Chapter 29
Selamat datang di chapter 29
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen, biar saya tahu kehadiran teman-teman huhuuu 😭
Tandai kalau ada typo
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will enjoy and love this story as well
WARNING 21+
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Kau tahu apa yang paling buruk? Mengharapkan orang yang kau cintai peka dan mengerti keadaanmu. Namun, hal itu justru kau dapatkan dari orang lain.
—Skylar Betelgeuse
____________________________________________________
Musim panas
New York, 23 Juli
11.45
Pegangan pintu berderit dan pintu terdorong terbuka perlahan. Terkesiap, aku segera mengangkat wajah yang semula kusembunyikan di antara kedua tangan yang merangkul kedua tekukan lutut. Aku juga refleks mengelap air mata yang berhamburan di pipiku. Lalu meraih tisu di meja untuk membersihkan hidung dan menyematkan masker, sebelum akhirnya pura-pura tak melihat Horizon masuk kamar bersama Ralph Brachii.
Padahal tadi aku sudah berhasil mengusir para maid secara halus. Baik dengan tidak hanya memberikan pengertian mereka bahwa sakitku menular, tetapi juga meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja. Yang kubutuhkan hanyalah istirahat dan masker agar virusku tidak menyebar ke mana-mana. Namun, lagi-lagi aku malah melanjutkan acara menangisku setelah mereka meninggalkanku sendirian.
Ini konyol. Aku tak mengerti. Kenapa rasanya buruk sekali? Apakah orang sakit memang selalu merasa demikian sehingga menjadi cengeng?
Suamiku mendekatiku. Sementara Ralph bertahan di posisinya yang berdiri beberapa jengkal dari pintu. Mungkin kerena Horizon yang membelakanginya, Ralph jadi memberiku isyarat menunjuk-nunjuk dirinya sendiri. Lalu mengibas-ngibaskan tangannya. Lanjut menunjuk Horizon, sebelum berlagak menutup mulut. Aku mengartikan dia tidak memberitahu apa yang semalam kami lakukan atau bicarakan kepada Horizon.
Which is actually good, but in the same way I feel very bad for Horizon. Aku seperti mengajak Ralph mengkhianati sahabatnya.
“Aku akan ke rumah sakit dekat sini sebentar untuk check up. Ralph dan Johnson akan ikut. Ayahmu juga akan ke sini selama aku pergi. Katanya sekarang sedang agak terjebak macet. Tapi sayangnya aku tidak bisa menunggunya karena sudah terlanjur membuat janji dengan salah satu dokter bedah,” terang Horizon yang kemudian melihat jam tangannya. “Jadwalnya sebentar lagi.”
Jujur saja. Topik tentang dokter bedah selalu mengarahkan pikiranku ke Ginny Lauren. Aku ingin menanyakan apakah mantan tunangannya yang akan memeriksanya. Namun, keberanianku hanya sebesar biji selasih untuk mendengar jawabannya. Jadi, aku memilih kata lain untuk diucapkan. Yang mana itu merupakan sesuatu yang tulus dari hatiku. “Seandainya aku tidak sakit, aku pasti ikut.”
Ya Tuhan! Ini parah, suaraku makin parah.
“It’s okey. Look at your face. Fluemu sepertinya tambah parah. Matamu sampai merah dan berair.” Aku merinding saat merasakan tangan Horizon menyugar rambutku. Lalu merambat mengusap sudut-sudut mataku. “Jadi, jangan lupa habiskan makan siangmu dan minum obatmu lalu istirahat. Aku akan segera kembali,” pungkas Horizon lagi.
Aku sedikit mengusap mataku. “Hati-hati. Aku harap semuanya lancar.”
Kulihat Ralph refleks membuang muka saat Horizon membubuhkan bibir di keningku. Lalu mereka pergi. Tidak lama kemudian, Ralph Brachii mengirimiku pesan.
Ralph Brachii:
Apa kau baru saja menangis?
Mataku membelakak dan buru-buru mengetik balasan.
Skylar Betelgeuse:
Bagaimana kau bisa tahu? Kupikir aku sudah berhasil mengelabui Horry dengan berkamuflase di balik flue.
Ralph Brachii:
Kelihatan sekali. Aku tahu perbedaan antara flue dengan menangis. Yah, kau tahu suamimu memang kurang peka. Tapi, apa kau baik-baik saja?
Kau tahu apa yang paling buruk? Mengharapkan orang yang kau cintai peka dan mengerti keadaanmu. Namun, hal itu justru kau dapatkan dari orang lain.
