Chapter 35

Selamat datang di chapter 35

Tinggalkan jelas dengan vote dan komen

Tolong kasih tahu kalo ada typo juga ygy

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you enjoy and love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Hubungan dengan manusia sangat bisa tidak tentu arahnya, tidak ada yang dapat menjamin ke mana langkahnya sekalipun usaha kita tak main-main untuk mempertahankan atau mengembangkannya ke arah lebih baik

—Skylar Betelgeuse
____________________________________________________

Akhir musim panas
New York, 14 Agustus
Pukul 15.09

Pengalaman tidak bisa menyembunyikan begitu lihainya Horizon mengendalikan Achilles untuk berjalan-jalan di sekitar hutan kota. Dikarenakan dia duduk tepat di belakangku dan tidak ada jarak yang terbentang membatasi kami, aku jadi bisa merasakan detak jantungnya yang bertabuh kencang di balik dada telanjangnya yang menempel punggungku. Itu terjadi semenjak aku mengutarakan cinta kepadanya. Lalu seperti biasa, hanya ditanggapinya dengan suara dan wajah datar pada jawaban, “Sudah semestinya.”

Sejak detik itu aku jadi banyak berpikir dan kurang memperhatikan pemandangan sekitar. Apakah dengan ditunjukkannya tempat favorit Horizon oleh pria itu sendiri di alam bebas ini serta kegilaan yang baru saja kami lakukan di air terjun berarti membawa hubungan kami melangkah ke depan?

Aku tak tahu. Bisa dibilang aku tidak ingin tergesa-gesa menyimpulkan lantaran takut salah berpraduga seperti sebelumnya. Belum lama ini aku berpikir hubungan kami berkembang dengan melangkah maju, rupanya kemudian mengalami kemunduran oleh kesalahanku.

Beberapa menit berikutnya kesimpulan sementara itu berubah: dalam upayaku membawa hubungan kami melangkah maju, Horizon menarikku mundur. Ketika aku terbawa arus tarikannya, dirasa-rasa dia justru mendorongku maju sampai aku tiba di titik di mana aku belum berupaya maju atau ditarik mundur. Hubungan ini bagai jalan di tempat alias sama saja, tidak ada perkembangan.

Hm, lagi-lagi aku menarik kesimpulan sendiri. Yang mana itu merupakan tindakan berbahaya.

Jadi, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan lebih menikmati udara sekitar yang tidak sepanas minggu-minggu sebelumnya. Kurasa hawa musim gugur telah sedikit demi sedikit menggusur musim panas sehingga menyajikan kesejukan. Menjadikan pikiranku agak rileks. Terutama saat aku bisa merampok oksigen dari gudangnya yang tidak terkena polusi udara.

“Mau coba mengendalikan Achilles?” tawar Horizon ketika kami melewati jalan yang sedikit menurun. Laju kuda itu melambat dan kelihatan menahan langkah. Aku pun menahan diriku agar tidak terperosok dari pelana. Sementara Horizon bertahan di tempatnya sembari menahan tali kekang Achilles.

“Aku tidak bisa berkuda sendiri,” balasku.

“Benarkah?”

“Iya.”

“Bukankah kau sering ke sini dengan Mr. Flint?”

“Benar. Tapi aku tidak pernah naik kuda. Aku selalu pergi bernyanyi sambil bermain gitar di kafe.”

“Apa alasannya?” tanya Horizon jelas tidak mengerti.

“Karena aku takut. Takut ditendang kuda, takut jatuh dari kuda, takut kudanya jadi gila dan membawaku entah ke mana kalau aku tidak benar mengendalikannya, dan lain-lain.”

Napas berat Horizon berembus di sekitar telingaku. Belaian itu agak menjadikan bulu kudukku meremang. “Bae, apa yang kau rasakan waktu pertama kali belajar bermain gitar?” tanyanya.

Aku menggaruk pelipis yang tidak gatal menggunakan jari kelingking kiri. “Em ... khawatir aku tidak berbakat memainkannya.”

“Tapi setelah mencoba terus-menerus?”

“Aku jadi lumayan mahir.”

“Nah, bukankah sama saja dengan berkuda? Aku juga takut saat pertama kali naik kuda. Aku pun jelas tidak bisa memasang pelana dan tali kekang sendiri. Tapi pelatih mendampingiku. Sedikit banyak itu bisa mengurangi rasa takutku. Dia juga mengajariku memasang semua atribut kuda. Sama saja denganmu yang belajar bermain gitar, bukan? Jadi, cobalah kendalikan Achilles. Aku akan mengajarimu. Ingat, belum pernah mencoba bukan berarti tidak bisa,” papar Horizon persis guru yang menerangkan pelajaran kepada muridnya.

