Chapter 11
Selamat datang di chapter 11
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (hobi yang susah dihilangkan sebagai kodrat kesalaham human)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤️❤️❤️
_____________________________________________
Menurutku hidup seperti itu sangat di bawah tekanan dan membosankan
—Skylar Betelgeuse
_____________________________________________
Musim panas
New York, 17 Juni
21.03 p.m.
Tidak perlu menunggu waktu bergulir barang sedetik pun. Secepat kilat menyambar-nyambar bagai akar yang merebak di langit, tubuh Horizon langsung menegang akibat kalimatku yang terakhir. Aku tahu itu.
Kendati dia selalu menggunakan kalimat bualanku tentang betapa aku mencintainya untuk menekanku, tetapi kenyataanya akulah yang justru menekannya sedemikian rupa. Dan walaupun menurutku dia sangat menyebalkan, Horizon yang terlihat rapuh seperti ini sangat mampu menarik simpatiku. Meski kondisinya saat ini jauh lebih baik ketimbang dua tahun lalu.
Secara implusif, aku melingkarkan lengan-lenganku pada tubuh liatnya yang atletis. Kepala Horizon yang menunduk jatuh di pundakku, dan aku mengusapnya lembut. Beriringan dengan lengan-lengannya yang semakin rapat melingkari tubuhku, akan tetapi tidak sampai pada tahap membuatku sesak napas—meski skinship seperti ini menjadikan napasku seolah hilang entah ke mana.
“Maaf, Horry. Aku tidak bermaksud membuatmu seperti ini. Aku hanya ... hanya ....” Hanya apa? Aku kehilangan kata-kata begitu saja. Padahal ingin mengatakan bahwa aku merindukan River dan ingin mengatakan kalau pada akhirnya aku dan Horizon akan menikah.
“Tidak apa-apa. Ayo kita pergi ke River akhir pekan ini,” pungkasnya, bersuara jauh lebih berat dari biasanya. Aku menduga dia sedang berusaha tegar. Dan jawaban itu membuat tubuhku bergetar.
“And, stay here tonight, Sky,” imbuhnya.
Aku mengira itu hanyalah akal-akalan Horizon untuk bisa menguasi diriku seperti malam dan pagi akhir pekan lalu. Rupanya, sangkaan itu tidak terbukti. Seusai kami bergantian mandi—karena tidak membawa pakaian ganti, aku meminjam kaus abu-abu dan boxer hitam pria itu—Horizon menepuk tempat sebelahnya tidur lalu memelukku. Just it.
Meskipun demikian, untuk alasan yang tidak kumengerti, jantungku justru bekerja lebih ekstra dibandingkan dengan akhir pekan kemarin. You know, aku kelelahan dan tidur dalam pelukannya begitu saja setelah melakukan kegiatan dewasa kami. Tidak sempat memikirkan perasaan malu atau apa pun.
“Apa ini juga latihan untuk jadi suami istri?” tanyaku, hanya sebuah keisengan semata sekaligus untuk mencairkan suasana.
“Cudling and pillow talk?” Horizon berbalik tanya.
“Kurasa,” jawabku ringkas lalu menggigit bibir bawah. Beruntungnya posisi Horizon membelakangiku. Sehingga aku tidak perlu menampilkan wajah rikuhku.
Sebenarnya, aku merasa ini sangat konyol. Beberapa hari lalu aku selalu mengkonfrontasinya dengan kata-kata dan tindakan untuk menjauhiku sebab risi dengannya. Namun, sekarang, kami malah jadi seperti ini.
“Anggap saja begitu.” Dari balik punggungku, suara Horizon terendam oleh kepalaku.
Untuk beberapa waktu yang singkat, aku sedikit tersentak sekaligus bernapas lega ketika merasakan dia melepas pelukannya lalu bangkit dan berkata, “Aku hampir lupa satu hal.”
Aku pun lantaran memosisikan diri duduk dan melihat pria itu menuruni kasur serta berjalan ke arah laci yang bersebelahan dengan rak buku mini samping nakas. Punggungnya menunduk, sementara tangannya meraih gagang laci nomor dua dan mengambil kotak beludru merah berbentuk hati yang beberapa hari lalu pernah kulihat.