Sayangnya, aku tidak ingin menuangkan seluruh isi hatiku. Tidak ada yang boleh tahu betapa buruknya perasaanku sekarang selain diriku sendiri. Sehingga, aku beralibi.
Skylar Betelgeuse:
I’m fine. Hanya sedih karena suaraku memburuk. You know, sesuatu yang buruk bagi penyanyi rock sepertiku.
Ralph Brachii:
Aku yakin kau akan membaik. Oh ya, kudengar dari Horry kau pingsan semalam. Sudah kubilang tadi malam kau pucat sekali. Tapi kau menolakku mengantarmu.
Impulsif mengajak Ralph pergi memang membuatku merasa buruk. Akan tetapi, tak lupa berkaca dari kejadian Alton Horizon marah besar, sempat ingin membatalkan pernikahan lantaran cemburu. Jadi, tentu saja aku menolak tawaran Ralph. Hal terakhir yang ingin kulihat adalah Horizon bertengkar dengan Ralph. Jangan sampai itu terjadi.
Skylar Betelgeuse:
Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. But, I’m 👌
Speaking of your best friend, apa kalian akan mengantarnya check up ke ... dia?
Ralph Brachii:
Apa ini? Setelah semalam menculikku, sekarang kau ingin aku jadi mata-mata suamimu?
Tawa kecil tak sengaja kukeluarkan kala membaca pesan itu.
Skylar Betelgeuse:
Yah, seharusnya aku tahu kau masih setia pada sahabatmu. Omong-omong, kau tidak memberitahu Horry, kan? Seperti kodemu tadi.
Ralph Brachii:
Aku sudah kepalang tanggung mengkhianati suamimu dengan merahasiakan apa yang kita lakukan semalam. Jadi, aku akan memberitahumu. Kami hanya akan pergi ke rumah sakit dekat sini, tapi ke dokter lain. Bukan seperti yang kau pikirkan.
Guess what? Horry tidak ingin meninggalkanmu jauh-jauh. Takut kau akan terjun payung dari Gunung Everest, katanya. Kau bisa tenang dan istirahat sekarang. Get well very soon.
Aku tertawa kencang membaca balasan Ralph dan betapa leganya saat mengetahui itu.
Skylar Betelgeuse:
Katakan pada Horizon Devoss, aku akan kayak di Sungai Amazon. Tanyakan juga, apa dia mau bergabung denganku?
Thanks 🙏
Ralph Brachii:
Bagaimana denganku? Kau tidak mau merekrutku menjadi tim kayak? Aku jago mendayung.
Skylar Betelgeuse:
In your dream 🤪
Bermenit-menit kemudian, Ayah datang bersama Momster. God! Kenapa harus ada Monster?
Ayah memaksa menyuapiku seperti sarapan tadi. Dan kau pasti bisa menebak setelahnya. Sewaktu ayah izin mengangkat telepon penting yang sepertinya dari orang-orang film, Momster langsung menjejaliku dengan banyak kata.
Pertama, wanita gagak itu bertanya dengan gestur anggun dan nada terkendali seperti biasa. “Apa yang sebenarnya dilakukan Horry padamu sampai kau bisa sakit seperti ini?”
Dengkusan menyertai bola mataku yang berputar malas dan mendongak sejenak. “He’s doing nothing on me, Mom. Aku hanya kurang menjaga kesehatan.”
Kedua, wanita itu mengernyit dan sedikit terhenyak. Seakan-akan jijik dengan sesuatu yang kini kuketahui apa saat beliau bertutur, “Oh, God ..., suaramu.”
“Aku tahu, memang mengerikan,” balasku yang kuharap sangat ketus sehingga wanita ini akan diam.
Ketiga, Momster mengibas tangan, tidak peka dengan perangaiku dan menuduh, “Ya, aku bisa tahu kau tidak menuruti kata-kataku kemarin-kemarin. Tapi jangan khawatir. Sebentar lagi pasti akan sembuh. Suaramu pasti akan normal kembali sebelum syuting video clip. Tapi, aku yakin Horry pasti telah melakukan sesuatu padamu. Katakan padaku yang sejujurnya. Apa kau hamil, Sayang?”
“What?” Aku ternganga dan sedikit merasa lucu. “Tidak, tentu saja tidak, Mom. Aku hanya flue. Bukan hamil.”
Keempat, Momster berkeras, “Gejala hamil memang agak mirip dengan flue. Tapi, apa kau sudah memeriksanya benar-benar? Kapan terakhir kali kau bloody moon?”
Mulutku tersenyum miring. “Really?” Tak percaya, Sebegitu pentingnya aku sebagai aset The Black Skull baginya sampai Momster tega melakukan ini.
Agar tak kehilangan seperser uang pun.
