Chapter 12

Selamat datang di chapter 12

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo

Thanks

Hapoy reading everybody

Hope you enjoy and love this story as well

❤❤❤

______________________________________________

Your sad face really kiss my mind every second ... all day long ....
So, I want you to realize ... that I and around the world will be your happiness

—Happiness is Us
(A new song of the Black Skull)
______________________________________________

Musim panas
New York, 24 Juni
19.01 p.m.

Tentu saja makan malam bersama keluargaku dan Skylar merupakan ide terbaik. Namun, dengan maksud dan tujuan bercabang.

Di satu sisi, kami memang membutuhkan restu dari kedua belah pihak. Di lain sisi, walau ada darah River yang mengalir deras di setiap pembuluh nadiku, tetapi tidak bisa kutampik bahwa aku benar-benar belum siap bertemu dengannya karena berbagai alasan. Dan alasan utamanya karena aku merasa kacau.

Perlu kau ketahui, River-lah yang berperan sangat penting terhadap hubunganku dan Skylar hingga bisa menjadi seperti sekarang. Walau terlepas dari itu, banyak yang harus dikorbankan.

Kau pasti bertanya, apabila River merupakan keluargaku, kenapa tidak diundang makan malam bersama sehingga bisa berdiskusi dalam satu kali kesempatan? Bukankah lebih efektif dan efisien?

Yah ... seandainya dia bisa.

Harapan terbesarku juga demikian.

Well, sehari sebelum kedua belah pihak keluarga mengkonfirmasi kapan jadwal kosong mereka, aku meminta Johnson melakukan reservasi di restoran fine dining boga bahari Le Bernardin yang mendapat tiga bintang Michelin.

Setidaknya menu-menu di sana merupakan makanan teraman bagi tenggorokan Skylar. Aku tidak ingin merusak konser The Black Skull hanya karena tenggorokan vokalisnya bermasalah akibat salah makan. Pasti akan banyak buntut perkara seandainya itu terjadi.

“Semua sudah beres, Sir,” lapor sekretaris yang merangkap sebagai asisten pribadiku ketika jam kantor baru saja usai.

“Terima kasih,” balasku, “pulanglah dan istirahat, John.”

Setelah pria tersebut meninggalkan ruanganku, gawai dalam saku celana kerja menjadi sasaran tanganku untuk menelepon Skylar. Pada dering keempat, dia baru mengangkatnya.

“Halo,” sapanya.

Aku ingin mengakui bahwa aku selalu menyukai suara serak-serak basah bin merdu calon istriku dari dulu. Dari pertama kali kami berjumpa. Apalagi, kala itu dia sedang melantunkan lagu—kendati liriknya diubah seenak jidat.

“Sebaiknya kita berangkat bersama nanti malam. Jadi, di mana aku bisa menjemputmu?” tanyaku yang langsung mengarah pada inti pembicaraan serta maksudku menelepon Skylar.

“Oke, aku akan menukar bajuku dulu. Jadi, tolong jemput aku di apartemen.”

“Apa aku perlu mengantarmu pulang, sekarang?”

Tawa Skylar kontan meledak. “What a sweet, Horry. Tapi tidak, terima kasih. Kau juga tahu jarak apartemenku dengan studio ini bisa ditempuh dengan jalan kaki hanya dalam sepuluh menit. Sedangkan jarak kantormu ke studioku hampir dua puluh menit. Haha ... aku bisa membayangkan kekonyolan di sini.”

“Great,” bisikku, kemudian bersuara normal. “Kalau begitu sampai jumpa nanti malam. Hati-hati kalau menyeberang premonade dan telepon aku kalau sudah sampai.”

Saat ingin aku memutus sambungan telepon, Skylar memanggil, “Horry ....” Suaranya pelan, syarat akan kehati-hatian.

Aku lantas bergumam sebagai jawaban. Pada saat bersamaan, samar-samar suara Katherine tertangkap runguku. “Katakan kau mencintainya, Sky.”

Kemudian suara Skylar membalas sahabanya. “Sshh! Apa kau sudah gila, Kate?”

“Ck, ingat misimu,” bisik Katherine lagi.

