Chapter 3
Selamat datang di chapter 3
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika typo (hobi)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like this
❤❤❤
______________________________________________
Pria itu sungguh mirip bunglon yang bisa menyesuaikan diri dengan mengganti warna yang sama di tempat dia berpijak
-Skylar Betelgeuse
_______________________________________________
Tiga tahun lalu
Musim panas
New Jersey, 24 Agustus
22.00 p.m.
"Hai, apa kau ingat aku dan adikku?" tanya seorang pria pada acara fan service usai The Black Skull menyelesaikan konser.
Aku mendongak lalu mengernyit. Berusaha mengingat-ingat siapa pria dengan senyum hangat dan adik yang berekspresi berbanding terbalik dengannya.
"Aku River Devoss dan ini adikku Horizon. Kalau kau ingat North Salem Stable. Kita pernah bertemu di sana. Ngomong-ngomong aku suka penampilanmu yang ini," imbuh pria yang mengaku River.
Senyumku pun mengembang secara otomatis. "Oh, Mr. Devoss. Aku tidak tahu kalau kau akan melihat konserku. Well, thanks, kuharap kalian bisa merahasiakannya," bisikku di akhir kalimat.
"Tentu saja. Sebenarnya aku dan adikku penggemar beratmu. Benar kan Horyy?" River menyenggol Horizon dan adiknya itu mengangguk serta tersenyum kaku.
"Ya, itu benar," jawab Horizon.
"Begitu ... ngomong-ngomong, apa yang ingin kutanda tangani?"
River mengulurkan sebuat DVD The Black Skull sedangkan Horizon melirik River.
"Horry, cepat beri Sky barang yang ingin ditanda tangani."
Menurutku, sangat aneh bila seorang penggemar tidak membawa barang yang ingin mendapat tanda tanganku. Mulanya, itulah pandanganku pada Horizon. Namun, ketika dia mengulurkan sebuah tapal kuda, aku pun kaget.
"Apa kau serius, Horry?" tanya River yang mewakiliku.
"Sangat serius, Riv. Ini tapal kuda Archiles, kuda kasayanganku," aku Horizon.
Masuk akal, orang-orang memang sering kali ingin barang yang mereka sukai ingin aku tanda tangani.
Musim panas
New York, 5 Juni
22.05 p.m.
Terlepas dari pelukan Horizon, berarti hidupku kembali. Oksigen terasa mengisi seluruh ruas paru-paruku hingga penuh padahal tadi rasanya bernapas pun aku tidak mampu. Darah yang diedarkan ke seluruh tubuh oleh jantung pun lancar, padahal tadi rasanya tubuhku panas-dingin sampai-sampai aku takut darahku mendidih dan beku dalam waktu bersamaan.
Berdekatan dengan Horizon terasa sulit, apalagi melakukan kontak fisik seperti ini. Oleh sebab itulah aku lebih suka menolak setiap kehadirannya di sekitarku sehingga aku bebas memonopoli udara apabila perannya tidak menguntungkan. Aku tidak bisa membayangkan bila pria ini akan menjadi suamiku kelak yang jelasnya harus berbagi ruang dan berdekatan dengannya setiap waktu. Aku takut pingsan di tempat. It's gonna totally worse, I guess.
"Aku akan menunggumu di luar," kata Horizon. Itu pernyataan sekaligus titah. Bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban sehingga setelah mengatakan itu, tubuh Horizon segera berpindah ke luar ruang ganti pribadiku.
Beberapa saat terlewati begitu cepat. Rampung mengganti pakaian menjadi lebih santai berupa kaos hitam longgar, jin biru kumal, sepatu ket putih, lengkap dengan ransel dan topi, aku pun keluar dari ruangan.
Begitu pintu terbuka, sosok Horizon yang tinggi menjulang segera menyambut indra pengelihatanku. Dia berdiri di tepi selasar yang ramai orang berlalu-lalang sambil menyembunyikan kedua tangannya dalam saku celana setelan kerja. Pandangannya yang semula turun segera dia menaikkan ke arahku, lalu sudut-sudut bibir itu pun tertarik ke atas membentuk seulas senyum tipis.
"Ayo," ajaknya.
Aku mengambil dan mengembuskan napas. Selempang ranselku kutarik lebih tinggi dan mematuhi perintah Horizon berupa gerakan tangan yang mengatakan aku harus berjalan dulu di depannya. Seperti isyarat 'Ladies first'. Begitulah Horizon, sangat gentle dan sopan.
