Chapter 22

Selamat datang di chapter 22

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai kalau ada typo

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will enjoy and love this story as well

❤️❤️❤

____________________________________________________

Aku tidak ingin melihatnya kecewa lagi. Lebih-lebih dengan diriku yang sekarang.

Horizon Devoss
____________________________________________________

Musim panas
New Jersey, 21 Juli
Pukul 07.02

Sayup-sayup, aku mendengar seorang wanita bersenandung, “I don’t know the reason why the sun has to rise. Then be sets. Orange form between lines of sea and earth. Making a captivating horizon. And so come a night showing the moon and stars. Then this circle repeats itself.[4]”

Suara familier khas dan merdu itu seolah-olah menarikku dari tidur paksa tanpa mimpi. Menyebabkan diriku secara perlahan-lahan membuka mata. Aku mengerjap-ngerjap, masih menganalisa sekitar ketika mendengar seorang wanita bertanya, “Hi, welcome to the world again, Horizon. How do you feel?”

Kedua alisku berkerut seirama dengan kepalaku yang celingukan mencari sumber suara tersebut.

“Ginny?” panggilku kaget, tetapi kulafalkan dalam bentuk bisikan lantaran merasa lemah dan pening saat mendeteksi kehadirannya di sampingku. Bersama seorang perawat wanita yang membawa papan akrilik di sebelahnya, yang terlihat selalu siap mencatat kata-kata apa saja yang keluar dari mulutnya.

“Benar, ini aku, Horizon,” jawab wanita berambut pirang panjang dengan senyum lembut itu. Sedetik kemudian pemilik sepasang iris cokelat gelap tersebut memasang stetoskop yang menggelantung di lehernya.

Entah kenapa di saat ini aku malah mengutarakan apa yang menjadi beban pikiranku yang kekeliru. “Kupikir kau—”

“Jangan melakukan sesuatu yang berat dulu. Lebih-lebih berpikir berat. Sekarang, aku akan memeriksa keadaanmu dulu,” potong wanita dalam balutan snelli yang menjadi ciri khas profesinya.

Ginny Lauren masih tersenyum ramah seperti tadi, seperti biasanya. Tanpa menunggu tanggapanku yang masih terjebak dalam kebingungan, dia mulai melakukan pemeriksaan dibantu sang perawat. Wajah wanita itu serius, menandakan dedikasi tinggi dengan memeriksaku secara teliti. Ginny yang kukenal selama ini memang demikian; anggun, cerdas, ramah, cekatan, dan mencintai pekerjaannya. Terlalu mencintai pekerjaannya.

Kuasumsikan dikarenakan telah mendapatkan hasil dari kondisi sekujur tubuhku, Ginny berbicara dengan perawat menggunakan bahasa medis yang tak kumengerti. Wanita di sebelahnya pun mengangguk sambil menulis di kertas beralas akrilik. Diselingi senyum ramah, perawat tersebut mengangguk-angguk kepada Ginny sebelum keluar ruangan. Meninggalkan diriku bersama Ginny Lauren.

“Kondismu sudah berangsur membaik, Horizon. Tapi mungkin kau masih agak linglung karena efek biusnya belum hilang sepenuhnya,” terang wanita itu.

Aku tak menghiraukannya dan secara persisten entah kenapa ingin bicara mengenai kebingungan yang seolah-olah menyesatkan pikiranku. “I though you’re—”

“Nah, aku belum selesai,” sela Ginny lagi, “bius yang belum hilang seratus persen memang kadang membuat seseorang sedikit berada di awang-awang.”

Maksudnya, aku sedang delusi mendengar suara Skylar bersenandung? Begitu?

Kusimpan pertanyaan itu dalam hati lantaran terlalu kaget tatkala pandanganku tidak sengaja tertuju pada kedua pergelangan tanganku. “Di mana gelangku?” gumamku.

“Gelang?”

“Iya, gelang tali hitam.”

Wanita itu tampak berpikir sebelum berucap, “Oh, aku meminta perawat melepasnya bersama jam tanganmu karena harus diganti gelang pasien. Aku takut keduanya mengganggu selama proses pemeriksaan.”

“Kau apa? Meminta perawat melepasnya?” tanyaku tak percaya. Intonasiku pun agak naik.