Meski demikian, diam-diam aku menghitung jadwal bloody moon-ku. Seingatku itu sudah lama. Sudah hampir enam minggu sejak tur Asia. Tunggu sebentar! Sudah hampir enam minggu? Ini tidak mungkin!
Kelima, wanita ini memaksa, “Maukah kau mengeceknya dengan ini?”
Momster mengeluarkan alat uji kehamilan dari tasnya dan itu membuatku ketakutan. Bagaimana kalau aku hamil? Mungkinkah aku hamil? Itu tidak boleh terjadi. Aku hanya melewatkan jadwal bloody moon-ku buan lalu. Bukan berarti aku hamil. Aku minum pil antihamil secara teratur. Tidak mungkin aku hamil. Jangan sampai. Atau semuanya akan kacau balau.
Jadi, aku menolak, “Mom, bisa tolong tinggalkan aku? Aku ingin istirahat.”
Keenam, Momster tetap memaksa. Omonganku pun diabaikan. “Tolong, periksalah untukku, Sayang. Aku akan membimbingmu ke kamar mandi. Setelahnya kau bisa istirahat.”
Sepuluh detik aku menghitung dengan alis berkerut dan raut wajah yang kuharap bisa mengusir Momster. Tidak seberuntung itu, wanita itu rupanya tetap kukuh dengan pendiriannya. Well, rasa penasaranku pun mulai mendominasiku.
“Fine,” desisku.
Ya! Mari kita buktikan kalau aku tidak hamil!
Jadi, seperti yang dikatakannya tadi. Momster membimbingku ke kamar mandi untuk mencari tahu apakah aku hamil atau tidak. Kami pun menunggu beberapa menit untuk mengetahui hasilnya. Jantungku pun berdegup kencang. Gugup sekali. Aku takut aku hamil. Hamil tidak ada dalam daftar rencana kami selama enam bulan menikah. Kami tidak ingin repot dengan pembagian hak asuh anak saat cerai.
“Sudah keluar hasilnya?” tanyaku pada Momster yang memegangi sambil terus memperhatikan alat itu. Omong-omong, kami masih di toilet sehingga suaraku yang buruk ini bergema. Momster sedikit menutup telinga karenanya. Semestinya aku tersinggung. Namun, rasa gugupku lebih menonjol.
“Tunggu sebentar,” titah Momster yang kemudian mengalihkan atensi untuk melihat stop watch di ponsel beliau yang diletakkan di sebelah wastafel. “Lima, empat, tiga, dua, satu ....”
Kedua alisku mengernyit dan tubuhku meringkuk. Gesturku mirip seseorang yang takut balon meletus.
“Negatif.”
“Yes!” seruku yang tiba-tiba memiliki semangat. Padahal kepalaku pusing. “Sudah kubilang aku tidak hamil dan hanya flue!”
Napas lega keluar secara bersamaan dari hidung dan mulut kami. “Setidaknya kita sama-sama lega, Sayang,” balas Momster.
Kami keluar kamar mandi setelah Momster membuang alat uji kehamilan itu di tempat sampah. Bertepatan dengan ayah masuk kamar sembari menyimpan ponsel di saku. Setelahnya aku tidur nyenyak sampai sore. Kuasumsikan akibat kelelahan menangis dan lega mendapati hasil negatif pada alat itu. Mungkin aku terlambat bloody moon karena stres.
Begitu bangun, kedua orang tuaku sudah tidak ada di sini. Dan lagi-lagi yang pertama kali kulihat saat membuka mata adalah Horizon yang duduk di sofa. Dia memegang beberapa berkas. Wajahnya serius membacanya. Sungguh tampan dan terlihat cerdas serta berkharisma.
Bayangan Horizon duduk di kantornya dengan ekspresi serupa segera menari-nari dalam benakku. Beruntungnya, Johnson-lah—dengan orientasi seks lurus—yang menjadi sekretaris Horizon. Aku benar-benar tak bisa membayangkan mengeluarkan cakar dan taring untuk bertarung melawan sekretaris wanita yang merayu suamiku.
Ah, kenapa aku malah melantur?
“Kau bekerja di saat cuti pascaoperasi?” tanyaku dengan suara serak.
Horizon mengangkat wajah dari berkas yang dibacanya. “Kau sudah bangun, bagaimana perasaanmu?”
“Hidungku masih buntu. Kurasa suaraku jadi mirip anak domba.”
“Syukurlah bukan anak domba yang tersesat.”
Sebelah alisku naik. “Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau bekerja di saat cuti?”
“Aku tak bisa diam saja sambil melihatmu tidur.”
