik menatapnya secara bengis. Seolah-olah dengan saling menatap kami bisa saling membunuh.
Setibanya di depan bistro Prancis bernama Raoul’s, aku mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya restoran ini tidak asing. Aku yakin pernah mendengar nama restoran ini disebut-sebut sebelumnya. Namun, kapan dan oleh siapa? Otakku yang lelah bekerja benar-benar menolak dipekerjakan lagi untuk menggali ingatan tentang ini sehingga membuatku lupa.
“Ayo masuk, Bae,” ajak Skylar yang menggamit lenganku.
Angin musim gugur menyertai langkah kami melewati pintu depan yang dibukakan serta disambut salah seorang pramusaji. Udara dingin segera tergantikan oleh kehangatan yang dihasilkan mesin penghangat ruangan. Kami melepas mantel yang kemudian disimpan pramusaji tersebut.
Di depan meja resepsionis, Skylar mengatakan namanya dan salah seorang pramusaji lain segera mengantarkan kami ke meja pesanan kami. Malam ini restoran lumayan ramai. Hampir semua kursi terisi. Aroma lezat, obrolan-obrolan berisik serta dentingan alat makan berbaur menjadi satu di pendengaran kami. Meski demikian, dilihat dari binar matanya, Skylar kelihatan senang dan sama sekali tidak menyesali keputusannya tidak membatalkan kencan di sini.
Sewaktu melewati salah satu meja, tepat sebelah meja yang dipesan Skylar, betapa terkejutnya aku mendapati Ralph duduk di sana sendirian. Segelas minuman pembuka sedang disesapnya sedikit. Skylar sepertinya tidak menyadari kehadiran pria itu sebab masih terus berjalan bersama pramusaji hingga duduk di kursinya.
“Ralph? Rupanya kau kencan di sini juga?” sapaku.
“Horry dan Skylar,” sapa balik Ralph dengan wajah berseri-seri, tetapi senyumnya kelihatan dipaksakan. Tidak ada reaksi terkejut. Dari Skylar yang masih belum menyadari kehadirannya, tatapan Ralph berpindah kepadaku. “Rencananya aku memang kencan di sini. Aku sudah di sini dari tadi,” lanjut Ralph.
“Kau tidak menjemputnya dan kemari bersama-sama?”
Ralph menyengir. “Mana mungkin? Kabar baiknya, dia baru saja mengirim pesan akan sedikit terlambat karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi aku yakin dia akan datang sebentar lagi karena ini restoran kesukaannya.”
Pada detik ini aku menyadari. Benar aku pernah mendengar nama restoran ini disebut-sebut seseorang. Ternyata orang itu adalah Ralph. Restoran ini merupakan restoran favorit klien wanita yang disukainya. Yang tak kusangka akan sama dengan Skylar.
Dilihat dari jenis pengunjung, mungkin kebanyakan wanita memang suka restoran ini. Selain tempatnya strategis, bangunan serta penataan ruangnya sangat bagus seolah-olah sedang bertandang ke Paris.
“Kalau begitu, aku akan duduk di kursiku. Semoga berhasil, Dude.” Aku menepuk pundak Ralph sebelum duduk di kursiku. Pramusaji lekas memberi menu kepadaku dan Skylar.
“Air mineral, terima kasih,” gumam Skylar kepada pramusaji yang hendak menuangkan minuman pembuka berupa martini kepadanya.
Setelah memesan satu set menu lengkap berupa hidangan pembuka, utama dan penutup, aku berkomentar, “Tak kusangka restoran Prancis.”
“Aku pernah tinggal di Paris selama beberapa tahun. Jadi, ada di saat-saat aku merasa merindukan suasana dan makanannya. Bistro di New York ini lumayan, meski suasananya tidak seratus persen mirip di Paris,” jawab Skylar senang. Dia kemudian bertanya, “Kenapa kau tadi berhenti di kursi itu? Ada seseorang yang kau kenal?”
Aku mengikuti arah padangan Skylar yang tertuju kepada Ralph. Pria itu sedang melihat ke luar jendela, sehingga wajahnya tidak kelihatan. “Dia Ralph. Kau tak mengenalinya?” Setelahnya, aku menggumamkan terima kasih kepada pramusaji yang baru saja menuangkan martini ke gelasku sehingga tak sempat mengamati reaksi Skylar.
“Karena tatapanku selalu tertuju padamu, Bae,” gumam Skylar yang masih bisa kudengar dengan jelas. Namun, dia cepat-cepat mengubah omongannya. “Aku tidak sadar karena sibuk senang. Tapi, kenapa dia ke sini?”
