Chapter 1
Selamat datang di chapter 1
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (hobi yang sudah mendarah daging)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤️❤️❤️
_____________________________________
Selamat Horry, kau baru saja membunuhku
—Skylar Betelgeuse
_____________________________________
Musim panas
New York, 5 Juni
21.30 p.m.
“Yeah ... everyone has a dark side ... yeah .... Just follow your soul and be your own ....” (Setiap orang memiliki sisi gelap. Hanya ikuti jiwamu dan jadilah dirimu sendiri)
Menuju akhir lirik lagu, aku melepas jari-jemariku pada senar ritem dan berpindah menggenggam standing mic untuk melantunkannya menggunakan nada tinggi. Suaraku seirama iringan melodi serta bass yang dipetik, organ yang ditekan, juga drum yang dipukul kencang-kencang. Semua personel memainkan alat musik keahliannya dalam satu kunci nada dan musik rock pun tercipta memenuhi seluruh penjuru panggung. Bercampur baur dengan suara penggemar The Black Skull yang ikut melantunkan lagu grup band kami.
Aku melihat lampu batang berwarna kuning neon yang penonton ayun-ayunkan serta spanduk dan poster-poster berlogo The Black Skull sambil mengambil mik untuk berjalan mendekati mereka. Membawa gitarku ke belakang punggung, aku sedikit menunduk untuk mengacungkan mik tersebut supaya suara penonton dekat panggung yang bernyanyi masuk sound system.
Tak lama kemudian, aku menegakkan tubuh, memutar gitarku untuk membenarkan posisinya, dan memindah berat tubuh kembali ke standing mic berada. Usai meletakkan mik di tempatnya, aku memejamkam mata dan mengangkat satu tanganku yang dilingkari gelang kulit hitam berduri-duri besi untuk melantunkan lirik terakhir bernada tinggi dan kami pun mengakhiri konser.
“Terima kasih semuanya. Sampai jumpa lagi dan selamat malam.”
Suara tepuk tangan penonton memenuhi panggung. Sekali lagi aku mengacungkan tangan dan melambai pelan dengan napas menderu lalu menunduk untuk memberi hormat serta mundur. Lampu terang yang menyorotku lantas berpindah-pindah ke arah personel grup band kami yang berkemas.
Mulai dari sang melodis wanita yang telah rampung mengutak-atik gitarnya sebelum dia bawa turun panggung sama halnya denganku dan bassis. Cahaya itu lantaran menyorot sang drummer yang memutar stick dan melambungkan serta menangkapnya, suatu kebiasaan ketika kami mengakhiri latihan atau konser, sebelum ikut bangkit lalu berjalan bersamaku. Sedangkan sang organist sudah turun lebih dulu.
“Good job everybody,” teriak manager kami. (Kerja bagus semuanya) Didampingi asisten, pria paruh baya dengan balutan pakaian ala rock seperti kami mengarahkan kami ke ruangan khusus.
Sebenarnya setiap personel memiliki kamar ganti masing-masing. Berhubung setiap selesai konser kami diwajibkan untuk rapat evaluasi terlebih dulu, kami pun terpaksa menunda rasa lelah untuk melaksanakannya.
Sambil berjalan, aku melepas gitar yang membelit tubuhku dan memberikannya pada asistenku. Tiba di ruangan, aku mengambil duduk di depan pendingin udara. Sebotol air mineral yang sudah tersedia di hadapan meja kami masing-maisng kuraih serta kuminum.
“Lelah sekali,” kata melodis yang sekarang telah merentangkan tangan usai memberikan gitarnya pada asistennya. “Tanganku hampir keriting,” imbuhnya sambil menggerakan jari-jemarinya di udara.
“Sama,” sahut sang organist yang duduk di sebelah bassis. Pria itu juga sudah melepas jaket kulitnya dan menyampirkannya di punggung kursi.
“Kakiku juga pegal.” Drummer bertindik telinga banyak juga menunjuk kakinya untuk mempertegas kata-katanya.
“Setelah ini aku akan puasa bicara selama tiga hari. Tenggorokanku sedikit sakit,” kataku lagi setelah mengelap mulut dan meletakkan botol air mineral di meja.
“Ya, aku tidak akan protes kalau kau tidak akan mengangkat telepon atau bicara menggunakan google translate, Sky,” tanggap sang gitaris sambil nyengir kuda. Pandangannya ke arahku, sementara tangannya meraih botol air mineral di hadapannya.