Semoga aku bukan jenis murid yang dungu.

“Baiklah,” kataku pada akhirnya mencoba memberanikan diri.

Horizon lantas menarik kedua tali kekang Achilles sampai kuda itu berhenti total di tanah rata. Lalu dia menyerahkan kedua tali kekang itu kepadaku. “Peganglah ini,” pintanya.

“Jangan biarkan aku sendirian,” cicitku mulai berdebar sembari menerima kedua tali kekang itu.

“Tentu. Aku akan memeganginya juga.” Jawaban Horizon berhasil menenangkanku. Paling tidak, kalau aku salah mengendalikan, suamiku yang akan membenarkannya. Jadi, meminimalisir rasa takutku. Dan setelah menggenggam kedua tanganku yang menggenggam tali Achilles, dia menerangkan, “Pertama-tama kalau kau ingin kuda ini berjalan, arahkan kedua tumitmu menyentuh perutnya. Jangan menendangnya kencang-kencang, pelan-pelan saja.”

“Seperti ini?” tanyaku yang langsung praktek dan terkejut senang. “Oh, dia berjalan.”

“Bagus. Lalu mudah saja. Kalau kau ingin membelokkan dia ke kanan, tarik tali kekang kanannya lebih kencang. Begitu pula kalau kau ingin belok kiri.”

Begitu ada jalan berkelok-kelok bak ular melata, aku langsung melakukan hal yang dipaparkan Horizon. “Ternyata ini lebih mudah dan tidak semenakutkan bayanganku,” pungkasku senang, sesekali menunduk untuk mengelus leher Achilles secara lembut dan kuda itu meringkik. “Good job, Buddy.”

Di belakangku, Horizon kembali memberi petuah, “Kau beruntung karena Achilles kuda yang baik. Tapi kau tak boleh melupakan sifat liar alami mereka. Tapi, tetap perlakukan mereka sebaik mungkin, maka kau juga akan diperlakukan dengan baik olehnya.”

Tidak lama setelah mengitari hutan melewati jalan setapak, kami kembali masuk ke kawasan peternakan kuda sampai tiba di depan istal Achilles. Pengurus kuda sudah bersiap di sana. Ketika aku turun, Horizon memintaku mengelus wajah Achilles. Katanya, meski Achilles baik, aku tidak boleh berdiri tepat di depan atau dibelakang kaki-kakinya, terutama saat aku merasa ragu-ragu. Berbeda dengan sapi yang menendang ke arah samping, kuda menendang ke arah depan atau belakang sehingga untuk meminimalisir tendangan itu, aku sebaiknya berdiri di samping kaki Achilles.

Maka setelah Achilles diserahkan sepenuhnya kepada pengurus kuda North Salem Stable, kami pulang. Setibanya di rumah, aku bergegas meminum pil antihamil tanpa diminta Horizon.

Menjerat Horizon dengan kehamilanku agar aku tidak diceraikan memang sangat menggoda akal pikiranku. Sayangnya, aku tidak ingin dia mempertahankan pernikahan kami hanya karena kehadiran seorang bayi di perutku. Aku ingin dia mempertahankan rumah tangga kami karena dia mencintaiku. Bukan karena hal lainnya—meski tentu saja aku akan sangat senang bila suatu saat nanti kami memiliki anak.

Maksudku, aku ingin memiliki anak karena kami memang sama-sama menginginkannya. Bukan hanya kemauan salah satu dari kami. Untuk saat ini pun belum tepat memiliki anak sebab ke mana hubungan kami berjalan belumlah jelas dan jadwalku yang padat jelas amat berisiko bagi kehamilan. Aku ingin masa kehamilanku benar-benar diperhatikan, kalau bisa aku ingin cuti selama itu perlu.

Aku memang merasakan bagaimana Horizon amat menjaga dan mengajariku banyak hal. Seolah-olah hubungan kami baik-baik saja dan jauh dari kata cerai. Namun, sekali lagi aku tidak ingin berpraduga. Hubungan dengan manusia sangat bisa tidak tentu arahnya, tidak ada yang dapat menjamin ke mana langkahnya sekalipun usaha kita tak main-main untuk mempertahankan atau mengembangkannya ke arah lebih baik.