“Kita sudah sepakat menikah, jadi ini milikmu sekarang,” pungkasnya kala sudah duduk di tepi ranjang dan aku pun mengambil cincin itu dari kotaknya untuk mengaguminya.
Kalau boleh jujur, baru pertama kali ini aku dilamar seorang pria, apalagi sampai tiga kali. Dulu aku mengharapkan Alton Mason yang melakukannya, bahkan sempat membayangkan mendandani anak-anakku dengan baju ala rocker, seperti aku dan dia. Sekarang, jelas tidak mungkin. Jadi, sebenarnya aku cukup terkesan dengan kegigihan Horizon.
“Sedikit kekecilan,” komentarku, merasa konyol begitu mencoba menjejalkan cincin tersebut ke jari manis kiriku dan menemukan ukurannya tidak pas.
Kedua alis Horizon naik. “Kupikir kau sekurus itu,” pendapatnya sambil membolak-balik telapak tanganku dan berusaha menjejalkannya lebih dalam, tetapi gagal.
Aku tersenyum culas. “Apa aku harus berterima kasih dengan kata-kata itu? Berarti kau menganggapku kurus alias tidak gendut.”
“Kuserahkan padamu. Wanita memang selalu suka dianggap kurus yang menurut mereka itu termasuk kategori seksi. Well, ya sudah. Kalau begitu sepulang kerja besok, kalau kau tidak lelah kita pergi beli cincin dan menenui wedding organiser,” pungkas Horizon setelah mengambil cincin dari jari manisku dan meletakkannya kembali di kotaknya serta kembali menyimpannya di laci. Barulah merebahkan tubuh di posisinya tadi sambil menepuk kasur supaya aku ikut merebahkan diri di sana.
Tentu saja karena sedang berperan sebagai orang yang jatuh cinta, dalam pembuktiannya aku mematuhi perintah tersebut. Kurakit senyum yang kuusahakan setulus mungkin, kemudian memberanikan diri mengecup pipi pria itu sambil mengucapkan, “Terima kasih, Horry. Selamat tidur.”
Aku menenggelamkan diri dalam pelukan Horizon yang kurasakan sedang membenahi selimut untuk membalut tubuh kami, lalu mengeratkan pelukannya sambil mencium puncak kepalaku.
Dan setelah kupikir lebih dalam menggunakan nurani, berhubung dia sudah berbaik hati ikut menyelam dalam acaraku menyelamatkan aset ibu, diam-diam aku memikirkan balas budi yang setimpal. Namun, dengan apa ya?
Kuhitung hingga sepuluh detik lamanya, tetapi menemukan kebuntuan lantaran tidak bisa konsentrasi akibat posisi kami. Ah, ya sudah. Sebaiknya kupikirkan lebih lanjut setelah menikah.
Musim panas
New York, 18 Juni
06.10 a.m.
Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bila tidurku bisa sesenyak ini hanya karena berbantal lengan Horizon yang kokoh. Melihat tidak adanya keluhan dari pria itu, bisa kutarik kesimpulan dia tidak kesemutan. Sepertinya dia juga tidur nyenyak.
Sementara Horizon olahraga di treadmill, aku membuat sarapan kilat berupa makanan dietku sama seperti akhir pekan kemarin. Yakni penekuk oat yang kucampur telur serta susu rendah lemak tetapi tinggi kalsium—sama sekali tidak memakai minyak sewaktu memanggangnya. Plus campuran antara jus wortel, tomat, apel tanpa air dan tanpa gula tambahan.
Aku sangat bersyukur masih ada sisa bahan-bahan tersebut di kulkas dapur Horizon. Namun, bagian paling penting adalah pria itu tidak pilih-pilih makanan alias menerima menu dietku tanpa melayangkan protes sedikipun. Malah, aku mendapatinya memuji masakanku. Katanya, aku sudah bisa jadi istri yang baik. Ew.
Sebelum mengantarku ke studio untuk bekerja, pria itu mengantarku ke apartemenku lebih dulu supaya aku bisa menukar baju Horizon yang kukenakan dengan kaus hitam kasual yang biasa menjadi outfit-ku bila sedang bekerja, jin hitam sobek-sobek, bot hitam, dan rambut berkucir ekor kuda. Aku juga membawa tas selempang kasual hitam.