“Tapi itu sepadan, anak-anak ....” Suara manager yang baru saja tiba di ruangan dan mengambil duduk di kursi tengah mengalahkan suara-suara keluhan kami yang langsung terhenti. Namun, tidak dengan gerakan kami yang mengisyaratkan sedang lelah. Ada yang mengambil minum sama sepertiku, ada yang mencoba melenturkan otot-ototnya, dan ada juga yang bersandar di punggung kursi sambil menguap lebar.
“Baik, mari kita mulai rapat evaluasinya.” Sang manager mengambil alih suasana. Para asisten yang tadinya masih bersliweran di ruangan ini sudah ikut duduk.
“Oke, mulai dari kau,” tunjuk manager pada sang drummer. Sambil menguap, pria berjanggut lebat itu lantaran menoleh padanya. “Tadi stick-mu sempat patah. That’s bad.”
“Tapi aku membawa cadangan. Aku selalu membawanya dan itu tidak masalah, Sir.” Dia jelas membela diri.
“Memang kau seharusnya begitu, bisa mengantisipasinya. Tapi aku tidak ingin kejadian ini terulang lagi.”
Aku dan personel lain mulai menahan tawa. Memang begitulah drummer Black Skull. Kalau sudah memegang stick dan di hadapannya ada drum. Jangan harap ada kata lemah atau loyo. Semangatnya selalu menyala-nyala untuk menggebuki alat musik itu. Pernah suatu ketika salah satu elemennya jebol karena dia terlalu bersemangat. Dan tentu saja kejadian di mana stick patah saat konser bukan untuk yang pertama kali.
Kepala sang drummer yang plontos berputar untuk melihat kami. Dia mencibir tetapi tidak bisa membantah kata manager. “Baik, Sir.”
“Aku hanya ingin kau mengendalikan diri. Kau boleh saja membawa cadangan. Tapi bagaimana kalau setiap satu kali pukul kau mematahkannya?” Suara serak manager terdengar lagi. Aku bersama personel lain lebih tidak kuat lagi menahan diri. Tawa kami berhasil menerobos keluar.
“Kau hebat, Dude. Mematahkan stick drum seperti mematahkan sebatang tusuk gigi,” komentar sang organist.
“Jangan senang karena menertawakannya. Dan jagan kira aku tidak melihatmu berulang kali hampir tersandung kabel.”
Aku hampir terjungkal akibat tidak bisa menahan tawaku. Sampai-sampai harus menunduk dan memukuli lutut sebab oragnist itu langsung menghentikan tawanya dan gantian sang drummer besersama personel lain yang menertawakannya.
“Ekhm ... untuk kau.” Suara serak manager menghentikan tawa kami dan fokus pada melodis. “Sebaiknya rambutmu tidak diurai seperti itu. Aku melihatmu berulang kali berusaha menghalaunya. Mengganggu penampilanmu saat solo gitar.” Tangan sedikit keriput itu menunjuk-nujuknya. Berikut mengarahkan pandangan ke bassis. “Ekspresimu terlalu datar. Seperti orang tidak makan setahun. Tidak ada semangat sama sekali.”
“Aku sudah sudah mengatakannya padamu, Sir. Kalau semalam tanganku teriris pisau, jadi ya begitulah. Sebenarnya itu ekspresi menahan sakit.”
“Lain kali kau harus hati-hati,” sahutku.
“Benar apa yang dikatakan Skyler,” tanggap manager dan sekarang semuanya terpusat padaku. “Well ... hampir saja kau tadi terjatuh ke bawah panggung. Kau juga harus berhati-hati.”
“Yes, Sir!” jawabku tegas sambil hormat mirip tentara yang diberi mandat komandannya.
Pria paruh baya yang menautkan kedua tangan di meja itu mengangguk bangga sambil menatap kami satu per satu. “I’m pretty sure our concert next month will more explode than this,” paparnya setelah sekian detik mengambil oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dalam jumlah lumayan banyak. Seolah berusaha keras mengatakan hal tersebut. (Aku sangat yakin konser kita bulan depan akan lebih meledak dari ini)
Teruntuk kalimat manager yang satu ini, kami langsung saling berpandangan sebelum akhirnya menegakkan posisi untuk memusatkan perhatian pada pria yang bertugas mengatur jadwal kami.
“I beg your pardon, Sir?” tanya sang melodis yang mewakili kami. (Aku minta maaf, Pak?)