Sebaiknya kulalui saja hari-hari seperti biasanya dengan menjadi Skylar yang lebih penurut. Walau ada di saat-saat tertentu aku tidak bisa sejalan dengan pikiran Horizon seperti sekarang.

“Aku akan menyetir mobilmu,” usulku sembari menali pantofel hitamku sewaktu kami akan berangkat bekerja.

Hari ini merupakan hari terakhir Horizon check up—pascaoperasi usus buntunya—di rumah sakit. Aku berinisiatif mengantar suamiku dengan mengenakan pakaian normal—normal untuk ukuran semua orang, bukan bagi The Black Skull ataupun Lupara. Yaitu berupa sweter hitam tanpa lengan yang panjangnya sedikit di atas lutut dilapisi blazer putih milik Horizon. Balzer itu sebenarnya agak kedodoran, tetapi apa boleh buat? Aku tidak punya baju yang seperti itu. Rata-rata bajuku kaus hitam. Yang berwarna-warni atau model-model lain hanya dapat dihitung jari. Belakangan ini pun aku sering memakai baju Horizon.

Aku bahkan tidak mengenakan anting di tujuh—total jumlah—lubang anting di telingaku. Melainkan hanya mengenakan sepasang anting emas bentuk awan tanpa bandul di telinga kanan dan kiri. Aku tidak mengenakan gelang-gelang hitamku yang berduri—kecuali gelang couple yang kami beli di Thailand—dan melilitkan jam tangan yang beberapa waktu lalu dibelikan Horizon bersama beberapa pakaian dalam yang dirusaknya. Aku juga tidak mengenakan banyak cincin hitam tengkorak yang biasa kukenakan di beberapa jariku, melainkan hanya cincin pernikahanku.

Agak aneh aku mengenakan pakaian seperti ini. Namun, ini demi Horizon. Aku tidak ingin seseorang mencelanya hanya karena aku tidak berbusana seperti kebanyakan orang. Kupikir, ini juga akan menyenangkan hati suamiku; sudah kukatakan pada diri sendiri bahwa semenjak aku berjuang untuk mempertahankan pernikahan ini didasari cinta, aku akan menekan egoku kuat-kuat untuk membuatnya nyaman bersamaku.

Gerakan Horizon merapikan lengan kemeja putih di depan cermin yang membingkai satu dinding closet kontan berhenti. Dari pantulan cermin, dia lantas menatapku. “Tidak perlu. Biar aku saja yang menyetir.”

“Begini,” kataku setelah selesai menali sepatu dan menghampirinya. Sebelah tanganku bersandar di lengannya dan ikut bercermin bersamanya. Sedangkan tanganku yang satunya berkacak pinggang. “Letak rumah sakitnya lebih dekat dari kantormu daripada di Harmoni Studio yang berlawanan arah. Jadi, otomatis aku yang akan menjemputmu. Kalau kau menjemputku lalu baru ke rumah sakit, kau akan kelihatan bodoh.”

Helaan napas berat keluar dari hidung Horizon. Pria itu kembali membenahi kancing lengan sebelahnya. “Kau merusak harga diriku sebagai pria.”

Aku jelas memutar bola mata malas. “Oh Tuhan .... Sekarang sudah zaman modern. Tak masalah siapa yang menjemput siapa. I’m your wife. Aku fleksibel seperti udara yang menempati ruang atau air yang ditaruh wadah.”

Gelengan pelan menyertai seringai tipis Horizon. “Baiklah ...,” katanya mengalah. Dia selesai membenahi pakaiannya. Aku otomatis berdiri tegak saat dia menghadapku dan menatapku dari ujung kepala hingga ujung kakiku. “Well, kau jauh lebih cantik bila berpakaian seperti ini. Seperti wanita pendiam yang anggun.”

Pujian itu melipatgandakan perasaanku padanya. Namun, aku harus sedikit stay cool. Ini masih terlalu pagi untuk merona. Jadi, aku celometan, “Terima kasih. Apa maksudmu diam-diam selalu konser di mana pun dengan suara berisik dan nyaring? Kalau iya, betapa pendiamnya aku dan tak kusangka aku juga bisa jadi anggun.”

“Ya, terserah kau saja,” tanggapnya datar. Berkebalikan dengan perangainya. “Sekarang mari kita lihat .... hm ... sepertinya sweter ini mudah disingkap.”

