Chapter 23

Selamat datang di chapter 23

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai kalau ada typo

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will enjoy and love this story as well

❤️❤️❤

____________________________________________________

Lebih dari itu. Aku ingin menjaga dan merawatnya

—Skylar Betelgeuse
____________________________________________________

Musim panas
New York, 21 Juli
Pukul 08.10

“SKYLAR BETELGEUSE!”

Shit! Mengagetkan saja,” umpat Alton Mason selaras dengan tubuhku yang berjingkat gara-gara mendengar Ched memukul tuts-tuts piano sambil meneriakiku.

“What’s wrong with you, Sky?” maki guru vokal itu lagi. Jari-jarinya yang semula masih di bilah-bilah piano dengan cekatan ditudingkan ke arahku yang berdiri di depannya bersama Alton. “Kau merusak musik kita, Sky! Kau merusaknya lagi dan lagi!”

Penekanan tiap suku kata pria itu diringi menggebrak tuts lagi. Selain kasihan dengan keselamatan biji-biji tuts, kupikir kemarahannya menciptakan harmoni berkekuatan kuat. Alangkah baiknya dia menulisnya menjadi partitur untuk kemudian diuji ke berbagai alat musik. Dan bin salabim. Jadilah sebuah lagu.

Oh! Demi Neptunus! Bukan saatnya aku menilai bagaimana Ched tampak jenius dengan musik berlirik dan bernada kuat itu.

Sembari diam-diam merindukan Saverin yang penyabar dalam melatih vokalku sebelum debut pertama The Black Skull di Paris, aku berkata pelan kepada Ched. “Maafkan aku.”

Namun, aku tahu maaf saja tidaklah cukup bagi Ched. Berbulan-bulan mengenalnya tentu aku mengetahui bagaimana dia. Ched pria gondrong paling tegas dan tak kenal ampun. Jadi, semestinya aku tidak kaget apabila dia memakiku lagi.

“Kalau kau salah lirik dan salah nada terus-menerus, bisa-bisa jadwal kita jadi molor! Produser akan molor! Syuting video klip akan molor! Editor akan molor! Kalau sudah begitu, jadwal peluncuran album kolaborasi ini juga akan terancam molor! Jadwal konser kalian juga akan molor! Semuanya molor, Sky! Kau tidak butuh jadi pintar hanya untuk mengerti itu!”

Maksudnya aku bodoh?

Ched memang berbakat melontarkan kata-kata pedas melebihi tingkat kepedasan cabai naga viper yang digadang-gadang dinobatkan sebagai cabai terpedas di dunia. Selain itu, dia juga berbakat membanting suasana hati dan menambah kadar buruknya. Untunglah mentalku ini sudah ditempa sejak dini sehingga tidak babak belur dibuatnya.

“Maafkan aku, Ched. Aku akan memperbaikinya.” Lagi-lagi nadaku pelan. Sebenarnya aku agak linglung sebab kurang tidur.

Pria itu jelas tidak peduli. Bakat alaminya memang memaki-maki. “Kita sudah janji akan mulai rekaman hari ini, Sky! Tapi apa yang kau lakukan sekarang? Baru pemanasan kau sudah mengacaukannya!”

Aku melihat hidung Ched kembang kempis laksana banteng hendak menyeruduk bendera merah. Dalam fantasiku, kepala pria gondrong yang rambutnya indentik dengan grup musik zaman kawakan itu keluar asap sampai-sampai bisa digunakan menggoreng telur.

Bayangkan itu dijadikan sebagai terobosan teknologi modern. Pastinya kita tak perlu repot-repot memproduksi gas atau listrik untuk memasak, bahan bakar kendaraan, bahan bakar industri, pengolahan kertas, maupun untuk hal lain-lain. Sumber daya alam pun akan tetap terjaga sebab sumber daya manusia lebih diberdayakan.

Hanya dibutuhkan Ched dan Ched-Ched lain dalam kondisi kecabaian alias marah, maka semuanya akan teratasi. Tidak akan ada lagi pemanasan global yang dapat menyebabkan es di kutub-kutub planet ini mencair. Mungkin, virus zombie juga tidak akan pernah ditemukan yang kabarnya sedang dihidupkan lagi untuk diteliti oleh para ahli. Katanya agar mereka bisa menemukan antivirus sebelum benar-benar menyerang umat manusia, hewan, dan tumbuhan.

Masih asyik berpikir tentang korelasi antara tingkat kepedasan omongan Ched dengan pemanasan global, tanpa tedeng aling-aling Alton menyiku lenganku. “What?” tanyaku tanpa menyuarakannya.

