Chapter 13

Selamat datang di chapter 13

Tinggalkan jejak dengan vote dan momen

Tandai jika ada typo

Thanks

Happy reading everyone

Hope you enjoy thus story as well

❤❤❤

______________________________________________

Bagaimana kalau aku tidak bisa bergerak maju untuk menjalani hidupku sendiri karena terus-menerus melihat cincin itu?

—Seseorang yang dicintai River Devoss seumur hidupnya
______________________________________________

Musim panas
New York, 24 Juni
22.30 p.m.

Menginap? Horizon meminta izin untuk menginap?

Oh Tuhan!

Sesunguhnya apa yang sedang kupikirkan sampai-sampai kepalaku seolah disetel secara otomatis untuk mengangguk lantaran mengizinkan pria itu menginap di apartemenku?

Kupikir, aku sudah sinting betul. Terlebih, ketika kami sama-sama tahu pria itu tidak memiliki baju ganti—jelas tidak muat kalau mengenakan milikku. Lalu dengan entengnya, dia berkata, “Aku bisa pakai celana dalam.”

Pikiranku langsung menggurita ke mana-mana, membayangkan hal-hal yang ... ya ... kau tahulah. Apalagi selepas kami gantian mandi, Horizon membuktikan ucapannya. Kemudian bagai wanita yang benar-benar tidak memiliki etika dan alih-alih pura-pura tidur, aku justru memelototi otot-otot perutnya yang liat bin keras, lalu bergeser ke bawah—duh! Kenapa aku harus melihat ke arah sana? Sejak kapan aku jadi semesum ini?

Sementara pikiranku berperang dengan akal sehat, pria beraroma sabun mandiku itu memindah bobot tubuhnya ke kasur. Dan seolah menyadari tindakanku, dia berhenti di tepi kemudian dengan kepercayaan diri yang tinggi menebak, “Suka dengan apa yang kau lihat, Sky?”

“A-a-aku ... a-aku ... ya! Aku suka. Kenapa tidak?”

Argh! Lancang benar mulutku menyuarakan isi hati dan pikiranku yang kini menjadi transparan.

Horizon setengah mendengkus dan menarik sudut bibirnya membentuk senyum geli. “Mau menyentuhnya lagi?”

Sekali lagi mataku membola, tetapi berkedip cepat dengan intensitas sering. Berusaha berpaling, tetapi otot-otot pria itu begitu menggoda akal dan ragaku untuk merasakannya lagi. Memikirkannya saja sudah bisa membuat badanku panas-dingin disertai jantung yang gedebag-gedebug.

“Ahahah ....” Aku tidak tahu kenapa malah tertawa sumbang seperti ini, mirip orang yang benar-benar tidak berbudi luhur.

“Ayolah, tidak perlu sungkan-sungkan. Aku akan jadi suamimu selama enam bulan. Lagi pula kau mencintaiku. Kau sendiri yang mengatakannya, ingat? Sudah pasti otomatis kau juga mencintai tubuhku. Jadi, sangat wajar kau ingin menyentuhnya,” pungkas Horizon dengan seringai tipis. Selalu terlihat cerdas sekaligus mengintimidasi. Kedua kelopak yang membingkai sepasang iris hitam pria itu ikut menyipit. Menyuguhkan kelicikan, tetapi penuh muatan magnet dengan kutub berlawanan. Sehingga daya tariknya yang begitu kuat dapat berpotensi besar menyeretku melesak ke dalam pesonanya yang berbahaya.

“Ahaha ..., kenapa kau jenaka sekali, Horry? Hahaha ....” Lagi-lagi, aku tertawa sumbang. Dalam posisi berbaring dengan selimut menutupi setengah badan, bantal dalam pelukanku ikut andil kugebuki.

“Kau yakin tidak tergoda?” tanya Horizon sembari mendekat secara perlahan, masih dengan penuh kepercayaan diri.

Aku meringis tidak nyaman, berupaya menyasarkan pandangan ke dinding kaca yang menyuguhkan sungai hudson dan lampu yang menyorot patung Liberti di belakangnya.

Sentakan kecil kurasakan kala Horizon menyingkap selimutku, lalu meraih bantal yang kupeluk sebelum melemparkannya ke tepi. Sehingga posisi pria itu kini sudah menjulang di atasku.