Sebenarnya, aku ingin ke studio sendiri karena letaknya di depan gedung aparetemenku. Hanya butuh berjalan kaki sekitar sepuluh menit dengan menyebrangi premonade lampu merah dan aku sudah tiba. Namun, Horizon jelas tidak setuju. Katanya, dia ingin mengantar calon istrinya bekerja. Ew.
“Walau sudah sering melihatmu dan teman-temanmu mengenakan pakaian seperti ini untuk bekerja selama dua tahun, entah kenapa aku masih takjub sampai sekarang,” komentar Horizon begitu mobilnya mulai menyeberang jalan.
Aku melihat kausku sekilas lalu membandingkannya dengan apa yang dikenakan Horizon dari ujung kepala hingga ujung kaki. Terutama pada setelan kerja resmi hitam, rambut yang ditata rapi bin klimis, serta pantofel hitam mengilatnya. Lantas menduga, “Kenapa? Kau iri?”
Pria itu setengah mendengkus, setengah tersenyum. “Jujur saja, iya, aku iri.”
Bayangan Horizon mengenakan pakaian seperti yang kukenangan menari-nari dalam pikiranku. Berbalut kaus hitam bergambar tengkorak putih besar, jin sobek, rambut gondrong sebahu, cambang lebat mirip Storm yang botak, bot hitam, dan menggigit sebatang tusuk gigi ke mana-mana atau mengembuskan asap rokok di sana-sini.
Intinya, aku membayangkan dia bersikap cengengesan dan sering kali mengabaikan pandangan umum masyarakat tentang suatu hal, serta kadang-kadang melanggar peraturan yang ada—kecuali peraturan lalu lintas—seperti semua personel The Black Skull.
Bukan Horizon yang selalu taat aturan dan selalu memenuhi standar pendapat masyarakat, atau bahkan kadang melebihi yang mereka harapkan. Menurutku hidup seperti itu sangat di bawah tekanan dan membosankan. Seharusnya dia bersyukur karena bergaul denganku sehingga hidupnya lebih seru dengan cobaan menghadapi sikapku yang menurutnya di luar nalarnya, bahkan akan menjadi suamiku bulan depan. Aku berani menjamin pria itu tidak akan kaku lagi. Mungkin lebih asyik.
Aku ingin membebaskan tawaku supaya memenuhi mobil Horizon akibat bayangan itu. Sayang sekali, Aston Martin hitam pria tersebut tiba di lobi studio lebih dulu. Seharusnya dia berterima kasih padaku karena lebih memilih melepas seatbelt dan mengambil tas selempangku di jok tengah untuk bersiap turun ketimbang mengejeknya habis-habisan.
“Thanks, Horry,” ucapku tulus, dengan tawa senang akibat bayangan tadi yang masih senantiasa mengisi kepalaku pagi ini.
“Aku akan menjemputmu nanti.”
“Hati-hati di jalan, hubungi aku kalau sudah sampai kantor ya?” balasku yang sedikit mual ketika mengatakannya. Apalagi dengan lambaian tangan, menanti pria itu membalas lalu menjalankan mobil keluar area studio.
Aku membalik badan dan menemukan petugas keamanan yang berdiri di depan pintu kaca ganda depan sambil memasang senyum penuh arti.
“Aku tahu arti senyummu itu, Allen. Kupastikan kau keluru,” kataku sambil lalu dan melanjutkan jalanku masuk studio.
Sebenarna, studio musik ini sendiri ukurannya tidak jauh berbeda dengan studio musik yang pertama kali menampung The Black Skull di Paris.[3] Bedanya bangunan bernama Harmoni Studio ini berlantai lima. Ada basement sebagai tempat parkir kendaraan.
Lantai ground tempat serespsionis yang depannya ada satu set sofa kulit merah sebagai sarana menunggu tamu. Dengan pajangan-pajangan khas musik serta tanaman-tanaman hias yang memenuhi dinding resepsionis, sedangkan dinding sekitarnya adalah kaca. Ada juga gramofon beserta piringan-piringan hitamnya di dekat sana. Walau tergolong barang antik, tetapi alat tua itu masih berfungsi dengan baik.
