Chapter 24
Selamat datang di chapter 24
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai kalau ada typo
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will enjoy and love this story as well
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Hukum tutup mulut yang menyengsarakanku
—Horizon Devoss
____________________________________________________
Musim panas
New Jersey, 22 Juli
06.01 a.m.
“You’re up when I’m ready to go.”
Suara merdu yang dilafalkan dalam bentuk bisikan itu membuat kedua kelopak mataku terbuka lebar. Alisku berkerut menatap Skylar mencangklong tali ransel mini hitam di pundak kanannya. Kinerja jantungku pun mendadak meningkat karena teringat dua hari lalu setibanya aku di New York, aku tidak memberitahu atau sengaja menemui Skylar. Melainkan datang ke penthouse, melihat-lihat videoku melamar Ginny di ruang rahasiaku, lalu pergi ke sini untuk menemui mantan tunanganku itu.
Seharusnya aku menyiapkan berbagai alasan logis untuk berjaga-jaga seandainya Skylar bertanya tentang hal yang menjadi pendorongku tidak menghubunginya. Yah, sebenarnya cukup basi; ponselku disita anak buah Jayden Wilder demi kelancaran pembangunan Diamond Bank di Shanghai. Kata mereka untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada triad yang menyadap.
Itu peraturan tidak tertulis. Aku, Johnson, serta Ralph telah menyepakati hukum tutup mulut ala klan pimpinan pria tersebut. Jadi, kami tidak bisa mengungkapkannya kepada siapa pun, termasuk Skylar.
Kemudian masalah lain muncul. Berkat mulut bocor Ralph, Ginny tiba-tiba menyusul kami. Katanya dia ingin liburan di Shanghai. Namun, aku sangksi dia berkata sejujurnya. Ginny pasti menggunakan berbagai alasan untuk bisa menemuiku. Tak terkecuali merecoki Ralph untuk memberitahu di mana aku berada. Kecuali saat di Dubai. Oleh karena itu aku kembali mengecek video kami dan berniat mengobrol empat mata dengan Ginny di kota ini.
Namun, ketika menganalisa bagaimana gestur Skylar dan tidak mendeteksi adanya selubung kemarahan, aku merasa lega. Setidaknya situasi ini persis yang kuinginkan; tenang.
“Bae, sejak kapan kau ada di sini?” tanyaku yang lantas celingukan untuk mencari tahu jam berapa sekarang. Jika dilihat dari cahaya mentari yang menembus celah-celah vertikal blind yang tertutup dan lampu kamar yang sudah dimatikan, kurasa ini sudah pagi.
Sewaktu aku menguap dan berusaha duduk, Skylar menjawab, “Sejak semalam. Aku datang saat kau sudah tidur. Sekarang aku bingung antara harus senang karena akhirnya melihatmu bangun dan bisa mengobrol denganmu lagi. Atau sedih karena harus segera pergi.”
Sederet kalimat itu dilontarkan Skylar tanpa intonasi atau gestur meledak-ledak. Alih-alih, dia justru bernada lemah. Seolah-olah tidak ada tenaga yang cukup besar untuk mendorong kata-kata itu keluar dari mulutnya. Keadaan yang sangat jelas berbanding terbalik dengan fisik wanita itu yang seperti siap lari kapan saja dari sini.
“Sepertinya efek obat bisa membuatku tidur sangat nyenyak. Tapi kenapa semalam kau tidak membangunkanku, Bae?” Aku menguap lagi. Selanjutnya secara pelan dan hati-hati merentangkan tangan.
“Awas jahitanmu. Tolong pelan-pelan ....” Skylar ketar-ketir dan segera memegangi bisep-bisepku. Pandangannya tertuju pada perutku. “Aku tidak tega membangunkan orang sakit.”
Kekhawatiran dalam suaranya membuatku tentram sekaligus gelisah. Tentram lantaran diperhatikan. Geligas lantaran tidak ingin dicecar alasanku tidak menghubunginya.
“Tenanglah, aku baik-baik saja.” Dia melepaskan pegangannya pada bisep-bisepku ketika aku menambahkan, “Lalu di mana kau tidur semalam?”
“Di kursi ini.” Skylar menyentuh kursi di sebelahnya untuk mempertegas kata-katanya.
“Di kursi ini?” ulangku dengan intonasi meninggi dan menghentikan gerakanku.
“Tidak perlu heboh begitu.”
“Apa punggungmu baik-baik saja? Memangnya kau bisa tidur?”
Kedua bahu Skylar mengedik. “Ya, aku baik-baik saja. Buku bisnis membosankanmu membantuku tidur tepat di halaman kedua aku membacanya,” tunjuknya menggunakan dagu.