Wajah Skylar yang pura-pura marah sambil melontarkan segala sumpah serapah dengan bonus kata-kata kasar menari-nari dalam benakku. Kalau sudah demikian, kebutuhan biologisku pasti terancam tak akan dipenuhinya. Aku bisa stres, sama seperti hampir dua minggu ini. Tidak menyentuh Skylar selama itu membuatku uring-uringan. Sampai-sampai suara merdunya membuatku terngiang-ngiang. Lucunya lagi, yang kuherankan lirik dalam imajinasiku terdengar niat dibuat. Bukan asal-asalan diucapkan sesuai kondisi yang dihadapinya seperti kebiasaan Skylar.

Omong-omong, apa Skylar tahu kondisiku saat ini? Semoga saja tidak.

Poin pentingnya aku harus melakukan tindakan pencegahan yang kini menjadikanku lebih dilanda kebingungan. Seperti orang sinting yang terombang-ambing karena tak mendapat pegangan.

Sementara pikiranku berputar-putar dan menggurita ke mana-mana, Gini Lauren mulai berkata lagi. “Iya, aku meminta perawat melepasnya. Tapi semuanya disimpan dan tentu saja akan dikembalikan kepadamu.”

Disinggung soal gelang itu lagi, pikiranku kembali mengarah ke sana. “Apa itu relevan? Melepas gelang taliku demi kelancaran pemeriksaan sementara itu ada gelang pasien? Memangnya gelang pasien tidak menggangumu?”

Mendengarku menyelanya, wajah Ginny tampak syok. Dia memperhatikanku sejenak dan sedikit tersenyum konyol sebelum menjawab dengan bertanya, “Really? Kita harus membicarakan gelang tali usang di saat pemulihan pasca-operasimu jauh lebih penting untuk dibahas sekarang, Horizon?”

“Itu bukan gelang tali hitam usang. That’s really important to me.” Benakku sungguh menekankan tidak ingin Skylar marah-marah. Aku tahu betul bagaimana vokalis The Black Skull tersebut akan berlagak kesal seperti itu; yang tak ingin kubatasi lagi di mana perbedaan antara dia serius merajuk atau pura-pura merajuk sebab berperan menjadi istri yang mencintai suaminya demi resor mendiang ibunya. “Jadi, di mana perawat yang menyimpan gelangku?” lanjutku.

Aku ingin turun dari ranjang rumah sakit sialan ini. Namun, saat berusaha menggerakkan kedua kaki, rupanya kedua anggota gerak bawahku itu masih belum berfungsi seratus persen. Rasanya seperti kesemutan dari pangkal paha sampai ujung kaki. Bedanya bila kusentuh, aku tak merasa kesakitan. Alih-alih, aku justru tak merasakan apa pun.

Sepertinya bius ini memang masih bersemayam di tubuhku. Mempengaruhi cara berpikirku yang mengarahkan tingkah lakuku menjadi tergesa-gesa.

“Tolong tenanglah .... Jangan terlalu banyak bergerak atau jahitan di perutmu akan terbuka kembali, Horizon. Kau baru saja dioperasi semalam. Biusmu memang sudah berangsur menghilang, tapi pagi ini kau juga baru saja bangun dari tidur selama berjam-jam,” pinta Ginny lembut, tetapi tegas. Sambil menahanku yang ngotot duduk, dia juga buru-buru menambahkan, “Apa itu gelang pemberian River yang masih kausimpan sampai sekarang? Kalau iya, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu kalau itu gelang yang sangat berati bagimu. Setelah ini aku akan langsung menanyakannya pada perawat. Kebetulan yang baru saja keluar itu perawat yang menyimpan gelangmu.”

Bukan. Itu gelang couple-ku dengan Skylar yang kami beli di Bangkok.

Tentu aku tidak akan mengatakan itu kepada Ginny.

Jadi, aku pun taat mengikuti instruksi dokter bedah yang notabene adalah mantan tunanganku itu untuk tiduran kembali. Selain itu, aku juga memastikan, “Apa pemeriksaanmu sudah selesai?”

“Semuanya sudah selesai. Tapi aku di sini karena menunggu perawat membawakan obat-obat yang perlu kauminum. Aku harus menjelaskannya padamu soal obat-obat itu dan perawatanmu selama beberapa hari ke depan.”

“Kalau begitu, selagi menunggu, apa aku bisa meminta bantuanmu untuk menyusul perawat itu dan menanyakan di mana dia menyimpan gelangku?”

