Chapter 30
Selamat datang di chapter 30
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen biar saya semangat ya teman-teman
Tandai juga kalau ada typo ygy
Thanks
Happy weekend everyone
Selamat membaca, semoga suka
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Berbuat baik tidak perlu menunggu seseorang melakukan hal itu lebih dulu atau melakukan sebaliknya padamu
—Horizon Devoss
____________________________________________________
Musim panas
New York, 26 Juli
Pukul 16.05
Dari mana datangnya pemikiran mesum itu?
Hanya karena tidak sengaja menemukan alat uji kehamilan di tong sampah, haruskah adrenalinku jadi terpacu cepat hingga timbul niatan merancap istriku yang sedang sakit, yang semestinya mendapat pijatan rileksasi dariku agar badannya nyaman untuk beristirahat?
Well, kurasa bukan hanya sekadar ingin merancap, aku menginginkan lebih daripada itu. Aku ingin membuat Skylar meneriakkan namaku dengan cara paling seksi dan seerotis mungkin sampai menggema di seluruh penjuru kamar mandi. Aku ingin membuat tubuhnya menegang dengan memberinya kenikmatan dan kepuasan secara mendasar menggunakan cara paling primitif; seks hebat bagi kami berdua.
Aku ber-cak sambil mendesis. Ke mana sebetulnya akal sehatku pergi saat disuguhi pemandangan indah tubuh istriku yang polos? Maksudku, lekukan itu ..., tonjolan itu ..., dan yang lainnya menimbulkan gemuruh dalam diriku. Organ pemompa darah tubuhku menyalurkan unsur penting itu ke satu pusat gairahku.
Kubuang napas kasar lagi dan lagi. Lalu meyakinkan diri sendiri untuk membenarkan pikiran dan sedikit tindakan salah itu. Bahwa inilah yang terjadi bila sudah terlalu lama sejak terakhir kali aku menyentuh istriku. Artinya sudah sangat lama kebutuhan biologisku tidak dipenuhi Skylar. Dengan tidak bangga aku mengakui ini merupakan rekor terlamaku tidak bercinta dengan wanita yang mengikat dirinya denganku dalam suatu hubungan pasti.
Kendati demikian, seharusnya aku paham situasi. Skylar sedang tidak bisa. Begitu pula denganku. Meski demikian, setidaknya aku lega dengan hasil negatif alat uji kehamilan tersebut. Itu tentu sangat bagus bagi kami, sesuai kesepakatan kontrak pra pernikahan kami. Bayi tidak baik untuk hubungan kami yang ada masanya.
Walau seandainya tak ada alasan utama tersebut dan terlepas dari siapa pun yang menjadi suami atau partner Skylar baik di masa kini maupun mendatang—I hate this statement, setiap orang yang kenal dekat dengannya tentu bisa menilai. Wanita itu jelas belum pantas menjadi ibu. Dia masih kekanakan dan bertindak seenaknya. Pemikirannya belum jangka panjang. Masih kerap menuruti keinginan sesaatnya.
Selain alasan-alasan yang telah kusebutkan, aku juga mengingat bagaimana diriku dan River tumbuh tanpa ibu yang semestinya menjaga kami. Tentunya itu membuatku tidak ingin memiliki anak tanpa orang tua lengkap di saat keduanya masih hidup dan sehat.
Aku pun telah berpikir ulang. Akibat perbuatan tak senonohku tempo hari, aku harus menciptakan jarak agar pikiranku kembali lurus ke tempat semula; merawat Skylar sampai sembuh. Kendati dengan cara paling tidak gentle. Yakni mengawasinya diam-diam dengan meminta maid menjaganya serta selalu meminta mereka menceritakan tentang setiap detail kondisinya.
Secara keseluruhan, salah satu maid membeberkan, “Kondisi Mrs. Devoss berangsur membaik. Demamnya menurun. Fluenya berkurang. Matanya juga tidak berair lagi. Hanya tenggorokannya yang belum terlalu pulih. Kira-kira masih 60 persen menuju kesembuhan.”
