Chapter 17

Selamat datang di chapter 17

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai juga apabila ada typo (terutama yang meresahkan yes)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤ ❤ ❤

______________________________________________

Apa itu permintaan yang tidak masuk akal jika seorang istri menginginkan suaminya menemaninya?

—Skylar Betelgeuse
______________________________________________

Musim panas
New York, 22 Juli
08.30 a.m.

Acara pemberkatan selesai. Janji setia palsu yang kami kumandangkan juga berjalan lancar. Kini aku tidak lagi bernama Skylar Betelgeuse, melainkan Skylar Devoss yang sah di mata hukum maupun agama. Walau—tentu saja—hanya dalam kurun waktu enam bulan.

Jadi, manakala tahun baru beraganti nanti, aku akan menjadi pribadiku yang dulu lagi. Skylar Betelgeuse yang bebas, yang bisa melakukan apa pun sesuka hatinya, yang bisa mencintai pria mana pun yang diinginkannya. Aku yakin tidak ada yang lebih baik dari itu.

Di malam sebelum pernikahan, aku mencatat jadwal harianku dan hal-hal apa saja yang harus kulakukan untuk menjadi istri yang baik bagi Horizon. Aku tidak ingin pria itu menikahiku sehari lalu memutuskan cerai karena menilaiku tidak mencintainya, sementara aset-aset ibuku belum resmi berada di tangan kami.

Aku hanya perlu bersabar.

Hanya selama pernikahan yang tertenggat waktu ini saja, aku akan menyerahkan diriku sepenuhnya pada Horizon Devoss. Begitulah kira-kira kata-kata yang kusuntikan untuk diri sendiri agar kuat. Meski pada kenyataannya, ada hal-hal yang selalu mampu menggolak kelemahan hatiku.

Salah satunya ketika aku berfoto dengan pigura ibuku bersama keluarga dan teman dekat. Air mataku bagai bendungan yang bertahun-tahun sudah dibangun kokoh, tetapi pada akhirnya jebol. Selain merindukannya, aku juga menyadari semua yang kulakukan dan korbankan ini demi beliau yang mewariskan hampir seluruh genetiknya padaku.

Rambutku yang pirang, tinggi badanku yang melebihi standar wanita Amerika, tetapi masih membuatku tak berdaya bila disandingkan dengan pria arogan yang menjadi suamiku kini. Yang merengkuhku secara erat kala itu. Meski tidak bisa kutampik, aroma suamiku menenangkan sekaligus memabukkan. Kendati kehangatan dekapan itu bertolak belakang dengan wajahnya yang datar. Seolah tidak mengizinkan seorang pun mengintip isi hati atau kepalanya.

Suara merdu ini dan kepiawaian menyanyi juga ibu wariskan padaku. Pun, hidung yang meruncing lembut dan bibir yang mungil, tetapi penuh. Kecuali warna iris mata yang diturunkan dari ayah.

Dekoresi pernikahanku dan Horizon tanpa cela. Selendang-selendang emas kombinasi silver transparan menghiasi setiap sudut taman yang kami sewa. Bunga-bunga segar terangkai begitu indah, pernak-pernik tambahan begitu cocok dan pas, buffet makanan ditata sedemikian rupa dan mampu menggugah selera. Kue pengantin raksasa dari Bake Me Up pun benar-benar terjamin bisa menggetarkan lidah secara sukacita.

Tubuhku dibalut gaun pengantin putih gading yang bagian pundaknya terbuka. Tiara-tiara melingkari bawah gaun terindah hasil usulan Jasmine Devoughn ini. Rambutku digelung dan diberi tudung pengantin panjang. Aku membawa buket bunga mawar merah segar yang harum. Begitu pula tuksedo hitam yang terpahat pas di tubuh Horizon. Seolah tidak mampu menutupi betapa gagah dan tampannya pria itu meski selalu mengenakan setelan serupa.