Ada nada waspada dalam kalimat terakhir Skylar yang terkesan aneh bagiku. “Ini restoran, Bae. Kenapa kau masih bertanya? Tentu saja dia ingin makan. Memangnya dia ingin berenang?”
“Oh, tentu saja. Maksudku, apa kau yang mengajaknya?”
“Kalau aku mengajaknya, dia pasti sudah satu meja dengan kita. Tapi, tidak, dia sedang menunggu seseorang.”
Skylar mengangguk-angguk lega. Keanehan yang kurasakan atas bentuk kewaspadaannya yang lenyap menenangkanku. Tak lama kemudian hidangan pembuka diantarkan pramusaji. Kami pun sama-sama menikmatinya makanan tersebut secara khusyuk sampai habis. Sewaktu hidangan utama sudah tersaji di meja, mata Skylar berkilat-kilat menatapnya. “Oh-My-God. Inilah yang paling kutunggu-tunggu. Au poivre steak.”
“Sangat Prancis,” komentarku.
“Itulah sebabnya ini disebut restoran Prancis,” tukas Skylar semangat sembari mengacungkan garpu ke arahku sebelum menggunakannya untuk mengambil potongan daging yang telah diirisnya dari piringnya.
Bukannya ikut makan, aku malah sibuk mengamati istriku yang sedang melumuri daging itu dengan saus sebelum disuapkan ke mulut. Selain reaksi tubuhnya atas sentuhanku, kurasa momen ini juga merupakan ekspresi paling jujur dari Skylar; tidak berpura-pura menyukai hidangan itu.
Mungkin karena merasa diperhatikan, Skylar menghentikan makannya dan bertanya, “Kau tidak makan? Kenapa melihatku seperti itu? Apa aku melakukan sesuatu yang aneh? Atau ada sesuatu di wajahku?”
Barulah aku mulai mengiris daging. Sesekali menatapanya. “Tidak,” jawabku tenang, “hanya suka melihatmu makan lahap. Sepertinya pekerjaan tambahan membuatmu lapar, eh?”
Skylar memutar bola mata malas. “Oh ...,” geramnya pelan, “jangan bicara soal itu. Ched benar-benar terkutuk. Aku tak akan membiarkan nafsu makanku terganggu gara-gara guru vokal yang kerasukan iblis itu.”
Aku menggeleng dan tersenyum geli. Tak kusangka itu bisa membuatku sedikit rileks. Pada dasarnya menghabiskan waktu bersama Skylar tidak pernah membuatku bosan. Ada saja tingkah atau perkataannya yang membuatku terhibur maupun terheran-heran. Meski kadang-kadang aku harus dipusingkan dengan tindak tanduknya yang kekanakan. Beruntungnya itu sudah bisa diubah sedikit.
“Baiklah. Makanlah sebanyak yang kau mau, Bae.”
Skylar mengangguk-angguk lagi. Dia memang lahap makan, tetapi tidak tergesa-gesa sehingga tidak terkesan rakus.
“Hei, boleh aku bergabung dengan kalian?”
Tiba-tiba Ralph menarik kursi dan bergabung di meja kami. Skylar yang tak siap dengan kehadiran sahabatku sontak terbatuk-batuk. Aku dan Ralph refleks berbarengan menyodorkan minuman kepada Skylar. Aku menyambar gelas berisi air mineral milik istriku. Sedangkan Ralph menyambar gelas berisi martini milikku. Gelas-gelas itu terletak di sebelah kiri Skylar—sama-sama di hadapan kami—sehingga tampaknya memang paling mudah kami jangkau ketika spontan.
Masih sambil terbatuk, sesaat Skylar tampak bimbang mengamati kedua gelas tersebut. Sambil mengusap mulut menggunakan serbet, dia lantas mengambil gelas yang kusodorkan. Aku melirik Ralph yang menurunkan gelasnya kembali dan melihat kekecewaan di matanya.
Itu keanehan yang kurasakan untuk kesekian kalinya dalam setengah jam terakhir. Kenapa Ralph muram hanya karena gelasnya tak diambil Skylar?
Setelah menenggak air mineral tersebut sehingga meredakan batuknya, Skylar berkata kepada Ralph. “Maaf, aku sedang tidak meminum alkohol karena masih ada beberapa jadwal bernyanyi. Lagi pula itu martini Horry.”
“Oh, kalau begitu aku yang seharusnya minta maaf. Aku tidak tahu kau sedang puasa alkohol,” balas Ralph sambil tersenyum. “Maaf juga telah mengagetkanmu, Sky. Satu lagi. Aku juga minta maaf karena mengganggu kalian. Tapi aku ingin bergabung. Sangat, amat ingin.”
“Is everything all right, Dude?” tanyaku agak jengkel sebab merasa sedikit terganggu dengan kehadiran Ralph. Alasan lain, aku mencari-cari sumber penyebab pria itu bertindak aneh.