Oh! Jangan tergesa-gesa untuk jatuh cinta padanya hanya karena itu. Sebenarnya dia sama sekali tidak seperti itu. Hanya di hadapan semua orang dia berlaku demikian. Sosok aslinya? Uh ... luar biasa arogan. Ya, kurang lebih sama sepertiku. Bedanya, aku tidak menjaga image di depan siapa pun. Termasuk penggemarku sekalipun-meski berpenampilan berbeda.
"Kau yakin tidak ingin ikut pesta pesta setelah konser?" tanya pria itu yang sudah menyejajarkan diri di sampingku. Suaranya mengalahkan keramain di sekitar kami.
Berhubung sedang puasa bicara, aku buru-buru mengeluarkan ponsel, mengetik jawabanku di suara google dan mendekatkannya pada Horizon. Sehingga alat komunikasi pintar itu pun mewakiliku berbicara padanya.
"Tidak. Aku malas. Tenggorokanku agak sakit, dan aku tidak ingin berbasa-basi atau minum alkohol di pesta itu yang bisa semakin memperparahnya. Karena itu mulai sekarang aku puasa biacara selama tiga hari ke depan."
Mulanya Horizon mengernyit seolah tidak menyukai caraku berkomunikasi dengannya. Namun, setelah paham maksud serta tujuanku, dia akhirnya mengangguk.
Tentu saja dia harus mengangguk dan berperan sebagai pria gantle sebab di tengah keramaian.
Kami melewati orang-orang belakang panggung yang masih sibuk mengurusi fan service. Selain itu, mereka juga tidak menyadari bahwa yang melewati mereka adalah vokalis The Balck Skull sebab berpenampilan 180 ° berbanding terbalik di panggung. Untuk segelintir orang yang tahu dan merahasiakannya seperti asistenku, aku melambaikan tangan singkat tanpa suara sebab sudah tahu bila kebiasaanku setelah konser adalah puasa bicara.
Bersamaku, Horizon menunjukkan tempat parkir mobilnya.
"Masuklah," titahnya usai memencet tombol pengunci dan membukakan pintu untukku. Sebelum menutupnya, dia melihat sekitar.
Setelah memangku ransel, sambil mengenakan seatbelt, aku melihatnya melewati bagian depan mobil seraya membuka satu kancing suit-nya.
"Thanks. Sebenarnya aku bisa membuka dan menutup pintu mobil sendiri." Aku mendekatkan ponsel pada Horizon.
Pria itu lagi-lagi mengernyit, tidak menjawab pertanyaanku. Melainkan membicarakan sesuatu yang lain. Yah ..., seperti tidak setuju gagasanku. Maksudku, sifat aslinya.
"Bisakah kau ganti suara google-nya menjadi suara google wanita? Rasanya aku seperti berbicara dan mengantar pria ke rumahnya. Itu menjijikkan, Sky," protesnya sambil mengenakan seatbelt dan menyalakan mesin Aston Martin hitam doff-nya.
Aku menutup mulut rapat-rapat tetapi punggungku bergerak naik-turun. Efek menahan tawa sambil mengetik.
"Suara google pria ini lumayan. Meski tidak semerdu suaraku." Suara google pria masih mewakiliku bicara. Dan tentu saja membuat Horizon semakin jengkel. Ya Tuhan, aku tidak menyangka akan kenikmati wajah Horizon yang seperti ini. Membuatku ingin terus menggodanya. Udara di sekitar kami yang semula terasa agak beku perlahan pun mencair.
Pria itu berdecak sambil membawa mobil keluar arena konser yang ramai. "Sudahlah. Lupakan. Di mana alamatmu?"
Cepat-cepat jariku kugerakkan di atas layar ponsel. "Kupikir kau sudah tahu lewat mata-matamu yang memata-mataiku." Suara google kembali menjawab Horizon.
Pria itu menghela napas. "Aku sama sekali tidak pernah memata-mataimu."
Oh! Benarkah?
"Alamatmu, Sky."
Aku segera mengetik. "Jangan tanya lagi, dan ikuti saja peta google ini."
Kembali mengutak-atik ponsel, aku meletakkan alat komunikasi itu di atas dashboard sehingga suaranya bisa menuntun Horizon ke rumahku. Sementara itu aku menurunkan topi untuk tidur.
"Sungguh? Kau meninggalkan aku sendirian bersama ponselmu yang bicara ini?" protes Horizon. Aku memejam sambil mengangkat tangan ke arahnya dan menunjuk telapak tanganku. Memberi isyarat supaya dia bicara dengan telapak tanganku. Aku tidak peduli bila dia tidak melihatnya. Aku benar-benar lelah.
Kuakui selain suka ekpresi kesalnya, aku juga menyukai aroma Leather tubuh Horizon yang memenuhi mobil. Menambah ketenanganku.
