Chapter 31

Selamat datang di chapter 31

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen biar saya semangat ya teman-teman

Tandai juga kalau ada typo ygy

Thanks

Happy weekend everyone

Selamat membaca, semoga suka

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Apakah aku serakah jika mencintai pria itu dan ingin selamanya berada dalam hidupnya sebagai istrinya?

Skylar Betelgeuse
____________________________________________________

Akhir musim panas
California, 7 Agustus
Pukul 12.10

Finally this beach ...,” teriak Lea sambil merentangkan kedua tangan ke atas.

Tanpa memedulikan turis-turis lain yang menoleh ke arahnya, aku dan Katerine mengangguk. Sepakat berbarengan mengikuti gitaris The Black Skull itu berlari menantang laut di hadapan kami. Desau angin kencang yang bertiup seolah-olah menghalangi kami dengan membuat baju dan rambut kami berkibar-kibar layaknya mengikuti alunan musik. Beruntungnya kacamata hitam yang kami kenakan menghalau sinar mentari yang berpinar-pinar di permukaan air dan mencegah kami kelilipan pasir putih pantai yang terbawa angin.

Ketika telapak kaki telanjangku menjangkau gulungan ombak yang datang, aku refleks berjinjit. Bukan takut celana pendek di atas lutut yang kupakai akan terciprat air. Melainkan merasakan sensasi dingin yang menerjang. Namun, lama-lama membuatku terbiasa.

“Aaa .... sudah lama sekali aku tak kemari. This is so good,” teriak Lea lagi. Masih dengan merentangkan kedua tangan, dia kemudian menari santai. Gayanya berputar-putar pelan seperti merasakan sembari menikmati angin berembus.

Aku menunduk, menyingkirkan anak rambut yang berseliweran di wajahku seraya mengejar ombak yang kembali ke laut. “Kata Horry matahari baik untuk kesembuhan flueku,” lontarku yang bersuara sekeras Lea agar bisa mengalahkan suara deburan ombak pantai Carmel by the Sea dan didengar oleh kedua sahabatku.

Selain perihal manfaat sinar matahari bagi flueku, Horizon juga memintaku mengenakan sweter agar aku tidak kedinginan. Angin pantai biasanya cukup dingin bagi seseorang yang baru saja sembuh.

Horizon juga membantuku berkemas untuk pergi syuting video clip. Dia mewanti-wantiku untuk tetap menjaga kesehatan. Katanya, aku harus beristirahat jika merasa letih. Dia bahkan meminjamkan kaus abu-abu dan putihnya kepadaku—salah satu yang kukenakan saat ini adalah yang abu-abu untuk melapisi sweter warna gadingku. Aku memintanya menyemprotkan parfumnya di kaus ini. Rasanya jadi seperti dipeluk Horizon. Hehe ....

Sementara benakku mengingat pria itu, Katerine yang berdiri di sebelahku sontak bertolak pinggang menggunakan tangan satu. Sebelah tangannya memegangi topi pantai. Aku dan Lea memilih tidak mengenakannya.

“Wah, apa ini? Sejak berangkat sampai tiba di sini, kau selalu membahas Horizon sambil tersenyum. Horizon yang inilah, Horizon yang itulah. Bla bla bla,” goda Katerine.

Senyumanku lebih mengembang dengan sendirinya tanpa mampu kusembunyikan.

Bagaimana tidak? Setelah berhari-hari bersitegang adu argumen dengan Horizon, akhirnya hubungan kami membaik.

Dia begitu kukuh tidur di kamar tamu bersamaku, meski sudah kuperingatkan berkali-kali untuk tidak terlalu sering berdekatan denganku karena flueku yang sangat berpotensi menular kepadanya.

Kendati teramat penasaran, tetapi aku selalu mencegah diriku melontarkan topik ruang rahasia Horizon di kamar kami. Sebab kupikir itu hanya akan membuatku sakit hati seandainya mendapatkan jawaban yang tidak kuinginkan. Gamang kami akan bertengkar lagi. Akan saling berjauhan lagi. Jadi, aku berusaha menjernihkan pikiran, membiarkan hal tersebut dengan menikmati waktu bersama suamiku selagi masih bisa.

Sering kali kami mengenakan baju tidur couple. Dan aku menikmati kehangatan serta kenyamanan yang ditawarkan dekapan Horizon setiap kami tidur. Tangan besarnya sering mengusap puncak kepala dan punggungku. Rasanya aku begitu disayanginya.