“Kurasa kau harus meminum pilmu setelah ini, Sky. Bagaimana menurutmu?”

Kupikir, jantungku pasti akan meledak lantaran terlalu berdetak cepat. Iramanya sampai menghantam-hantam telingaku. Dengan susah payah, aku meneguk ludah beberapa kali sebelum kepalaku mengangguk sendiri. Kemudian memejam, merasakan kelembutan sentuhan bibir Horizon di bibirku. Sebelum pada akhirnya berubah kasar dan liar. Sementara aku pasrah, bagai tidak punya kendali diri atas tubuh serta otakku. Membiarkan indra pengecap dan seluruh perabanya menjajaki setiap jengkal tubuhku.

Pria itu membimbingku melakukan gerakan-gerakan dan posisi-posisi baru dengan sabar. Horizon jelas mengusai segalanya bersama gerak-gerak seduktif hasil ciptaannya yang memabukkan. Kemudian mengantarkan kami ke dalam ketegangan dan ledakan nikmat. Hingga tak terasa dini hari pun lewat.

Musim panas
New York, 25 Juni
12.45 a.m.

“Aaa ... aa ... ekhm ... aaa ....” Aku mencoba melalukan pemanasan suara di tengah tenggorokanku yang kering sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhku.

Kau pasti tahu kenapa. Karena Horizon dengan gagah dan kebugarannya yang terus-menerus membuatku mendesah. Well, aku benar-benar tidak ingat pernah berhenti bersuara erotis sepanjang kami beradu keringat tadi.

“Ini minumlah agar tenggorokanmu tidak sakit.” Horizon mengulurkan segelas air mineral yang diambilnya dari dapur, lengkap dengan pil
pemberiannya. Ajaib dia bisa menemukan obat itu di laci nakas sebelah ranjangku yang berantakan.

“Thanks,” ucapku singkat, lalu menelan butiran obat tersebut dengan bantuan air.

“Maaf, sampai membuat tenggorokanmu jadi kering,” ucapnya dengan ekspresi datar. “Maaf juga karena aku tidak menyesal melakukannya. Kau tahu, kau sangat luar biasa, aku kesulitan berhenti, Sky.”

Jantungku mengentak lagi ketika dia sengaja membawaku ke momen beberapa waktu lalu.

Argh! Dasar Horizon! Gara-gara kau, aku jadi mesum!

Aku berdeham sekali sebelum menjawab, “Tidak apa-apa, Horry.”

Setelah meminta gelasku dan meletakkannya di nakas, Horizon ikut bergelung dalam selimut. Selanjutnya meraih kepalaku untuk diletakkan dilengannya. Sementara tangannya yang lain meraih tubuhku untuk dipeluknya.

Kami hanya mengenakan celana dalam. Entah kenapa aku merasa nyaman pada situasi intim ini, tanpa ada batasan ; kulit kami yang sama-sama bersentuhan. Kendati jelas berbeda dengan kondisi jantungku yang urakan.

“Sky, apa kau bisa membolos kerja hari ini?” tanya Horizon dengan suara pelan dan serak.

Aku mendongak sedikit untuk melihatnya. “Kenapa harus?”

Horizon menunduk untuk melihat serta menjawabku. “Aku ingin mengajakmu ke River hari ini. Kupikir, aku tidak bisa melarikan diri terus-menerus dengan menunda-nunda mengunjunginya. Kau tahu, aku banyak beralasan.”

Aku menggigit bibir bawah untuk berpikir sebentar. Yah, memang. Cepat atau lambat, kami harus mengunjungi River.

“Atau aku bisa menjemputmu setelah makan siang?” tawarnya.

“Pagi ini sepertinya tidak masalah. Aku akan menelepon Kate nanti.”

“Baiklah. Terima kasih. Well, kurasa sekarang kita butuh tidur.”

“Ya, tentu.”

Oh! Satu lagi yang harus kulakukan sebagai wanita yang pura-pura mencintai Horizon!

Aku mendongak seraya menjauhkan diri sedikit untuk menempelkan bibirku pada bibirnya super kilat. “Selamat tidur, Horry.”

