Chapter 14
Selamat datang di chapter 14
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (suka gentayangan)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you enjoy this story as well
❤❤❤
_____________________________________________
Tidakkah kau bisa menebak kenapa aku datang ke sini setelah kesibukan menahanku bertemu denganmu?
—Horizon Devoss
_____________________________________________
Musim panas
Menchester, 13 Juli
12.03 p.m.
Dua minggu lagi pernikahanku dan Skylar akan digelar. Oleh sebab itu, aku berusaha menyelesaiakan pekerjaan dengan memampatkan jadwal jadi sepadat mungkin. Sehingga nanti memiliki waktu libur beberapa hari untuk bulan madu dan membuntuti Skylar tur Asia.
Salah satu pekerjaan yang menguras tenaga, waktu, dan pikiran adalah mengurusi pengguritaan bisnis bank Diamond-ku ke Asia yang membutuhkan bantuan Jayden Wilder.
Lewat consigliere barunya, pria yang dikenal sebagai pemimpin mafia klan Davidde itu memintaku dan Johnson menemuinya di Britania Raya—entah di bagian mana, kami tidak diberitahu secara spesifik.
Tentu saja hal itu sangat mengejutkanku dan Johnson. Bagaimana tidak? Aku dan asisten yang merangkap sebagai sekretarisku itu diberi fasilitas jet pribadi. Kemudian dijemput orang-orang berpakaian suit serbahitam yang mengendarai tiga sedan hitam di bandara Manchester.
Sebelum naik kendaraan tersebut, ponsel dan segala macam bentuk alat komunikasi kami juga diminta alias disita sementara sampai urusan dengan Jayden selesai. Barulah dikembalikan sewaktu mereka mengantar kami kembali bandara.
Aku dan Johnson langsung saling berpandangan. Kentara memicu salah satu dari keenam pria bersetelan jas hitam yang menjemput kami—consigliere yang berkomunikasi denganku dan Johnson selama ini—untuk bekata, “Semua ini tidak ada unsur pemaksaan. Kalau ingin bertemu boss, beri kami semua alat komunikasi kalian. Tapi kalau keberatan, kami akan mengantarkan kalian pulang ke New York dengan penerbangan tercepat dari sekarang. Semua fasilitas masih kami yang menanggungnya.”
Pertanyaan-pertanyaan praktis menjejali otakku, lengkap dengan spekulasi-spekulasi jawaban. Apabila menolak, apakah orang-orang dengan latar belakang seperti ini akan melepaskanku dan Johnson begitu saja? Kurasa tidak, dan pasti akan jauh lebih rumit. Toh, kami sudah di sini. Jadi, aku mengangguk pada Johnson, memberinya isyarat untuk menyerahkan segala alat komunikasi yang sudah kami matikan ke pria tadi.
Interior mobil membuat kami tercengang kembali. Kacanya ditutup tirai hitam, sehingga kami tidak bisa melihat ke luar jendela. Sedangkan antara jok depan dan belakang ditutupi sekat layaknya mobil limusin. Kami pun dibawa ke antah berantah menggunakan mobil sedan kedua—yang posisinya diapit dua sedan lain. Aku bisa mengatakan demikian karena tidak mendengar adanya suara kendaran-kendaran lain sepanjang perjalanan yang menghabiskan waktu selama kurang lebih hampir satu setengah jam.
Kuharap proses yang rumit dan sulit untuk bertemu serta berdiskusi langsung dengan Jayden sepadan dengan hasil yang kudapatkan nanti.
Kalau boleh jujur, aku tidak akan pernah mau berurusan dengan mafia mana pun. Namun, hambatan pembangunan bankku di Asia juga dikuasai mafia-mafia setempat. Jadi, mau tak mau, aku harus meminta bantuan mafia paling disegani bernama Jayden Wilder.
Selama perjalanan ini pun, aku sangat khawatir kami tidak bisa pulang ke New York, begitu pula dengan Johnson yang gemetaran dan memanjatkan doa dari tadi. Sampai-sampai kami sama sekali tidak bersuara di kendaraan itu.
Kendati sudah mencari informasi tentang Jayden dan hanya menemukan sedikit tentangnya—rupanya memang beginilah proses cara meminta tolong pria itu, tetapi tetap saja. Kekhawatiran tidak pernah absen menekan saraf-sarafku dan Johnson.