Kedua kelopak mataku lantas memejam sebentar, mengiringi senyum masam yang melekuk tidak rela di bibirku. Punggunggku pun melesak, lalu aku memutar kursi kerja menghadap lanskap kota New York dari ketinggian lantai sepuluh. Jingga menyirami gedung-gedung sontak menjadi sasaran pengelihatanku. Berharap pemandangan ini bisa menjadi pengalihan obrolan dua wanita tersebut.

Namun, otak dalam batok kepalaku tetap memikirkannya ; tentu saja semuanya karena misi. Memangnya apa lagi?

“Horizon ...,” panggil Skylar pelan. “Apa kau masih di sana?”

Aku menghela napas pendek pelan. “Ya, aku menunggumu bicara.”

“Em ... ya ... maaf, Kate sedang sedikit menggangguku,” balasnya, “em ... aku hanya ingin mengatakan ... hati-hati di jalan. Kau juga. Telepon aku kalau sudah sampai. Dan ... Horry ..., aku mencintaimu!” Khusus dua kata terkahir, Skylar mengatakannya dengan kecepatan cahaya sebelum menutup telepon tanpa menunggu responsku.

Sungguh aku ingin meledakkan tawa kencang-kencang.

Ya Tuhan ... sesungguhnya pernikahan macam apa yang akan kuhadapi bersama Skylar Betelgeuse nanti?

Aston Martin-ku sudah menepi di lobi apartemen Skylar. Seperti biasa, wanita itu sudah menunggu di sana, padahal aku ingin menjemputnya di apartemen. Selayaknya pria gentle yang memperlakukan wanita bak ratu. Namun, ini Skylar Betelgeuse. Dia jelas memilih cara terpraktis untuk melakukan sesuatu.

Dan aku tidak bisa tidak memuji penampilan calon istriku ketika pelukan singkat diberikannya padaku sebelum kubukakan pintu mobil untuknya.

“Actually, I can do this alone, but I appreciate it. Thanks, Horry,” pungkasnya sebelum duduk dan memakai seatbelt.

Setelah memutari bagian depan mobil menuju kursi kemudi dan duduk, sembari memakai seatbelt, aku baru memuji, “You’re pretty good in simple black dress like this.”

“Thanks, you’re too. I mean, almost in every where and in every condition, wearing suit.”

It’s dinner with our family. I think I have to.”

“Horry, kalau kau ingin memberi ayahku kesan, tenang saja. Kau sudah mendapatkannya dari dulu.”

Bahuku mengedik ringan dan tak membalas ucapan Skylar lagi lantaran fokus berkendara menyusuri jalanan New York yang selalu ramai dan padat. Sepanjang perjalanan, wanita di sampingku menghidupkan radio dan mencari-cari acara pemutaran lagu. Bila menemukan yang cocok, dia ikut bernyanyi.

“Kau harusnya merasa beruntung, Horry.”

Aku menaikkan sebelah alis. “Beruntung karena?”

“Bisa mendengarkan aku konser dalam mobilmu,” jawab Skylar riang. Tangan wanita itu berpose mirip memainkan gitar lalu melanjutkan senandungnya yang sempat tertunda. “Banyak orang harus mengantre dan berdesakan untuk membeli tiket konser the Balck Skull,” imbuhnya

Mau tak mau senyum tipis di bibirku terbentuk dengan sendirinya. “Ya, kau benar,” gumamku.

“Dan kau selalu membeli seluruh waktu jumpa penggemarku,” tambah Skylar.

“Itu juga benar.”

Dalam waktu lima belas menit, kami akhirnya tiba di restoran. Kali ini aku meminta jasa valet untuk memarkir mobil sehingga bisa fokus pada Skylar.

Setelah keluar dari kendaraan, wanita itu memejam. Sebelah tangannya menekan dada sambil mengeluarkan napas panjang. Kakiku pun secara praktis menggerakkan sendi-sendinya untuk memindah tubuh menghampiri wanita itu. Tanganku terulur memegang punggungnya secara lembut seraya bertanya, “Gugup, huh?”

Skylar menoleh padaku. “Lucu sekali pertanyaanmu, Horry. Memangnya kau tidak?” Dengan kedua alis mengerut, dia memelototiku yang setengah tersenyum tipis.