Memikirkan akan ke River, aku memilih dress putih kombinasi hitam sederhana, tetapi santai. Kupadukan dengan jaket kulit yang hanya kusampirkan di bahu. Bot hitam selutut tanpa hak dan rambut pirang yang kuurai begitu saja melengkapi penampilanku.

“Aku tidak tahu kau bisa pakai baju selain warna hitam,” sindir Horizon ketika sudah mengenakan seatbelt.

Ngomong-ngomong, sementara aku bersiap tadi, Horizon pulang dulu untuk menukar baju lalu menjemputku lagi.

“Kita hidup di abad dua puluh satu yang punya warna-warna banyak, bukan di zaman Bangsa Viking.”

Uh-oh! Apa yang baru saja kulakukan? Rasanya, aku ingin memukul mulutku sendiri yang tidak bisa menyuarakan kalimat selayaknya wanita jatuh cinta.

Aku memarahi diriku sendiri ; Sky, cara biacaramu harus diperlembut!

Kupikir kau begitu karena selalu mengenakan baju hitam di segala musim dan dalam keadaan apa pun.” Horizon membalas perkatakanku sembari menarik persneling serta melepas kopling kaki pelan-pelan untuk menjalankan mobil.

Well, aku seorang vokalis kelompok musik rock yang hidup bebas sesui keinginanku. Jadi, apa yang dia harapkan selain mendapatiku selalu mengenakan pakaian hitam? Lagi pula aku suka warna hitam, that’s it.

Jikalau dia menginginkan perang mulut sekarang, aku jelas harus melupakan itu sebab teringat tujuanku. Sehingga harus kembali  pura-pura bersikap selayaknya wanita yang mencintainya hingga akhir hayat. Dan tak masalah disindir dalam bentuk apa pun.

Ew, kenapa aku mual sendiri sewaktu mendiskripsikannya?

“Kau sangat humoris, Horry.” Demi neraka! Aku ingin muntah dengan perkataanku yang lebih lembut dan tingkah laku malu-malu yang kubuat sendiri. Sementara Horizon malah tertawa.

“Tidak kusangka aku akan sehumoris ini kalau sedang bersamamu, Sky.”

Ejekan yang terselip dalam nada suara Horizon membuatku ingin membalas perkataanya. Namun, kurasa lebih baik aku memutar radio dan mencari lagu untuk konser dadakan. Aku khawatir tekanan Horizon akan semakin berat karena rencananya yang sangat mula-mula ini.

Kami sempat membeli sebuket bunga yang searah dengan tujuan. Setengah jam kemudian, Aston Martin hitam ini sudah menanjak ke bukit The Green-Wood Cemetery.

Jujur saja, rasanya pita suaraku sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi. Aku memperhatikan Horison yang berkali-kali meneguk ludah, tetapi kelihatan berupaya keras untuk tetap tenang.

Mobil sudah terparkir. Aku melepas seatbelt kala Horizon mengembuskan napas berat yang panjang dengan kedua alis berkerut.

“Apa kau baik-baik saja, Horry?”

“Entahlah. Aku tidak tahu, Sky.”

“Kita bisa pergi lain kali kalau kau belum siap,” balasku. Sungguh tidak tega melihat Horizon yang rapuh seperti ini.

“Sudah di sini, sebaiknya kita turun.”

Kala Horizon melepas seatbelt, tiba-tiba tubuhku bergerak sendiri untuk memeluknya. “Tenang saja. Kau bersamaku.”

Demi Neptunus! Aku tidak sedang berpura-pura mengkhawatirkannya. Aku tidak pernah melakukannya selama itu berkaitan dengan River.

Dalam pelukanku, dia membalas sambil mengangguk. “Aku tahu.”

Sekilas, Horizon mencium pundak dan kepalaku bagian samping sebelum melepaskan diri, lalu kami meluncur turun dari mobil. Aku lantas mengambil buket bunga di dasbor belakang dan menggamit lengan pria yang menunduk itu.

Kami berjalan melewati beberapa bentuk nisan hingga berhenti pada nisan dengan patung malaikat kecil bermain lyra. Namun, rupanya, tidak hanya kami yang mengunjungi River hari ini. Ada seorang wanita berambut cokelat gelap dalam balutan gaun hitam sedang duduk sambil memeluk batu bertuliskan nama River. Punggungnya pun naik-turun, yang kuprediksi sedang menangis meski tidak bersuara.