Jadi, aku yakin suaranya masih mirip anak domba tersesat yang mengembek di peternakan.
Terkadang aku mengecek suhu badan Skylar ketika dia tidur. Lalu aku pindah tidur di kamar lain, di kamar kami. Karena jujur saja, lama-lama tidur di sofa kamar tamu yang tidak mumpuni dengan tinggiku membuat punggung dan pinggangku sakit sebab terus-menerus harus ditekuk. Kualitas tidurku jadi jelek yang jelas akan mempengaruhi kesehatanku. Logikanya, aku harus sehat untuk menjaga Skylar yang sakit.
Selain mertuaku yang rajin menjenguk, dua hari belakangan, Katerine dan seluruh personel The Black Skull mengunjungi Skylar. Mereka ramai sekali—seperti biasanya mereka saat berkumpul. Mereka konser di kamar tamu yang ditempati Skylar. Entah alat apa yang mereka gunakan sampai membentuk nada-nada enerjik seperti itu. Mungkin mereka menggebuki kasur, sofa atau barang-barang lain. Yang jelas, konser mereka membuatku—yang berada di ruang kerja tidak jauh dari kamar tamu—tak bisa fokus meneliti setiap jengkal manajemen resor ibu Skylar yang telah diberikan Mr. Flint di hari beliau berkunjung bersama Momster.
Berbicara soal Momster, seharusnya wanita paruh baya yang paling berhak mengurus The Black Skull itu lega lantaran Skylar sudah membaik. Aset paling berharganya membaik!
Bagaimana mungkin aku berkata seperti itu tanpa alasan? Iya, kan? Ini karena kemarin lusa ibu tiri istriku menuduhku telah membuat Skylar sakit. Aku tidak akan membantah soal itu. Memang aku yang berperan paling banyak soal kesehatan Skylar. Namun, wanita paruh baya itu agak keterlaluan karena mengancamku agar kedepannya tidak melakukannya lagi. Tentu saja, lengkap dengan no kids warning sebelum konser kolaborasi The Black Skull dan Lupara rampung.
Pada waktu itu kukatakan, “Aku tidak akan melakukannya.” Hanya manusia idiot yang akan mengulangi kesalahannya dan tidak belajar dari itu.
Anehnya, bukannya lega, wajah Revina justru tampak ingin mencakarku. Seolah-olah tersimpan dendam padaku.
Revina Betelgeuse sangat berbanding terbalik dengan Flint Betelgeuse.
Aku menggeleng pelan, berusaha mencurahkan seluruh konsentrasi pada luka jahitku yang sudah mengering dan membaik. Yang saat ini sedang kutetesi obat dari dokter.
“Shit,” umpatku saat obat itu resmi meresap ke pori-pori lukanya. Rasanya nyeri dan tidak nyaman.
Walau tidak berdampak banyak, aku mengipasinya menggunakan tangan sambil meniup-niupnya agar cepat kering. Kemudian aku mengambil plester anti air. Sebelum menempelkan benda yang sudah kurobek itu, aku mendengar seseorang berdeham kencang. Atensiku pun beralih pada sang pemilik suara yang berdiri dengan bahu kiri bersandar pada sebelah dinding penghubung antara foyer dan ruang tengah.
“I can do that for you,” tawar wanita itu. “Of course, If you don’t mind,” imbuhnya, melengkapi perkataannya dengan gidikan bahu ringan. Seperti tak ingin ambil pusing bila aku tak menghendakinya.
Aku tahu cepat atau lambat pasti harus berhadapan dengan Skylar. Tidak mungkin aku terus-menerus menghindarinya, bukan? Memangnya otakku selalu kotor?
Jadi, aku mempersilakan dan menerima tawarannya secara suka cita. “Yes, please.”