Lantai satu berisi ruang-ruang kantor berbagai divisi, termasuk ruangan momster yang kudengar dari Katerine kemarin kalau belum pulang dari Abu Dhabi bersama ayahku. Ada juga ruang rapat dengan proyektor besar sebagai tempat kami berdiskusi resmi—walau jarang karena momster selalu selangkah lebih maju untuk mengurusi hal-hal resmi seperti: tawaran rekaman, kolaborasi musik, konser, dan lain-lain.
Ruang-ruang personel dan asisten yang mirip kamar rias artis teater Broadway terletak di lantai dua. Letaknya berderet dan bagian depannya yang cukup luas diisi dengan satu set sofa kulit merah sama seperti di lantai ground sebagai sarana The Black Skull berkumpul atau membahas lagu kami. Hanya diskusi santai, kadang-kadang kami memesan makanan lewat jasa antar dan makan di sofa tersebut.
Lantai tiga ada dapur rekaman. Berhubung sangat banyak alat yang ada di sana, jadi jangan heran bila satu lantai terisi penuh oleh alat-alat penunjangnya.
Lantai empat ada beberapa ruang musik kedap suara untuk latihan band, dan lantai paling atas adalah kafetaria yang sehat. Beberapa tahun lalu momster mengusulkan penjualan semua makanan tanpa minyak setelah mendapati kami memesan makanan dan kadang-kadang pergi ke luar untuk makan siang dengan menu tidak jelas.
Seperti biasa, ketika baru datang, aku langsung menuju lantai dua dan duduk di sofa bersama personel lain. Sudah ada Storm yang menggebuki lengan sofa menggunakan stik drum-nya. Di seberangnya ada Rigel yang bermain ponsel, juga Katerine yang langsung menggeser posisi duduknya di sofa panjang supaya aku bisa duduk di sebelahnya. Kutebak dia pasti ingin menanyaiku soal Horizon.
Setelah menyapa kedua personel pria itu, Katerine mendukung asumsiku dengan bisikan tanya, “Apa kau semalam menginap, Sky?”
“Ya, begitulah,” jawabku malas, ikut meletakkan tas selempang di sebelahku duduk.
“Jangan lupa minum pilnya.” Sekali lagi Katerine berbisik, kali ini tanpa melepas pengelihatannya dari tablet di pangkuannya.
“Pil?” Aku bertanya dengan kedua kernyitan alis. “Pil apa?” lanjutku, merasa sama sekali tidak sedang sakit. Mualku tadi hanya akibat akting pada Horizon.
“Pil yang diberikan teman Horizon kemarin. Siapa namanya? Ralph Brachii?” Katerine membiarkan aku berpikir.
“Kate, aku tidak melakukannya dengan Horry semalam. We just ... just ....” Aku menggantung kalimat untuk mencari kata-kata yang cocok. Namun, dasarnya tidak ada pendiskripsian sederhana tanpa makna berlebihan selain, “Cudling, pillow talk, slept the hell tight, was having a breakfast together and he sent me here.”
Katetrine kontan menampilkan wajah luar biasa kaget sehingga meletakkan tablet di meja untuk memosisikan diri menghadapku. “Are you serious?” tanyanya dengan pelototan mata.
“A hundred percent serious,” jawabku asal, tetapi benar, lalu bersenandung mengikuti irama gebukan-gebukan Storm.
Sebelum Katerine menanggapi, Lea datang dan menyapa kami. Aku pun membalas sapaan melodis The Black Skull tersebut. Dan seperti biasa, dia bergabung dengan obrolan kami. Walau tidak tahu tentang kontrak itu, tetapi Lea tahu misiku dari awal. Jadi, jangan berpikir aneh kalau dia ikut menimpali.
Tidak selang lama, gosip pagi kami harus berhenti sebab terganggu oleh getaran ponselku yang menandakan mendapat pesan dari Horizon. Katerine dan Lea sontak ikut menilik layar alat komunikasi tersebut yang baru saja kugeser.
Horizon Devoss :
Sudah sampai kantorku.
“Pfftt!” Lea dan Katerine menahan tawa mereka, sementara aku mengembuskan napas sambil memutar bola mata malas. Sejujurnya tidak menyangka pria itu benar-benar menghubungiku.
“Sebaiknya kau memberinya emotikon hati merah,” usul Katerine.