Aku melihat buku itu di nakas dan tidak ingin menghakimi Skylar. Setiap orang tentu memiliki ketertarikan masing-masing pada suatu hal, bukan? Aku dan semua penduduk bumi sangat tahu dia tertarik pada musik rock. Bukan bisnis sepertiku. Maka dari itu, Ayahnya tidak mewariskan resor ibunya pada Skylar. Melainkan memintaku untuk mengelolanya.
“Kau bisa naik ke ranjangku dan tidur di sebelahku,” komentarku.
“Dan membuat jahitanmu sakit karena aku memelukmu erat-erat?” sarkasnya. Dia lantas melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Dengar, senang melihatmu bangun dan bisa mengobrol sebentar denganmu. Tapi aku harus pergi atau Ched akan marah-marah karena aku terlambat.”
“Who’s Ched?” Baru bangun tidur langsung disuguhi sesuatu yang kurang menyenangkan, yakni nama seorang pria yang disebut istriku. Itu membuatku harus mencari kepingan nama tersebut di otakku yang belum berjalan seratus persen. Barang kali aku mengenalnya, tetapi lupa.
Dengan senang hati, Skylar menjawab, “Guru vokalku.”
“Oh. Bilang saja kau baru dari sini. Dia pasti mengerti, Bae.”
“Dia bukan termasuk jenis manusia yang bisa menerima hal-hal seperti itu.”
Syukurlah tidak ada pertanyaan pertanyaan yang kukhawatirkan. Jadi, aku akan membiarkan Skylar pergi dengan senang hati.
“Kalau begitu kenapa tidak memberiku pelukan atau semacamnya sebelum pergi?” Tanganku yang tidak diinfus mengayun untuk meraih tangan Skylar. Rasa dingin sontak menjalari telapak tanganku. “Tanganmu dingin sekali. Apa kau kedinginan?”
Sekelebat mata, aku bisa melihat Skylar seperti tertegun dan hanya menjawab pertanyaan terakhirku secara ringkas dan gelagapan. “Se-sedikit.”
Aku mengembuskan napas. “Kemarilah.” Aku menepuk pahaku dengan satu tangan masih memegangi Skylar. Jari telunjukku yang ditusuk jarum infus kuangkat. “Duduklah sini, peluk aku agar kau kembali hangat.”
“Horry, aku tidak punya waktu untuk—”
“Sebenarnya aku merindukanmu,” potongku.
Sungguh, aku tidak mengada-ada. Meski tidak menghendaki Skylar tahu kondisi usus buntuku, buktinya setelah Skylar di sini aku justru merasa lega. Aku ingin memeluk istriku untuk mengobati kerinduanku padanya. Sayangnya kali ini harapan tidak sesuai keinginanku. Skylar tidak bergerak dari posisinya. Secara tidak langsung dia menolakku.
“Kau apa? Merindukanku?” ulangnya diselingi senyum mencemooh.
Mendadak perasaanku tidak enak dan aku mulai tidak menyukai hal ini. Walau sudah tidak ingin mengingat tentang kepura-puraan peran Skylar menjadi istri yang mencintaiku, tetapi justru sekarang aku tidak ingin dia berakting merajuk. Aku ingin dibuat tenang tanpa tingkah laku konyolnya.
“Ya, aku merindukanmu dan kau kedinginan. Maka dari itu, kemarilah. Memangnya kau tidak ingin memeluk suamimu ini?”
Pandangan Skylar turun ke bawah dan memejam agak lama. Tidak hanya itu. Dia juga sedikit mendengkus dan tersenyum miring. Saat menatapku lagi, dia memaparkan penjelasan yang kucemaskan.
“Biar kuperjelas lagi, Horry. Kau tidak menghubungiku selama hampir tiga minggu ... lagi. Padahal kau sudah bilang akan memberiku kabar, setidaknya melalui pesan teks atau pesan suara seandainya kau tidak bisa menelepon. Seperti yang kau janjikan ketika kita di Bangkok.
“Kau juga sudah tiba di salah satu bagian dari negara kita yang cukup dekat dengan rumah kita sejak kemarin malam. Atau ... entahlah sejak kapan. Tapi kau tidak memberitahuku tentang kepulanganmu. Tahu-tahu aku mendapat kabar dari Johnson kalau kau masuk rumah sakit di sini dan harus segera operasi usus buntu. Tahukah kau betapa paniknya aku saat itu?”
“Maafkan aku,” ucapku. Aku menarik Skylar bermaksud memeluknya, tetapi dia menolak.