Ginny berkedip cepat sebanyak dua kali. Seperti kehabisan kata-kata. “Maksudmu sekarang?”

“Lebih cepat lebih baik.”

Bibir Ginny menipis dan tatapannya berpindah ke sembarang arah sejenak. Dia agak mengembuskan napas berat dan terlihat tak percaya. Namun, aku tidak berkewajiban memberitahu alasanku kepadanya sebab takut menyakiti perasaannya. Aku tidak ingin melihatnya kecewa lagi. Lebih-lebih dengan diriku yang sekarang.

Ginny pun pasrah. “Baik, jangan khawatir, Horizon. Just get rest and don’t move. Aku akan segera keluar dan mencari perawat yang menyimpan gelangmu.”

“Thanks,” bisikku penuh harap.

Dengan senyum kaku, Ginny membalas, “Anytime.”

Wanita itu berjalan ke pintu. Dia sudah memegang kenopnya, tetapi membalik tubuh menghadapku kembali. “Horizon, apa ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku selagi kita berdua seperti ini?”

“Ha?”

“Em, lupakan saja perkataanku barusan. I’ll be back soon,” rakatnya tanpa menyuarakannya.

Tidak lama setelah itu, Ginny datang bersama perawat. Mereka membawa obat-obatan dan gelangku. Selama dijelaskan tentang kondisi dan obat-obatanku oleh Ginny, aku memakai gelang. Intinya setelah dari ruang pemulihan yang saat ini kutempati, Ginny akan memindahkanku ke ruang rawat inap supaya keluargaku lebih leluasa menjengukku.

Well, kuharap Johnson atau Ralph tidak memberitahu siapa pun mengenai operasiku. Termasuk Skylar dan Ayah. Aku sungguh tidak ingin kedua orang itu heboh dan terlalu mendramatisir keadaan.

“Aku tidak ingin kau membantah kata-kataku, Horizon. Kau harus minum obat-obat itu, makan yang teratur dan beristirahat cukup. Jangan terlalu keras bekerja selama kurang-lebih dua minggu ke depan. Berjalan-jalanlah selama sepuluh sampai lima belas menit setiap hari agar otot-otot tubuhmu tidak kaku.” Ginny pun mengakhiri penjelasannya.

Aku mengangguk. “Thanks. Akan kuingat kata-katamu, Dok.”

“Sudah menjadi tugasku.” Wanita itu tersenyum ramah lalu pamit, “Well, masih ada pasien-pasien lain yang harus kunjungi. Get well very soon, Horizon. Sampai jumpa di kunjunganku berikutnya.”

Ginny dan perawat itu keluar. Gantian Johnson yang masuk. Asisten jempolanku itu bertanya, “Bagaimana kabar Anda, Sir?”

“Aku baik, John. Di mana Ralph?”

“Mr. Ralph Brachii sudah kembali ke New York karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawab Johnson yang kemudian menambahkan, “sebenarnya, Mr. Ralph memaksa Skylar untuk kembali ke New York bersama—”

“Apa maksudmu sempat ada Skylar di sini? Dan kau memanggil istriku apa, John? Skylar? What the fuck are you doing, Johnson Guido? Memangnya siapa dirimu berani sekali memanggil nama depan istriku? Lalu bagaimana? Apa istriku jadi ikut Ralph kembali ke New York?” tandasku, memotong kalimat Johnson dan kontan memberondonginya dengan pertanyaan lain.

Kekagetan telah mengubah intonasiku menjadi tinggi. Dan aku tidak suka bila Johnson memanggil Skylar seperti itu. Linier dengan kelancangan Ralph memaksa Skylar untuk kembali ke New York bersamanya. Apa-apaan?

Dari duduknya, Johnson sontak menunduk dan melihatku takut-takut. “Maafkan aku, Sir. Istri Anda memintaku untuk memanggil nama depannya. Karena katanya aku ini temannya.”

“What the fuck? Kau bukan temannya! Kalian hanya kenalan! Sekali lagi kau memanggil istriku dengan nama depannya, aku akan ... aku akan .... Hah! Sialan!” Aku membuang napas secara brutal dan memegangi kening. Lalu menyugar rambut kasar. “Dan kenapa kau lancang sekali menelepon istriku?”

“Aku benar-benar minta maaf, Sir. Kupikir Anda pasti ingin dia tahu kondisi Anda dan berada di samping Anda.”