“Hah! Bisa gila aku, Kate!”
Lea berkomentar, “Tidak, Sky! Itu ide terbaik. Ingat tujuanmu!”
Aku menggigit bibir bawah. Sambil berpikir, kucari emotikon tersebut. Beberapa kali aku menekan dan menghapusnya. Dan ketika semua personel datang di jam latihan yang akan segera dimulai, segera kukirim emotikon hati merah itu pada Horizon.
[3] baca Epoque à Paris
Sisa hari itu berjalan cepat. Sesuai janji, Horizon menjemput serta membawaku ke toko perhiasan. Dia sempat menyindir, “Kau tahu, emotikon hati darimu membuatku semangat bekerja, Sky.”
Katerine dan Lea sialan!
“Memang kukirim selain untuk pembuktian cintaku, juga untuk penyemangat. Tidak usah berterima kasih, Horry,” balasku sambil menepuk-nepuk pundaknya.
Dan ketika tidak di Jewelry Store, aku iseng memilih cincin berbentuk tengkorak dan langsung diprotes, “Yang benar saja, Sky. Jangan katakan kau juga menyuruhku memakai itu untuk cincin pernikahan kita.”
Aku mengudarakan tawa, sementara pelayan toko menunduk dan menutupi senyumnya. Horizon pun merampas cincin itu dan memberikannya pada pelayan toko. Lalu mengambil cincin lain. Tanpa persetujuanku, dia membayar cincin yang sejujurnya lebih bagus dari cincin tengkorakku setelah dia menjejalkannya di jariku dan mendapati ukurannya pas. Aku ingin melepas cincin itu, tetapi Horizon terus menggandengku.
Kami juga menemui seorang wanita dan pria yang berprofesi sebagai wedding organiser. Banyak hal yang mereka tanyakan tentang pernikahan yang kami inginkan. Aku, tentu saja sangat bingung. Jelas sekali pernikahan impianku berbeda dengan kebanyakan bangsa manusia jenis kelamin wanita dan tidak mungkin diwujudkan.
Aku pun iseng berbisik pada Horizon. “Kalau kau memakai cincin tengkorak tadi, mungkin kita bisa menambahkan boneka fudu sebagai hiasan.”
Horizon lantas mengeram. “Skylar, kita akan menikah. Bukan akan mengadakan pesta Halloween.”
Aku mengatubkan bibir dan menengok untuk menyembunyikan tawaku. Sedangkan Horizon berkata pada wanita dan pria di hadapan kami. “Kami bingung. Semua pilihannya bagus. Jadi, tolong pilihkan yang terbaik. Berapa pun biayanya.”
“Horry, apa ayahmu akan setuju kalau kau menikahiku?” tanyaku yang tiba-tiba saat berkendara pulang. Merasa jalur rencana dan persiapan kami menikah mendahului hal mendasar. Seperti, meminta restu tetua.
Tanpa memindah fokusnya ke jalan raya, Horizon menjawab, “Yah, kau tahu sendiri bagaimana ayahku sangat menyukiamu. Kau sudah memenangkan hatinya sejak dulu. Jadi, tidak perlu mengkhawatirkannya.”
Aku menggigit bibir bawah dan menelengkan kepala. “Maksudmu, ayahmu salah satu penggemarku, iya kau benar. Tapi maksudku, aku tidak feminin—”
Horizon menghentikan omonganku dengan kibasan tangan. “Tenang saja, ayahku juga sudah tahu sejak pertama kali kita ketemu di North Salim Stable.”
“Oh, begitu rupanya.” Anggukan menjadi pendukungku akan kepahaman kalimat Horizon.
“Aku punya ide yang jauh lebih baik dan lebih praktis soal meminta izin ayahku atau ayahmu dan monster.”
“Apa itu?”
“Kita adakan makan malam bersama untuk mengatakan rencana kita sebelum pergi ke ekhm ... River.” Horizon mengatakan nama kakaknya secara pelan. Lalu mengimbuhkan, “Sebaiknya kita menghubungi orang tua kita masing-masing supaya bisa tahu jadwal kosong mereka.”
_____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen dan benerin typo, kelen luara biasa
Bonus foto Skylar Betelgeuse
Horizon Devoss
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Selasa, 5 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top