Tidak jarang saat mendekapku dari belakang, tangan Horizon bergerilya ke mana-mana. Menyelinap ke dalam kaus tidurku dan merangkak ke atas. Seolah-olah mencari pegangan agar dia tidak jatuh. Kadang salah satu ujung jemarinya membentuk pola melingkar di permukaan kulit sekitar puncak feminisku. Lalu ketika jari-jari kakiku menekuk dikarenakan bagian tersebut meresponsnya sentuhan tipisnya, dia menurunkan gerakan melingkarnya ke pusarku dan pura-pura minta maaf. “Ups. Maaf, aku memang sengaja. Well, sangat responsif.”

“Dasar kau!” omelku yang ikut memegangi tangannya agar tidak mengkonfrontasi bagian lain atau bermain-main lebih jauh—atau kami akan berakhir flue bersama-sama karena terjadi sesuatu yang kami inginkan. Namun, usahaku jelas sia-sia.

“Let me tell you something, Bae.” Dengan serak dan tawa kecil, Horizon berbisik di cuping telingaku yang telah dia singkirkan rambutnya. Hangat napasnya yang berembus membelai hingga ke tengkukku, membuat bulu kudukku meremang.

“What?” bisikku agak menolehnya.

Saat pertama kali bertemu denganmu dan menilai penampilanmu, aku selalu penasaran. Apakah kau menindik pusarmu seperti kau menindik telingamu agak banyak? Ataukah kau menato bagian tubuhmu yang hanya bisa disembunyikan dengan bikini? Kau sukses membuatku mengira-ngira.”

Menahan diri sekuat tenaga agar tidak tergoda untuk menyerahkan diri kepada Horizon, aku lantas berbalik tanya, “Dan kau kecewa karena tidak menemukannya, eh?”

Tangan Horizon merangkak naik lagi, menginvasi daerah itu lagi. Kali ini dengan menggenggamnya. Tangannya penuh, pas. Aku merintih pelan sementara benakku hampir menyerah saat kepalanya lebih ditenggelamkan di ceruk leherku. Mengakibatkan suaranya berdengung saat dia menjawab, “Tidak juga. Justru bagus karena tidak ada. Jadi, aku bisa membuatnya untukmu. Kau mau berapa biji?”

Tawa keluar dari mulutku. “You’re dirty boy! If you know what I mean, Bae. Sesuatu yang kau banggakan berusaha menunjukkan eksistensinya. I feel you there,” hardikku.

Setelah tampak sadar betul dengan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya, suamiku mengeram sembari mengetatkan pelukannya sebelum bangkit dari kasur. Lalu dia mengutuk, “Salahkan saja dirimu karena terlalu menggoda!” Dia menyugar rambut kasar dan menggerung, Aku bahkan tak bisa mencium bibirmu!” Kali ini dia mendesis, seperti putus asa. “Kenapa luka jahitku dan fluemu belum sembuh-sembuh juga? Awas saja kalau kita sama-sama sudah sembuh! Aku akan mengunci diri kita di kamar selama dua puluh empat per tujuh.”

Aku kembali tertawa sebab tak menyangka Horizon akan jadi semenggemaskan ini bila hasratnya tidak dipenuhi. Jadi, dikarenakan tak tega melihat pria itu lama-lama tersiksa, aku mengikutinya masuk kamar mandi dan membantunya mencapai puncak kenikmatan sebisaku. Tentunya menggunakan cara aman; aku tidak akan mau menularkan virusku.

Di waktu lain, selain rutin mengganti aroma terapi di mesin penghasil uap yang dia letakkan di samping kasur, Horizon juga menemaniku berendam di hot tub. Ketika mengusulkan akan memijat dan menggosok badanku, dan berkaca dari pengalaman sebelumnya, aku jelas menolak. Sebagai balasan, aku memintanya membacakan salah satu buku favoritnya yang berjudul I’m Glad my Mom Died karya Janette Mc Curdy agar pikirannya lurus, tidak bengkok-bengkok.

Pascamengembuskan napas berat, Horizon mengambil kursi kecil dan meletakkannya di samping bak sebelum mendudukinya. Dia lantas melakukan permintaanku.

Bukankah dia manis?