“Kau keliru, John! Aku tidak ingin dia tahu kondisiku!” Skylar pasti akan panik dan hal terakhir yang ingin kulihat adalah dia diusir dari rumah sakit akibat terlalu berisik. Sikapnya yang liar dan seenaknya tidak cocok di lingkungan tenang. “Kuharap dia tidak membuat onar semalam,” desisku.

Johnson langsung menanggapi, “Setelah meneleponnya, katanya dia langsung mengendarai mobil Anda ke sini. Dia tiba setelah Anda dipindahkan ke sini, Sir. Wajah istri Anda memang kacau, tapi dia justru agak pendiam. Tidak panik berlebihan. Dia juga langsung menemani Anda di ruang pemulihan.”

Berarti senandung itu bukan delusiku? Benar-benar ada Skylar di sini? Syukurlah dia tidak membuah heboh satu rumah sakit.

Johnson pun menyambung ceritanya. “Dia menjenguk Anda hanya sebentar karena perawat datang lagi dan memintanya keluar. Istri Anda terlihat tepukul. Lalu pagi ini dia menerima tawaran Mr. Ralph ke New York bersamanya.”

“Dan kau membiarkan istriku bersama Ralph begitu saja, John?” tuduhku yang melimpahkan kekesalan pada pria itu.

Johnson pun gelagapan. “Maafkan aku, Sir.”

Menyadari pakaian Johnson yang belum ganti sejak kemarin membuatku merasa bersalah. Dia pasti belum sempat mandi karena sibuk mengurusku. Kepana aku jadi tidak tahu diri seperti ini?

“Sudahlah,” kataku pelan, tetapi enggan meminta maaf karena telah membentak Johnson. Yah, masalah harga diri. “Di mana ponselku?”

“Ini, Sir.” Pria itu mengambil ponsel dari balik celana kerjanya. Kemudian diberikan kepadaku.

Secepat mungkin aku menelepon Ralph. Selagi menunggu teleponku diangkat, aku meminta Johnson meninggalkan ruang rawat inapku. Memyarankanny mandi dan istirahat di hotel terdekat. Juga memintanya mengatur ulang jadwalku hari ini yang jelas harus digeser ke hari-hari ke depan. Sewaktu pria itu membuka pintu, Ralph baru mengangkat telepon.

“Yo ... what’s up, Horry?”

“Apa kau sudah sinting, Ralph?” cercaku tanpa tedeng aling-aling.

“Wow ... ada apa? Kenapa kau marah-marah padaku?”

“Kau membawa istriku tanpa seizinku, Bodoh!” makiku.

Ralph malah cengengesan. “What? Ahahaha .... Apa aku tidak salah dengar, Horry? Kata Johnson kau baru bangun. Tapi kenapa langsung marah-marah padaku soal istrimu seperti ini? Seharusnya kau berterima padaku kasih karena aku telah mengantarnya bekerja dengan selamat. Tidak membiarkannya menyetir sendiri dari New Jersey ke New York dalam keadaan seperti itu.”

Untuk kedua kalinya dalam lima menit terakhir, aku ber-cak. “Keadaan seperti apa maksudmu? Lagi pula kau bisa memesankannya taksi, tidak perlu sampai mengantarnya seperti itu, Ralph.”

Ck! Seandainya aku bisa. Tapi aku tidak bisa membiarkan Skylar yang tidak tidur semalam karena ngotot menunggumu di luar ruang pemulihan, harus menyetir sendiri karena harus rekaman hari ini. Jadi, apa menurutmu dia akan aman kalau kupesankan taksi?”

Mulutku terbungkam. Ralph benar. Keselamatan Skylar lebih penting. Sahabatku itu lebih bisa kupercaya daripada sopir taksi.

“Baiklah. Tapi kau tidak bicara aneh-aneh padanya, kan?” tanyaku untuk memastikan.

“Maksudmu?”

You know ... Ginny,” bisikku.

“Oh, rupanya itu yang kau khawatirkan. Masuk akal kau marah-marah padaku karena membawa istrimu kembali ke New York. Jangan khawatir soal itu. Aku tidak akan memberitahunya. Lagi pula selama perjalanan dari New Jersey ke New York istrimu tidur. Kupikir memang itu yang dia butuhkan.”

Baru saja aku hendak bernapas lega, Ralph kembali bertanya, Apa kau sudah jadi mengobrol berdua dengan Ginny?”

