Chapter 32
Selamat datang di chapter 32
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen biar saya semangat ya teman-teman
Tandai juga kalau ada typo ygy
Thanks
Happy weekend everyone
Selamat membaca, semoga suka
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Terkadang kau tak bisa menyadari perubahan yang ada dalam dirimu sampai seseorang yang dekat denganmu merasakan lalu mengungkapkannya
-Horizon Devoss
____________________________________________________
Akhir musim panas
New York, 10 Agustus
Pukul 12.01
"Waktunya makan siang. Jangan berdiam diri di ruangan saja, Dude. Ayo kita makan!"
Mendengar ajakan dari Ralph yang selalu seenak jidatnya masuk tanpa mengetuk pintu, aku segera menekan tombol kunci gawaiku dan menyelipkannya ke saku celana.
"Ayo," responsku. Lalu bangkit dan mengikuti pria itu keluar ruanganku menuju lift petinggi perusahaan.
Beberapa ketua tim dari divisi-divisi lain yang saling mengobrol lebih dulu masuk lift dan pintunya terburu tertutup. Jarak kami yang masih jauh dari kotak besi itu tak terjangkau, sehingga tidak bisa ikut turun dan harus menunggu lift kembali ke atas untuk menjemput kami.
Sementara kami berdiri di depan lift, Ralph bertanya, "Kenapa wajahmu murung begitu?"
"Tidak ada," jawabku setelah sebelah alisku naik lantaran tak mengira akan menampilkan wajah seperti itu di mata Ralph. Pasalnya kupikir wajahku tidak berekspresi.
Ini pasti akibat kinerja otak yang makan gaji buta dan berleha-leha sehingga saraf impulsif yang mengambil peran pengganti. Untuk sementara waktu, sistem tersebut pun menjadi tidak singkron.
"Ck! Mula-mula? Biasanya kau menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain. Jadi, kusimpulkan sepertinya kau ada masalah," tebak Ralph bak cenayang kawakan.
"Menurutmu begitu?" tanyaku balik dengan nada jemawa. Dia memang orang yang sangat mengerti aku, begitu pula sebaliknya. Sayangnya cita-citanya jadi cenayang harus gagal kuwujudkan.
"Sudah berapa lama kau jadi sahabatku? Aku tahu bagaimana kau." Ralph sesumbar layaknya ayam jantan hendak menarik lawan jenis.
"We know each other," koreksiku sambil mengangguk-angguk dan memasukkan salah satu tangan ke saku celana yang tidak ada gawaiku.
"Jangan harap kau bisa lolos dariku, Dude. Jadi, ada apa?"
Dentingan halus terdengar. Pintu lift terbuka dan kami melangkah masuk. Ralph menekan tombol basemen.
"Hanya belum memberiku kabar hari ini."
Ralph menoleh sedikit. "Ginny?"
Kepalaku yang sedikit bergerak ke belakang mengiringi kernyitan alisku. "Ginny?" ulangku bingung.
Ralph juga ikut bingung. "Iya, siapa lagi? Biasanya kau murung karena Ginny. Tapi kau selalu tahu dia sibuk. Kadang-kadang ada pasien darurat yang harus ditanganinya. Jadi, wajar dia belum memberimu kabar."
Pendapat Ralph menjadi semacam pukulan bagiku. Bukan salah Ralph juga bisa melontarkan pendapat seperti itu sebab memang itulah yang kerap terjadi padaku sejak Ginny resmi menjadi dokter bedah di masa-masa kami masih menjalin hubungan dulu. Dan kali ini menemukan penyebab kemurunganku ialah orang yang berbeda menyulut detak jantungku lebih giat bekerja.
Penyebab kemurunganku adalah Skylar Devoss, bukan Ginny. Tidak mendapat kabar dari istriku sejak tadi pagi sampai jam istirahat makan siang membuatku khawatir. Pasalnya dia baru saja sembuh dari flue. Aku khawatir dia sakit lagi gara-gara kelelahan bekerja atau memang sesuatu sedang terjadi-kuharap itu bukan masalah besar. Mungkin juga dia sudah sehat dan memang sedang sibuk. Mungkin.
Aku tak akan begini juga jika bukan karena Skylar harus bekerja dengan mantan kekasihnya. Mereka satu frame dalam video clip itu. Sehari sebelum berangkat ke California, Skylar pergi bekerja untuk mengetahui konsep video clip tersebut. Kemudian sewaktu pillow talk, istriku menceritakan secara garis besar tentang alur cerita video clip tersebut berdasarkan lagu baru mereka yang akan diluncurkan beberapa bulan lagi.