“Ched memberimu perintah. Mulai dari nada D katanya,” balas Alton yang mengikutiku berbicara tanpa suara.

Sementara itu, Ched membentakku sambil menggebrak tuts-tuts lagi. “Kau tidak mendengarkan aku, Sky?”

Ah! Sial!

“Em, aku sedang konsentrasi sebelum mulai,” kelitku yang berupaya menampilkan senyum paling menawan yang kupunya. Yah, kau tahulah. Sia-sia.

“Sebaiknya kita istirahat sebentar,” usul Alton. Pandangan pria itu pun berpindah-pindah. Mulai dari aku yang mirip tikus terjebur got, menuju Ched, lantas ke beberapa orang di ruang ini.

“Istirahat? Kita baru saja memulainya, Alton!” bentak Ched. Kudoakan pita suaranya baik-baik saja dan urat-urat di seluruh pelipisnya rileks kembali.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Alton. Namun, aku senang ada yang membelaku. “Tapi Skylar terlihat kurang sehat. Kau lihat? Dia pucat, Ched,” semprot mantan kekasihku itu.

“Ck! Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Sky? Sakit di saat seperti ini? Apa kau tidak menggunakan otakmu untuk berpikir tentang pentingnya menjaga kesehatan?”

Alton langsung pasang badan. “Tolong jangan kelewatan, Ched. Istirahat lima sampai sepuluh menit tidak ada salahnya. Aku yakin Skylar akan lebih bisa konsentrasi saat itu. Kau juga manusia, bagaimana bila seandainya kau sakit? Konsentrasimu pasti tidak setajam biasanya.”

Perkataan Alton berhasil membungkam mulut Ched. Guru vokal rock itu lantas menurunkan nada suaranya. Namun, tetap saja sambil menatap bengis dan mengancam kami. “Baiklah, kuberi kalian waktu sepuluh menit untuk istirahat. Tapi aku tidak mau tahu alasan apa pun. Setelah itu performa kalian harus sempurna.”

Setelah menudingku, Ched beranjak. Decitan kursi tanpa lengan dan punggung yang otomatis mundur karenanya memekakkan telinga. Tawaku hampir meledak saat melihat lutut Ched terantuk pinggiran piano.

Aw! Shit! Piano bodoh!” maki pria berkaus gombrong itu. Dia menendang salah satu kaki piano lalu mengaduh kesakitan dan mengumpat lagi sebelum keluar dari ruangan.

“Kuharap dia terjungkal,” desis Alton yang membuat tawaku tidak bisa dibendung lagi. Lalu berbondong-bondong keluar dari mulutku tanpa permisi.

“Jahat sekali kau,” kataku sampai memukuli lutut.

“Wajahmu berkata sebaliknya, Sky. Kau seperti bilang ‘kerja bagus, Alton.’ Iya, kan?”

“Hahaha .... Benar. Tapi tetap saja kau jahat, Alton.”

“Tenang saja. Dia lebih jahat daripada aku.”

Kami tertawa lagi. Sesudahnya, aku berkata, “However, thanks. Dan maaf gara-gara aku kau jadi ikut kena omel Ched.”

“Hei, bukankah itu gunanya partner? Saling tolong-menolong? Lagi pula, siapa yang tidak kena omel Ched? Omong-omong apa kau baik-baik saja? Kau benar-benar terlihat pucat, Sky.”

“I’m fine. Hanya kurang tidur. Mungkin segelas kopi bisa menyegarkanku lagi,” jawabku sembari keluar dari ruang latihan.

Alton mengikutiku. “Kenapa? Sibuk merindukan suamimu yang belum pulang, eh?” godanya sembari menyiku lenganku.

Butuh beberapa detik bagiku untuk tidak merasa hampir jungkir balik lantaran rikuh. Namun, kala tidak sengaja mengingat video Horizon melamar wanita lain membuatku menjawab, “Entahlah.”

“Kau pasti sangat merindukannya.”

Kendati diselingi senyum, tetapi nada sedih dalam kalimat Alton membuatku berhenti melangkah dan menghadap pria itu sepenuhnya. “Sebenarnya aku mengkhawatirkannya karena masuk rumah sakit. Semalam dia baru saja operasi usus buntu,” akuku setengah berbisik.

I really sorry to hear that.” Nada Alton penuh simpati.

“Semalam aku langsung pergi ke rumah sakit di New Jersey.” Aku berkata tanpa melihat Alton dan menatap kosong lantai. “Tapi sayangnya setelah dioperasi dia tidur sampai pagi. Karena rekaman kita hari ini, aku jadi buru-buru ke sini. Jadi, aku belum sempat mengobrol dengannya. Dan yah, aku hanya tidur selama perjalanan ke sini.”