Walau pria itu sungguh mirip bunglon yang bisa menyesuaikan diri dengan mengganti warna yang sama di tempat dia berpijak, untuk kali ini, dia tidak merugikanku. Malah kupikir, justru sebaliknya.
Pertama, aku sangat lelah dan pulang merupakan ide yang sangat bagus. Semakin cepat tiba di rumah, semakin cepat aku istirahat. Kedua, sudah sangat malam, aku tidak membawa mobil karena para personel The Black Skull tadi dijemput naik karavan. Jadi, aku tidak yakin jadwal kereta bawah tanah masih beroperasi, dan aku tidak suka naik taksi. Ketiga, meski aku merasa tidak bebas bernapas ketika berdekatan dengan Horizon karena auranya berubah-ubah-kadang agak menakutkan, sedikit misterius serta tidak mudah ditebak, setidaknya aku mengenal keluarganya yang tentu membuat Horizon tidak akan berani mencelakaiku.
Yah, kau tahu, penyanyi kadang dibuntuti penggemar dan Horizon adalah penggemarku. Semoga dia tidak fanatik.
Aku tidak tahu sudah berapa lama tertidur kala merasakan seberkas cahaya berusaha membobol indra pengelihatanku. Kedua alisku mengernyit tidak suka dan menggerakkan tangan untuk menghalau cahaya tersebut.
Berhubung tidur nyenyakku sudah terusik, aku pun bergerak malas. Menggeliat dan secara perlahan membuka kedua kelopak mata. Silau, aku pun mengerjap untuk mengadaptasikan cahaya yang menyerang kedua pengelihatanku.
Tanganku merangkak naik ke kepala untuk mencari topi yang rupanya sudah tidak ada di sana. Pengelihatanku lantaran membuka sempura. Tersadar, aku tidak sedang duduk dan tertidur di kursi mobil Horizon. Melainkan berbaring di kasur berseprei abu-abu tua yang menjadi perabotan sebuah kamar maskulin bernuasa serupa.
Aku ingin berteriak tetapi teringat tenggorokanku yang harus dijaga. Kugerakan kepala ke segala arah untuk menemukan suatu petunjuk di mana aku berada. Sayangnya, nihil. Ranselku pun tidak ada. Dan satu-satunya tersangka dalam kasus penculikan elegan ini adalah Horizon Devoss.
Benar. Horizon Devoss.
Aku segera bangkit. Namun, aku terperanjat ketika mendapati jin biru kumalku sudah tidak kupakai. Hanya mengenakan penutup daerah genital saja. Debaran jantungku berubah cepaf, sekali lagi aku ingin menjerit tetapi tidak bisa. Beruntungnya, kaos hitam yang kupakai sedikit kelebihan ukuran sehingga panjangnya bisa menutupi pantat.
Aku kembali melihat sekeliling. Selain perabotan standar, ada tiga buah pintu di kamar ini. Semua berbentuk sama serta sejajar dengan jarak yang sama pula.
Ya Tuhan, lalu di mana pintu keluarnya?
Mencoba peruntungan, salah satu knop pintu yang paling dekat dengan tempatku berpijak kuputar. Mulutku sontak menganga dengan mata membelalak dan debaran jantung yang meningkat ketika mendapati Horizon sedang berdiri sambil menunduk, membiarkan air dari shower berjatuhan menimpa tubuhnya yang ..., yang-oke seharusnya aku segera menutup pintu itu atau paling tidak menutupi pengelihatanku menggunakan tangan lalu pergi.
Alih-alih melakukan semua solusi-solusi paling masuk akal di situasi mendesak seperti sekarang, aku malah menyita pandanganku yang mengarah ke punggung lebar Horizon. Lalu turun ... turun ....
Aku menelan ludah dengan susah payah tanpa berkedip. Lalu pada akhirnya tidak bisa mencegah teriakanku melesat keluar.
"Aaarrgghh ...."
Sebelum pergi, aku sempat melihat Horizon memutar kepala ke samping lalu tersenyum sambil menggeleng pelan.
Knop pintu samping pintu kamar mandi kubuka dan rupanya itu adalah closet. Berhubung tidak tahu lagi harus menampilkan wajah seperti apa di depan Horizon, aku pun memutuskan mengunci pintu itu dari dalam lalu terperenyak sambil memegangi dadaku yang memukul kencang. Tanganku yang lain mengepal dan memukuli kepalaku kemudian mengusap-usap wajahku.
Apa yang baru saja kulihat tadi? Pantat Horizon? Untung hanya pantat.
Ketika menggeleng, suara pintu kamar mandi terdengar dibuka dan ditutup.
"Apakah hobimu selain menyanyi juga mengintipku mandi, Sky?" tuduh Horizon yang kuyakini sudah berada di depan pintu closet karena suaranya terdengar jelas.