“Hush!” Aku menampel tangan Horizon yang sedikit menjinjing bagian bawah sweterku. Ujung jemarinya yang bersentuhan dengan permukaan kulit pahaku sedikit membuatku mereguk ludah.

Bloody moon sialan! Baru hari ini pula!” umpatnya yang tampaknya baru mengingat keadaanku. Dia lantas mencium puncak kepalaku. “Ayo berangkat.”

Selama perjalanan, Horizon terlihat tegang. Dia bahkan mengencangkan seatbelt-nya dan berpegangan pada benda itu terus. Agaknya dia takut bila aku yang menyetir.

“Kau tahu aku punya surat izin mengemudi,” cetusku sedikit cekikikan.

“Ya, tapi aku tidak percaya mereka memberikannya padamu—Lihat ke depan, Bae! Jangan sering-sering menolehku!” peringkatnya dan aku tidak bisa menyembunyikan tawaku.

“Jangan terlalu percaya diri. Aku melihat spion. Tenanglah, aku tahu apa yang kulakukan.” Lalu aku bersenandung mengikuti alunan lagu terbaru The Black Skull sembari bergoyang sedikit.

“Matikan musikmu itu! Fokus saja ke jalan raya!” pekiknya.

Ya Tuhan, dia menggemaskan. Sebenarnya aku berniat menggodanya lebih lama, tetapi tak tega juga bila keringat di dahinya mulai bermunculan seperti ini. Apalagi jarak kantor Diamond Bank sudah dekat. Jadi, aku menurut dan seusai menurunkan Horizon di lobi kantor tersebut, aku meneruskan perjalanan menuju Harmoni Studio. Di depan resepsionis, aku tidak sengaja berbarengan masuk bersama si botak Storm. Dia sedikit kaget dan terhenyak. Wajahnya menerangkan dia ngeri melihat penampilanku.

“Penampilan macam apa itu, Sky?” celanya yang kemudian bergidik sembari celingukan. “Seseorang tolong panggilkan cenayang! Skylar kesurupan!”

Hampir saja kutimpuk kepala botak pria itu menggunakan gitar yang masih kupanggul di punggungku, jikalau Alton tidak mendekat. Dan Storm mendapatkan kesempatan untuk kabur dari makianku.

Seperti halnya Storm, ketika kami berjalan bersama menuju tangga lantai dua, Alton menilai penampilanku. Bedanya, dia tidak seolah-olah baru saja melihat hantu seperti Storm.

“Kau terlihat berbeda, Sky,” komentar Alton.

“Memang,” balasku dengan senyum kaku. “Kuharap perbedaan yang bagus.”

Kami berbelok ke kanan, terus meniti anak tangga. “Selama kau jadi dirimu sendiri. Dan apakah kau sedang jadi dirimu sendiri sekarang?” selidiknya.

Pertanyaan dari Alton jelas sedikit mengguncangku. “Just me in another shell. Dalamnya tetap aku. Aku hanya berusaha berpenampilan normal, paparku penuh kehati-hatian.

Pria itu seperti refleks melihat pakaiannya sendiri. “Kurasa aku juga sedang berpakaian normal.”

“Maksudku, normal bagi Horizon.”

Alton lantas membuka mulut dan menutupnya lagi seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi. Aku pun enggan mengorek isi pikirannya sebab kami sudah tiba di lantai dua dan bergabung dengan yang lainnya. Namun, ketika rampung rapat pemberitahuan jadwal undangan kami di beberapa stasiun TV swasta guna mempromosikan album baru kami dan orang-orang dalam ruangan sudah bubar, Alton yang berjalan keluar belakangan bersamaku berkata lagi.

“Sky, menurutku setelah apa yang kuketahui, aku jadi punya kesimpulan. Mungkin firasatmu benar. Devoss tidak mencintaimu. Kurasa dia hanya membesarkan egonya untuk mendapatmu. Untuk memonopolimu atau semacam menghukummu karena kau telah berani ingin menjebaknya dengan caramu karena tujuanmu

“Lihat, setelah berhasil mendapatkanmu, dia mengubahmu. Kalau dia benar-benar mencintaimu, sudah pasti dengan senantiasa dia akan mengungkapkannya atau menunjukkan padamu tanpa diminta, tanpa menggunakan ancaman atau apa pun. Dia juga pasti akan mempertahankan hubungan kalian dengan membatalkan perjanjian itu. Dia juga pasti akan menerima apa pun yang ada dalam dirmu. Termasuk tingkah lakumu atau bagaimana caramu berbusana.