Well, meskipun kata Skylar masa lalu mereka sudah selesai, tak ada apa-apa dan murni sebagai rekan kerja, tetap saja kepalaku rasanya bagai disiram air mendidih. Lalu rasa ingin menggantikan posisi Alton dalam video clip itu menggebu-gebu dalam pikiranku. Hingga memunculkan ide ikut ke sana seandainya aku tak ambil cuti karena sakit kemarin dan pekerjaanku jadi semenumpuk ini. Jadinya banyak urusan yang harus segera kuselesaikan.
Aku memutuskan tak menanggapi omongan Ralph sebab tidak ingin mengumbar apa yang telah terjadi di antara aku dan Ginny beberapa waktu lalu, yang memang belum sempat kuceritakan secara detail pada Ralph. Sebab aku tidak ingin pria itu ikut campur lagi seperti kemarin-kemarin-walau dia sudah menyatakan tak akan begitu. Namun, siapa tahu? Iya, kan?
Sayang sekali, tidak mendapat respons dariku nyatanya malah memunculkan sikap ingin tahu Ralph.
"Jadi, kapan terakhir kali Ginny menghubungimu?" tanyanya sewaktu hidangan kentang dan ikan dari restoran cepat saji dekat kantor sudah berada dalam mulutnya.
"Daripada membahas itu, bagaimana kalau membahas wanita yang sedang kaudekati saja?"
"Uhuk, uhuk!" Ralph langsung tersedak. Tergesa-gesa meraih dan menenggak soda dari gelas kertasnya makin tersedak. Ralph batuk-batuk sampai matanya merah dan melotot. Satu-satunya segi positifnya, dia tidak menyemburkan minumannya ke wajahku.
Setelah batuknya reda lalu mengelap mulut menggunakan tisu kering, Ralph berdeham-deham. "Aku tak mau membahasnya," tolaknya dengan nada rendah dan pelan.
"Kenapa? Tak bisanya kau salah tingkah. Kelihatan sekali sangat menyukai wanita itu," sindirku penuh selidik.
Sebenarnya aku penasaran wanita seperti apa yang disukai Ralph-yang notabene masih menjadi istri orang. Mengingat sepak terjangnya dalam dunia asmara sudah agak lama. Ralph putus dari pacarnya awal tahun ini dan belum berkencan dengan seorang, meski kadang-kadang dia tidur dengan wanita yang baru ditemuinya di kelab malam. Aku tahu karena dia menceritakannya padaku di pagi harinya. Wanita seksi yang inilah ..., seperti ini, dan lain sebagainya. Katanya itu hanya untuk menyalurkan hasrat, bukan untuk dikencani sungguh-sungguh. Berbeda dari wanita spesial ini yang belum diceritakannya padaku.
"Sebenarnya aku tidak punya niatan untuk jatuh cinta padanya," aku Ralph yang entah kenapa berubah serius. Baru kali ini kudengar nadanya begitu dalam dan mengandung keputusan asaan.
Aku tak ambil pusing dan fokus memakan burgerku. Juga memberi saran sok bijak, "Sebaiknya jangan kalau dia masih punya suami."
Ralph mengangguk murung. "Masalahnya dia membuatku nyaman. Awalnya aku tahu dia jauh sebelum dia menikah. Aku sudah kagum padanya sejak saat itu. Dia sangat enerjik dan membuat semua orang di sekelilingnya nyaman. Tapi suaminya seperti tak menyadari kalau dia sangat istimewa seperti itu."
Kuulurkan tangan untuk menepuk pundak Ralph. "Tenanglah. Katamu mereka sebentar lagi cerai. Kau bisa mendekatinya setelah itu."
"Be-benarkah boleh?" tanya Ralph gelagapan yang menurutku lucu.
"Tentu saja. Di saat itu dia sudah lajang. Jadi, bebas. Kalau kau sanggup menunggunya, kau pun lajang. Sesama lajang, tak masalah," terangku diplomatis.
Lama sekali Ralph diam. Sedangkan karena lapar, aku terus makan sampai makanan yang kupesan ludes dan Ralph mengikuti jejakku. Sewaktu kami berpisah di lift kantor, pria itu baru merespons, "Kau benar. Aku akan mendekatinya setelah dia cerai."
"That's good. Kalau bisa, hasut saja dia agar mempercepat perceraiannya."