Sebenarnya aku tidak tahu kapan ini terjadi. Namun, akhir-akhir ini aku jadi sering tersenyum, walau sedikit. Tepatnya kala berada di dekat Skylar, kurasa.

“Tentu saja,” balasku untuk memuaskan rasa dahaga tebakknya.

Hei, aku tidak sedang membual sekarang. Gugup sudah menyerangku semenjak meninggalkan penthouse. Beruntungnya sempat teralihkan oleh konser Skylar sepanjang jalan.

Lagi pula, siapa yang tidak gugup ketika akan mengumumkan rencana pernikahan pada keluarganya? Walau respons kedua belah pihak sudah bisa ditebak ; ayahku dan ayah Skylar sudah pasti setuju. Malah kupikir akan sangat senang. Namun, jelas tidak bagi momster.

Aku menekuk tanganku dan mendekatkannya pada Skylar supaya dia bisa menggamitnya. Kami lantas berjalan dari pintu depan menuju meja reservasi Johnson atas namaku di dekat dinding kaca dengan suguhan lanskap langit malam. Rupanya, ayahku, Mr. Flint, dan momster sudah tiba lebih dulu. Mereka tampak menikmati minuman pembuka sambil mengobrol.

“Kurasa itu pertanda bagus.” Lewat tatapan mata, aku menunjukkan Skylar para tetua yang tertawa, kecuali momster. Wanita paruh baya bergaun perak itu hanya tersenyum singkat ketika menanggapi gurauan kedua pria seumurannya.

“Akhirnya bintang utama kita datang,” sapa ayah. Beliau bersama orang tua Skylar meletakkan gelas minuman pembuka kemudian berdiri untuk menyambut kami.

Secara praktis, Skylar melepaskan gamitannya dari lenganku untuk memeluk para tetua satu per satu. Begitu pula denganku. Ketika gantian merengkuh Mr. Flint, punggungku mendapat tepukan yang terkesan hangat dan bersahabat.

Pada detik berikutnya, salah satu pramusaji datang untuk mengisi gelasku dan Skylar dengan minuman pembuka serupa. “Terima kasih,” ucapku, “tolong hidangkan menu pembuka sekarang.”

Untuk beberapa waktu yang sedikit singkat, roti bakar tuna bulu babi sudah terhidang di meja. Kami menyantapnya sambil mengobrol. Setelah menanyakan kabar dan kesibukan masing-masing, ayah berucap, “Kita harus sering-sering meluangkan waktu seperti ini untuk makan bersama anak-anak kita.”

Mr. Flint menelan makanannya sebelum menjawab, “Benar. Tapi harus kuakui, aku benar-benar sibuk. Kemarin malam aku dan Revina baru saja tiba di New York.”

“Tapi semuanya berjalan lancar, bukan?”

“Beruntungnya seperti itu.” Ayah Skylar mengangguk. Selanjutnya melihatku dan Skylar yang duduk bersebelahan secara bergantian. “Sebenarnya aku sangat penasaran. Kenapa tiba-tiba kalian mengundang kami makan malam seperti ini pada weeksday?”

Gerakan mengunyah Skylar sontak berhenti. Diletakkannya pula alat makan. Dia meneguk air mineral sebelum mata bulat yang tampak polos itu berserobok denganku yang kebetulan sedang melihatnya selayang pandang.

Jadi, aku meraih tangan kiri Skylar untuk menunjukkan cincin emas putih bertabur butiran-butiran berlian sederhana yang kemarin kami beli. Rasa dingin sontak menjalar ke seluruh permukaan telapak tanganku, pertanda dia gugup.

Kini semua mata di meja tertuju padaku, menungguku menerangkan, “Beberapa waktu lalu aku melamar Skylar lagi, dan akhirnya mendapatkan jawaban ‘ya’ darinya. Karena tidak ingin dia berubah pikiran, jadi, aku mengajaknya berdiskusi soal rencana pernikahan dalam waktu dekat. Lucky me, she agreed. Jadi, aku ingin memberi kabar ini sekaligus meminta restu Dad, Mr. Flint dan Mrs. Revina.