“Untuk resor ibumu, pikirkanlah lagi, Sky. Kau bisa tetap mengambil resor itu tanpa perlu menyiksa diri dengan menyenangkan hatinya yang terus mengendalikanmu dalam ikatan pernikahan. Kau bisa belajar darinya untuk mengelola resor itu tanpa embel-embel suami-istri. Sesama teman atau partner bisnis pun bisa. Aku mengatakan ini sebagai orang yang peduli padamu. Walau hubungan kita tidak sedekat dulu. Kuberitahu kau satu hal lagi, sakit rasanya mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Apalagi kalau harus berjuang sendirian. Don’t ruin yourself, Sky.”

Alton menepuk pundakku kemudian pergi. Sementara aku hanya bisa mematung.

Semburan kalimat demi kalimat dari Alton terasa menusukku. Ketika tak sengaja menoleh jam dinding, sudah saatnya aku ke kantor Horizon untuk menjemputnya. Dengan amat terpaksa dan dengan pikiran semrawut, aku menyetir sehati-hati mungkin ke Diamond Bank. Belumlah cukup ucapan Alton yang menusuk itu serta lalu lintas padat yang menambah beban pikiran, aku bertemu kebetulan bertemu Ralph Brachii di depan elevator. Tampaknya dia ingin turun. Dikarenakan kehadiranku, dia jelas menundanya untuk menyapaku.

“Skylar? Is that you?” tanya sahabat Horizon itu yang membelakak dan merentangkan kedua tangan, lalu diayunkan ke arahku dari ujung kepala sampai ujung kakiku; jelas menilai penampilanku.

“Hai, Ralph,” sapaku berusaha menampilkan senyum senatural mungkin.

You’re stunning, Sky,” pujinya masih dengan mata berbinar-binar.

Thanks. Omong-omong, apa kau baru saja dari ruangan Horizon dan mau turun?”

Aku tidak tahu kenapa air muka Ralph agak berubah masam. Binar di matanya pun agak padam. Dia menyurukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Ya, dia sedang ada telepon sebentar. Ada John juga di ruangannya. Dan begitu tahu dia akan pergi denganmu ke rumah sakit, aku memutuskan pulang.”

“Begitu.” Aku mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku tidak akan menahanmu lagi, Ralph.”

Namun, bukannya masuk elevator yang masih berhenti dan kedua pintunya terbuka, Ralph membiarkan elevator itu tertutup dan turun.

“Kuharap kau sudah mempersiapkan berkas-berkas perceraianmu sesegera mungkin, Sky. Supaya kau tidak mengalami kesulitan nantinya. Tapi, aku akan selalu siap membantumu bila kau mengalami kesulitan pisah dengannya. Maksudku, aku akan membantu kalian dalam mempersiapkan perceraian kalian.”

Sebenarnya aku terkejut dan tidak mengerti kenapa Ralph bisa membahas perceraian di tengah kantor ini. Meski dia berbicara dengan cara berbisik, tetap saja aku refleks celingukan, takut ada seseorang yang mendengarnya. Aku baru hendak menegur Ralph atas kelancangan itu, tetapi pintu ruangan Horizon yang beberapa langkah di belakang Ralph terburu terbuka.

Horizon dan Johnson keluar dari ruangan tersebut sambil mengobrol dengan bahasa bisnis yang tak bisa kumengerti. Suamiku melihatku sekilas kemudian berkata kepada Johnson. “I’ll see you tomorrow, John. Lalu  dia berjalan ke arahku dan merangkul pinggangku. Tidak hanya itu, dia juga mencium pelipisku. “Ayo berangkat. Kali ini aku yang menyetir.”

Aku melihat Ralph membuang muka masamnya dengan tampang mengejek seolah-olah dia muak melihat kemesraan yang kami tampilkan di depan umum.

“Baiklah. Demi perdamaian dunia, kubiarkan kau yang menyetir,” pungkasku kepada Horizon.

Horizon yang tidak menyadari betapa anehnya Ralph, mengajak sahabatnya itu masuk elevator yang rupanya sudah naik lagi dan pintunya terbuka. “Ayo ikut turun, Dude. Katanya kau mau pulang?”

“Asal kalian tidak bermesraan di dalam sini, aku akan ikut,” cemooh Ralph.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan benerin typo

It means a lot to me

Bonus foto:

Skylar Betelgeuse

Horizon Devoss

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Senin, 27 Maret 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top