Cara Horizon menceritakan tentang novel itu membuatku sedikit-banyak mengerti kenapa dia amat menyukai karya fiksi tersebut.

Jika pepatah mengatakan jangan menilai buku dari sampulnya, maka kali ini aku mengubahnya sedikit menjadi: jangan menilai buku dari judulnya. Buku itu seakan-akan dicetak hanya untuk membuka pikiran Horizon—dan jelas mempengaruhi pikiranku sekarang.

Kala Pops datang ke penthouse, aku bertanya kapan ulang tahun Horizon. Pops memberitahuku. Tanggal 29 Februari. Well, kupikir Horizon memang manusia spesial. Sampai tanggal lahirnya pun spesial. Aku jadi tak tahu harus bagaimana menghadapi itu. Tahun ini dan tahun depan dia jelas tidak merayakannya. Padahal benakku sudah menyelipkan ide kado yang bisa kuberikan untuknya.

Lalu ketika anak dan ayah itu mengobrol di ruang tamu, aku yang mengintip dari kamar dan lancang mencuri dengar percakapan mereka—yang ternyata tidak terdengar sama sekali lantaran suara mereka yang pelan—lantas menyadari satu hal. Tatapan Horizon pada Pops terlihat sangat terluka. Begitu pula sebaliknya. Atmosfer yang berada di sekeliling mereka seperti dipenuhi kabut kepedihan. Padahal, dulu mereka sehangat mentari musim panas. Aku berkali-kali menyaksikan mereka di peternakan kuda: berkuda bersama, bercanda dan tertawa.

Hubungan mereka seperti terbentuk jarak amat jauh untuk dijangkau. Entah sejak kapan cara mereka memperlakukan satu sama lain berubah. Seingatku sewaktu makan malam untuk memberitahu rencana pernikahan dan di hari pernikahan kami, Pops sangat bahagia. Itu membuatku agak memikirkan bagaimana ekspresi mertuaku itu saat mengetahui kami akan bercerai di akhir tahun.

Aku tidak berani bertanya penyebab mereka menjadi dingin satu sama lain pada Horizon lantaran takut dia akan makin terluka. Aku pun sanksi dia mau menceritakannya.

Dan ketika Pops berpamitan, aku melihat Horizon memandangi punggung ayahnya. Dia seperti seseorang yang kesepian dan merindukan kasih sayang. Apakah sewaktu begitu ingin memelukku di saat sakit, dia sebenarnya ingin diberi perhatian seharga kasih sayang berkedok rindu?

Oh Tuhan, kenapa aku jahat sekali telah mengabaikannya? Hanya pelukan, apa susahnya?

Sewaktu kudekati, pria itu langsung mengalihkan topik dengan bertanya, “Apa saja yang kalian bicarakan tadi? Kelihatannya seru sekali.”

Aku tak tega berbohong. Jadi, aku menajwabnya jujur.

Dia pun berkomentar, “Kau bisa menanyakannya padaku. Sebenarnya aku juga berniat memberitahumu tentang daftar-daftar yang sudah kau catat di ponselmu. You know, daftar untuk menjadi istri yang baik.

Mataku membelakak. “Kau membaca catatanku?”

“Tidak sengaja.”

Kemurungan kembali melandaku. Rasa bersalah kembali menerjangku. “Maafkan aku.”

Horizon tidak menanggapi permintaan maafku. Alih-alih, dia malah menanggapi hal lain yang masih berkaitan dengan itu. “Jadi, mari kita mulai dari sarapan kesukaanku. Aku suka bacon dan telur mata sapi setengah matang. Beri merica hitam dan garam. Rasanya akan sangat lezat bagiku. Tapi bukan berarti aku tak suka penekuk atau roti lapismu.”

Kemudian Horizon memberitahu segalanya. Berkomentar tentang memang seharusnya aku berkata mencintai dan merindukannya bila ingin menjadi istri yang baik baginya. Lalu memperbolehkanku bertanya pada Johnson tentang jadwal kerjanya agar tak mengganggunya kalau-kalau aku ingin mengirim pesan maupun menelepon—entah itu pesan remeh temeh atau apa pun.

Dia tidak keberatan kubuatkan bekal makan siang dengan catatan di hari itu aku tidak terlalu sibuk dan dia tidak ada jadwal makan siang dengan klien. Dia juga setuju dengan ide kencan di akhir pekan, ke tempat-tempat seru.