Begitu mobil berhenti, tahu-tahu kami sudah tiba di sebuah estate yang dikelilingi tembok beton dengan tinggi menyerupai benteng.
“Boss sudah menunggu di rooftop. Mari,” kata consigliere lalu menggiringku dan Johnson menuju tempat yang dimaksud.
Kami menapaki anak tangga yang tersusun dari batu-batu sangat artistik. Kemudian sampai di rooftop luas, dengan pagar yang disusun dari batu-batu serupa anak tangga. Ada meja bundar agak besar bertaplak putih tulang di bawah kanopi putih berlarik biru dengan seorang pria yang kuduga adalah Jayden duduk di sana. Tidak hanya itu, beberapa orang berbaju sama persis seperti yang menjemput kami di bandara juga mengelilingi rooftop. Jangan lupakan senjata-senjata yang ada di tangan mereka.
Aku yakin apabila napas kami berisik, peluru-peluru tersebut akan bersarang di kepalaku dan Johnson. Sebaiknya kami berhati-hati.
“Selamat datang di kediaman saya Mr. Horizon Devoss dan Mr. Johnson Guido,” sambut pria berwajah Italia itu dengan aksen British tidak terlalu kental sembari mempersilakanku dan Johnson untuk duduk. Sementara consigliere-nya duduk di sebelahnya.
“Terima kasih,” balasku lantas duduk.
Sebenarnya aku bisa melihat kekakuan sikap Johnson kali ini. Pegawai teladanku itu sama sekali tidak ahli dalam menyembunyikan kegugupan. Namun, aku yakin dia sudah berupaya semaksimal mungkin.
“Maaf harus melakukan penyitaan ponsel dan lain-lain. Saya hanya ingin privasi,” aku Jayden dengan wajah dan nada datar.
“Tidak masalah,” balasku berusaha setenang mungkin, walau kurasa tidak berakhir dengan sarafku yang rileks. Otot-ototku tetap sekaku Johnson.
“Bagaimana kalau kita mengobrol sambil makan siang? Anda dan Mr. Guido pasti lapar dan lelah sudah mau jauh-jauh datang ke sini.”
Siapa yang benari menolak tawaran itu? Jadi, aku dan Johnson secara kompak menyetujuinya. Lalu pria itu menjentikkan jari untuk memanggil salah satu maid pria yang kuduga sebagai butler tempat ini. Tidak lama kemudian makanan-makanan mulai berdatangan dan dihidangkan di meja.
“Bagaimana perjalannya?” tanya Jayden basa-basi.
“Semuanya lancar.” Aku memotong pipi halibut, mengolesinya menggunakan krim sebelum memakannya.
“Baguslah. Ngomong-ngomong apa yang bisa saya bantu?”
Setelah menelan pipi halibut, aku menceritakan kronologi hambatan pembangunan bank Diamond, khusus di China. “Sepertinya triad,” dugaku berdasarkan pengamatan Johnson juga.
Pria itu mengangguk. “Bisa jadi, saya bersama teman-teman akan membantu Anda menyelidikanya. Tapi saya minta dua syarat.”
Tentu saja selalu ada syarat. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Terlebih bagi sekelompok mafia. Jadi, aku menunggu. Andaikata Jayden meminta poundsterling dengan jumlah fantastis, maka, aku harus mempersiapkannya.
“Syaratnya mudah. Saya menawarkan pertemanan atau persahabatan dan saya ingin Anda membawa saya ke Mr. River Devoss.”
Kedua alisku sontak mengernyit. Pun kepalaku yang menghadap Johnson. Layaknya manusia yang bisa berkomunikasi lewat pandangan mata, aku dan Johnson melakukan itu.
“I beg your pardon?” tanyaku memastikan.
“Tidak bisa lebih jelas lagi. Saya ingin pertemanan atau persahabatab dan saya ingin Anda membawa saya ke Mr. River Devoss. Hanya dua syarat itu yang saya ajukan. Dan Anda bisa mendapatkan bantuan saya.”
Aku masih menghentikan kegiatan makan untuk melirik ke arah lain sembari berpikir bagaimana dan bentuk pertemanan atau persahabatan macam apa yang sebenarnya Jayden inginkan dariku. Dan topik tentang River selalu bisa menimbulkan gejolak perih dalam rongga dadaku.