Baik ayah mau pun Mr. Flint sontak membalalak dan menarik sudut-sudut bibir mereka membentuk garis cekung bernama senyuman. Kebahagian yang terpampang jelas membuat keduanya berteriak riang sambil berpelukan, lalu menghampirku untuk memelukku dan Skylar secara bergantian. Lengkap dengan ucapan selamat. Ketika kembali duduk, Mr. Flint memanggil pramusaji untuk memesan sampanye.

“Aku tahu kau pasti akan mengatakannya, Horry!” seru Mr. Flint yang masih mengudarakan tawa setelah pramusaji tadi meninggalkan meja kami. “Kau tahu, hanya perlu sedikit usaha lebih keras untuk mendapatkan hati Langit-ku.”

Skylar tersenyum, tetapi kelihatan tertekan. Meski demikian, dia tidak membuka mulut untuk sepatah kata pun yang bertujuan menanggapi kelakar ayahnya. Sedangkan momster menunduk sambil melihat gelas lalu meraih minumannya untuk meneguknya dengan takzim. Barulah menanggapi, “Apa kalian yakin tidak tergesa-gesa?”

Aku melihat Skylar yang menunduk dan menatap makanan pembukanya dengan tatapan menerawang. Kemudian, aku beralih ke momster lagi. “Kalau bisa besok, aku pasti akan menikahi Skylar besok.”

“Aku kira sudah memberitahumu soal jadwal putriku yang penuh sampai tahun depan. Aku pikir sebaiknya menundanya. Jangan di tahun ini.”

Setelah meneguk minumannya, Mr. Flint mengibas tangan di depan momster. “Sayang, ini berita bahagia. Tidak baik menunda-nundanya.”

Wanita itu melihat suaminya. “Aku hanya mengkhawatirkan jadwal putri kita.”

“Aku setuju dengan Flint, Revina,” sahut ayah. “Ini berita baik. Sebaiknya segera disegerakan.”

“Jadwalku free selama hampir dua bulan ke depan sebelum tur Asia. Jadi, aku menyetujui Horizon yang mengajakku menikah sebulan lagi,” timpal Skylar yang akhirnya angkat bicara.

Dua pria paruh baya tersebut mengangguk lalu tertawa riang lagi. Dan Mr. Flint kembali menukas, “Nah, rupanya mereka sudah berencana demikian. Tidak perlu khawatir, Sayang.”

Momster berbalik tanya, “Tapi bagaimana dengan jadwalmu sendiri?”

“Akan kusesuaikan, jangan khawatir, Sayang,” jawab Mr. Flint sembari mengusap punggung momster.

Aku pun memungkas, “Kami juga menunda punya anak untuk jadwal Skylar.”

“Oh, great.” Mr. Flint mengangguk lalu kembali melihat istrinya.Walau aku sudah tidak sabar ingin menimang cucu—”

“Kau pikir aku tidak, Flint?” potong ayah.

Mr. Flint tertawa pendek lalu melanjutkan bicara pada momster, “But look, they are doing great.”

Momster lantas tersenyum tipis. “I know.”

Ayah pun mendesah keras dengan wajah berubah sedih. “Seandainya ada River.”

“Dia pasti senang,” tanggap Mr. Flint sambil menepuk-nepuk pelan pundak ayah. Suara beliau pun rendah.

Aku sontak menunduk dengan pikiran berkecambuk. Tadinya, kupikir bisa mengatasi ini dengan penundaan kunjunganku ke River. Rupanya, dugaanku keliru. Aku masih tetap sama.

Ketika suana di meja makan kami berubah senyap, hanya helaan napas masing-masing yang terembus seolah sebuah kompetisi, tiba-tiba sengatan kecil kurasakan membajiri bahu kananku. Sedikit menoleh, aku mendapati Skylar bersandar, tetapi pandangannya menyita ke depan.

Dia juga menukas, “Sebenarnya, kami berencana mengunjunginya akhir pekan ini.”

Terima kasih sudah mengantarku, Horry,” ucap Skylar ketika kami berdiri di depan pintu apartemennya.