Skylar bergabung duduk di sebelahku, di sofa abu-abu tanpa lengan yang terletak di ruang tengah. Posisi sofanya membelakangi balkon. Skylar melihat pohon maple-nya sebentar sebelum merapatkan maskernya. Kemudian mengambil alih plester anti air dari tanganku.
“Tegakkan badanmu agar lukanya kelihatan semua,” perintah Skylar. Aku menuruti dan membiarkannya menempelkan plester itu.
“Shit,” upatku lagi yang sedikit terhenyak sewaktu dia menekan plesternya.
“Maafkan aku,” ucap Skylar yang refleks menarik tangannya.
Tatapan mata besarnya sungguh cantik. Maskernya membuat wanita itu terlihat misterius. Membuatku mengira-ngira. Apakah dia sedang tersenyum, mengernyit, cemberut, ataukah bibir penuhnya minta dicium atau ....? Sialan! Aku tak seharusnya seperti ini. Ada apa dengan isi kepalaku?
“Pelan-pelan, Bae.”Akhirnya aku berkata dengan nada serak dan agak menggerung sembari mengalihkan pandangan. Fokus kembali ke luka jahitku.
“Oke, aku akan pelan-pelan,” balasnya untuk meyakinkanku. Kemudian secara perlahan dia menggosok-gosok plester yang sudah menempel di permukaan luka jahitanku sampai tidak ada bagian yang menyelip.
“Thanks. It’s better.”
Skylar mengambilkan kaus putihku di sebelah dia duduk. Sementara aku mengenakannya, dia membantu mengemasi kotak first aid sambil bertanya, “Apa yang kau lakukan setelah ini?”
Aku tidak langsung menjawab sebab berpikir sejenak. Melukis kedengarannya memang sangat bagus, tetapi niatku belum terkumpul sepenuhnya. Objek yang akan kulukis belum kutentukan. Karena aku merasa ruang rahasiaku harus dipenuhi benda-benda berharga. Jadi, tak akan kubuat lukisan asal-asalan.
Aku pun tak tahu harus menjawab apa selain, “Entahlah,” sambil mengedikkan bahu. “Mungkin aku akan memeriksa beberapa laporan,” tambahku tak yakin.
Salah satu alis Skylar naik. “Haruskah?”
“Tidak juga. Kenapa memangnya?”
“Sebenarnya aku bosan,” akunya. “Kau tahu, harus berdiam diri di kamar seperti dikarantina. Hanya tiduran sepanjang hari dan ..., begitulah.”
Bayangan River tepat seperti yang baru saja digambarkan Skylar otomatis muncul dalam benakku. Kinerja jantungku menjadi berlipat ganda. Benakku mengingatkan diriku untuk mengesampingkan kegiatan yang akan kulakukan demi Skylar. Aku harus mengawasinya.
“Well, apa yang biasanya kau lakukan saat bosan?” tanyaku tak selang lama setelah itu. Aku mendekatkan diri lalu menempelkan punggung tanganku di keningnya. Melegakan. Suhunya sudah normal. Kemudian aku menyugar rambutnya.
“Bermain gitar sambil menyanyi.”
Tentu saja. Memangnya apa lagi? Mana mungkin dia akan merajut syal, berbelanja baju warna-warni, meminum teh seperti bangsawan Inggris, ngopi cantik bersama teman-teman feminin gaulnya di kafe estetik atau sejenisnya, bukan?
Masih sambil mengusap-usap rambut puncak kepala Skylar, aku mengangguk, menyetujui jawabannya. “Sounds good. Sangat mencerminkan dirimu.”
Aku melihat Skylar menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam. “Tapi aku sedang tidak bisa,” ucapnya pelan, kelihatan kecewa.
Aku lantas memberi solusi diplomatis. “Kau bisa melakukan hal lain yang kau sukai.”