Sudah memasuki jam pulang kantor, tetapi Skylar belum menelepon. Dikarenakan tak tahan, aku akhirnya memutuskan untuk menelepon Katerine yang nomer ponselnya kudapat sewaktu mengantar Skylar: aku memintanya memberikan nomor Katerine untuk berjaga-jaga tidak ada kabar dari Skylar seperti ini.
Telepon berdering beberapa kali dan Katerina baru mengangkatnya. "Halo, siapa ini? Ada yang bisa kubantu?" tanya Katerine di antara desau angin, suara ombak dan orang-orang yang berisik. Dia pun agak berteriak.
"Ini aku Horizon. Aku ingin tahu keadaan Skylar. Apa dia masih bekerja?"
"Oh, Horizon. Iya dia masih syuting dari tadi pagi, istirahat sebentar untuk makan siang. Ponselnya tadi tertinggal di kamar. Selain makan di luar, kami juga sibuk. Jadi belum sempat menghubungimu."
"Apa dia baik-baik saja?"
"Wah, wah, wah, kau khawatir padanya, ya?" goda Katerine.
Aku langsung memutar kursi kerja menghadap dinding kaca yang menyuguhkan langit sore kota New York. Warnanya oranye indah. "Dia baru sembuh dari flue. Jadi, menurutmu?"
"Kau bisa tenang, dia sedang dalam kondisi prima."
"Apa dia makan dengan baik?"
"Astaga, tentu saja. Dia tahu apa yang dia lakukan. Omong-omong, akan kutunjuk padamu, coba nyalakan panggilan videonya."
Aku melakukan apa yang dikatakan Katerine dan yang pertama kali kulihat setelahnya ialah para kru yang bekerja dalam penggarapan video clip itu. Ada sang sutradara yang memegangi megafon dan duduk di depan layar kecil, beberapa orang memegangi alat pencahayaan, seseorang memegang kamera utama dan dua orang memegang kamera lain. Ada pula drone yang melayang-layang di udara. Semua kamera itu jelas menyorot ke arah alat-alat musik yang dimainkan oleh personel The Black Skull dan Lupara.
Berlatar belakang suara desau angin kencang melebihi tadi, aku melihat Skylar berpenampilan ala rock. Dia mengenakan rambut palsu hitam, beberapa gelang berduri melapisi sarung tangan pendek jaring-jaring hitam, kalung serupa, sepatu lars hitam bertali banyak yang panjangnya menyamai panjang sepatu itu yang hampir selututnya.
Skylar mengenakan korset bertali spaghetti seperti zaman victoria untuk melapisi kemeja polos hitam satin. Kerah gaun itu berdiri menyerupai kerah jubah vampir. Dia mengenakan celana kulit hitam panjang ketat. Aku bisa tahu sebab bagian belakang gaun itu panjang, sedangkan bagian depannya tak ada. Semua aksesoris lain berwarna hitam, sampai lipstiknya pun hitam. Riasan matanya bahkan hitam, agak tebal layaknya personel-personel lain.
Semua dandanan mereka sangat mencerminkan aliran kelompok musik mereka.
Skylar bernyanyi sembari mendekati Alton. Pria itu dirias berwajah tengkorak putih dan hitam dengan rambut palsu hitam gondrong. Semua personel Lupara dirias seperti itu, sesuai ciri khas kelompok musik mereka.
Aku memahami semua orang dalam aliran musik ini yang sering kali berpenampilan kontras dengan penampilan sehari-hari mereka, tetapi sesuai aliran musik mereka, karena semata-mata ingin mendapat privasi bila di tempat umum. Terutama bagi dua kelompok musik ini yang cukup terkenal.
Skylar menyanyi tanpa bermain gitar. Sedangkan Alton bernyanyi sambil memetik gitar. Mereka kompak melihat kamera depan. Latar belakang pantai di sore hari di belakang mereka menakjubkan. Banyak pula wisatawan yang menonton dan merekam syuting itu.
"Cut! Istirahat sebentar sebelum kita pindah ke adegan selanjutnya!" teriak sang sutradara menggunakan megafon. Skylar ngos-ngosan, meletakkan standing mic dan Katerine mendekatkan kamera ponselnya ke arah istriku. Lalu memberi Skylar minum.
"Sky, suamimu menelepon. Ini peganglah, aku akan ke Lea sebentar."
Setelah minum dari botol yang diberikan Katerine, Skylar mengambil alih ponsel Katerine. Entah hanya perasaanku semata atau memang benar adanya ketika Alton melintas sekelebat, aku bisa melihat pria itu tersenyum miring seolah-olah ingin mengajakku berkelahi. Apa-apaan itu?