“Aku belum selesai, Bae,” desisnya, “Dan sekarang, ketika kita baru bisa bertatap muka serta mengobrol, kau bilang kau merindukanku dan ingin memelukku? Apakah kau sudah menggadaikan bagian otakmu yang khusus mengendalikan kewarasanmu? That’s a bullshit. Demi neraka! Kau operasi usus buntu, Horizon Devoss. Bukan amnesia! How could you do that?”
Mulanya Skylar mempertahankan nada suaranya tetap datar. Namun, semakin lama intonasinya semakin meningkat. Di bagian akhir, dia menerjunkan pelafalannya menjadi bisikan. Otot lehernya sampai tampak membesar seperti saat dia bernyanyi dengan nada tinggi.
Dikarenakan belum menemukan alasan logis untuk menjawab rombongan kalimat Skylar, aku berbalik tanya, “Kau sendiri bagaimana? Kau juga tidak memberiku kabar dan malah asyik makan malam bersama semua personel The Black Skull dan Lupara di restoran si banci Hiro itu. Apa kau tidak merindukanku selama itu?”
Skylar tidak menjawab pertanyaanku tentang rasa rindunya. Sebaliknya, di menyangkal, “Aku tidak akan bertanya dari mana kau tahu itu. But, this isn’t exactly what we’re talking about, Horizon Devoss. I’m talking about you and your fucking promise. Masuk akalkah semua perkataanmu barusan dengan tingkah lakumu selama hampir tiga minggu belakangan ini?” tuntutannya tegas, “dan kuperingatkan kau! Jangan sekali-kali kau berani menghina temanku!”
Aku ber-cak. “Exelent. Kau lebih membela teman bancimu daripada suamimu yang masih dalam masa pemulihan pasca-operasi ini dan sedang merindukanmu. Istri yang luar biasa sangat mencintai suaminya, bukan?” sindirku yang bersuara rendah dan dalam.
Skylar melongo. “What?”
Kekesalanku memang mulai timbul ke permukaan lantaran merasa sangat rumit hanya untuk mencapai kesepakatan bersentuhan fisik dalam bentuk pelukan. Sangat mendasar dan sederhana, tetapi aku tidak mendapatkannya dari istriku. Milikku yang sah.
Namun, aku berusaha menahannya. “Lupakan saja. Ini masih pagi dan aku baru bangun. Jangan kekanakan dengan mempermasalahkan hal kecil seperti ini. Kau sudah dewasa, Skylar Devoss.”
“Skylar Devoss?” dengkusnya. “Dan kau bilang ini hal kecil?” tekannya sambil memelototiku. “Selama di luar negeri, suami tidak memberi kabar istrinya selama hampir tiga minggu, tidak juga memberitahu kepulangannya di negaranya, dan bahkan tidak memberitahunya tentang kepergiannya ke kota lain. Dan kau bilang ini hal kecil?”
“Memangnya apa lagi? Kau yang membesar-besarkannya. Padahal aku hanya ingin dipeluk olehmu karena merindukanmu. Bukan ingin menyenggamaimu di sini seperti binatang tak tahu adap dan tempat.”
Skylar mengabaikan kalimat terakhirku. “Oh, sekarang aku yang membesar-besarkannya?”
Maka, gantian aku yang mengabaikannya dengan berkata, “Kenapa kau tidak bertindak bijak dengan menyederhanakannya melalui pengakuan aku juga merindukanmu, Horizon Devoss? Dan kita bisa saling berpelukan. Masalah selesai, teratasi. Tidak perlu ribut pagi-pagi.”
Selama beberapa detik istriku diam sebelum akhirnya menjawab, “You know, I think you’re right. Kenapa aku harus memperumit ini? Iya, kan? Jadi, sederhananya aku harus pergi. Maaf hari ini tidak bisa ikut mengantarmu pulang. Aku harus ke studio. Perjalanannya agak lama dan jadwalku padat. Dan maaf, aku sedang tidak bisa memelukmu karena khawatir jahitanmu tertekan.”
“Jangan khawatirkan jahitanku dan kemarilah—”
“Get well very soon, My Lovey Dovey Jerk Husband Horizon Devoss,” sela Skylar. “Blweee!”
“Apa-apaan?” tanyaku tak percaya. Nada Skylar yang mengejek disertai juluran lidah membuat kadar kejengkelanku naik sekaligus kaget menyadari betapa mudahnya wanita itu meloloskan diri dariku. Lalu menderap cepat menuju pintu keluar. Aku tersulut. Emosi yang mulai menguasai tubuhku menjadikanku impulsif berseru, “Ya! Pergilah sesukamu! Aku memang butuh ketenangan! Kau terlalu berisik! Tidak cocok ada di sini!”