Sebetulnya aku juga penasaran, hal lain apa yang disukai Skylar selain bernyanyi sambil bermain gitar atau membuatku panik dan naik pitam setiap dia bertingkah di luar nalar manusia normal. Tolong jangan katakan dia ingin makan sate kecoa atau sate testikel kambing yang dijual di sepanjang jalan di Bangkok. Aku sudah pernah bersumpah tidak akan menciumnya apabila dia memakan makanan itu.
“Aku suka menata ruangan. Tapi itu tidak mungkin juga.”
Syukurlah. Setidaknya jawaban itu terdengar normal dan manusiawi. Ingatanku pun berkelana kembali ke awal diriku ke Shanghai. Skylar pernah bercerita, ketika barang-barang dari apartemen lamanya sudah dipindahkan semua di penthouse ini, dia menatanya bersama Katerine dan Lea. Dia juga menata pajangan-pajangan yang dibelinya dari Bangkok, memberi dan menata beberapa tanaman hias di rumah ini, serta menanam pohon maple itu.
Setelah kupikir dan tanpa sadar kuperhatikan, itu merupakan satu bakat lain yang kutemukan dalam diri Skylar. Dia gemar menata ruangan dengan hasil bagus. Itu bisa berguna bagi resor ibunya. Jadi, aku akan memanfaatkan bakatnya itu untuk menjadikan resor ibunya lebih baik.
“Aku akan memfasilitasi bakatmu yang satu ini. Tapi kalau kau sudah sembuh,” cetusku.
“Kau sungguh murah hati, Bae.” Tawa kecil Skylar mengisi pendengaranku selagi kurasakan pundak kananku ditepuk-tepuknya mirip caranya memperlakukan teman lama dan aku tidak menyukai gagasan itu. Namun, kubiarkan dia melakukannya.
“Tak ada yang spesial. Aku hanya melakukan hal yang seharusnya kulakukan.” Kuarahkan rambutnya ke belakang telinga dan Skylar kembali menelan ludah. Kali ini dengan mata terpejam sebentar.
“Begitu rupanya.” Skylar tiba-tiba menegakkan punggung. “Omong-omong, begini saja. Aku akan bermain gitar dan kau boleh bernyanyi.”
Salah satu sudut bibirku tertarik ke atas membentuk senyum miring. “Selama mengenalku, apa kau pernah mendengarku berbanyi?” tanyaku cepat.
Dengan polosnya dia menjawab, “Tidak pernah.”
“Dan kau percaya ingin mendengarku bernyanyi untuk pertama kalinya?”
Skylar mengangguk semangat. Matanya menyipit mengasumsikan dia sedang tersenyum. “Tentu saja. Ayolah, hibur aku dengan suara emasmu.”
“Aku yakin gendang telingamu akan pecah.”
“Please ..., Horizon Devoss. Ya, ya, ya?” Punggung Skylar mengendor. Dia melengkapi kalimatnya dengan tangan memohon.
“Aku tidak terbiasa dengan nada dan tingkahmu ini.”
Peduli setan dengan pendapatku, Skylar kembali menegakkan duduknya. Semangat seolah-olah telah mengisi tubuhnya yang tadi sempat tampak loyo. “Ayolah, aku akan mengambil gitarku di studioku.”
Tanpa menunggu jawabanku, Skylar beranjak dan pergi ke studio mini di penthouse ini. Tak sampai semenit dia kembali membawa gitar kesayangannya yang ditempeli beberapa stiker. Ada stiker The Black Skull, Rollingstone, Guns and Roses, Harmoni Studio, La Vie Consonance dan yang paling menonjol adalah stiker namanya di sana. ‘Sky.’
“Ini dia,” seru Skylar sambil menenteng gitar itu.
Aku mengendorkan punggung dan menekuk tangan untuk kujadikan bantal di punggung sofa. Tatapanku tertuju pada Skylar yang duduk bersila di sebelahku, bersiap dengan pick gitarnya.