“You heared it,” jawab manager. (Kamu mendengarnya)
“Tapi Anda pernah mengatakan setelah konser ini kami akan diliburkan selama tiga bulan. Itu pun kami maaih harus latihan sebelum tur ke Asia, Sir,” balas wanita itu.
“Sayang sekali anak-anak, direktur sudah menyetujui pengajuan konser itu. Tidak ada yang boleh protes, aku hanya menjalankan tugas. Dan rapat evaluasi selesai. Aku permisi dulu.” Pria paruh baya yang dulu juga rocker itu lantaran beranjak diikuti asisten.
“Hah! Bagaimana ini?” teriak sang melodis frustasi. Tangannya kontan berada di kelala yang dia letakkan meja untuk menjambak rambut merah muda palsunya.
“Sialan. Padahal aku sudah ada rencana melamar Meghan. Mumpung libur.” Gantian organist yang mengeluh.
“Aku juga sudah janji pada kakak iparku untuk mengunjunginya.” Melodis kembali bersuara.
“Bahkan tidak ada kontrak yang harus kita tanda tangani!” desis bassis. Sesaat kemudian kurasakan tatapan para personel da asisten mengarah padaku.
Bibirku terkatup rapat-rapat. Indra pembauku juga berusaha mengambil udara lebih banyak. Sejenak aku memejamkan kedua kelopak mata lalu memutuskan untuk memgambil alih. “Baiklah. Aku akan menemui dan bicara dengannya setelah fan service,” jawabku setelah sekian lama berpikir dan berdebat dengan diri sendiri soal ini.
“Kau yakin bisa menghadapi Momster-mu itu sendirian?” tanya melodis. Wajahnya kelihatan seperti kasihan dan takut.
“Iya, wanita tua itu mengerikan seperti Dolores,” sahut drummer.
Bassis pun menyetujui omongan drummer. “Aku setuju denganmu, Dude. Kalau bicara dengannya, aku merasa akan mati.”
Ngomong-ngomong, yang dimaksud Momster adalah ibu tiriku yang menjabat sebagai direktur Black Skull. Namanya Revina. Tukang pembuat onar, kejam, dan licik serta pintar menghasut orang. Oleh sebab itulah kami memanggilnya Momster. Terdiri dari dua kata, gabungan antara Mommy dan Monster. Jadilah Momster.
Berhubung ini sudah seperti penindasan dan menbajakan istirahat waktu libur yang mirip kerja rodi, aku harus bertindak.
“Ya, aku harus menemuinya sendirian,” tukasku tegas. Lalu menghadap asistenku. “Di mana Momster sekarang?”
Wanita sebaya itu berdecak setelah mengecek ponsel. “Dia sedang ada di Abu Dhabi bersama ayahmu.”
“Hah! Lihatlah! Betapa liciknya wanita itu! Dia sudah tahu kita akan protes jadilah pergi ke sana. Heran sekali. Kenapa ayahmu mau menikahi monster seperti dia!” celetuk melodis.
Aku mengepalkan tangan tanpa bisa berkomentar lebih karena semua ini adalah salahku. Apabila aku tidak bersikap kekanakan beberapa tahu lalu dengan kabur ke Paris selama beberapa waktu, mungkin aku bisa mencegah ayah menikahi momster. Namun, ada sebagian hatiku yang memperingatkan bahwa aku tidak boleh menyesal karena bertandang ke Paris bersama semua personel Black Skull. Tanpa Paris, kami tidak akan bisa menjadi bintang besar seperti sekarang.
Mulanya kami hanyalah teman Senior High School yang sering memainkan musik di dekat stasiun Michigan. Berharap seorang produser merekrut kami. Tidak hanya itu, kami juga memasukkan CV Black Skull ke perusahaan-perusahaan rekaman dan juga menyebar video permainan kami di intenret. Sayangnya, belum ada yang menyaring kami untuk dijadikan bintang.
Beberapa tahun berikutnya kami belajar di uilliard. Setelahnya mencoba bertandang ke Monmatre, Paris. Tempat di mana para musisi legendaris memulai kariernya sebagai pemusik. Dan di sanalah kami bertemu seorang produser.
Sangat disayangkan, kami harus kembali ke Amerika sebab produser itu telah hilang dari muka bumi dan asistennya yang memindahkan segalanya ke sini. Lalu, aku tidak tahu kalau direkturnya adalah momster yang rupanya sudah menikah dengan ayahku.
“Dasar licik!”
