8. Perhatian Marvin

.
.

Technical Meeting (techmeet) pun telah berhasil dibuka oleh Brian beberapa menit yang lalu. Saat ini, ia mempersilakan seorang panitia Divisi Pertandingan untuk menjelaskan peraturan cabang olahraga Sepak Bola pada sekitar 40 perwakilan fakultas dan 25 perwakilan tiap Divisi NFD lainnya.

Sama seperti peraturan pada umumnya di Sepak Bola: permainan dilakukan dengan sistem gugur, berdurasi 2 x 45 menit, dan lain sebagainya. Nampaknya seluruh peserta paham akan hal ini, sehingga tak ada satu pun yang mengeluarkan pertanyaan ketika Brian memberikan waktu untuk bertanya.

"Sekarang kami meminta para perwakilan fakultas untuk naik ke atas panggung dan mengambil nomor undian," ujar Darresh yang merupakan salah satu MC sambil membawakan sebuah kotak yang di bagian tengahnya sudah terdapat bolongan.

Pandangan Gyani terpaku pada Aries yang menapaki satu per satu anak tangga, menjadi perwakilan MIPA untuk mengambil undian. Perempuan itu duduk menyerong, nggak sadar kalau Marvin telah memperhatikannya yang duduk tepat di samping kiri Gyani.

Ah ya, panitia NFD diketahui duduk di sebelah kiri. Sedangkan perwakilan fakultas di sisi sebelah kanan ruangan. Keduanya dipisahkan oleh karpet merah kecil yang digunakan para perwakilan untuk berjalan ke atas panggung. Untuk para Kadiv, mereka mendapatkan tempat paling ujung di sisi kiri sesuai divisi masing-masing. Divisi Logstran sendiri berada dalam barisan ketiga dari depan dengan Marvin yang berada di sisi paling ujung kiri.

"Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Bye!" ujar Darresh lantang yang membuat mata Gyani terbelalak. Mulut gadis itu bahkan membentuk huruf O dan senyum merekah terlihat jelas di wajahnya.

Aries memutar tubuh menghadap Gyani dengan cengiran yang tidak kalah lebarnya. Laki-laki itu melambaikan kertas yang ia ambil dari dalam kotak, refleks membuat Gyani melambaikan tangan pada pemuda itu juga.

Perempuan tersebut tersentak dan senyumnya mendadak luntur tatkala sebuah tangan menghentikan aksinya melambai pada Aries.

Ah elah, ganggu aja....

Gyani menoleh pada sosok pemuda yang duduk dengan ekspresi datar, menurunkan tangan Gyani ke paha perempuan itu dengan perlahan.

"Gyani," tegur Marvin singkat, namun dengan suara yang dalam dan menyeramkan. Iya, memang tuh cowok suram bener hidupnya.

"Maaf, Kak," sesal gadis tersebut.

Jika dilihat dari sudut pandangan profesionalitas, Gyani seharusnya nggak seperti itu. Lebih baik memang merespons dengan tepuk tangan layaknya panitia lain. Soalnya posisi Gyani di sini bukanlah perwakilan fakultas, tetapi panitia NFD. Dan ia dituntut untuk tidak berpihak pada siapapun, termasuk pada fakultasnya sendiri.

Tapi, kan, Gyani cuma dadah-dadahan, bukan atur skor permainan. Huft....

Gyani kemudian mengamati jam tangan dan mengetahui jika 10 menit lagi sesi pertama akan berakhir, lalu dilanjutkan istirahat selama 5 menit. Sayangnya, Gyani sudah tidak dapat menunggu lagi hingga waktu istirahat. Sebab, keringat sebesar biji kedelai mulai terlihat di kening. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengacak-ngacak perutnya tak karuan. Gyani seketika menunduk, lalu kedua tangan dingin itu meraih ujung bawah baju dan meremasnya kuat-kuat.

Ah, sial!
Nyeri di hari pertama datang bulan memang menjengkelkan dan nggak terduga.

Sudut mata Gyani menemukan lengan dan tangan laki-laki yang duduk di sampingnya sudah menengadah. Dan cewek itu milih untuk mengacuhkannya saja. Hingga akhirnya Marvin berbisik, "Pegang lengan gue! Gue tau lo lagi kesakitan banget."

Tanpa perlu menunggu lagi, Gyani meremas lengan Marvin. Entah cowok itu kesakitan juga atau tidak, Gyani tidak peduli. Yang penting sakit di perutnya hilang!

Mata Gyani kembali bergerak, memperhatikan tangan Marvin yang merogoh saku kecil tas hitam bagian depan, lalu mengambil pulpen dan menuliskan sesuatu di buku kecil itu. Dengan cepat, kertas tersebut ia robek. Marvin kemudian menoleh pada Jawad yang duduk di ujung berlainan dengan dirinya.