Tamu-tamu yang hadir tidaklah sebanyak yang kukira. Aku hanya mengundang seluruh staf di Harmoni studio, Jasmine dan suaminya. Katerine, Lea, Bethany dan beberapa staf wanita menjadi bridesmaids. Dan sudah sepatutnya aku tidak mengundang Lupara karena lebih mengutamakan emosional Horizon. Aku tidak ingin mengambil risiko sekecil apa pun yang mengancam pernikahan ini, walau itu berarti aku harus bersedia menomorduakan segala keinginanku, termasuk mengundang mereka yang bekerja sama denganku. Syukurlah Alton mengerti.

Horizon pun tidak banyak mengundang teman. Ralph Brachii dan beberapa pria lain yang tidak kukenal dan dikenalkannya sambil lalu menjadi groom pria itu. Selebihnya orang-orang penting, yang kuduga rekan kerjanya. Dia juga mengundang Jameka Michelle. Wanita itu datang bersama adiknya yang beraura seram dan seorang remaja keturunan Asia yang secara menakjubkan dikenalkan sebagai adik iparnya. Menghancurkan asumsiku semula tentang remaja itu.

Sepanjang prosesi pernikahan, momster tidak pernah tersenyum dan aku tidak peduli. Ayah sedikit menitikkan air mata ketika menyerahkanku pada Horizon. Aku lantas memeluk tubuh pria paruh baya itu erat-erat, serta meminta maaf yang sebesar-besarnya dalam hati karena harus melakukan ini—kebohongan.

Di luar semua itu, aku sangat bersyukur acara pernikahan mewah ini berlangsung secara privasi, tidak didatangi wartawan atau media yang biasanya mengerubungi ayahku. Dan, yang paling penting, semuanya berjalan lancar serta sempurna.

“Kau sudah membawa semua yang kauperkukan?” tanya Horizon sewaktu menemaniku berkemas untuk bulan madu di resor ibuku. Mungkin karena sepasang iris sekelam malamnya melirik sebuah koper hitam standar yang rencananya kubawa selama dua pekan.

Aku wanita yang praktis. Kalau memang pakaian atau keperluanku yang lain kurang, aku bisa membelinya di sana.

“Yap, aku sudah memasukkan semuanya,” kataku mantab sembari memandangi koper itu dengan tangan bertolak pinggang di depan lemari dinding pakaianku yang berlapis cermin.

For your information, baru sebagian barang-barang dalam apartemenku yang kupindahkan ke penthouse Horizon. Namun, pria itu memastikan semuanya harus benar-benar sudah berada di sana setelah bulan madu.

Dari pantulan cermin, aku melihat Horizon bergerak hingga tubuhnya menempel di belakangku. Bulu kudukku praktis meremang ketika tangan suamiku menyibak rambutku untuk mengarahkannya ke belakang telinga. Sementara tangannya yang lain melingkari perutku secara posesif dan dagunya yang kelabu menempel di pelipisku. Sorot mata tajam pria itu menghujamku tanpa ampun. Dengan suara serak, berat dan dalam, dia berbisik, “Pastikan kau tidak lupa membawa pilmu.”

Aku mereguk ludah dengan susah payah. Debar jantungku yang kencang seolah bisa melelehkan kakiku. Karena—tentu saja—bukankah itu tujuan kami bulan madu? Menghabiskan hari-hari panas dengan suasana baru selain apartemenku atau penthhouse-nya?

Dan, itulah yang terjadi. Hampir seminggu penuh aku nyaris tak keluar kamar kalau bukan untuk pergi makan di sekitar resor, itu pun kadang-kadang. Gara-gara Horizon yang—Oh Tuhan!—benar-benar bugar dan—hell yeah—aku seperti tawanan yang menikmati setiap perlakuannya. Tubuhku seperti tidak ingin berjauhan dengannya. Sungguh memalukan!

Barulah ketika seminggu terakhir jadwal bloody moon-ku tiba-tiba datang, Horizon seperti orang yang bisa membunuh siapapun hanya melalui tatapan matanya.

“Kita bisa jalan-jalan,” usulku sambil menyisir rambut.

Aku melihat Horizon dari pantulan cermin. Dia sedang tiduran di kasur dan menumpu kepalanya menggunakan kedua tangan yang dilipat di atas bantal. Pandangannya menatap langit-langit. Kabar baiknya, dia hanya mengenakan boxer. Menggoda iman sekali, bukan?