“Sama-sama. Kalau begitu aku pulang dulu.”

Baru saja aku hendak memutar tubuh, Skylar memanggil. Jadi, aku menghadapnya kembali untuk menunggunya bicara.

“Apa kau mau masuk? Sebentar?” tawar Skylar yang secara otomatis menimbulkan pertanyaan baru. Ditambah dengan wajah khawatir seperti itu, membuat otakku tidak mudah percaya padanya. Kira-kira, sandiwara apa lagi kali ini yang ingin dimainkannya sebagai wanita yang jatuh cinta padaku?

“If you don’t mind,” tambah Skylar.

Sembari memasukkan kedua tangan di saku celana bahan, aku menatap pantofelku selama beberapa detik. Berhubung penasaran, aku memutuskan menyetujuinya. “Sure. Why not?”

Skylar memintaku duduk di ruang tamu mungilnya sementara dia melepas sepatu hak tinggi hitam yang sangat cocok di kaki jenjangnya, lantas meletakkannya di lemari sepatu dekat pintu masuk. Selanjutnya menuju dapur dan berteriak, “Apa kau ingin jus botol? Maaf aku tidak punya bir kaleng.”

“Ya, boleh.”

Tidak lama kemudian, dia datang membawa segelas jus jeruk. “Ini dia, minumalah. I’ll be right back.”

Skylar menuju salah satu ruang lalu kembali membawa gitar. “Ekhm ... ekhm ...,” dehamnya sebelum berkata, “Aku ingin kau mendengarkan konserku sekali lagi, Horry.”

Tanpa sadar aku mendengkus karenanya. “Oke, baiklah.”

Senar-senar gitar digenjreng sekali oleh Skylar. Kedua kelopak matanya memejam sebentar, kupikir akan segera bernyanyi, ternyata dia berbicara lagi. “Ini lagu baru the Black Skull, jadi sekali lagi kau beruntung mendengarnya dulu. Dan jangan katakan pada siapa pun.”

“Apa aku terlihat seperti orang yang suka mengadu?” tanyaku.

Skylar mengatupkan bibir rapat sambil mengernyit, “Who knows?”

Sekali lagi Skylar berdeham. Jari-jemarinya sudah siap memetik senar-senar gitar. Dia bersenandung sekali sebelum bernyanyi. Suara khasnya segera memenuhi runguku bersama petikan-petikan gitar.

“Your sad face really kiss my mind every second ... all day long .... So,
I want you to realize ... that I and around the world will be your happiness ....”

Wanita itu menggerakkan rambut pirangnya ke belakang punggung, lantas meletakkan gitar di sofa sebelahnya yang duduk di dekatku. “Bagaimana menurutmu lagu baru The Black Skull?”

“Sounds very well. Tapi, kenapa kau ingin aku mendengarkannya?”

Skylar menunduk. “Aku berusaha menghiburmu. Aku tahu kau tidak tenang sejak kita merencanakan pergi mengunjungi River. Lalu, tadi ... suasananya berubah aneh.” Kemudian dia menatapku. “Dengan ini, kuharap kau menikmati lagu baru kami dan bersemangat kembali. Ngomong-ngomong judulnya Happiness is Us.”

Aku meneliti setiap sisi wajah Skylar. Melalui tatapan matanya, aku mencoba menelisik lebih jauh, berusaha mencari kepura-puraan yang disembunyikan di balik tingkah lakukanya kali ini. Namun, tidak terbukti.

“Can I hug you for a while, Sky? I think I need it.”

Tanpa diperintah dua kali dan banyak cakap, Skylar memelukku begitu erat. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang kencang. Meski demikian, wanita ini mengusap punggungku yang bagai orang lemah. Katanya, “Tenanglah, aku bersamamu, Horry.”

Dan aku pun tidak peduli lagi kalau apa yang dilakukan Skylar hanya pura-pura atau sungguhan. “Sky, boleh aku menginap malam ini?”

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen

Thanks juga yang masih mau baca dan menunggu cerita ini

Kelen ngeten pun 👍

Bonus foto Horizon Devoss

Bonus juga foto Skylar Betelgeuse

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Devoss
👻👻👻

Jum’at, 28 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top