Ingatanku sontak kembali pada dua hari lalu aku tiba di New York. Aku pergi ke ruang rahasiaku untuk menonton rekaman videoku melamar Ginny Lauren. Di hari itu, aku sengaja tidak memberitahu Skylar karena harus langsung ke New Jersey menemui Ginny di Peak Restaurant and Bar New Jersey bersama Ralph dan Johnson. Sayangnya, ketika aku baru saja memisahkan diri bersama Ginny di meja lain, perutku luar biasa sakit. Aku kolik.

“Aka belum bicara dengannya,” jawabku.

Ck, kenapa kau tidak menggunakan kesempatan ini untuk mengobrol dengannya sementara istrimu tidak ada di sana? Ginny seharusnya bisa meminta perawat meninggalkannya dan kau seharusnya bisa meminta Johnson pergi. Kalian bisa ber—”

Pintu kamar yang tiba-tiba terbuka menginterupsi atensiku dan memotong pembicaraan Ralph. Ayah masuk. Segera kuakhiri telepon itu. “Ayahku datang, akan kuhubungi lagi,” bisikku.

Aku menyiuk, terheran-heran siapa yang memberi tahu beliau. Namun, Ayah memang selalu mengetahui tentang perkembanganku entah dari siapa. Perasaan tak nyaman pun kini kembali membaluri sekujur di tubuhku.

“Yang benar saja. Mantan tunanganmu yang mengoperasi usus buntumu,” cela pria paruh baya yang mewariskan gennya kepadaku. Beliau sudah duduk di kursi samping ranjang rumah sakit yang tadi diduduki Johnson.

“Kenapa Dad ke sini kalau tidak menanyakan kabarku dan malah mengatakan itu?”

“Mataku belum rabun melihatmu bangun dan menelepon. Kau akan baik-baik saja. Lagi pula itu hanya usus buntu,” jawab Ayah enteng.

“Bagus. Dad pasti sangat rajin makan makanan yang mengandung vitamin A,” sindirku sembari meletakkan ponsel di nakas samping ranjang.

Ayah mendengkus dan tersenyum miring. “Well, masih banyak dokter bedah lainnya. Kau tahu itu, kan? Kenapa harus mantan tunanganmu, Horizon Devoss?”

“Karena kebetulan aku sedang bersamanya. Jadi, dia juga yang menyelamatkan hidup anak semata wayangmu ini. Setidaknya berhentilah bersikap dingin kepadanya sebagai ucapan terima kasih,” jawabku sarkas. Suaraku terdengar dingin di telingaku sendiri. Mungkin juga di telinga Ayah.

Pria dalam balutan kemeja biru dongker itu meletakkan satu kakinya di atas kaki yang lain. “Kalau itu maumu, kusarankan kau pindah ke rumah sakit di New York.”

Aku merasa putus asa sehingga hampir memohon, “Dad, please. I don’t want to—”

“Kudengar dia tidak hanya menemuimu di Abu Dhabi, tapi juga di Shanghai. Lalu kalian bertemu lagi di sini, New Jersey. Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Menenun kenangan lama? Kau sudah menikah. Tidakkah kau ingat itu? Apakah dia tidak tahu kau sudah menikah?”

Ayah memang tidak membentak atau mengeluarkan kata-kata berintonasi tinggi. Namun, tuduhan yang tersirat itu sukses menjadikan dadaku bergemuruh. Aku ingin menanyakan dari mana Ayah tahu semua itu. Juga berkata kasar dan memaki-maki beliau. Namun, menyadari bila itu merupakan tindakan sia-sia, aku pun hanya diam.

“Dari caramu diam seperti ini, aku sudah bisa menyimpulkan.”

“You have nothing idea about me, Dad.”

“Memang. Tapi apa kau tidak pernah berpikir bagaimana kecewanya River seandainya melihatmu seperti ini?”

Aku menatap kosong ke arah lain. “River sudah meninggal, Dad. Kenapa selalu menggunakan senjata itu untuk menekanku?”

“Kau tahu alasannya, bukan?”

_______________

[4] Aku tak tahu alasan matahari harus terbit. Lalu terbenam. Sosoknya yang jingga di antara pertemuan garis laut dan bumi. Membentuk cakrawala menawan. Dan datanglah malam yang memamerkan bulan dan taburan bintang. Lalu siklus itu terus berulang.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto:

Horizon Devoss

Skylar Betelgeuse

Well, see you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 7 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top