“Ini ide buruk,” kataku santai, meyakinkannya.
“Cobalah dulu baru aku bisa menilai. Kau harus menegakkan dudukmu.”
“Aku malas.”
“Ayolah, Bae. Satu kali ini saja.”
“Ini namanya pemaksaan.”
“Setiap waktu kau selalu memaksaku melakukan sesuatu. Sekarang giliranku. Ayolah, tegakkan dudukmu.” Skylar mendorong-dorong punggungku dan aku terpaksa melakukannya.
“Baiklah, satu kali ini saja dan aku yakin kau akan menyesal.”
“Yes, thanks. But I don’t think so. You’re normally voice is great. So ....”
“Thanks a lot to be nice. But, it doesn’t mean I can sing,” bantahku. “Seseorang yang tinggi belum tentu seorang pemain basket atau pandai bermain basket. Jadi, tidak ada jaminan. Tidak ada tolak ukur.”
Skylar menggerung dan suaranya terdengar agak buruk. “Oh, sudahlah. Just sing for me. Kau bisa menyajikan lagu The Black Skull berjudul Happiness is Us, kan?”
Aku hanya menelengkan kepala sembari menaikkan alis. Skylar mulai memetik gitar, sedangkan aku mulai menyanyi. Pertama-tama aku bersenandung mengikuti alunan gitar. Kemudian saat aku baru melantunkan, “Your sad face really kiss my mind,” Skylar sontak menghentikan petikan gitarnya.
“Tunggu, turunkan nadanya. Ini masih intro, masih nada rendah, Bae,” titahnya.
“Bagaimana caranya? Aku buakn penyanyi, Bae.”
“Seperti ini, ekhm, ekhm!” Sambil memetik senar, dia mencontohkan, “Your sad face—Oh, God! Suaraku buruk sekali!” Petikan gitarnya juga berhenti.
“Apa lagi suaraku. Ini jelas ide buruk.”
“Ya, kau benar. Sebaiknya kita menonton film saja,” usul Skylar yang kemudian meletakkan gitar di sebelahnya duduk.
“Pilihan bijak. Akan kupasangkan proyektor di kamar tamu.”
Jadi, aku mengambil perlengkapan yang kumaksud dan memasangnya di kamar tamu. Skylar sudah menutup seluruh tirai kamar sehingga tidak ada pencahayaan selain dari layar proyektor.
“Apa film kesukaanmu, Bae?” tanyanya.
“Laga, horor, politik dan misteri. Itu sudah pasti,” jawabku lugas yang kini setengah berbaring di kasur, di sisi Skylar yang sambil membawa remote. Dia memang memintaku duduk berjauhan agar tidak gampang tertular virusnya, tetapi aku menolak. Tubuhku rindu berdekatan dengannya.
Skylar kembali bertanya, “Kau mau mencoba sesuatu yang baru?”
“Seperti apa? Film dewasa? Boleh juga. Tapi sebaiknya kau duduk di pangkuanku agar kita bisa langsung praktek.”
Skylar sontak menatapku. “You’re dirty boy!”
“No, I’m a man.”
“Ya, ya, ya, terserah kau saja. Jadi, aku akan memilihkanmu film ini.”
Aku memperhatikan layar proyektor. Skylar memilih film Je Me Souviens yang sudah tayang beberapa tahun silam. (Baca Epoque à Paris)
“Film Prancis?” tanyaku.
“Yap. Kau tahu, The Black Skull jadi salah satu pengisi soundtrack film ini.”
“Mau pamer, eh?”
“Sedikit,” candanya dengan nada bangga.
Film diputar. Berbahasa Prancis dengan terjemahan. Ada prakata dalam film itu yang menyebutkan film ini dibuat berdasarkan novel paling laris di Prancis dengan judul yang sama. Novelnya bahkan sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan telah dikembangkan dalam bentuk audio maupun komik.