Leganya, Horizon bersedia kuajak ke pesta Halloween The Black Skull yang diadakan setiap tahun. Tahun ini kami mengundang semua orang Harmoni Studio dan Lupara. Ketika pillow talk, Horizon bahkan langsung meminta Johnson memesankan tiket ke Alaska untuk bermain snowboard di akhir tahun.

“Lihat, Lea. Bukannya menjawab pertanyaanku, sahabat kita malah senyum-senyum sendiri.”

Lamunanku buyar akibat sindiran Katerine yang membuatku rikuh. Baru saja mulutku terbuka hendak menjawabnya, Lea lebih dulu menanggapi, “Biarkan saja. Orang kasmaran memang begitu. Lee juga seperti itu. Kau lihat, dia selalu berbinar-binar dan mengangguk-angguk seperti itu kalau mengobrol dengan istrinya.”

Lea menunjuk rumah besar bergaya modern yang sebagian besar berdinding kaca dan berbalkon luas. Alih-alih disebut rumah, aku beranggapan itu adalah vila musim panas. Di situ pulalah terlihat kakak laki-lakinya bersama istri pria itu. Sambil memijat istrinya yang tiduran di kursi santai dan berceloteh, Lee Devoghn mengangguk-angguk dan tersenyum hangat.

Omong-omong di vila keluarga Lea itulah kami akan menginap selama syuting. Kamar di sana cukup untuk semua personel dan kru. Dari kami datang pun, keluarganya menjamu kami dengan amat baik. Disediakan makanan berlimpah dengan pelayanan mirip hotel berbintang.

Syuting sendiri akan dilaksanakan sore nanti. Sekarang di sela-sela waktu istirahat makan siang, kami ingin bermain-main sebentar sebelum melakukan pekerjaan serius.

“Nah, seperti itu. Mirip gejala Skylar, kan?” tanya Lea lagi.

“Kau benar, Lea. Mereka manis sekali,” komentar Katerine dengan kedua tangan mengatup di dagu dan pandangan lurus ke pasangan suami istri tersebut. Lalu dia, berandai-andai, “Kuharap aku juga akan seperti mereka nanti.”

“Bukankah drummer Lupara sedang berusaha mendekatimu?” tanyaku, mengingat akhir-akhir ini Katerine jarang bersamaku karena didekati seorang pria.

Bola mata Katerine berputar malas. “He’s not romantic, at all.”

Lea tidak setuju dan membantah, “Tapi setidaknya katamu Elijah seksi, Kate.”

“Wow, wow, wow, Katerine kita yang polos sudah tahu pria seksi,” godaku sambil menusuk pinggangnya menggunakan jari telunjuk.

Katerine berusaha menghindar karena aku dan Lea lantas mengejarnya. Cipratan-cipratan air kontan mengenai kami dan menjadikan kami agak basah.

Seorang wanita paruh baya mendekati kami, menyela obrolan serta tingkah kekanakan kami. Dia mengatakan sesuatu pada Lea sambil bisik-bisik. Kemudian Lea pun pamit, “Aku masuk dulu, Lee meminta bantuanku.”

Setelah Lea pergi, Katerine menyiku lenganku. “Jadi benar kau jatuh cinta pada Horizon?”

Aku menunduk, mengambil ranting bakau yang hanyut terbawa ombak, terseret hingga di sebelah kakiku lalu memainkannya di pasir. Sebelah tanganku terlipat di dada guna meredakan hawa dingin yang dibawa angin. “Begitulah.”

“Hahaha ... akhirnya.” Katerine bertepuk tangan sekali lalu celingukan sebentar sebelum mendekat dan berbisik, “Tapi bagaimana dengan kontrak pra pernikahan kalian?”

Senyumnya agak luntur. Lagi-lagi tanpa melihat Katerine, aku menjawabnya. “Sebenarnya aku ingin membatalkan kontrak itu. Tujuanku berubah, Kate. Bukan resor ibuku lagi. Tapi Horizon. Aku merasa ingin jadi istri sungguhan baginya.”

Mengingat Horizon tak menyinggung perihal cerai yang memang ada di daftarku paling akhir dan kucatat untuk bersabar sampai bisa meraih kebebasanku lagi, itu membuatku berpikir keras sampai menghasilkan buah pikiran: apakah artinya ada kesempatan bagiku untuk mengubah tujuanku dari mendapatkan resor ibu ke mempertahankan pernikahan Horizon?