“Tidak. Semuanya tidak baik-baik saja, Dude,” jawab pria itu yang berhasil mengubah kejengkelanku menjadi simpati.
Aku celingukan ke arah meja Ralph tadi. “Belum datang rupanya?” tanyaku.
“Dia memutuskan makan malam dengannya,” balas Ralph sendu. Dengan nada pelan, tetapi aku dapat mendengarnya.
Aku segera memahami hal itu. Wanita yang disukai Ralph tidak jadi datang karena pergi bersama sang suami. Ini bisa berarti dua hal. Wanita itu berbaikan dengan suaminya atau membahas perceraian mereka. Hubungan Ralph seperti digantung. Aku turut prihatin.
“Kupikir kau akan jijik melihat kami bermesraan,” candaku. Berusaha menghibur Ralph dengan mengingat terakhir kali kami bertiga di lift. Waktu itu aku menggandeng Skylar terus-menerus dan Ralph mengejek-ejek kami dengan wajah pura-pura muntah. Dia mengatakan Skylar bukanlah domba tersesat yang harus digandeng setiap saat.
Saat itu, mana aku peduli? Terkadang, menggoda Ralph bisa sangat menyenangkan. Dan kami selalu melakukannya dari dulu; saling mengejek khas sahabat.
“Oh, come on. Tak mungkin kalian akan berbuat macam-macam di tempat umum, bukan?” bantah Ralph.
Aku setengah mendengkus lalu tersenyum miring. “Kenapa tidak?” Tendangan kecil kurasakan di bawah meja yang kuyakini itu berasal dari Skylar. “Nah, buktinya istriku baru saja memulai pergerakan di bawah meja.”
“Astaga! Aku menendangmu untuk menghentkkanmu berbicara yang tidak-tidak!” bantah Skylar dengan wajah bersemu merah.
“Kupikir kau sedang berusaha merayuku di bawah meja, Bae,” godaku sambil menyipitkan mata ketika menatapnya. Tatapan mata nakal.
“In your dream!” sentak Skylar yang kelihatan salah tingkah. Omong-omong, reaksi seperti ini juga merupakan salah satu perubahan sikap Skylar. Dia menjadi mudah tersipu lebih daripada dulu.
“Orang bilang untuk apa bermimpi kalau tak diwujudkan? Tak usah malu-malu begitu, Bae. Aku tahu kau sedang mewujudkan mimpiku. Anggap saja Ralph itu garpu dan pisau.”
“Ayolah, teman-teman! Kasihani aku malam ini. Libatkan aku dalam obrolan kalian! Jangan berlagak mesra di depanku!” lerai Ralph yang sontak membuatku dan Skylar berhenti berdebat.
“Sekarang, kau yang seperti domba tersesat, Dude,” ledekku.
“Ya, ya, memang. Jadi, tuntun aku ke jalan yang benar, Dude.”
Ya Tuhan, saking putus asanya batal makan malam dengan wanita itu, Ralph menuangkan seluruh isi hatinya sampai-sampai membuat Skylar kebingungan. Maka dari itu, aku pun mencoba menenangkan Ralph dengan berkata sok bijak. “Itu hanya masalah waktu, Ralph. Kau datang di saat tidak tepat.”
Ralph tersenyum puas. “Oh, tenang saja. Aku sudah sangat senang bisa makan dengan kalian.” Lalu dia menatap Skylar yang masih berwajah bingung kebingungan. “Kau tak masalah dengan kehadiranku, kan, Sky?”
Senyum Skylar kaku. Dia menatapku seolah-olah meminta jawaban. Berhubung Ralph adalah sahabatku, jadi aku tak keberatan. Untuk kali ini, aku memaklumi keanehannya sebab bersimpati pada kesedihannya.
Melihatku mengangguk, Skylar pun mengiyakan. “Eh, iya. Tak masalah.”
Ralph kembali bersemangat dengan wajah berseri-seri. Sejenak kupikir itu karena persetujuan Skylar. Namun, ketika melihat pramusaji datang dan meletakkan pesanan Ralph di meja kami, aku tak jadi merasa aneh. Kami lantas menikmati hidangan utama sampai hidang penutup berupa crème brûlée sugarcage.
“Omong-omong, apa kalian sudah memiliki rencana Halloween?” tanya Ralph.
“Studio Skylar mengadakan pesta Halloween,” jawabku santai.
Wajah Ralph memohon kepada Skylar. “Boleh aku ikut kalian, Sky?”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan benerin typo
It means a lot to me
Bonus foto:
Skylar Betelgeuse
Horizon Devoss
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Minggu, 9 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top