Kupikir, akan sangat membosankan menonton film itu. Ternyata aku salah menilai. Musik dalam filmnya menghidupkan suasana sehingga bisa membuatku hanyut dalam cerita. Musik yang begitu indah. Digarap dengan cermat dan tulus dari hati. Aku juga bisa mendengar suara Skylar bernyanyi yang menjadi latar lagu dalam film itu. Aku bahkan agak mengantuk akibat mendengar musik pengantar tidur pemeran utamanya. Kualitas dan pengambilan gambar filmnya pun sangat apik sehingga aku seperti diajak jalan-jalan mengitari Prancis dan Milan.
Film selesai. Suara Skylar bernyanyi sebagai pengisi soundtrack film kembali memasuki pendengaranku. Namun, saat kutengok ke samping, aku malah mendapati Skylar menangis. Aku sontak waswas sebab baru dua kali ini aku melihatnya menitikkan air mata. Sehingga, aku langsung merangkulnya dan dia menyandarkan tubuh ke dadaku.
“Ada apa? Seingatku filmnya berakhir bahagia,” tanyaku tak mengerti.
“Ceritanya memang berakhir bahagia. Aku hanya mengingat saat pertama kali The Black Skull debut.” Suara Skylar parau.
“Aku tak tahu kau bisa seemosional ini sampai menangis karena itu.”
“Kau tahu, yang menciptakan lagu album pertama The Black Skull dan semua soundtrack film itu salah satu komposer berbakat. Penampilannya memang tidak seperti musisi, tapi dia pemilik studio La Vie Consonance yang merekrut kami sewaktu kami masih bermain musik di jalanan Montmartre, Paris. Dia baik sekali. Aku bersyukur dan berterima kasih padanya yang telah memberi kami peluang dikenal banyak orang sampai bisa jadi seperti sekarang.”
Kuusap-usap punggung Skylar supaya dia tenang. “Aku tahu, aku sudah tahu hal itu.”
Skylar mendongak. Dia melepas masker dan membuangnya tanpa memindah tatapannya padaku. Wajahnya tampak kacau. “Kau sudah tahu?”
“Ya, aku tahu semua tentangmu, Bae.” Kuusap air mata di pipinya. “Kau bisa mengunjunginya kapan-kapan. Aku akan mencari jadwal kosong untuk menemanimu.”
Ada jeda cukup lama bagi kami untuk saling bertatapan. Kemudian Skylar mengatakan, “I just don’t understand. Kau tahu semuanya tentangku, termasuk misiku. Pendek kata, aku jahat padamu karena memanfaatkanmu. Tapi kenapa kau diam saja dan masih bersikap baik padaku?”
Pembicaraan ini menjadi serius. Dan aku berbalik tanya, “Asal kau tahu, berbuat baik tidak perlu menunggu seseorang melakukan hal itu lebih dulu atau melakukan sebaliknya padamu.”
Skylar menggeleng, air matanya makin deras mengalir di pipinya. “I feel bad. Very bad.”
Gantian aku yang menggeleng. Dalam dekapanku, tanganku berpindah merapikan rambut Skylar. “Don’t say that.”
“Maafkan aku. Maafkan aku.” Skylar menangis kencang. Dia menenggelamkan kepalanya di dadaku sembari mengeratkan pelukannya.
Meski tidak ingin Skylar menangis, tetapi rasa rinduku dapat terobati oleh tangannya yang melingkari tubuhku.
Mendekap Skylar terasa benar.
Aku lantas menunduk untuk mencium puncak kepalanya. “Sudahlah, tak apa-apa.”
“Maafkan aku. Aku janji akan menjadi istri yang baik bagimu.”
“Ya, bersikaplah dewasa dan jangan membantahku. Hanya itu yang kumau, Bae.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah ninggalin jejak vote dan komen
It’s mean a lot to me
Bonus foto:
Skylar Betelgeuse
Horizon Devoss
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Minggu, 26 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top