Umpatan melodis kembali menarikku dari dunia lamunanku. Bertepatan dengan itu, asisten manager datang dan memberitahu kami bahwa para penggemar sudah menunggu. Kami beranjak secara malas-malasan. Dan tentu saja itu membuat wanita dewasa itu mengomel.
“Hei kalian ini! Cerialah! Apa wajah loyo seperti itu yang akan kalian tunjukkan pada penggemar?” sinisnya lalu menatapku. “Dan kau Sky, ada yang membeli tiket VVIP untuk menemuimu. Dia bahkan membayar mahal untuk memonopoli seliruh waktu fan service!”
“Ups ... aku hampir saja mengatakan itu tapi sudah didahului,” sahut si Melodis sambil menepuk bahuku riang. Para personel lain mulai mengikuti wanita itu untuk mengejekku.
“Pasti sugar daddy Skylar.”
“Heh! Kepala botakmu belum pernah ditumbuhi rumput gajah ya? Sini kuberi pupuk organik kotoran sapi untuk penyubur!” ketusku. Kala ingin menjitak kepala drummer, para personel lain menghentikanku.
“Sudah ..., sudah ..., temui sana .... Kami rakyat jelata akan menunggu di luar.” Suara bassis terdengar menyindir.
Yah, begitulah kalau kau hidup di lingkungan orang-orang berpemikiran dan berprilaku selengean. Kami kerap kali bercanda dengan hal-hal yang kurang santun, sebenarnya. Apabila orang lain menilai pasti sangatlah kurang ajar.
“Good luck, Sky.” Aku mendengar sang melodis menyemangati sambil melambai. Bersama para personel, dia menerobos para orang belakang panggung. Meninggalkanku di selasar yang terdapat ruangan-rusngan pribadi para personel yang terletak berhadapan-hadapan.
Hal yang patut disyukuri, aku tidak sendirian. Ada asistenku yang masih setia membawa gitarku untuk menemaniku masuk ruangan pribadiku.
“Miss Skylar Betelgeuse ... aku sudah menunggu,” sapa suara berat dan dalam itu begitu kakiku resmi bergulir masuk ruangan. Aku melihat pria berbadan tegap dan berpakaian ala kantoran itu sedang duduk. Kakinya disilangkan. Getsture bossy.
Yah, jangan tidak heran. Pria bermata hitam legam itu memang bos. Anak pemilik Diamond Bank yang sekarang menjabat sebagai Chief Executive Operasional di kantor pusat kota ini. Masih muda untuk golongan orang dengan jabatan tinggi seperti dia. Belakangan ini asistenku menceritakan usianya baru 32 tahun. Sekitar tujuh tahun lebih tua dariku.
“Kalau lama, tidak perlu menungguku, Mr. Horizon Devoss,” balasku.
Dariku, Horizon dengan sikap tenang beralih menatap asistenku yang baru saja meletakkan gitar kesayangku di tiang tempat gitar, lalu meminta, “Bisa tolong kau tinggalkan kami, Miss?”
Wanita berambut sebahu itu melirikku sepintas untuk meminta izin. Setelah mendapat anggukan, dia meninggalkanku berdua dengan Horizon. Aku pun menghela napas kala mengambil duduk di depan pria itu.
“Hah ..., cepat katakan apa yang kau inginkan dari fan service kali ini?” todongku yang lelah. Demi apa pun, aku masih harus menyelesaikan urusan band-ku dengan momster dan sekarang ditambah harus disibukkan dengan Horizon.
Pria itu tersenyum tipis. Terlihat cerdas. Ngomong-ngomong, apa aku sudah cerita kalau dia sangat tampan? Sayangnya dia tipe pria alfa yang tahu secara jelas apa yang menjadi keinginan dan bagaimana cara mendapatkannya. Namun, bukan berarti aku akan selalu menuruti apa yang diinginkannya kalau itu merugikanku.
Sejujurnya aku berdebar keras saat menanyakan hal itu. Penasaran sekaligus menunggu apa yang akan pria itu minta sebagai penggemar beratku. Pasalnya ini bukan yang pertama kali. Namun, sudah yang kesekian kali. Mulanya Horizon hanya mengininkan tanda tangan di kaosnya, lalu di barang-barangnya yang lain, tetapi akhir-akhir ini permintaannya—
“Bisa kau lepas dulu rambut palsu hitammu, Sky? Aku lebih suka rambut aslimu yang pirang.”