Horizon sialan! Memangnya siapa yang berniat mengintip? Aku hanya berusaha mencari jalan keluar kamar ini. Salahkan saja pada semua pintu di kamar ini yang serupa dan berjajar dengan jarak yang sama sehingga membuatku salah masuk.
Rasanya aku ingin mengomelinya. Namun, berusaha keras untuk tidak melakikannya sebab tadi sudah berteriak yang tentu berpotensi membuat tenggorokanku semakin sakit. Ini semua gara-gara Horizon!
"Kenapa kau tidak bicara? Padahal tadi sudah berteriak. Bagaimana? Suka dengan apa yang kau lihat, Sky?"
Argh! Sebenanya dia kerasukan apa?
Satu desisan lolos dari bibirku. Ketukan pintu terdengar setelahnya. Dan Horizon rupanya masih ingin mencari perkara. "Sky, buka pintunya. Aku harus mengambil baju."
Giliran desahan resah nan jengkel yang meluncur dari mulutku.
"Kalau kau tidak mau, tolong ambilkan setelan kerjaku lengkap. Aku harus segera ke kantor untuk rapat penting. Tapi tenanglah, aku akan mengantarmu pulang dulu." Pendengaranku kembali menangkap suara Horizon. "Atau kau ingin di sini saja?" imbuhnya.
Hah! Memangnya dia tidak punya maid yang mengurusnya di pagi hari? Dan mana mungkin aku sudi melakukannya. Yang kerjakan sekarang adalah meraih celana kerja Horizon sembarangan dan mengenakannya.
"Sky ...," panggil pria itulagi.
Aku mendesis lalu membuka pintu. Rasa kejut segera menyerangku tak kira-kira saat Horizon mendorong pintu hingga membuatku terjerambab ke karpet bulu lembut warna gading. Celana Horizon yang kukenakan melorot dan menyuguhkan pantatku.
Ggrrr. Aku menekuk wajah dengan gigi bergemeletuk karena emosi yang memuncak.
"Maaf, aku tidak sengaja, Sky," ungkapnya yang berusaha membantuku berdiri. Aku menepis kedua tangannya kasar karena tidak tahan lagi dengan semua ini.
Aku duduk sambil membenarkan celana kebesaran itu dan memeganginya supaya tidak jatuh, lalu merangkak naik di atas tubuhnya yang masih mengumbar dada bidangnya. Dan pinggang yang dililiti handuk serta titik-titik air yang berjatuhan dari rambut basahnya.
Dan bukannya Horizon merasa bersalah, dia malah tersenyum takjub. "Wow," katanya ringkas.
"Kau! Apa yang kau lakukan, Horizon Devoss?"
"Maaf. Sudah kubilang tidak sengaja," jawabnya sambil tersenyum senang.
Jadi, dia senang aku jatuh? Horizon keterlaluan!
"Kenapa aku bisa sampai di sini lalu celana jinku dan semua barang-barangku hilang?" Aku berteriak dan memberondonginya dengan pertanyaan sambil menunduk dan menunjuk-nunjuk dadanya.
Horizon berpaling. "Ekhm, Sky. Aku tidak bisa menjawabnya-"
"Apa? Kenapa tidak bisa? Karena terbukti menculikku?" potongku cepat.
"Tidak. Posisi kita membuatku susah menjawab."
Aku sontak melihat posisi kami dan tersadar. Cepat-cepat aku turun dan duduk berjauhan.
"Ckckck, dasar tidak bertanggung jawab," gumamnya.
"Tidak. Well, coba tanyakan pada ponselmu yang mati. Aku jadi tidak tahu harus mengantarmu ke mana. Dan kebetulan tidak ada kabel pengisi daya di mobilku. Kau juga tidur seperti orang pingsan. Jadi, apa salahnya kalau kau kubawa kemari?"
Aku memejam dan membuang muka ke samping. "Lalu kenapa aku bisa tidak memakai bawahan?"
"Skylar ..., bicaramu sangat blak-blakan. Biasanya wanita akan malu-malu ketika menanyakan itu pada seorang pria."
"Memangnya aku peduli? Aku lebih suka jadi diriku sendiri kecuali saat konser. Dan Horry, jangan bicara berputar-putar, katakan saja yang sebenarnya!"
"Aku yang melepasnya-"
"What the hell was you doing to me? How a filthy you're!" (Apa yang telah sedang kau lakukan padaku? Betapa mesumnya kau!) teriakku sambil melempari Horizon dengan celana kerja yang tertata di sebelahku lalu buru-buru menghilang dari sana.
_______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo
Bonus foto Skylar
Horizon
See you next time teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Jum'at, 25 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top