“Kau tahu, setelah kita bulan madu aku harus kembali sibuk. Tidak hanya aku, tapi juga kau. Aku harus pergi ke China selama beberapa waktu untuk mengurus bisnisku dan kau harus tur Asia.”

Dasar maniak!

Tubuhku berputar menghadap pria itu. “Kupikir, definisi bulan madu tidak melulu soal ... you know ... making love, but also relaxing with nature and having fun in another way. We’re in Florida Keys now, Horry. Kita bisa scuba diving, snorkeling, kayak, berlayar, kuliner selama itu tidak membahayakan tenggorokanku, atau melakukan hal menyenangkan lainnya.”

Kernyitan di kening Horizon bertambah. Akhirnya pandangannya diarahkan padaku yang sedang mengucir rambut mirip ekor kuda. “Kukira kau sedang tidak bisa bermain-main di air. Mungkin kakimu akan bersisik lalu berubah jadi ekor,” katanya bernada mengejek.

Aku memutuskan mengabaikan omongannya untuk memaparkan penjelasan logis. “Kau pasti akan menganggap aku gila kalau kukatakan itu tidak berlaku di dalam air.”

“Benarkah?”

“Ya. Kau pikir bagaimana seorang perenang prosesional bisa selalu latihan setiap hari di dalam air kalau mereka seperti aku sekarang?”

Kerutan di kening pria itu praktis menghilang digantikan senyum miring yang mengancam. Seolah terbayang rencana-rencana jahat yang siap dilakukan padaku.

Aku menyipitkan pengelihatan untuk menyelidiki pikirannya. “Sepertinya kau sedang menyusun sesuatu yang panas. Kupastikan itu tidak akan terlaksana. Karena itu tidak masuk akal,” paparku paten. Tidak boleh dilanggar. “Lagi pula sudah lama aku tidak ke sini. Jadi, aku sungguh ingin jalan-jalan. Apa itu permintaan yang tidak masuk akal jika seorang istri menginginkan suaminya menemaninya berkeliling resor selama bulan madu?”

Hah! Rasakan jurus rayuan mautku, Horizon Devoss!

“Baiklah. Kau menang. Ayo pergi scuba diving,” gumamnya pasrah.

Musim panas
New York, 30 Juli
09.20 a.m.

Florida Keys dengan suhu hangat pagi ini benar-benar menyempurnakan impianku dan Horizon untuk scuba diving. Setelah sarapan di resor, kami menaiki kapal menuju agak ke tengah laut yang tidak terlalu dalam. Lalu mendapat pelajaran mengenai tata cara diving selama beberapa saat, sebelum mengenakan peralatan menyelam kemudian sama-sama menceburkan diri ke lautan jernih sebening kristal bersama beberapa kru profesional.

Sangat menyenangkan berenang di sekitar terumbu karang, melihat anemon-anemon laut yang berwarna-warni, begitu cantik dan murni. Banyak ikan badut yang berenang di sekitar koral. Ada juga penyu besar bersama anaknya yang melintasi kami.

Hingga tak terasa sudah bermenit-menit kami menikmati keindahan bahwa laut, para kru mengingatkan tentang persediaan oksigen dan meminta kami muncul ke permukaan.

“Argh ... aku masih ingin liburan ...,” teriakku sambil menggerakkan seluruh tubuh. Berguling ke sana kemari di kasur empuk yang berantakan. Tak rela waktu cepat berlalu dalam seminggu dan kami harus kembali ke New York. “Bisakah kita ke sini lagi nanti, Horry?” pintaku implusif.

Horizon mengiyakan dengan cepat meski kutahu itu hanyalah bentuk bujuk rayunya agar aku mau beranjak pergi dari sini.

Musim panas
New York, 7 Juni
10.32 a.m.

Hari ini aku resmi pindah ke penthouse Horizon. Sedangkan, seperti yang dikatakannya beberapa waktu lalu, pria itu harus terbang ke China untuk mengurus bisnis. Sebagai istri yang baik, aku menyibukkan diri dengan membantunya berkemas, menyiapkan sarapan dan lain-lain. Sebagai bentuk terima kasih karena aku diberi leluasa penuh untuk menata barang-barangku bersama Katerine dan Lea.