"Wad, Jawad!" panggil Marvin setengah berbisik.

Sang empunya nama pun menoleh. "Napa, Kak?"

"Bentar lo kasih ini ke Brian ya. Gue mau anterin Gyani balik," jelas Marvin sambil menyerahkan kertas yang Gyani duga sebagai surat izin cabut duluan dari acara.

Mendengar kata 'balik': Jawad, Kirana, dan Januar pun menoleh pada Gyani. Kirana bahkan menundukkan kepala untuk melihat kondisi teman sedivisinya itu.

"Ya ampun, Gi, muka lo pucet banget." Kirana berujar prihatin.

"Makanya gue pengen anterin dia balik. Dah ya," acap Marvin meraih lengan Gyani.

Belum sempat berdiri, Gyani melepaskan tangan kekar Marvin pada lengannya. "Gue bisa jalan sendiri, kok, Kak."

"Ok, lo jalan duluan kalo gitu!"

Gyani pun mengambil tas yang ia letakkan di lantai, tepat di bawah kaki. Sedetik kemudian, ia pun berjalan ke luar ruangan diikuti oleh Marvin. Gyani bisa merasakan beberapa pasang mata tertuju padanya, tapi dia nggak peduli. Soalnya yang terpenting sekarang adalah rolling depan, rolling belakang, kayang, sikap lilin, atau melingkar kayak kucing di atas tempat tidur untuk menghilangkan rasa sakitnya.

.

.

Setibanya mereka di kosan Gyani, Marvin awalnya nggak pengen masuk. Tapi melihat Gyani yang lemes banget, udah kayak pensil inul yang kalo ditegakin sedikit malah melencong ke kanan-kiri, mau tak mau cowok itu pun memarkirkan motor.

Marvin mengikuti langkah gontai perempuan itu menapaki anak tangga dengan perlahan dan penuh kesabaran, meskipun Gyani yakin jika Marvin pasti sudah sebal karena Gyani lelet abis.

Nampaknya Gyani benar-benar tidak memedulikan Marvin dan memilih untuk membaringkan tubuh di tempat tidur. Dikira pulang, Marvin ikut-ikutan masuk kamar perempuan itu.

Sekali lagi, gadis berambut panjang tersebut sudah bodo amat. Ia lebih memilih menarik selimut dan membaringkan tubuh menghadap dinding putih, membelakangi Marvin yang entah melakukan apa di belakang sana.

"Gue keluar bentar ya," izin Marvin.

Tanpa menoleh sedikit pun, Gyani berujar singkat, "Iya, Kak."

Sayup-sayup, telinga Gyani menangkap derap yang semakin lama semakin jauh menuruni tangga. Nggak cukup sampai di situ, di lantai dasar yang sepi, Gyani juga mendengar Marvin bercakap dengan seorang perempuan yang kayaknya akrab banget. Soalnya kadang Gyani mendengar kekehan pelan dari mereka berdua.

Menunggu sekitar kurang dari 10 menit, Marvin kembali memasuki kamar Gyani yang terbuka lebar itu. Takut jadi fitnah ye kan....

"Gyani, bangun dulu," ucap Marvin dengan begitu pelan.

Dengan sedikit keterpaksaan, Gyani pun bangun dari tidur dan duduk di tepi ranjang. Ia menoleh ke arah tangan Marvin yang terulur padanya sambil menyerahkan sebuah botol minum transparan yang diisi air penuh.

Gyani bingung itu untuk apa. Soalnya kalau minuman air putih biasa, dia udah punya galon di ujung ruangan dekat pintu sana. Kalau pun habis, tinggal isi di galon yang ada di dapur.

"Ambil gih! Trus tempat minum ini simpen di atas perut, jadiin kompres supaya nyeri bulanannya bisa reda dikit."

Kayaknya Marvin memang berbakat jadi dukun. Di auditorium tadi, dia berhasil menebak kalau Gyani kesakitan, sekarang dia tahu jika gadis itu sedang 'lampu merah'. Dari mana coba dia tahu kalau Gyani haid? Padahal dia bisa aja nebak karena kebanyakan makan rujak, salah makan, atau apa kek gitu.

"Oh, iya. Makasih ya, Kak." Gyani mengambil botol minum itu.

"Yaudah, baring lagi sana!" titahnya yang membuat Gyani refleks kembali memutar tubuh dan mengikuti perkataan Marvin. Nggak tahu ada gerangan apa sehingga perempuan itu manut aja.

Entah apa yang dilakukan Marvin, tapi Gyani yakin jika pemuda itu mulai menulis sesuatu. Sebab ia mulai mendengar tas yang terbuka, lalu suara pulpen yang beradu di atas kertas. Mungkin Marvin sedang mengerjakan tugasnya seraya menemani Gyani.

Dih, pede bener!