“Sky, itu hanya satu jam. Pantas aja kau kelihatan loyo dan pucat. Siapa yang bisa konsentrasi maksimal di saat kurang tidur?”

“Benar. Dan aku belum mandi, belum gosok gigi, belum ganti baju dari semalam, aku juga baru ingat belum sarapan pagi ini. Intinya aku tidak sempat pulang karena takut terlambat. Well, maafkan kalau aku bau. Tapi aku sudah sempat makan permen karet min pemutih gigi pemberian Katerine. Semoga napasku tidak sebau yang kupikir.”

Alton mengabaikan omonganku. “Kenapa kau tidak izin cuti sehari untuk istirahat? Lagi pula, sudah lama kalian tidak bertemu. Lalu secara mengejutkan suamimu sakit. Kau pasti ingin menjenguk dan menemaninya selama dia sakit.”

Lebih dari itu. “Aku ingin menjaga dan merawatnya,” akuku lagi.

Sudah pernah kukatakan bahwa Alton selalu ahli mengeruk isi hati dan pikiranku melebihi siapa pun. Ketenangan dan kelembutan dalam suara pria berambut pirang yang sangat kontras dengan penampilannya tersebut membuatku suka rela mengatakan itu. Mungkin bila Katerine yang menanyakannya, aku akan berkelit terus. Hingga sahabat yang tahu semua seluk-belukku itu menyerah memaksaku mengungkapkan perasaanku sebenarnya terhadap Horizon.

Padahal setelah kupikir-pikir lagi, Katerine benar. Aku kesepian karena merindukan Horizon. Aku marah karena dia tidak menghubungiku. Aku cemburu karena dia melamar wanita lain sebelum aku—kendati dia melamarku dua kali. Bahkan, begitu diberi kabar Johnson mengenai keadaan Horizon, tidak peduli jam berapa, pakaian apa yang kukekan saat itu, kondisi hatiku yang cemburu, aku bergegas menyambar ranselku, memakai botku asal-asalan dan langsung tancap gas untuk menemuinya. Terlepas dari apa yang kutemukan di ruang rahasianya, aku rela menunggunya semalaman demi bisa melihatnya sadar pasca-operasi—meski pada akhirnya tidak terwujud.

Aku menyadari diriku jatuh cinta pada Horizon. Aku mendeteksi perasaan itu, tetapi hanya tidak ingin mengakuinya lantaran sadar harus bercerai darinya akhir tahun ini.

“Kalau begitu kenapa kau tidak ambil cuti saja?” usul Alton yang secara praktis membuyarkan lamunanku. Kami pun melanjutkan jalan menuju lantai atas sesuai arahan tangan pria itu.

“Kau tahu sendiri bagaimana Ched kalau marah-marah. Masuk akalkah kalau aku cuti? Aku yakin dia akan kesurupan kalau aku benar-benar melakukannya.”

“Demi neraka! Kadang aku tidak habis pikir kenapa dunia yang kita geluti sekejam ini,” keluhnya. “Tapi aku masih tidak mengerti kenapa kau masih rela bekerja. Padahal kau tahu bagaimana kondisi kestabilan ekonomi suamimu. Melebihi orang biasa. Kau bisa saja tinggal di rumah.”

“Aku punya prinsip. Lagi pula aku senang melakukannya. Bukankah pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi?”

“Meski harus menghadapi Ched?”

“Well, ya ... mau bagaimana lagi?”

“Omong-omong, kau bisa meminta izin ibumu. Dia yang paling berwenang atas dirimu saat ini. Revina pasti mengerti keadaanmu dan Horizon Devoss.”

Ide dari Alton memang luar biasa cemerlang. Oleh sebab itu setelah makan roti lapis dan meneguk secangkir espreso pekat buatan Bethany yang menjadikanku lebih bersemangat, aku pun mewujudkan ide itu dengan menemui momster di ruangannya. Sayangnya, kenyataan memang sering kali menjungkirbalikkan harapanku.

“Sayang, aku yakin dokter dan perawat sudah menjaga Horizon dengan baik. Istirahatlah yang cukup setelah rekaman hari ini. Tidak perlu ke New Jersey. Itu akan membuang waktu dan tenagamu. Jadi, kau tidak perlu ambil cuti. Tanggal konser kalian sudah ditetapkan. Kita bisa rugi kalau memundurkan jadwal. Bukan hanya kita, tapi juga pihak sponsor dan banyak pihak lainnya. Sangat kompleks menangani hal itu. Kudengar hari ini pemanasan vokalmu juga buruk. Sebaiknya kau kembali ke ruang latihan sekarang.” Begitulah kira-kira kata monster.