Mungkin karena merasa aku tidak segera menjawabnya, Jayden membuka suara lagi. “Saya ingin kita berteman atau bersahabat, karena saya ingin Anda merahasiakan semua ini. Dan kalau pun suatu hari saya kesulitan, saya ingin Anda balas membantu saya.”
Otakku segera berpikir ; kesulitan macam apa yang sebenarnya dimiliki seorang mafia? Menyembunyikan obat-obatan terlarang? Astaga, bisa gila aku seandainya benar demikian. Lantas, bagaimana cara menolak hal-hal seperti itu tanpa ditodong pistol? Kudengar mafia-mafia sangat kejam. Terutama ketika penawaran—yang menurut mereka bagus—tidak diterima pihak lawan. Itu artinya mengajak perang. Kabar baiknya, mereka hanya memberi satu kali kesempatan alias tidak ada kesempatan lain.
“Tenang saja, saya pastikan bukan sesuatu yang ilegal,” lanjut Jayden seolah bisa melihat pikiranku yang transparan. “Dan saya ingin bertemu Mr. River Devoss karena ... seperti yang Anda ketahui tapi sayangnya baru saya ketahui baru-baru ini kalau kakak perempuan saya ternyata pernah menjadi tunangan kakak laki-laki Anda.”
Oh! Kenapa aku baru berpikir ke arah sana? Apa dia menuntutku atas apa yang terjadi di antara River dan Jameka? Bahkan aku saja tidak tahu pasti penyebab pertunangan—yang bahkan belum sempat dirayakan besar-besaran—mereka putus beberapa bulan sebelum malaikat membawa roh kakakku ke surga. Aku juga berpikir pasti tidak sesepele kelihatannya ; Jameka tidak suka River mengenakan baju merah muda sehingga memutuskan pertunangan mereka. Itu konyol dan terlalu mengada-ngada.
Jadi, kuputuskan untuk berkata jujur pada Jayden tentang hal yang kuketahui pasti. “Sebenarnya, beberapa waktu lalu saya dan tunangan saya bertemu Miss Jameka Michelle di makam River. Dan dia memulangkan cincin kakak saya kepada saya.”
“Did she?” tanyanya. Jelas tidak memercayai pengakuanku begitu saja.
“Iya. Tapi, tidak masalah. Saya akan mengantar Anda ke kakak saya.”
Jadi begitulah. Sisa hari itu, tepatnya malam harinya, aku, Johnson, Jayden, istrinya yang kupikir gadis remaja—aku sangat mengagumi cara wanita Asia itu memandang Jayden dengan tatapan mendamba penuh cinta serta kasih sayang luar biasa yang membuatku iri karena tidak mendapatkannya dari Skylar—dan tiga anggota klan Davidde lain terbang ke New York. Alat-alat komunikasiku dan Johnson pun dikembalikan.
Niatku ingin menjamu mereka di hotel ibunya Skylar. Namun, kata consegliere Jayden, pria itu bersama seluruh rombongan akan menginap di salah satu hotelnya yang ada si Brooklyn.
Yah, tidak kaget. Mereka memang sangat sulit mempercayai orang baru, makanya sangat selektif ketika akan bertindak.
Rencananya keesokan lusa setelah sarapan bersama, kami akan pergi ke River. Jujur saja, aku ingin mengajak Skylar bersamaku sebab walau pun sudah ratusan atau bahkan ribuan kali mengunjungi kakakku, nyatanya hatiku tak pernah benar-benar siap. Beberapa waktu lalu ada Skylar bersamaku dan ketenangannya sedikit demi sedikit ditularkan padaku.
Alih-alih bertemu atau menelepon Skylar, aku justru memutuskan untuk mengirimnya pesan.
Horizon Devoss:
Apa kau bisa bolos kerja besok pagi?
Satu jam kemudian, dia baru membalas.
Skylar Betelgeuse:
Aku khawatir tidak bisa karena belakang ini ada tambahan pekerjaan dari momster.
Apa ada kendala dengan rencana pernikahan kita?
Horizon Devoss:
Tidak. Baiklah, kalau kau tidak bisa, tidak apa-apa.
Musim panas
New York, 15 Juli
09.33 a.m.
“Apa kakak saya bahagia dengan kakak Anda?” tanya Jayden tanpa melihatku sebab sibuk memandangi nisan River sambil menggandeng istrinya yang mengusap-usap lengannya. Walau dengan wajah dan intonasi datar, aku bisa merasakan kemelut dari aura yang disebarkannya.