Aku dan Horizon serempak saling bertanya lewat pandangan. “Biar aku saja, Horry,” kataku, berinisiatif.

Horizon mengangguk dan menunggu beberapa langkah di belakangku. Sementara aku ikut berjongkok di dekat wanita itu.

Excusme me, Miss,” tukasku pelan.

Punggung wanita itu sontak bergerak tegak. Dengan cepat, dia mengusap butiran-butiran bening yang membasahi kedua pipi tirusnya menggunakan punggung tangan. Sangat jelas sepasang netranya memerah. Hidungnya pun sama, plus bengkak.

Aku sontak menganga sebab wanita tersebut sangatlah tidak asing bagiku. Kami pernah berjumpa sebelumnya di pemakaman River. Dia adalah orang yang River cintai hingga akhir hayat, dan tampak seruoa dengamnya  Bibirku pun bergerak hendak bersuara lagi, sayangnya tidak seperti yang kumau ; aku tidak bisa berkata-kata.

“Aku udah selesai,” ucapnya datar, sama persis dengan wajahnya. Meski demikian, aura kesedihannya bisa menular padaku.

Kami lantas berdiri. Wanita itu pun membenarkan gaun hitam selututnya sembari memindah pandangannya dariku ke Horizon. Kemudian menghampiri pria itu.

“Halo,” sapanya pada Horizon. “Aku datang berkunjung.”

Pria itu mengangguk. Perpaduan dua sosok yang menyebarkan aura kesedihan itu menggelapkan mood-ku.

“Aku bisa melihatnya,” balas Horizon.

Wanita itu kini yang gantian mengangguk. Dia menunduk sebentar untuk menatap jari manis tangan kirinya yang tersemat cincin. Kemudian melepaskan benda itu dan mengulurkannya pada Horizon.

“Kurasa sebaiknya aku mengembalikan cincin ini padamu, adiknya,” pungkasnya lalu berbalik dan berjalan pergi.

Baru beberapa langkah, Horizon memanggilnya sehingga dia berhenti dan menghadap pria itu.

“Apa selama ini kau mencintai River?” tanya Horizon.

Astaga, kenapa Horizon masih bertanya? Orang buta juga bisa melihat kalau wanita itu sangat mencintai River. Sudah lama berlalu, tetapi cincin River masih melingkar indah di jari manisnya. Itu bukti cinta paling akurat.

“Sangat,” jawab sosok cantik tersebut.

“Kalau begitu, kau harus menyimpan cincinnya, Miss—”

“Bagaimana kalau aku tidak bisa bergerak maju untuk menjalani hidupku sendiri karena terus-menerus melihat cincin itu? Kau tahu, aku ingin melepas bebanku yang ini. Aku ingin berdamai dengan diriku sendiri, Horizon Devoss.”

Musim panas
New York, 29 Juni
20.03 p.m.

“Apa? Kau apa? Menikah, Sky? Hahaha ... dengan siapa katamu tadi? Horizon Devoss? Hahaha ....”

Sumpah demi Neptunus! Ingin kusiram kepala botak Storm menggunakan sake di meja. Bisa-bisanya dia tertawa sekencang itu ketika mendengarku mengumumkan soal pernikahanku dengan Horizon di restoran sushi milik Hiro. Oh, tidak hanya itu, dua personel pria lain The Balck Skull juga mengikuti jejaknya, kecuali Mr. Reece yang tampak berpikir keras sambik menekuri piring sushi.

“Hahaha ... ini konyol. Hahaha ... aku bahkan masih ingat beberapa pekan lalu kau mengakui penthouse-ku sebagai tempat tinggalmu supaya tidak diketahui Horizon. Sekarang, kau malah akan menikah dengannya. Aku yakin dia sudah berhasil menjeratmu,” tambah Storm sebelum meraih botol sake kemudian menenggak isinya.

“Kau selalu kucing-kucingan dengannya. Rupanya sekarang sudah lelah ya, Sky?” tebak Rain mirip paranormal abal-abal.

“Well, terserah kalian saja,” jawabku datar disertai gidikkan habu ringan.