Wajar jika Gyani berpikir demikian. Sebab, Marvin tidak kunjung keluar dari kamarnya sejak langit masih cerah sampai udah mulai remang-remang kayak gini.

"Lo mual gak?" tanya Marvin.

"Dikit, Kak." Sekali lagi, Gyani menjawab tanpa menoleh pada Kadiv Logstran tersebut.

Karena sebentar lagi gelap, Marvin menyalakan lampu kamar. Namun sesaat kemudian, ia juga menyalakan lampu kuning yang berada di atas meja belajar dan mematikan lampu utama yang terang banget.

Dah berasa kamar sendiri ya, Kak, batin Gyani.

Tak... Tak... Tak...

"Permisiii..." Suara seseorang di bawah sana yang mengetuk-ngetuk gerbang kosan membuat Gyani mendengkus sebal. Benar-benar mengganggu tidur!

Langkah Marvin kembali terdengar. Ia turun ke lantai dasar dan membuka gerbang, setelah itu ia kembali ke kamar Gyani dan meletakkan sesuatu di atas meja. Dari aromanya, gadis itu bisa menebak sesuatu yang menjadi kesukaannya.

"Gyani," panggil Marvin perlahan, "bangun dulu!"

Kembali, cewek itu menghela napas dan menghadapkan tubuh pada Marvin dengan duduk di tepi tempat tidur seperti sebelumnya. Karena tempat tidur gadis tersebut langsung menyentuh lantai, Marvin pun duduk bersila di atas karpet tepat di depan Gyani.

"Itu di atas meja ada makanan, harus dimakan supaya lo cepet sembuh. Trus--" Marvin menarik baskom kecil bergambar panda ke hadapan Gyani, "kalo malas ke kamar kecil, lo bisa pake baskom ini aja kalo mualnya datang."

Duh, jadi terharu, Gyani berbicara dalam hati.

"Gue balik dulu ya. Kalo lo butuh apapun, bisa bilang ke gue. Mau nelpon atau chat, terserah. Gue banyak waktu luang, kok."

Gyani mengangguk pelan. "Makasih banyak ya, Kak. Maaf ngerepotin."

"Gak, kok. Santai aja...."

Marvin pun pamit undur diri dan menghilang setelah pintu kamar Gyani tertutup rapat.

Gadis itu menoleh sebentar pada makanan dalam bungkusan di atas meja. Gyani menebak bahwa itu pasti nasi goreng komplit yang biasa ia pesan di rumah makan yang tak jauh dari gerbang samping kampus. Tercium dari aromanya yang menjadi favorit Gyani. Jelas saja ia menghapalnya. Sebab, terkadang Gyani akan makan nasi goreng itu bersama Nanda sepulang dari kampus.

Tapi kalau dipikir-pikir, Marvin baik juga. Mau susah payah mengantar dan mengurus Gyani. Padahal gadis itu tahu bahwa techmeet adalah pertemuan paling penting untuk seluruh Kadiv. Dan dia rela ninggalin gitu aja demi Gyani.

Kali ini, nggak apa-apa jika Gyani percaya diri sedikit saja. Toh, tidak ada yang tahu juga apa yang sekarang ada di pikiran Gyani.

Sorot mata perempuan itu kembali tertuju pada baskom panda berwarna biru yang tampaknya tak asing. Meskipun begitu, Gyani nggak ingat itu punya siapa. Ya, baskom tersebut memang bukan punya gadis penghuni kamar di lantai dua itu.

Lah, terus punya siapa, dong?

"WOIII, SIAPA YANG AMBIL BASKOM PANDA GUE? TUH BASKOM BUAT CUCI CELANA DALAM SAMA BEHA! AWAS YA, GUE SUMPAHIN YANG AMBIL BAKALAN SAKIT PERUT!"

Gila! Itu suara Kak Arum yang terkenal dengan kata-kata pedas nan nyelekit, bikin orang-orang bisa turun berat badan kalau mendengar sumpah serapahnya. Teriakannya memang fenomenal, soalnya dia udah sering teriak di dalam kosan. Dan perempuan itu juga terkenal dengan sifat pelit, bahkan ketika satu barangnya tidak sengaja terikut di barang penghuni lain, dia bisa mencak-mencak yang sekali lagi suaranya akan terdengar oleh seluruh penghuni.

Tidak ada yang mau berurusan dengan Kak Arum!

"Mampus! Ini gimana gue balikinnya? Arghhhhh ... Kak Marvin mah ada-ada aja," monolog Gyani dengan wajah cemberut dan sesekali mengacak rambutnya seperti orang stres ditagih utang.

Dan memang sekarang dia sedang kesal luar biasa, karena nyeri perutnya yang kembali lagi setelah mendengar suara cempreng Kak Arum dari lantai satu.

Buset, cepet bener tuh doa dijabah!

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top