Nah, seperti inilah. Agak absurb, tetapi aku justru merasa tertolong sebab memakai rambut palsu memang kurang nyaman. Bukan tanpa alasan aku bersama para personel lain lebih memilih menutupi penampilan kami yang sebenarnya. Alasannya cukup sederhana. Karena kami ingin memiliki privasi tanpa dikejar-kejar paparazi. Bahkan kami tidak memakai nama asli kami..
“Lalu, hapus saja riasanmu.” Suara Horizon membentur daun telingaku.
Lagi-lagi hal absurb yang menolongku. Jadi, karena tidak merasa terbebani, tanpa banyak cakap aku langsung menjalankan fan service aneh ini di meja riasku. Dan pantulan bayangan Horizon yang menatapku di cermin rias membuatku tak nyaman. Jadi, secepat kilat aku harus segera mengusirnya—jika bisa.
“Sudah. Sekarang kau boleh pulang, Horry.” Aku berdiri dan untuk mendekatinya. Bermaksud mengantarkannya keluar ruanganku.
Hatiku bersorak gembira ketika dia mengikutiku berdiri. Namun, senyum itu langusng berubah kaku ketika pria itu setengah mendengkus setengah tersenyum. “Aku belum selesai, Sky.”
“Ck, apa lagi yang kau inginkan sebagai penggemar. Jujur saja Horry, aku sedang lelah?” Sekali lagi jantungku berdebar keras karena menanyakan serta menyatakan hal sederhana itu.
“Aku ingin memelukmu.”
Selamat Horry! Kau baru saja membunuhku!
“Itu termasuk fan service kan?” tanyanya berlagak polos. “Aku melihat teman-temanmu memberikannya pada penggemar,” imbuhnya yang memicu keinginanku untuk melempar wajah tampannya menggunakan rambut palsuku.
Aku menelan saliva. “Well ... well ... ya. Itu memang termasuk fan service. Tapi setelahnya, kau harus pulang. Itu juga yang dilakukan penggemar di luar sana.”
Horizon tidak menanggapi. Dengan tenang dia mendekat tanpa memutus tatapan matanya yang memandangku penuh intimidasi. Secara perlahan tetapi pasti, lengannya meraih lenganku kemudian dengan cepat menarikku ke dalam pelukannya.
“Satu lagi Sky, boleh aku mengantarmu pulang?”
_____________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen, dan beneein typo. Kelen luar biasa.
Oh ya man teman, saya mau jelasin sesuatu nih. Buat yang udah tau boleh diskip yah.
Jadi, buat yang masih bingung gimana sih susunan personel Black Skull ada 5 orang :
1. Skylar Betelgeuse di sini posisinya sebagai vokalis rocker sekaligus gitaris ritem yah
2. Cewek (namanya masih dirahasiakeun #sokmisteri) itu gitaris melodis
3. Cowok (namanya masih dirahasiakeun) gitaris bassis
4. Cowok (namanya masih dirahasiakeun) drummer
5. Cowok (namanya masih dirahasiakeun) oragnist
Loh kok banyak banget gitarisnya? Yaps. Pemain gitar berdasarkan petikannya sendiri tuh sebenernya ada 3 tipe. Yakni Ritem, bass sama Melody.
Ritem tuh gitaris yang pada umumnya gitu, kalau jari-jari tangan kiri buat neken kunci gitar, terus yang tangan kanan biasanya berupa genjrengan aja.
Kalau bass, senar gitarnya lebih gedhe2. Suara yang dihasilkan juga lebih degung (sesuai namanya, bass)
Sedangkan melody, itu skill high level dari main gitar itu sendiri sih kalau menurut saya yaahh. Biasa pake gitar ritem. Kunci-kuncinya lebih rumit, terus nggak berupa genjrengan, tapi petikan-petikan yang relatif bervariasi.
Dan ... karena work ini adalah hasil kegabutan dan kejenuhan revisi belaka, jadi saya nggak bisa janji buat update teratur. Saya juga pengen nulis dengan memasukkan unsur-unsur sepengennya saya 😭 misal nih kalau jadi, work ini bakalan mirip kayak Dom, adegan dominasi gitu haha 😭
Yaudin pokoknya gitu. Sekian bacotan dari saya, semoga bermanfaat yah
Bonus foto Skylar Betelgeuse
Dan Horizon Devoss
Oh ya satu lagi bonus logo The Black Skull (iseng bikin aja sih)
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©
®Chacha Prima
👻👻👻
Sabtu, 5 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top