Kelihatannya, Jayden sangat menyayangi kakak perempuannya. Begitu juga denganku yang sangat menyayangi River. Berdiri di sini saja bisa membuat napasku hampir hilang. Namun, aku berusaha tegar untuk menjawa, “Yang saya tahu, River selalu memuja Miss Jameka Michelle. Walau mereka memutuskan membatalkan pernikahan, tapi mereka masih rajin komunikasi layaknya orang yang bertunangan. Saya juga melihat kakak Anda menangis di sini beberapa waktu lalu. Dan Miss Jameka Michelle jelas-jelas mengakui masih sangat mencintai kakak saya.”
“Begitu?” gumam Jayden.
Dan urusan kami pun sementara beres sampai di sana. Tinggal menuggu kabar Jayden menyelesaikan hambatan pembangunan bankku di China. Lalu, aku harus menunggu balas budi apa yang dia butuhkan dariku ketika suatu hari dia membutuhkan pertolonganku karena kesulitan terhadap sesuatu.
“Kau sudah boleh bernapas, Jhon,” pungkasku ketika kami kembali dari pemakaman.
Johnson yang duduk di sebelah sopir kami pun mengendorkan punggungnya di jok. “Sejak kemarin lusa rasanya ada yang mencekik saya, Sir. Mr. Jayden dan rombongannya Benar-benar mengerikan,” eluhnya, “kecuali istrinya.”
“Aku sependapat denganmu, John. Tapi syukurlah semuanya berjalan lancar dengan syarat mudah,” balasku.
“Benar. Ngomong-ngomong, tadi Miss Betelgeuse menelepon saya dan menanyakan Anda.”
Aku melihat jam tangan yang menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh tiga menit. Masih jam kerja. Namun, hasratku ingin bertemu dengannya begitu membumbung tinggi dan rasa-rasanya tidak ingin dicegah oleh siapa pun. Jadi, aku meminta, “Kalau begitu, tolong antarkan aku ke studionya.”
Setibanya di studio the Black Skull, kedua kaki yang menyangga tubuhku membawaku menuju meja resepsionis. Kesengajaan tidak membalas pesannya dan mengejutkannya dengan kedatanganku menjadi tujuanku saat ini.
“Tolong jangan katakan aku yang datang,” pintaku. For your information, sebagian staf yang ada si gedung ini mengenalku karena sering berkunjung dan kini memiliki hubungan khusus dengan vokalis mereka.
“Baik, aku akan menelepon Miss Katerine untuk meminta izin. Silakan tunggu di sana,” kata wanita yang berstatus sebagai resepsionis.
Sementara aku menunggu di sofa depan meja resepsionis, wanita tersebut melaksanakan permintaanku. Sejujurnya, aku bermain peruntungan ; semoga momster tidak sedang ada di studio hari ini, sehingga Skylar bisa bebas menemuiku atas izin Katerine selaku manager-nya.
Tidak sampai lima menit kemudian, Skylar datang. Wanita itu keluar dari elevator. Dengan balutan jin hitam ketat sobek-sobek, dokmart, dan aku tidak mengerti kenapa dia harus mengenakan jumper hitam berlogo The Black Skull yang kedodoran di musim panas ini. Kepalanya pun menoleh ke kanan-kiri hingga akhirnya menangkap sosokku.
Aku berdiam diri, sengaja menunggu responsnya. Skylar kaget, tetapi dengan cepat bisa mengatasi rasa kejut tersebut dengan perpindahan tubuhnya ke sofa yang kududuki. Secara praktis aku berdiri menyambutnya.
“Horry, ada perlu apa kemari?” tanyanya, kembali celingukan.
Aku menghiraukannya. “Begitukah caramu menyambut calon suamimu yang datang memberimu kejutan?”
Sayangnya, gantian Skylar yang menghiraukanku. Dia kembali celingukan, lalu memintaku tidak bersuara untuk mengikutinya menuju koridor restroom. “Maaf kita harus mengobrol di sini, tapi ada apa?”
Aku berbalik tanya sembari merapatkan tubuhku ke tubuhnya, lengkap dengan memperpendek jarak wajahku ke wajahnya. “Tidakkah kau bisa menebak kenapa aku datang ke sini setelah kesibukan menahanku bertemu denganmu?”
_____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto Skylar Betelgeuse
dan Horizon Devoss
Well, see next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Sabtu, 12 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top