Lebih-lebih semenjak aku sakit. Horizon sudah tidak pernah bernada dingin dan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain bila kami mengobrol. Sedikit-banyak, dia membagi pikirannya denganku. Aku jadi merasa lebih dekat dengannya.

Apakah aku serakah jika mencintai pria itu dan ingin selamanya berada dalam hidupnya sebagai istrinya?

Misi ini tak akan kucatat di ponsel atau buku. Cukup kusimpan dalam benakku. Aku tak mau ketahuan Horizon lagi. Dan Katerine jelas sangat bisa menjaga rahasia.

“Aaa .... How so sweet. Akhirnya kau bisa diluluhkan. Aku bahagia melihatmu bahagia, Sky.” Katerine merentangkan kedua tangan lalu memelukku. Suport system ini menyentuh hatiku. Sehingga aku menjatuhkan ranting bakau untuk balas memeluknya. “Tapi bagaimana cara membatalkan kontraknya selain membayar denda?”

“Pertama-tama aku harus meyakinkan Horry lebih dulu untuk membatalkan kontrak itu.”

Katerine mengangguk-angguk. “Tapi kenapa kau terlihat tak terlalu yakin?”

Paru-paruku mengambil oksigen agak banyak dan mengeluarkan karbondioksida perlahan-lahan. Kutatap Katerine yang menungguku menjawab. “Entahlah.”

Walau sentuhan, nada dan perlakuan lain Horizon padaku mengisyaratkan kasih sayang, aku masih belum yakin.

“Apa yang membuatmu masih ragu, Sky? Horizon jelas-jelas mencintaimu.”

“Aku hanya belum mengerti, kenapa dia tidak menolakku dan malah menawarkan kontrak itu padaku meski tahu tujuanku yang sebenarnya. Dan juga bagaimana aku berusaha berpura-pura mencintainya. Tapi bisa kupastikan, sekarang aku tak begitu lagi. I’m crazy about him, Kate.”

Katerine jelas kaget. “Astaga, dia mengetahui misimu?”

“Ya. Katanya itu yang menjadikannya ingin mengajukan kontrak pernikahan denganku. Kalau dia mencintaiku, pasti dia kecewa dan tak mau melakukannya karena aku menipunya, bukan? Atau bisa saja dia gantian menolakku.”

Mulut Katerine mengatup sampai tipis. Lalu dia mulai berasumsi, “Mungkin dia ingin merasakan balasan perasaannya darimu, Sky.”

“Benarkah?”

“Ya, lalu apa lagi?”

“Mungkinkah dia seputus asa itu sampai menggunakan cara ini?” tanyaku, masih tak mengerti.

“Bisa jadi. Kau tahu sendiri bagaimana sepak terjangnya saat mendekatimu. Mengacaukan kencanmu, membeli waktu jumpa penggemarmu, yang terakhir sampai membayar kerugianmu, Sky.”

Di antara desau angin, aku merenung sambil mengusap-usap lenganku guna menciptakan kehangatan. Jujur saja, hawanya makin dingin.

“I hope so, Kate.”

“Kenapa kau tak berkata jujur padanya saja, Sky?” usulnya.

“Aku takut dia tidak percaya padaku, Kate,” akuku. Berharap dia menguatkanku dan harapanku pun terkabul.

Katerine kembali merangkulku. Kami lantas sama-sama fokus melihat laut. “Ayolah ... jangan pesimis. Skylar yang kukenal tidak seperti itu. Dan bukankah setiap orang pasti merasakan ketulusan orang lain?”

Aku kembali berpikir, kali ini gigiku sampai bergemelutuk. “Kau benar, Kate. Mungkin aku akan mencoba mengatakannya.”

“Bagus, that’s my best friend. Eh, kau kedinginan, Sky? Ayo masuk dan ganti baju.”

Namun, sewaktu berbalik, kami benar-benar terkejut luar biasa dengan kehadiran Alton Mason. Gestur serta ekspresinya menjelaskan dia mendengar semua obrolanku dengan Katerine.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah ninggalin jejak vote dan komen

It’s mean a lot to me

Bonus foto:

Skylar Betelgeuse dan Katerine

Horizon Devoss

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Minggu, 5 Maret 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top