Skylar tidak menolehku sedikitpun, tetapi aku berani menjamin dia mendengar semua kata-kata itu. Beruntungnya dia masih menggunakan akal sehatnya untuk berpikir tidak membanting pintu itu. Sehingga, sosoknya yang urakan pun lenyap dari hadapanku.
“Fuck!” umpatku sambil mengusap wajah kasar. Lalu memegangi dahi. Sambil menutup mata, aku menyugar rambut dan menjambaknya agak kencang.
Apa-apaan itu tadi? Aku hanya ingin dipeluk, tetapi kenapa reaksinya seperti itu? Kenapa dia kekanak-kanakan sekali?
Sepuluh detik kemudian daun telingaku dibelai oleh derit pintu yang dibuka dan ditutup. Itu pasti Skylar. Apa dia berubah pikiran? Atau mungkin ada barangnya yang ketinggalan?
Berhubung sudah kepalang emosi, aku melanjutkan umpatanku. “Shit! God damn it, Sky! Get the hell out of here! Kau membuatku pusing! Jangan kekanakan seperti ini! Akan kuminta Johnson mengembalikan barangmu seandainya ada yang ketinggalan. Selesaikan saja pekerjaanmu sebelum Ched atau siapalah itu marah-mar—” Kata-kataku praktis berhenti tatkala aku melepas jambakanku dan melihat siapa yang masuk.
Bukan Skylar.
“Horizon, kenapa kau mengumpat-umpat?”
Shit!
“Ginny?” gumamku yang hampir jantungan.
“Selamat pagi, Horizon,” sapa Ginny dengan senyum ramah. Syukurlah dia tidak menuntut penjelasan apa yang membuatku mengumpat-umpat.
Dua orang perawat mengikuti Ginny berjalan ke ranjangku. Yang satu membawa papan akrilik, yang satu lagi mendorong troli obat. Kemudian Johnson masuk secara tergesa-gesa seperti orang kebingungan. Lalu asistenku itu berdiri tidak jauh dari ranjangku.
“Aku datang untuk mengecek kondisimu sebelum mengizinkanmu pulang hari ini,” kata Ginny.
Aku pun pasrah dan membiarkan wanita itu melakukan pekerjaannya. Sembari diam-diam berusaha meredakan kedongkolanku pada Skylar.
“Semuanya sudah membaik,” komentar Ginny sembari melepas stetoskop dan membiarkan alat itu menggantung di lehernya. Senyum ramah tidak pernah luntur dari wajahnya yang anggun. “Kau sudah boleh pulang hari ini. Tapi jangan lupa untuk tetap minum antibiotik yang kuresepkan. Jangan lupa datang ke rumah sakit untuk mengecek kondisimu juga.”
Aku mengangguk dan sasaran pengelihatanku tidak sengaja mengarah pada Johnson. Pria yang mendongak lalu menunduk itu seperti menggumamkan sesuatu sambil menaruh kedua tangannya di saku celana. Berikutnya para perawat membantuku melepas semua alat penunjang kesehatanku setelah mereka mengobrol dengan Ginny.
Rasanya sangat lega. Seperti terlepas dari penyiksaan. Namun, tidak dengan siksaan batinku. Masih ada sisa-sisa kedongkolan yang bersemayam di tubuhku karena Skylar tidak mau memelukku.
Kendati demikian, bagian dari diriku yang lain justru berkata diriku bosan di rumah sakit tanpa kehadiran Skylar. Tidak banyak yang bisa kulakukan di rumah sakit selama tiga hari dua malam ini. Hanya berbaring, menonton film, berjalan-jalan di sekitar sini di setiap pagi dan sore, mengobrol dengan beberapa orang yang kujumpai—kebanyakan dari mereka adalah pasien Ginny dan menceritakan betapa luar biasanya wanita itu.
Aku juga mengobrol dengan Johnson tentang pekerjaan. Terkadang Ralph meneleponku dan menanyakan bagaimana perkembanganku dengan Ginny. Ayah pun turut cerewet dengan memintaku segera pindah ke New York. Namun, karena tanggung, aku memutuskan untuk tetap rawat inap di sini sehari dan kembali ke New York secepatnya setelah merasa fisikku baik-baik saja.
Selain itu aku juga membaca buku sampai ketiduran.
Rutinitas itu jauh dari apa yang kulakukan pada hari-hari biasanya. Setiap hari aku selalu bergerak dari pagi hingga petang. Sering kali dari pagi sampai dini hari kalau aku meminta Skylar bercinta denganku berkali-kali. Anehnya aku tak pernah merasa mengantuk sewaktu bekerja karena selalu mendapat kualitas tidur yang sangat baik setelah kebutuhan biologisku terpenuhi.