Memangnya salahku kalau Mr. Flint lebih menyukaiku sampai menjadikanku menantu dibandingkan dengannya yang tak mendapat restu menjalin hubungan dengan Skylar-ku?
"Maaf, Bae. Ponselku ketinggalan di kamar. Aku jadi tak sempat menghubungimu," ucap Skylar yang mengembalikan fokusku. Kulihat dia tampak berjalan lalu duduk di kursi yang biasanya dipakai orang memancing.
"Tak apa. Katerine sudah menceritakannya."
"Ah, aku juga lupa memberitahunya soal nomor ponselnya yang kau minta." Skylar menyingkirkan anak rambut di sekitar wajahnya sambil mengernyit.
"Tak apa. Oh ya, apa kau baik-baik saja?"
"Tentu saja. Aku sehat." Melihatku mengangguk dan mengembuskan napas lega, Skylar pun melanjutkan, "Omong-omong kau masih di kantor? Apakah lembur lagi seperti kemarin?"
"Begitulah. Cuti membuat pekerjaanku menumpuk."
"Tapi kau bisa mengerjakannya di rumah, kan?"
"Tidak ada kau di rumah. Jadi, apa gunanya pulang cepat?"
Baru kali ini aku melihatnya salah tingkah. Gestur kakunya begitu natural. Dia sampai berdeham, "Kau tak lupa menyiram pohon maple-ku, kan?"
Biasanya aku sebal bila mendapat respons seperti ini. Alih-alih mengeram atau semacamnya, senyumku justru mengembang. "Jadi, itu balasanmu? Saat kutanya kabarmu, kau lebih memilih menanyakan pohon maple-mu yang kerdil itu?"
Skylar membela diri. "Pohon itu memang sengaja dikerdilkan. Dan sepertinya kau baik-baik saja. Tapi aku penasaran makan siangmu."
"Hanya burger, kentang, dan soda yang kubeli di dekat kantor bersama Ralph. Dan aku merindukanmu."
"Aku juga merindukanmu, Sayangku ..., jemput aku segera ya .... Muah ...," sahut Storm, dilanjutkan oleh Rigel. Mereka tiba-tiba muncul di layar. Mulut mereka manyun, akting menciumku. Sedangkan Rigel menambah gerakan dengan mengerucutkan kedua tangannya lalu menabrak-nabrakkannya seperti memperagakan orang berciuman.
Ingin sekali kusiram mereka menggunakan pasir pantai. Well, meski kuakui pertemanan mereka asyik seperti keluarga.
"Hei! Leave me alone! Dasar kalian selalu usil! Minggir sana! Aku ingin mengobrol dengan suamiku!" Skylar mengomeli kedua pria itu yang cekikikan.
Setelah berhasil mengusir mereka, Skylar bercerita adegan yang harus dia perankan selanjutnya. Yakni berlatar matahari terbenam, dia harus duduk seperti orang putus asa sambil menyanyi dan dihujani kelopak-kelopak mawar hitam.
Di hari terakhir, mereka syuting di dekat tebing yang terletak di dekat dermaga kayu vila keluarga Devoughn. Lalu malam harinya mereka pesta barbeque di pantai dekat sana. Mereka menggunakan alat pemanggang dan menyalakan api unggun. Angin pantai yang ugal-ugalan membaut apinya menjilat-jilat.
Menggunakan Air Pods yang baru kubelikan sebagai ganti miliknya yang sempat kurusak, Skylar mengaktifkan panggilan video dan mengajakku jalan-jalan sambil mengarahkan kamera ponsel ke semua orang. Banyak dari mereka yang duduk di api unggun sambil bermain musik dan memegang botol bir.
"Ini tidak asyik. Mereka semua boleh mabuk kecuali para vokalis. Rokok dan alkohol tak ramah tenggorokan. Tapi aku mencoba daging sapi panggang mereka. Rasanya lumayan enak," cerita Skylar saat aku menggosok gigi di wastafel.
Setelah berkumur dan mengelap mulut menggunakan handuk kering, aku mengambil ponsel yang tadinya kusandarkan di wastafel dan membalas, "Sebaiknya memang begitu."
"Oh My God, kau lihat, Bae. Katerine berciuman dengan Elijah si drummer Lupara. Waaah kapal mereka berlayar."