Dasar wanita pengeruk harta!

Seharusnya aku tak perlu kecewa sebab tahu bagaimana kerasnya bekerja dalam industri ini. Lagi pula ini juga salahku yang ngotot terjaga sepanjang malam demi menunggu Horizon bangun.

Jadi, mana mungkin aku menuruti kata momster? Rampung rekaman hari ini yang puji syukur tidak membuat Ched marah-marah lagi, aku pulang, mandi, lalu bergegas ke stasiun mengejar jadwal kereta bawah tanah tercepat menuju New Jersey. Sayang sekali aku ketiduran sampai melewati beberapa stasiun pemberhentianku. Sehingga, aku harus kembali naik kereta menuju ke stasiun terdekat dari rumah sakit tempat Horizon dirawat. Dan itu membutuhkan waktu lebih lama dari perkiraanku.

Nyaris pukul sepuluh malam aku baru tiba. Sewaku sampai di depan ruang rawat inap Horizon, aku melihat Johnson baru keluar dari sana. Dia pun terkejut. “Mrs. Devoss, apa yang Anda lakukan di sini?” tanyanya sambil mengurut dada. Semoga dia tidak berpikir aku hantu.

Aku memiringkan kepala sedikit dan sebelah alisku naik. “Kau itu aneh, John. Tentu saja aku ke sini karena ingin menemui suamiku. Kenapa pula kau memanggilku Mrs. Devoss? Bukankah sudah kubilang panggil saja aku Skylar?”

Wajah Johnson terlihat panik. “Eh, Mr. Horizon memintaku memanggil Anda seperti itu,” cicitnya.

“Huraukan saja dia.”

“Aku tidak berani.”

Aku memutar bola mata malas. “Whatever. Pilihan ada di tanganmu, John. Oh ya, apa Horizon masih bangun?”

“Aku baru saja memberitahu perubahan jadwal kerjanya. Dia sedang membaca buku agar bisa tidur katanya.”

Kenapa Horizon tidak meneleponku? Apakah aku tidak penting baginya?

Aku memaksakan senyum dan menepuk pundak Johnson. “Kau sudah bekerja dengan baik. Sekarang istirahatlah, John. Biar aku yang menjaga Horizon.”

“Tapi—”

“Serahkan saja semuanya padaku,” potongku sembari mendorong pria itu ke selasar. “Istirahatlah, John.”

Melihat Johnson pergi, aku mengambil napas secara brutal dan mengembuskannya. Kemudian secara perlahan membuka pintu. Dan aku kembali kecewa dengan apa yang kulihat. Horizon sudah tidur. Melihat dari buku tebal di atas dadanya, sepertinya dia ketiduran.

Kenapa aku bisa sebodoh ini sampai kelewat stasiun tujuanku? Lihat! Aku terlambat menemui suamiku!

Aku mengendap-endap seperti pencuri. Berupaya tidak menimbulkan suara sekecil apa pun sampai tiba di samping ranjang Horizon. “Kurasa pemilihan waktuku selalu tidak tepat,” gumamku. “Apa kau akan tidur terus sampai pagi? Dan di pagi hari aku harus berangkat bekerja seperti tadi? Sialan, aku merindukanmu setengah mati, Horizon Devoss.”

Aku menatap Horizon sangat lama sebelum akhirnya mengambil buku bisnis bacaannya. Tepat saat aku meletakkannya di meja, pintu ruang rawat inap diketuk. Tanpa dipersilakan, pintu itu dibuka dan jantungku nyaris tergelincir ke perut saat melihat siapa yang masuk.

Ginny Lauren bersama seorang perawat.

Jadi, diakah dokter yang menangani Horizon? Bagaimana bisa?

“Hai, selamat malam. Aku datang untuk melakukan pemeriksaan,” katanya kepadaku dengan senyum ramah.

Auranya yang cerdas bisa membuat siapa pun jatuh cinta. Mungkin kalau aku seorang pria, aku juga akan melamar serta meminta Ginny menjadi istriku sampai mati. Pantas saja Horizon masih menyimpan video lamarannya. Dan aku penasaran kenapa mereka bisa gagal menikah. Padahal kalau dipikir-pikir—demi neraka!—mereka cocok!

“Oh, silakan,” kataku pada akhirnya yang berusaha tersenyum walau kaku. “Apa aku perlu keluar?”