“Dasar workaholic,” ledekku dengan suada pelan. “Lalu bagaimana hasil pemeriksaannya tadi?”
“Sebenarnya jahitannya agak terbuka.”
“Apa?!” Betapa kagetnya aku mendengar itu.
“Tapi semua baik-baik saja. Dokter sudah menanganinya. Dia bilang aku tidak boleh mengangkat beban berat dulu.”
“Maafkan aku,” bisikku pilu. Dengan amat kurang ajar mataku buram karena produksi air mata yang tak bisa kutahan.
Horizon menaruh berkas-berkas itu di sofa dan duduk di tepi kasur. Lalu meletakkan tangannya di keningku. “Tak perlu minta maaf.”
“Aku kurang memperhatikanmu.”
“Demammu sudah agak turun. Well, kau hanya berimprovisasi dengan rencanamu. Aku bisa mengerti.”
“Maksudmu?” tanyaku sungguh tak paham.
“Lupakan. Bukan apa-apa.” Horizon menyugar rambutku dan aku merasa jauh lebih buruk daripada sebelumnya.
Ini seperti kau melakukan sesuatu yang jahat pada orang lain. Namun, orang itu membalasmu dengan kebaikan. Kau akan malu dan merasa jauh lebih buruk sampai mati.
Sebisa mungkin, aku menahan air mataku agar tidak jatuh dan mencegah rasa penasaranku berkembang.
“Apa kau mau berendam? Maaf, kau bau, Bae.”
Aku malu sekali. Meksi demikian kesedihanku agak berkurang dan penasaranku teralihkan. Kami tertawa bersama. Merertawakanku.
“Well, sepertinya aku memang sebau itu.”
“Wajar, ini musim panas. Banyak keringat yang dihasilkan tubuh karena hawanya. Selain itu metabolisme tubuhmu sedang melawan penyakit, jadi bekerja keras menghasilkan keringat.”
Aku mengangguk-angguk seperti murid yang paham dengan materi yang baru saja diterangkan guru. “Very logic,” gumamku sambil mengusap sudut-sudut mataku.
Kau tahu apa yang mengejutkan? Horizon mempersiapkan segala keperluan berendamku sendirian. Katanya, para maid sudah pulang setelah memasak makan malam kami dan dia bisa melakukan sisanya sendirian.
Horizon mempersiapkan rendaman air hangat bercampur garam mandi aroma terapi yang dia ambil dari kamar mandi di kamar kami. Dia juga meletakkan lilin beraroma serupa di pinggiran hot tub. Setelahnya dia membimbingku ke kamar mandi. Ini berlebihan. Kenapa orang-orang memperlakukanku seperti ini?
“Kau mau melepas bajumu sendiri atau biar aku yang melakukannya?”
Tawaran itu membuatku rikuh bukan kepalang. “I’ll do it by myself. Kau bisa keluar kamar mandi. Aku benar-benar tak apa-apa ditinggal sendirian.”
“Aku di sini. Jaga-jaga kau butuh apa-apa atau kenapa-kenapa.”
Aku mendebat, “Tapi—”
“Sudahlah. Jangan menyia-nyiakan kursi kecil yang sudah kuambil ini untuk menjagamu. Jadi, berikan maskermu,” sela Horizon cepat.
Aku melirik kursi kecil sebelah hot tub kemudian terpaksa melepas masker. Saat Horizon membuang masker tersebut, aku berbalik badan, ingin buru-buru melepas pakaian agar bisa berendam.
Namun, saat baru akan melepas kaus hitamku, aku mendapati Horizon bertanya, “Apa kau baru saja menggunakan alat uji kehamilan?”
“Ya, Momster memaksa karena mengira aku hamil. Kau tahu, dia takut aku mengacaukan jadwal kami. Tapi kau bisa tenang. Aku tidak hamil,” balasku sembari menoleh ke samping. “Ekhm, berbaliklah. Aku akan melepas bajuku.”
Pria itu tidak setuju. “Kenapa harus? Aku sudah melihat semuanya. Lagi pula kau istriku.”
Aku menelan ludah susah payah sebab tidak memiliki pilihan. Jadi, dengan wajah makin memanas dan jantung bertabuh bak drum yang digebuk-gebuk, aku menarik ujung kaus hitamku. Mungkin karena gugup—entah kenapa jadi gugup seperti ini, aku tidak lancar menanggalkan kausku dan malah tersangkut di leher.
Horizon membantuku melepasnya. Well, dia juga tanpa diperintah membantuku melepas seluruh kain yang melekat di tubuhku. Termasuk pakaian dalam. Dia juga mengucir rambutku meski hasilnya agak berantakan. Kemudian membimbingku masuk hit tub.