"Mereka sudah dewasa, biarkan saja." Aku bergerak ke kasur di kamar tamu dan setengah tiduran. Kuambil boneka kaktus yang diminta Skylar sewaktu kami berbelanja di perayaan hasil panen para petani setempat, seperti pekan raya pasar malam. Dia memaksaku ke sana sebelum mengantarnya ke bandara.
"Benar. Itu seperti aku menjadi ibunya dan melihat anaknya sudah tumbuh besar lalu menemukan prianya."
"Kau berlebihan, Bae."
"Aku dan Lea merasakan hal yang sama. Kau pasti akan seperti itu kalau Ralph seperti Katerine."
Ya, aku memang senah Ralph Brachii menyukai wanita saat ini.
Well, sebenarnya aku benci mendengarkan hal remeh-temeh atau melakukan panggilan video tak kenal waktu. Karena menurutku itu terlalu berlebihan dan sangat merampas privasi. Namun, aku harus memastikan keadaan Skylar setiap waktu. Khusunya malam ini. Hal terakhir yang ingin kulihat adalah Skylar mabuk, merusak tenggorokannya yang baru sembuh, atau yang lebih parah dia berakhir tidur dengan sembarang pria karena mengira pria itu adalah aku. Seperti kebanyakan wanita atau pria penyuka pesta. Meski sejujurnya aku pribadi ingin melihat bagaimana Skylar mabuk.
Teruntuk obrolan remeh-temeh bersama Skylar, kami memang kerap melakukannya dan aku sama sekali tak membencinya. Suara merdu Skylar tak pernah membuat seseorang bosan. Tanpa terkecuali diriku.
Suara Skylar terdengar kembali. "Kau lihat sebelah sini? Ada yang bermain Truth or Dare, Bae."
"Jangan ikut. Aku tidak ingin kau menenggak setetes alkohol pun."
Kali ini kamera ponsel berganti menjadi wajah Skylar. "Tentu saja tidak. Aku tidak akan mau membahayakan tenggorokanku lagi. Omong-omong, apa kau sudah mengantuk?"
"Belum."
"Kau lembur lagi hari ini, memangnya tidak lelah?"
"Sudah pasti, pekerjaan yang menguras pikiran selalu membuat orang lelah. Tapi aku akan menemanimu sampai kau kembali ke kamarmu. Aku ingin kita sleep call."
Tawa Skylar menggelegar. "Baru kali ini kita akan sleep call."
"Kau senang?"
Kedua garis bibir Skylar ditarik lebih lebar. Dia memekik, "Sangat! Aku sangat menyukainya."
"Jadi, jam berapa mereka bubar dan membiarkanmu kembali ke kamar?"
"Entahlah, sekarang baru jam sebelas. Tapi sebenarnya angin pantai membuat tubuhku lengket, rasanya tidak nyaman. Aku ingin mandi. Tunggu! Kenapa senyummu seperti itu?"
"Seperti apa?" tantangku.
"Kau pasti merencanakan sesuatu."
"Jangan sok tahu."
"Aku memang tahu!"
"Oh, ya?"
"Iya!" seru Skylar.
"Lalu kenapa kau tidak mewujudkan yang kau pikir itu rencanaku?"
"Aku tak bisa meninggalkan pesta ini begitu saja. Rasanya tak enak."
"Mereka tidak akan tahu kau kembali ke kamarmu."
Istriku mengatupkan bibir sampai tipis. "Baiklah, aku akan mewujudkan pikiranmu."
Aku mengetatkan pelukan pada boneka kaktus Skylar dan memposisikan diri senyaman mungkin. "Go a head. I'm wondering."
Sambil berjalan masuk vila dan melewati ruangan demi ruangan hingga masuk ke kamarnya, Skylar menukas, "Tapi aku punya rencana lain sebelum mewujudkan rencana dalam pikiranmu."
Saat Skylar menyalakan lampu kamar dan mengunci pintu, aku bertanya, "Apa itu?"
"Syaratnya kau harus harus menutup panggilan video ini dulu. Tidak lama. Hanya lima menit."
"Kau tidak akan macam-macam, kan?" tanyaku khawatir.
"Tidak akan. Aku janji kau akan suka."
"Baiklah."
Kami memutus sambungan panggilan video. Sembari menunggu, aku mengira-ngira hal apa yang akan dilakukannya dan itu membuatku suka?
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah ninggalin jejak vote dan komen
It's mean a lot to me
Bonus foto:
Skylar Betelgeuse
Horizon Devoss
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Kamis, 9 Maret 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top