“Sempurna!” teriakku sambil berputar-putar di atas kasur lalu mengambil remote tirai. Kugenggam benda itu mirip menggenggam mik. Dan aku bernyanyi sesuka hati, mirip konser selagi menunggu sahabat-sahabatku datang.

Setelah kurang lebih hampir tiga jam kami menata semua barang-barangku, lengkap dengan mendekor sebuah ruang menjadi atudio miniku, kami lantas pergi ke Heratl furniture store untuk membeli beberapa perabot kecil sebagai hiasan penthouse.

“Harusnya kegiatan ini dilakukan pasangan suami istri,” komentar Katerine sewaktu kami berpindah ke bagian etalase yang menjual tanaman hias kecil beserta bibit-bibitnya. Ada juga yang berupa sintetik.

Aku memilih-milih kaktus sambil membayangkan di mana sebaiknya kuletakkan yang menggemaskan ini. “Kate, Horizon sedang ke China. Dan aku yakin dia tidak suka dengan kegiatan semacam ini meski seandainya sekarang tidak sibuk,” balasku sambil lalu.

“Apa kau sudah merindukannya?” goda Lea.

Aku mengalihkan atensi dari pot kotak yang tertancap kaktus kecil dengan bunga merah yang sudah tumbuh untuk menatap melodis The Black Skull tersebut. “Sebagai istri yang baik, tentu saja aku harus merindukannya. Aku akan meneleponnya kalau dia sudah sampai di China.”

“Wah ... wah ... wah .... Tampaknya daftar-daftarmu berjalan sesuai rencanamu, Sky,” pungkas Lea kagum.

“Begitulah,” jawabku riang dan memutuskan membeli kaktus di pot kotak ini.

Di sebelahku, Katerine pun menampilkan wajah memelas sambil mengangkat sebuah pot kecil yang ditumbuhi bunga sakura bohongan. “Sky, belikan aku yang ini ya?” pintanya dengan tambahan puppy eyes.

“Ambillah sesuka hatimu, Kate. Aku sedang merasa jadi nyonya kaya raya karena diberi Horizon kartu sakti ini,” pungkasku lalu memamerkan kartu yang memang diberika Horizon padaku. Katanya, aku boleh memakainya sesuka hati tanpa perlu memikirkan nominal, selama itu masuk akal dan berguna. Namun, aku tidak ingin berlebihan dalam menggunakannya.

Dan, Lea tak ingin ketinggalan seperti Katerine. Dia juga mengambil salah satu tanaman kecil sintetik dan memintaku membayarnya. Sambil cekikikan, kami pergi ke kasir untuk membayar. Kemudian petugasnya membantu membawa semua belanjaan ke Aston Martin hitam Horizon yang akhirnya boleh kukendarai. Yey! Ini terbaik di antara yang terbaik!

Lea—walaupun kakaknya juga jutawan dan memiliki salah satu mobil edisi terbatas—entah kenapa mendadak jadi kampungan kala duduk di kursi kulit beraroma mahal mobil Horizon. “Waaahh ... ini benar-benar luar biasa. Aku tidak percaya akhirnya Horizon memperbolehkanmu mengendarai mobilnya yang mewah ini.”

“Lea, jangan merendah untuk meroket. Mobil kakakmu malah lebih bagus dari ini,” cibir Katerine.

“Itu dia masalahnya. Aku juga belum pernah dipinjami untuk kukendarai.”

Sepanjang perjalanan kami tertawa. Aku menyetel lagu-lagu The Black Skull dan bersenandung bersama Katerine serta Lea. Kala berhenti di lampu merah, ayahku menelepon. Aku menyalakan pelantangnya.

“Langitku, Horizon memberitahuku kalau hari ini dia harus ke China. Katanya kau sedang bersama Kate dan Lea mendekorasi penthouse?sapa ayah to the point.

Aku sedikit mengernyit. Tidak menduga pria itu memberi tahu ayah soal kerjaannya dan apa yang sedang kulakukan atas seizinnya. Kupikir itu menjadi privasi bagi Horizon.