Tanpa diperintah, Horizon mulai mengusap badanku secara lembut menggunakan penggosok lembut. “A-apa yang kau lakukan?” tanyaku gelagapan.
“Membantumu mandi.”
“Tidak perlu.”
“Aku yakin badanmu masih tidak enak untuk digerakkan. Jadi, aku akan membantumu.”
“Baiklah.” Lagi-lagi aku terpaksa menyetujuinya.
Kala mengusap lenganku, Horizon mengingatkan, “Tidak perlu ditutup-tutupi. Aku hafal bentuk dan rasamu, Bae.”
“Demi neraka, Horizon Devoss! Bisakah kita fokus saja? Kau membuatku rikuh!” pekikku. Makin mengetatkan tanganku yang berusaha menutupi kedua dadaku dalam air. Aku menekuk kakiku agar inti tubuhku tidak bisa dijangkau pengelihatan Horizon.
Horizon malah mengedikkan bahu. “Aku hanya bicara sesuai fakta.” Rampung membasuh lenganku yang satunya, dia melanjutkan usapan handuknya di bagian leherku. Lalu berpindah ke dadaku. “Lepaskan tanganmu. Aku akan membersihkannya.”
Debar jantungku bertambah kencang dan pikiranku jadi keruh. Mengarah pada hal yang ... ya ... kau tahulah.
Kenapa orang sakit jadi berpikir aneh-aneh? Kenapa pula tiba-tiba aku seolah-olah baru saja menerima suntikan semangat? Lebih-lebih saat ....
“Ekhm,” dehamku. “Ini hanya persaanku saja atau kau memang mengusap bagian ini terlalu lama? Kenapa pula kau memelotototinya seperti itu?” sindirku.
“Sepertinya ingatanku agak buruk. Aku hanya mencoba mengingat-ingat bagaimana bentuk dan rasamu. Setelah kuperhatikan secara saksama, warnanya masih sama, tapi bentuknya berubah. Jadi lebih runcing setelah kuusap beberapa kali.”
“Oh! Shut up, Horizon!” cegahku yang berusaha menutupi tubuhku. Sedangkan tanganku yang lain mencegah tangan Horizon yang rasa-rasanya makin menjadi-jadi.
Pria itu tentu bisa menangkisnya dengan amat baik. “Sebentar, aku masih penasaran bagaimana rasanya.” Suara Horizon jauh lebih berat ketimbang tadi. Aku paham apa artinya.
“Horizon ...,” panggilku setengah merengek, setengah menahan diri untuk tidak mengeluarkan desahan nikmat saat sebelah tangan pria itu meraih sebelah dadaku dan kembali membelainya lembut. Entah sejak kapan fungsi handuk—yang entah ke mana perginya—digantikan tangan Horizon.
“Kau tahu, aku suka sekali suaramu saat memanggilku, Bae. Lebih-lebih untuk momen seperti ini,” desis Horizon sambil mempercepat dan mengeratkan pegangannya.
“Horizon, kita tidak seharusnya—oh! Apa yang kulakukan?” Aku mendongak seraya memejamkan mata kala merasakan kehangatan rongga pengecap pria itu menginvasi puncak dadaku yang menegang.
“You know, I miss you so bad, Bae,” bisik Horizon sebelum menyerang puncak satunya. Gigi-giginya berkombinasi dengan isapan kuat. Jari-jari kakiku yang sudah lurus praktis menegang, membiarkan Horizon memangkuku. Tak peduli tubuhnya ikut basah.
Aku yakin memandikanku hanyalah akal-akalan Horizon saja. Dia pasti ingin mengambil kesempatan dalam situasi ini.
Dengan napas memberat, aku refleks merangkul lehernya agar tidak jatuh saat dia memposisikan diri agar kami sama-sama nyaman. Aku berperang melawan akal sehat. Sayangnya tubuhku menang. Merespons perlakuan nakal Horizon dengan erangan erotis ketika tangan lain pria itu secara perlahan merangkak naik ke pahaku.
Sebelum tangan terampilnya mencapai titik paling sensitif inti tubuhku yang mendamba, Horizon Devoss berhenti. Dia melepaskan mulut dari puncak dadaku. Seakan-akan baru sadar sesuatu, dia menukas, “Maafkan aku. Aku berbuat tak pantas di saat kau sakit. Sebaiknya aku menunggu di luar.”
Horizon meletakkanku kembali ke hot tub. Dia lantas keluar dari sana dan meninggalkanku yang masih berdebar tak karuan.
___________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto:
Horizon Devoss
Skylar Betelgeuse
Well, see you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Minggu, 19 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top