Dan, tidak banyak gerak selama beberapa hari ini menjadikan ototku kaku-kaku.
Pasti akan jauh lebih asyik apabila Skylar ada di sini menemaniku setiap waktu. Mendengar wanita itu bersenandung di setiap tempat, di setiap waktu, di setiap mencari atau menemukan sesuatu menjadi semacam hiburan tersendiri bagiku. Harus kuakui itu bisa membuat suasana hatiku bagus.
Di sisi sebaliknya, aku tidak ingin Skylar ada di sini. Terutama saat merajuk seperti yang baru saja dilakukannya.
“Kau harus menjaga kesehatanmu, Horizon,” kata Ginny lagi yang sukses menghentikan pikiranku.
Aku pun mengalihkan atensiku dari gelang couple-ku ke dokter bedah tersebut. “Ya, tentu,” balasku yang kemudian menghadap Johnson. “Tolong siapkan mobil, John.”
“Baik, Sir.” Dengan patuh dan tanpa bertanya, Johnson keluar dari ruang rawat inap ini.
“Sebentar lagi sarapanmu tiba,” pungkas Ginny. Kemudian dia menghadap dua perawat yang sedang mengemasi dan meletakkan peralatan medis di troli. “Setelah ini, tolong tinggalkan kami berdua.”
Mereka tersenyum ramah dan menyetujui Ginny. Setelah mereka pergi, dia membantuku membuka kancing baju pasien untuk menukarnya menjadi kaus abu-abu polos—bajuku sewaktu masuk rumah sakit yang sudah dicuci binatu atas jasa Johnson. Sejujurnya aku tidak mengharapkan mantan tunanganku melakukan ini. Sayangnya, aku tidak sanggup menolak.
Hei, memangnya siapa yang sanggup menolak Ginny?
Kecuali River.
Wanita itu pun berkata lagi. “Syukurlah kau menurutiku memakai kaus biasa. Bukan setelan kerja. Karena aku hafal kau pasti akan langsung ke kantor kalau tidak kuwanti-wanti sebelumnya.”
Aku bergumam sambil menyusun kata-kata yang ingin kusampaikan padanya. “Omong-omong—”
“Oh ya, sepertinya kau sedang kesal pada Skylar Betelgeuse,” potong Ginny seperti biasnya.
“Skylar Betelgeuse?”
“Yang baru saja keluar dari sini tadi. Benar, kan?”
“Dari mana kau tahu kalau itu Skylar?” tanyaku yang lagi-lagi hampir jantungan.
“Tadi malam kami mengobrol. Kupikir setelahnya dia pulang. Apa dia menginap di sini?” Ginny membelakangiku untuk melipat baju pasien dan mengambil kausku.
“Ginny, aku—”
“Kelihatannya dia persis seperti yang kau selalu ceritakan. Gadis yang seenaknya sendiri. Aku tidak mengerti kenapa River sangat menyukainy—”
“Ginny.” Kali ini, aku yang memotong kalimatnya. “Dia istriku. Dan itulah yang ingin aku bicarakan denganmu sebelum aku kolik.”
Aku mendengarnya menyiuk. Sambil membawa kausku, dia berbalik menghadapku. Aku melihat matanya berkaca-kaca.
“Aku sudah tahu,” akunya pelan. Badanku kontan dingin. Terlebih, saat dia melanjutkan, “Aku tidak buta saat melihat cincin pernikahanmu dan gelang kalian, Horizon. Aku hanya menolak kebenarannya. Aku hanya masih belum bisa terima sepenuhnya alasanmu memutuskan pertunangan kita. Karena menurut River aku terlalu sibuk? Yang benar saja.”
“Maafkan aku.”
“Aku berdedikasi pada pekerjaanku, Horizon. Kau mengenalku, dan kau tahu itu. Jadi, tolong ceritakan padaku yang sebenarnya.
Aku diam selama beberapa saat. Dan Ginny menuntut lagi. “Kau selalu bercerita padaku setiap waktu kalau kau membenci Skylar karena dia terlalu berisik. Kau amat membencinya karena River selalu menyukainya sampai kadang mengabaikanmu. River memaksamu menghadiri konser-konser The Black Skull yang sama sekali bukan tipe musikmu. Tapi kenapa kau malah menikahi Skylar dan mengumpat-umpatinya tadi? Apa karena River yang memintamu menikahi Skylar?”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto:
Horizon Devoss
Skylar Betelgeuse
Well, see you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Jumat, 13 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top