“Ya, begitulah. Aku sedang bersama Katerine dan Lea. Kami membeli beberapa tanaman hias dan perabot-perabot pajangan di Heratl furniture store.”

Lampu merah berubah hijau. Aku menjalankan mobil ini secara hati-hati bebarengan dengan Katerine dan Lea yang menyapa ayahku.

“Hai Mr. Flint.”

Hai, Ladies .... Apa kalian keberatan kalau setelah ini aku ingin memonopoli putriku selagi suaminya ke luar negeri?”

“Tentu saja tidak, Mr. Flint,” jawab para sahabatku kompak.

Terima kasih, Ladies. Kalau begitu, datanglah ke rumahku, Langitku.”

Jadi, setelah aku mengantar Katerine dan Lea, aku menuju rumah ayah.

“Langitku, bagaimana kabarmu?” tanya ayah yang langsung memelukku setibanya aku di rumah beliau.

“Aku baik. Di mana mom?” Apakah pergi ke neraka? Kalau iya, aku tidak akan mengganggunya. Ups.

“Sedang mempersiapkan makan malam. Dia memasakkan makanan khusus untukmu supaya tenggorokanmu aman.”

Aku harap itu tidak beracun.

Ayah langsung menggiringku ke meja makan yang luas di depan pantri dapur. Kulihat momster sedang sibuk di sana, menata-nata makanan yang kelihatan baru sana selesai dimasak. Asapnya masih mengepul dan aromanya enak. Well, biar kuberi wanita paruh baya itu nilai sepuluh atas usahanya yang ingin berperan sebagai ibu yang baik—hanya di depan ayah.

“Bagaimana bulan madu kalian?”

Hampir saja aku tersedak gara-gara pertanyaan ayah. Memang, itu pertanyaan biasa. Berhubung mengingat betapa panasnya aku dan Horizon, rasanya ... itu pertanyaan ambigu.

“We were doing great,” jawabku standar. “Kami pergi scuba diving dan berjalan-jalan ke sekitar. Yah ... aku sudah lama tidak ke sana. Tapi masih seindah ingatanku dulu.”

“Tidakkah kau lihat resor itu sedikit ketinggalan zaman?”

Aku langsung melirik momsteringin melihat reaksi apa yang akan ditunjukannya, yang rupanya hanya khidmat dengan salmon krimnya— sebelum beralih ke ayah. Aku mengedikkan bahu ringan kala menjawab, “Em ... mungkin ....”

“Nah, itu maksudku. Kita butuh semacam perombakan.”

“Tapi aku ingin bangunan utama tetap dipertahankan, Dad.”

“Tentu saja. Omong-omong, kenapa tidak kau dan Horizon saja yang mengelolanya sesuai keinginan kalian?”

“Sayang, aku rasa itu ide yang buruk. Aku khawatir Sky tidak punya waktu. Minggu depan kami harus berangkat tur Asia,” selam momster tepat ketika aku akan membuka mulut.

Dasar wanita pengeruk harta!

Bagaimana kira-kira kalau aku menerikkan itu sambil menaiki meja?

Namun, sebelum imajinasi tu menjadi nyata, ayah lebih dulu menukas, “Tentu saja. Maksudku tidak dalam waktu dekat. Lagi pula Horizon juga sedang sibuk. Mungkin kalau jadwal kalian longgar.”

Ugh! Inging kugulingkan salmon ini ke wajah momster! Lihat! Baru saja aku hampir mendapatkan aset itu, tetapi gara-gara aanita licik itu, aku gagal!

Setelah makan malam aku pamit pulang, momster yang memelukku berbisik, “Sayang, aku menyangkan keputusanmu menikahi Horizon. Padahal aku sudah melakukan segala cara untuk mencegahmu. Mulai dari memadatkan jadwalmu sampai menghadirkan Alton kembali ke hadapanmu. Tapi rupanya kau benar-benar kukuh ingin menikahinya. Kau harus tahu, dia tidak seperti yang kau kira. Well, persiapkan dirimu untuk berangkat tur Asia.”

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo.

Kelen luar biasa

Bonus foto Skylar Betelgeuse

Horizon Devoss

Well, see you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 5 Maret 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top