Sembari memakai stetoskop, dia menjawab, “Oh, tidak perlu. Aku akan memeriksanya selagi dia tidur. Tidak masalah Anda di sini.”

Apa Ginny tahu siapa diriku?

Selama dokter itu memeriksa Horizon, aku refleks melihat penampilanku yang 180 derajat berbanding terbalik darinya. Aku berkaus hitam gambar tengkorak putih kedodoran asal comot seperti biasanya, jins hitam sobek, bot, ransel yang masih tersampir di punggung dan rambut kucir satu.

Sedangkan dia? Berjas putih rapi dan bersih. Rambutnya berkilau sehat, bibirnya merah muda alami. Dia wangi. Riasannya pun jauh lebih natural dibandingkan yang kulihat di video. Secara keseluruhan Ginny luar biasa menawan.

“Permisi, aku akan membuka kancing baju Mr. Devoss agar Dokter Ginny bisa memeriksanya.” Perawat tadi meminta izin kepadaku.

“Silakan,” jawabku.

Aku melihat Ginny memeriksa Horizon dan rasanya seperti ada seseorang yang meremas jantungku sampai kempes. Seandainya dia bukan dokter yang menangani suamiku, aku pasti akan menjambak rambut indahnya yang ditata rapi itu sampai kusut. Namun, aku juga pasti tidak akan tega karena dia anggun sekali. Berkharisma.

Secara hati-hati, perawat membuka perban di perut Horizon. Ginny lalu memeriksa jahitannya dan perban itu diganti baru olehnya. Seusai mengancingkan kembali baju pasien Horizon, Ginny lantas berbicara pada perawat. Sambil menunjuk-nunjuk tulisan di kertas beralas akrilik. Seperti mendekte perawat itu.

Perawat pun pergi. Namun, Ginny tetap tinggal. Dia mengajakku ke ruang dokter untuk mendiskusikan keadaan Horizon.

“Maaf belum sempat mengenalkan diri. Aku Ginny Lauren, dokter bedah yang menangani Horizon,” katanya lembut.

“Ah, ya, aku bisa membacanya di plakat. Salam kenal, Dokter. Aku—”

“Skylar Betelgeuse. Benar, bukan?” potongnya untuk menebakku. Dia kelihatan senang saat aku mengangguk. Aku pun menjadi bingung. Kenapa dia tidak cemburu melihat istri mantan tunangannya?

Duh, Sky. Kenapa kau berharap dia cemburu padamu di saat dia lebih segala-galanya daripada dirimu? Otakku pun memaki-makiku.

“Ah, iya.” Aku merasa canggung.

“Ya, Horizon sering menceritakan tentang Anda. Katanya Anda kesayangan mendiang kakaknya. Jadi, aku tidak heran Anda menjenguk Horizon ke sini. Anda juga berteman dengan Ralph, kan? Sepertinya dia meminta obat antihamil untuk Anda.”

“Ha? Maksud Anda?”

Wanita ini mengabaikanku. “Gelang pemberian River yang Anda pakai sama persis dengan yang dipakai Horizon. Pantas saja tadi pagi dia kebingungan mencarinnya. Memang sesuatu yang berhubungan dengan River selalu bisa membuat Horizon goyah. Horizon dan Anda pasti menyayanginya.”

“Tunggu, gelang ini—”

“Oh, Lupakanlah. Aku terlalu banyak mengoceh. Omong-omong, tentang Horizon. Keadaannya membaik. Dia sudah boleh pulang besok. Sebagai orang terdekatnya, tolong bantu awasi pola makannya, jangan biarkan dia terlalu banyak bergerak. Jangan lupa ingatkan dia soal minum obat dan kontrol pemeriksaan di sini. Aku juga sudah mengatakan itu kepada Johnson dan Ralph karena belum bertemu Ayahnya. Kuharap kalian semua mengawasi Horizon dengan baik.”

Sumpah, mendadak otakku blank. Wanita ini memotong pembicaraku dan terus berkata-kata bagai kereta Amtrax. Tidak memberiku kesempatan untuk bertanya, menjawab atau meluruskan sesuatu yang keliru sampai pintu ruangannya diketuk. Perawat tadi pun dan mengingatkannya tentang pasien-pasien lain yang harus dikunjungi mereka.

Aku seperti orang bodoh yang mengangguk. Diusirnya secara halus lalu terpaksa keluar ruangannya dan kembali ke ruang inap Horizon sambil terus berpikir: apakah wanita itu tidak tahu aku adalah istri Horizon Devoss?

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto:

Horizon Devoss

Skylar Betelgeuse

Alton Mason

Ginny Lauren

Well, see you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Senin, 9 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top