Sementara Rigel menunjukku menggunakan sumpitnya. “Sialan kau, Sky! Kau mendahuluiku untuk menikah. Padahal aku belum melamar Meghan.”

Sekali lagi aku mengedikkan bahu ringan untuk menjawabnya. Berikutnya mengangkat tangan untuk memanggil Hideyoshi. Keinginan memakan sushi lebih jauh meletup-letup dalam kepalaku daripada menaggapi lelucon mereka. Di waktu yang sama, Mr. Reece membuka suara.

“Apa kau sudah memberitahu ibumu?” tanya manager the Black Skull tersebut.

“Sudah. Karena itu aku mengundang Anda dan teman-teman untuk memberitahu berita ini,” balasku.

Hideyoshi sudah tiba di meja kami. Pria itu lantas tersenyum penuh semangat. “Suara Storm sangat keras, jadi apa itu benar? Kau akan menikah dengan Horizon, Sky?”

“Yes, exactly,” jawabku datar, “ngomong-ngomong, aku mau sushi lagi, Hideyoshi.”

“Aku juga, sama dengan Sky,” sahut Katerine dan Lea seremopaj.

“Oke, akan kubuatkan setelah aku memberitahu Hiro.” Sebelum aku bisa membungkam mulutnya, Hideyoshi sudah berjalan ke belakang pantri sambil berteriak, “Hiro, kesayanganmu akan menikah dengan Horizon Devoss!”

Orang yang dipanggil langsung melesat keluar dari bilik dapur. Dengan kedua tangan bertotak pinggang, Hiro berhenti di depan meja kami. “Oh Tuhan ... aku sudah menduganya. Kalian harus tahu, beberapa waktu lalu, Sky mengajak Horizon ke sini untuk berkencan.”

“Ck, kenapa semua orang menjadi heboh? Ini sama sekali bukan masalah besar!” teriakku. “Well, malah kupikir seharusnya aku tidak memberitahu kalian. Tapi, harus.”

“Kalau begitu, kau harus mengundangku jadi pembuat makanan di pestamu,” bisik Hiro.

Hideyoshi datang membawa sushi pesananku, Katerine dan Lea. Maka tak bisa kutahan lagi hasrat ingin memakan sushi ini.

Kucomot sebuah lalu menyuapkan ke mulutku. Sontak saja indra pengecapku bahagia, bibirku bergetar-getar karena sushi ini sangat lezat. Setelah menelannya, aku baru menjawab Hiro. “Tentu saja. Akan kumasukkan kau ke daftar chef-ku.”


Hiro pun senang dan kembali ke dapur sibuknya.

“Ngomong-ngomong, kenapa Horry dan kau ingin mengadakan pesta besar? Maksudku kau tahu kalau kalian hanya ... ya intinya itu,” bisik Katerine ketika Lea sedang mengobrol dengan yang lain.

Lagi-lagi aku harus bergidik ringan untuk menjawab Katerine. “Entahlah. Yang penting saat ini aku sudah menghapus daftar kekhawatiranku terhadap momster yang akan menguasai aset ibuku berkat Horizon.”

“Lalu bagaimana respons momster?”

“Terpaksa setuju karena aku, ayahku, Horry dan Mr. Thunder menekannya dengan jawaban logis.” Aku sedikit mendengkuskan tawa kala mengingat wajah kalah momster beberapa waktu lalu.

“Dan apa kau pikir wanita gagak hitam itu benar-benar setuju?”

Dasar Katerine kurang ajar! Berani-beraninya sahabatku yang satu ini melempar gagasan bak paranormal profesional yang meramal nasibku dengan keakuratan 100 persen.

Bagaimana tidak? Keesokan lusa ketika kami latihan untuk persiapan tur Asia, momster tiba-tiba datang dengan sekumpulan orang yang sangat familier. Katanya, “Mulai hari ini, band Lupara akan berlatih bersama kita. Karena akan ada proyek kolaborasi setelah tur Asia kita.”

Dan aku bisa melihat senyum penuh rikuh disertai kasih sayang dari Alton Mason yang ditujukan padaku.

Argh! Dasar ibu tiri monster!

I’m in big troble.

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo

Bonus foto my twin, Skylar Betelgeuse

dan Horizon Devoss

Well, See you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Kamis, 3 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top